Bab 8

Andai saja aku tak berjanji pada Lara untuk ikut mengantarnya ke bandara siang ini, aku pasti tak akan repot-repot keluar dari kos setelah kemarin mendekam seharian di dalam kamar.

Aku benar-benar tidak keluar kamar sama sekali. Untuk makan siang dan malam saja aku hanya menyantap mi instan yang kumasak ala kadarnya. Ponsel sengaja kumatikan sejak aku masuk ke dalam kamar setelah pertengkaranku dengan Aulion. Aku hanya menggunakan laptop untuk menonton drama dan melakukan hal apa pun yang menarik dan bisa membuat pikiranku teralihkan dari kejadian jumat malam kemarin.

Pagi ini ponselku kembali kunyalakan. Kubiarkan tergeletak di atas kasur selagi menunggu notifikasi yang masuk sementara aku bergegas mandi. Aku berjanji pada Lara untuk datang di pagi hari, menghabiskan waktu beberapa saat bersamanya. Hitung-hitung sebagai salam perpisahan karena setelah ini Lara akan tinggal di luar negeri untuk menyelesaikan kuliahnya.

Tubuhku jauh lebih segar setelah mandi. Aku mematut diriku di depan cermin terlebih dulu sebelum mengenakan baju. Tatapanku jatuh pada kedua mataku yang kelihatan sembab. Malam itu aku benar-benar mengeluarkan seluruh air mataku. Ditambah lagi dengan aku yang sengaja menonton film sedih dan membuatku menangis tersedu-sedu selama satu harian penuh.

Benar-benar kurang kerjaan.

Setidaknya efek dari menangis kemarin membuatku merasa jauh lebih baik. Rasa sakit itu memang belum hilang, tetapi sekarang sudah bisa kuatasi dengan baik. Bibirku sudah bisa kembali mengukir senyum tanpa paksaan. Aku juga sudah siap bila harus bertemu dengan Aulion nantinya.

Lalu, pandanganku turun ke bawah, jatuh pada leherku yang terdapat bekas kemerahan yang hampir pudar. Masih agak kelihatan karena kulit putih pucatku sangat kontras dengan warna dari bekas tersebut.

Ya, itu adalah bekas ciuman Aulion jumat malam kemarin. Selalu seperti itu. Dia seperti vampir yang kerap menghisap dan menggigit leherku seperti mangsanya sampai menghasilkan bekas.

Aku menyentuh kiss mark tersebut secara perlahan. Tersenyum getir setelahnya. Barangkali itu adalah bekas ciuman terakhir Aulion di tubuhku. Entah kenapa aku malah tidak ingin menghilangkan bekas tersebut.

Menggelengkan kepala, aku menyadarkan diriku untuk tak bersikap bodoh dan berhenti menjadi budak cinta Aulion.

Setelah tubuhku dibalut oleh pakaian, aku kembali pada ponselku. Kuperiksa satu per satu pemberitahuan yang masuk. Ada begitu banyak pesan dan panggilan yang kudapat. Yang paling banyak muncul tentu saja nama Aulion, tetapi aku tak menghiraukannya sama sekali dan lebih memilih untuk membalas pesan lainnya.

Aku menganggap hubunganku dengan Aulion sudah selesai.

Aneh.

Padahal, sejak awal kami memang tidak memulai apa pun. Tak ada lagi yang perlu dilanjutkan. Mungkin nantinya akan sulit bagiku untuk melupakannya atau menganggap dirinya hanya sebatas bosku saja, tetapi aku akan tetap berusaha semaksimal mungkin. Setidaknya aku akan mencoba untuk membahagiakan diriku sendiri.

•••

Aku datang ke rumah Lara dengan menggunakan ojek online. Hanya butuh sekitar lima belas menit saja untuk sampai ke tempat tujuan. Dan kini aku sudah berada di depan kediaman keluarga Atmaja yang begitu mewah.

Seperti biasa, satpam yang berjaga sudah mengenalku dengan baik dan tanpa basa-basi langsung membukakan pintu pagar untukku. Dengan senyum ramahnya, pria yang kutaksir berumur sekitar empat puluhan akhir itu menyuruhku untuk segera masuk. Katanya, sih, kehadiranku sudah ditunggu-tunggu sejak tadi.

Sejenak, dahiku mengernyit heran karena tak menemukan mobil Aulion terparkir di halaman rumah. Apa dia belum sampai? Aku pikir dia akan menginap di rumah supaya tidak repot bolak-balik dari apartemennya.

"Mbak Tiara!"

Dari arah belakang, aku mendengar pekikan nyaring milik seorang perempuan. Saat memutar pandanganku ke sumber suara, aku mendapati Lana di sana. Sepertinya dia baru saja kembali dari minimarket jika dilihat dari apa yang tengah dijinjing oleh tangannya.

"Mbak dari kemaren susah banget, sih, dihubungin. Aku sama Lara sampe mau minta alamat kos Mbak sama Abang, tapi nggak dikasih." Lana sudah berdiri di sisiku, dengan wajah cemberut yang ditunjukkan untukku.

Aku tersenyum kecil. Bersama-sama kami berjalan memasuki rumah.

"Maaf ya, Na." Hanya itu yang bisa kusampaikan pada Lana, tidak berniat untuk menjelaskan apa alasanku menghilang sejak kemarin.

"Untung aja Mbak dateng. Tadinya Lara bakal ngamuk sama Abang kalo Mbak nggak ikut nganterin dia ke bandara. Abang udah janji bakal bawa Mbak ke sini soalnya."

"Oh, ya?"

Lana mengangguk. Kemudian pandangannya berputar ke sekeliling, seolah-olah mencari sesuatu.

"Lho, Abang mana? Mbak nggak sama Abang?"

Aku membuka sepatu begitu kami tiba di teras, mengucap salam terlebih dahulu ketika masuk sebelum menjawab pertanyaan Lana.

"Mbak pergi sendiri, Na."

Sama seperti Lana, aku juga tidak tahu di mana keberadaan Aulion saat ini. Terakhir kali dia menghubungiku adalah tadi malam. Pagi ini dia tak lagi mencoba untuk mengontakku.

"Sekarang malah Abang yang ngilang. Ditelepon sama Bunda dari tadi malem juga nggak diangkat." Lana berdecak di akhir kalimat.

Tidak bisa dihubungi dari tadi malam? Apa Aulion baik-baik saja?

Meski mencoba untuk tak lagi peduli secara pribadi dengan pria itu, entah kenapa hatiku tak bisa berbohong jika aku mencemaskannya saat ini. Hati dan otakku sudah terbiasa dengan Aulion. Sulit rasanya untuk mencoba tak mengacuhkannya seperti niat awalku.

"Mbak Tiara!"

Suara melengking Lara langsung menyergap ke telingaku tanpa peringatan, membuyarkan semua pikiranku tentang Aulion. Sama seperti Lana, Lara juga memasang wajah cemberutnya lantas menggerutu padaku karena tak dapat dihubungi sejak kemarin. Aku tak bisa untuk tak tersenyum. Si kembar sangat berisik jika aku menghilang seperti kemarin, tetapi aku menyukai perhatian yang mereka berikan.

Kurasa sudah ada satu jam sejak aku tiba di kediaman keluarga Aulion, tetapi sampai detik ini pria itu belum juga menampakkan batang hidungnya. Bunda masih mencoba menelepon Aulion. Tersambung, tetapi tidak ada jawaban darinya.

Tanganku sudah gatal ingin mengambil ponsel untuk menghubungi Aulion, tetapi seperti ada sesuatu yang seakan-akan menahanku untuk tak melakukannya. Dan yang kulakukan sejak satu jam yang lalu hanya diam dan menanti bunda mendapat kabar dari Aulion.

"Assalamualaikum."

Dan suara yang sangat kuhafal itu akhirnya terdengar di telingaku. Aulion muncul tak lama kemudian. Disusul oleh omelan bunda karena putra sulungnya itu mengabaikan panggilannya sejak kemarin malam.

Pandangan kami lantas bertemu. Mataku terkunci dalam iris cokelat gelapnya selama beberapa saat sebelum kualihkan tatapanku ke arah lainnya. Kuatur detak jantungku yang mulai bereaksi berlebihan.

"Yang penting kan sekarang aku udah di sini, Bunda," kata Aulion sebagai tanggapan atas repetan sang ibu padanya.

Aku menarik napas panjang, menyiapkan diri untuk memulai aktingku. Aku hanya tak ingin keluarga Aulion mengetahui tentang hubungan kami yang telah selesai. Pertanyaan "kenapa" pasti akan memborbardirku setelah ini. Dan aku terlalu malas untuk memberi penjelasan.

"Kamu mau minum apa, Mas? Biar aku buatin," tanyaku dengan senyum seadanya. Tubuhku mulai memproduksi keringat karena kegugupan yang menyerang tanpa henti.

Aulion tampak mengamatiku dalam beberapa saat. "Apa aja," jawabnya setelah berdeham.

Aku bergegas menuju dapur, menghindari tatapan mencurigakan dari Ian. Mungkin dia satu-satunya orang yang menyadari adanya kecanggungan saat kami berinteraksi.

Begitu tiba di dapur, aku tidak langsung membuatkan minuman untuk Aulion. Aku mencari tempat bersandar terlebih dahulu. Lututku rasanya begitu lemah, seakan tak mampu lagi menopang bobot tubuhku.

Di dalam kepala aku sudah mempersiapkan dengan mantap apa-apa saja yang harus kulakukan ketika bertemu dengan Aulion, tetapi prakteknya begitu sulit untuk dijalankan.

"Kamu nggak perlu berpura-pura untuk terlihat baik-baik aja, Ra."

Aku terlonjak kaget saat mendengar suara Aulion yang begitu dekat denganku. Segera kuputar tubuhku ke belakang dan menemukan Aulion yang sedang berdiri sangat dekat denganku.

Ya, Tuhan! Sejak kapan dia berada di sini?

Aku membasahi bibirku dengan lidah seraya memberanikan diri untuk membalas tatapan Aulion. Aku mulai mensugesti otakku untuk bersikap biasa-biasa saja dan menghilangkan kegugupan kala berhadapan dengannya.

"Aku memang baik-baik aja," balasku dengan senyum yang kupaksakan, agar Aulion percaya dengan ucapanku.

Aulion melesakkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Kepalanya sedikit miring, tetapi pandangannya tak lepas dariku barang sedetik pun. Bibirnya terangkat ke atas, menampilkan senyum lemah.

"Kalau kamu capek, kamu boleh istirahat sebentar, Ra. Tapi jangan pernah mencoba untuk pergi." Dia mengucapkannya dengan begitu pelan, seolah satu kata yang terucap dari mulutnya menghasilkan luka untuknya.

"Iya, Mas, aku capek. Tapi aku nggak mau istirahat. Aku mau berhenti."

"Satu minggu. Aku kasih kamu waktu selama satu minggu untuk istirahat." Aulion kelihatan kekeh dengan pendiriannya. Ucapanku barusan tak diambil pusing olehnya.

"Aku bilang aku mau berhenti, Mas." Tiap kata yang keluar dari mulutku kusuarakan dengan penuh penekanan.

"Jangan gini, Ra," lirih Aulion.

Kakinya mulai melangkah agar semakin dekat denganku, pun dengan satu tangannya yang sudah terangkat untuk menyentuhku. Aku jelas langsung menghindar, tak ingin terjadi kontak fisik di antara kami. Penolakanku membuat Aulion tampak frustrasi.

"Ra, please." Aulion mulai memohon sambil tetap mencoba untuk menyentuhku.

Kutepis tangan Aulion yang hampir jatuh di kepalaku. Tatapannya dipayungi oleh awan mendung, membuatku menaruh iba padanya. Sepertinya aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi di sini. Aku tidak benar-benar siap untuk kembali berhadapan dengannya. Aku masih mudah terpengaruh olehnya.

"Kita udah selesai, Mas," tekanku sekali lagi sebelum berjalan melaluinya dengan langkah lebar.

Mataku terasa panas setelah meninggalkan Aulion. Mungkin beberapa menit lagi cairan bening itu akan meledak dan membanjiri wajahku. Namun, sebelum itu terjadi, aku memilih untuk pergi dari kediaman Atmaja terlebih dahulu.

"Lara, maaf ya Mbak tiba-tiba nggak enak badan. Kamu baik-baik ya di sana," ucapku pada Lara tanpa menatap ke arahnya sama sekali karena aku sibuk memasukkan beberapa barang yang sempat kukeluarkan dari dalam tas.

Tanpa menunggu respons Lara, aku segera berlalu dari hadapannya. Bukan hanya Lara, semua orang juga bingung dengan kepergianku yang tiba-tiba. Tetapi aku tetap memandang ke depan dan terus melanjutkan langkahku.

Namun, baru saja kakiku menapak di teras, aku ditarik secara paksa dan yang kurasakan setelahnya adalah aku berada di dalam pelukan seseorang. Tanpa melihat pun aku tahu jika Aulion lah pelakunya.

Di detik pertama sadar, aku langsung memproteksi diriku dengan mencoba untuk terlepas dari pelukannya. Beberapa pukulan kuberikan di tubuh Aulion, tetapi hasilnya sia-sia karena tenaga pria itu jauh lebih besar dariku.

"Aku sayang kamu, Ra," lirih Aulion seraya mempererat dekapannya di tubuhku.

Lambat laun pukulanku di tubuh Aulion mulai melemah seiring dengan air mata yang pada akhirnya merebak keluar. Aku tidak lagi berusaha untuk menjauh. Entah karena aku yang terlalu lelah atau aku yang memilih untuk menyerah pada keadaan. Yang jelas, kini aku menangis tersedu-sedu di dada Aulion, di dalam pelukannya yang begitu posesif.

•••

Pesonanya Aulion susah ditepis, guys wkwk. Jadi, menurut kalian Tiara bakal tetep pertahanin pendiriannya atau nyerah sama Aulion, nih?

Ditunggu komentarnya! Bab ini panjang, lho, yakin nggak mau komen apa-apa?😭

Sampai ketemu besok, ya😍

20 September, 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top