Bab 7

Jihan Tanuwijaya akan bertunangan dengan putra tunggal pengusaha nomor 1 di Indonesia.

Begitulah headline berita yang kubaca. Hampir semua portal media memberitakan tentang pertunangan Jihan. Bahkan, akun gosip pun tak mau ketinggalan. Mereka terlihat mengunggah beberapa momen romantis Jihan bersama kekasihnya.

Biar kuberi tahu, Jihan bukan orang biasa. Dia adalah seorang selebriti papan atas yang bahkan namanya sudah berhasil memasuki kancah internasional. Beberapa kali Jihan terlibat sebagai aktris di film besutan luar negeri meskipun belum pernah mendapatkan peran utama. Tetapi tetap saja Jihan sudah membuat harum nama Indonesia dengan aktingnya yang luar biasa mumpuni.

Tak heran jika saat ini media tengah digemparkan oleh berita pertunangan Jihan yang sangat tiba-tiba. Kini semua orang tahu apa alasan Jihan lebih memilih untuk pulang ke Indonesia dan mundur dari proyek film di Amerika.

Jemariku berhenti menggulir layar ponsel ke bawah. Foto Jihan saat berada di red carpet kini terpampang jelas di ponselku. Senyumnya mengarah ke kamera dengan satu tangan yang terangkat ke atas. Tanpa sadar aku pun ikut tersenyum.

Rasanya menyebalkan melihat Jihan bisa sebahagia itu tanpaku. Padahal, dulu dia selalu bergantung padaku. Ibaratnya, aku adalah pemeran kedua dalam hidupnya yang membuat Jihan tetap bisa hidup dengan bahagia.

Menghela napas panjang dan memudarkan senyum di bibirku, aku menutup berita tersebut dan mengunci ponselku sebelum meletakkannya di atas nakas. Aku lantas berbaring di atas tempat tidur, menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang berkelana jauh.

Memoriku berjalan mundur ke kejadian beberapa tahun silam, kala aku dan Jihan masih berstatus sebagai seorang sahabat. Bahkan, banyak dari teman-teman kami yang merasa iri dengan persahabatan kami. Sayangnya, hal yang bagiku sangat berharga itu harus hilang karena kesalahan yang aku buat.

Sampai detik ini aku masih berharap jika semua ini hanyalah mimpi. Aku masih sangat ingin berteman dengan Jihan. Terkadang aku masih suka merindukannya. Merindukan momen di saat kami tengah bersama—berbagi tawa, sedih, maupun hal-hal yang kurasa tak terlalu penting.

Ponsel yang berdering menghentikan pikiranku yang sedang mengingat masa lalu. Lantas aku tersadar bahwa menyesali apa yang sudah terjadi hanyalah sia-sia. Ada begitu banyak hal yang rusak sampai aku sendiri pun bingung bagaimana cara memperbaikinya.

Nama Aulion tertera di layar ponselku sebagai penelepon. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam sekarang. Aku bahkan sudah mengganti bajuku dengan tanktop dan bersiap untuk tidur, tetapi tiba-tiba saja Aulion menghubungiku.

Ada jeda selama beberapa saat, yang kugunakan untuk berpikir antara menjawab atau membiarkan panggilannya begitu saja. Sampai pada akhirnya dering di ponselku berhenti. Tetapi hanya berselang sekitar dua detik saja, Aulion kembali menelepon.

Kali ini aku memutuskan untuk mengangkatnya. Mungkin ada pekerjaan yang ingin dibicarakan walau waktunya sangat tidak tepat.

“Ra.” Adalah kalimat pertama Aulion begitu panggilan tersambung. Nadanya terdengar begitu lelah.

Aku berdeham pelan. “Kenapa, Mas?”

“Aku di depan kos kamu. Bisa keluar sebentar?”

Terlalu mengejutkan mendengar ucapan Aulion barusan hingga sontak membuatku terduduk. Ini bahkan sudah terlalu malam. Bisa-bisanya dia malah berada di depan kosanku.

Tanpa aba-aba aku langsung mematikan panggilan kami. Mengambil jaket dengan buru-buru dan memasangnya di badanku sebelum keluar untuk menemui Aulion.

Sudah begitu lama aku mengenalnya. Aku bahkan bisa memahami suasana hatinya hanya dengan mendengar suaranya. Kali ini Aulion tampak berbeda. Suaranya sedikit parau. Aku tahu dia sedang tidak baik-baik saja. Oleh sebab itu tanpa basa-basi aku berlekas-lekas untuk menemuinya walaupun tak elok menerima tamu di tengah malam seperti ini.

Begitu membuka gerbang kos, aku langsung mendapati mobil Aulion. Segera aku berjalan menghampirinya dan langsung masuk ke dalam, duduk di sisi Aulion yang berada di balik kemudi.

Dugaanku tepat sasaran. Wajah Aulion terlihat kuyu. Rambutnya acak-acakan. Dia bahkan masih memakai setelan kerja meski bentuknya sudah tak keruan. Dasinya sudah hilang entah ke mana. Sementara dua kancing kemeja teratasnya dibiarkan terbuka. Pun dengan lengan kemejanya yang sudah digulung sampai ke siku.

Dari tampilannya saja aku sudah bisa menebak jika dia sedang tidak baik-baik saja. Tetapi kenapa? Apa karena aku yang beberapa hari belakangan terus menghindarinya? Bahkan, seharusnya malam ini adalah jadwalku menginap di apartemennya, tetapi aku lebih memilih untuk tidur di kosanku sendiri.

Aulion memiringkan posisinya, menghadap ke arahku dan langsung menyorotku dengan lekat. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya sampai detik kelima. Dan di detik selanjutnya aku malah menerima ciumannya di bibirku, sangat memaksa sampai aku terpojok hingga bahuku menabrak badan mobil.

Aku membiarkan Aulion menciumiku dengan ganas. Aku juga merindukannya setelah menghiraukannya selama beberapa hari ini. Tidak tega sebenarnya melakukan hal itu padanya, tetapi pikiranku memang sedang berantakan. Aku hanya butuh sendiri untuk beberapa waktu. Rasanya kini sudah cukup. Aulion tampak kacau dan aku tak mungkin mengabaikannya.

Pelan-pelan aku mulai bisa menikmati ciuman Aulion. Gerakannya mulai melembut dan aku pun mulai balas menciumnya. Kulingkarkan kedua lenganku di leher Aulion, mendorong belakang kepalanya untuk memperdalam ciuman kami.

Otakku seakan-akan membeku, tak lagi memikirkan jika kami akan tertangkap oleh satpam yang berjaga keliling. Kubiarkan Aulion melakukan apa yang dia suka. Termasuk menarik ritsleting jaketku dan menampakkan tubuh bagian atasku yang hanya terbalut oleh tanktop.

Tangannya mulai nakal ketika ciuman kami bertambah intim. Bergerak masuk ke dalam tanktop-ku, mencari payudaraku untuk diremasnya kemudian.

Erangan lolos dari mulutku saat bibir Aulion turun ke leherku, mengecup bahkan menggigit area tersebut. Remasannya di dadaku pun tak kunjung berhenti, malah semakin intens.

Sekitar lima menit berselang, Aulion akhirnya menarik tangannya dari dalam tanktop-ku bersamaan dengan ciumannya yang telah selesai. Aku mulai membuka kedua mataku yang entah sejak kapan terpejam, mendapati Aulion berada tepat di depanku dengan api gairah yang berkobar di maniknya.

“Malam ini tidur di apartemenku ya, Ra? Aku kangen,” ucapnya dengan suara seraknya dan sedikit paksaan tentunya.

Aku mencoba untuk mengendalikan napasku yang ngos-ngosan terlebih dahulu. Foreplay yang kami lakukan cukup menguras energi.

Are you okay, Mas?”

Yang keluar dari mulutku bukanlah jawaban atas pertanyaannya, melainkan pertanyaan lain yang memang sudah ingin kuutarakan sejak tadi. Hanya saja, Aulion lebih cepat menyerangku.

Kusentuh wajahnya dengan telapak tanganku, merasakan bakal janggut di sekitar dagunya. Entah kenapa sejak kedatangan Aulion ke sini, aku seakan memiliki firasat jika ada sesuatu yang ingin dia sampaikan padaku.

“Tadi aku ketemu Jihan, Ra.”

Instingku tak pernah meleset. Jawaban Aulion barusan membuatku sedikit kaget sekaligus kehilangan seluruh gairahku. Kutarik tanganku dari wajahnya, tetapi Aulion sempat menahan agar tetap berada di sana. Sayangnya aku tetap memaksa hingga tak terjadi lagi kontak fisik di antara kami.

Spekulasi dalam kepalaku mulai membentuk suatu pola, menghubungkan jika penampilan Aulion yang malam ini terlihat berantakan bukan aku penyebabnya, melainkan Jihan. Dia merasa tak terpengaruh dengan sikap tak acuhku beberapa hari ini, tetapi dengan Jihan dia berubah menjadi sosok lelaki yang begitu rapuh.

Seketika hatiku seperti dipukul oleh palu yang begitu besar, menimbulkan rasa sakit yang tak bisa dijabarkan seperti apa rasanya. Untunglah aku masih bisa mempertahankan raut normal dalam wajahku.

Aku menatap Aulion lamat-lamat, masuk ke dalam iris cokelat gelapnya lantas berkata, “Mas, kalo kamu masih belum bisa move on dari masa lalu kamu, apa nggak sebaiknya kita udahan aja?”

Suaraku terdengar bergetar di ujung kalimat. Aku paling menghindari ucapan perpisahan dengan Aulion, tetapi entah kenapa kali ini aku mengucapkannya dengan mudah.

Aulion terlihat membeliakkan matanya sebelum diserang oleh panik. Dia menarik tanganku ke dalam genggamannya dengan sedikit paksaan.

“Ra, kamu sadar barusan kamu ngomong apa?”

Aku memalingkan wajahku dari Aulion saat air mata hendak keluar dari tempatnya. Aku tak ingin menangis di depannya. Tidak sekarang.

“Udah malem, Mas. Kamu sebaiknya pulang,” ucapku yang mencoba untuk terdengar biasa saja sembari menarik tanganku dari genggaman Aulion.

Aku mengambil kesempatan secepat mungkin untuk keluar dari dalam mobil. Meski Aulion terus-terusan memanggil namaku dan mengejar langkahku, aku lebih dulu berhasil masuk ke dalam kos dan segera mengunci gerbangnya, meninggalkan pria itu yang masih menyerukan namaku dengan frustrasi.

Aku tak lagi memedulikan Aulion, sekalipun dia ingin bermalam di depan kosku. Kakiku terus melangkah, berjalan cepat menuju kamar dan segera berada di dalam selimut. Dan setelahnya tangisku benar-benar pecah.

•••

Gimana tanggapannya sama bab ini? Apa keputusan Tiara tepat?

Masih pada semangat mau baca kelanjutannya, kan?💃

Ketemu lagi besok, ya! Jangan lupa kolom komentarnya diramekan dulu❤

19 September, 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top