Bab 6

Hai! Sorry ya kemaren aku nggak sempet update😭

Pokoknya selalu ramekan kolom komentarnya, ya. Yok bisa yok 50 komentar🥲 jangan lupa vote juga.

Selamat membaca❤

•••

“Mas, aku numpang tidur sebentar boleh, nggak?”

Aku mengintip dari balik pintu yang hanya kubuka sedikit, menampilkan wajah paling melas kepada Aulion yang masih berada di ruangannya setelah jam istirahat berlalu sekitar lima belas menit lamanya.

“Masuk, Ra.” Aulion langsung mempersilakanku masuk di detik pertama setelah pertanyaanku terlontar.

Aku mengembuskan napas panjang, membawa langkahku yang terasa lemah menuju sofa di ruang kerja Aulion setelah sempat menutup pintu. Kujatuhkan tubuhku di atas sofa yang empuk. Memejam kemudian dengan kedua lengan yang terlipat di atas perut sembari mengenyahkan pikiran mengenai pekerjaan yang masih harus kubereskan setelah ini. Aku hanya butuh istirahat sebentar.

Suara langkah kaki seseorang terdengar di telingaku. Pikiranku tentu saja langsung mengarah pada Aulion karena memang hanya kami berdua yang berada di ruangan ini. Saat suara tapak kaki itu kian dekat, hidungku mulai mencium aroma parfum yang sudah sangat familier. Parfum milik Aulion.

Kuputuskan untuk tetap menutup mataku walau dalam pikiran aku mulai membayangkan apa yang sedang Aulion lakukan.

Sepertinya dia baru saja memosisikan dirinya di sisi sofa, entah itu duduk atau berdiri. Yang jelas belaian jemarinya kini terasa di rambutku, mengusap penuh kelembutan, membuatku kian cepat memasuki alam bawah sadar.

Sebelum aku benar-benar terlelap, aku sempat merasakan Aulion melepas kedua sepatuku lantas menutupi tubuhku dengan selimut. Hal terakhir yang kuingat adalah bibirnya yang jatuh di atas keningku, memberi kecupan kasih sayang di sana. Serta kalimat terakhir yang membawaku sepenuhnya masuk ke alam bawah sadar.

“Selamat tidur, Sayang.”

•••

Suara beberapa orang yang sedang mengobrol berhasil mengganggu tidurku. Aku memutar tubuhku ke kanan, lalu menarik selimut sampai ke ujung kepala guna menghalau suara-suara yang cukup berisik itu. Sayangnya usahaku gagal. Telingaku makin sensitif. Mau tak mau kuputuskan untuk menyudahi tidurku.

Aku kembali dalam posisi telentang setelah mengeluarkan diriku dari dalam selimut. Selama beberapa detik kuhabiskan untuk mengumpulkan kesadaranku. Masih dengan mata yang terpejam tentunya. Sedikit berharap aku bisa kembali melanjutkan mimpi yang terputus karena terbangun secara tiba-tiba seperti ini.

“Untuk hak asuhnya nanti gimana?”

“Kayaknya, sih, gue yang bakal menangin hak asuhnya nanti.”

Dahiku mengernyit saat lambat laun otakku mulai bekerja dan mendeklarasikan jika aku mengenal suara tersebut. Bukan suara Aulion, tetapi suara milik orang lain yang sedang berbincang dengan pria itu. Suara berat yang sedikit serak itu seperti sudah terikat dengan memoriku sehingga otakku bisa dengan cepat memberi respons.

“Semoga Sasa tetep bisa sama lo, Bro.”

Sasa?

Seketika mataku terbuka lebar walau tubuhku tak bergerak sama sekali. Rasa kantukku telah hilang sepenuhnya setelah mendapat jawaban tentang siapa seseorang yang kini tengah bersama Aulion.

Jantungku mulai menanggapi dengan menaikkan frekuensi degupannya. Entah kenapa aku merasa gugup dengan kehadiran sosok tersebut. Selimut yang berada di sisi tubuhku menjadi pelampiasan—kugenggam dengan erat.

Sejenak kubiarkan logikaku berpikir, memilih untuk menyapa sosok tersebut atau tetap berpura-pura tidur. Jika dia benar-benar orang yang sedang berada dalam dugaanku saat ini, maka aku belum menyiapkan mental untuk bertatap muka dengannya setelah bertahun lamanya kami tak bertemu.

“Ra? Kamu udah bangun?”

Sialan, Aulion.

Padahal, aku sudah memutuskan untuk pura-pura tidur dan menunggu sampai sosok tersebut pulang. Lagi pula, dari mana Aulion tahu kalau aku sudah bangun? Aku bahkan meminimalisir pergerakanku sejak tadi agar tidak terlihat mencurigakan.

Aku mencoba untuk kalem. Pertama-tama kutarik napas dalam-dalam terlebih dahulu sembari menenangkan detak jantungku yang melompat-lompat di dalam sana. Kemudian mengajak wajahku untuk berkompromi agar menampilkan ekspresi selayaknya aku benar-benar baru kembali dari alam mimpi.

Setelahnya aku melakukan peregangan sejenak sebelum membawa tubuhku bangkit dari posisi tidur menjadi duduk.

“Ada siapa, Mas?” tanyaku dengan suara lemah dan berlagak seperti orang linglung.

Okay, sejauh ini sandiwaraku cukup bagus.

Meski mencoba untuk santai, aku tetap merasa waswas menunggu respons dari kedua orang tersebut. Dan aku berharap semoga hanya ada mereka berdua di sana.

“Hai, Tiara! Apa kabar?”

Sialan!

Suaranya saat menyebut namaku tidak berubah sama sekali, masih terdengar begitu lembut dan penuh perhatian. Kali ini aku telah kehilangan pertahananku seutuhnya. Aku tak lagi bisa santai. Apalagi saat aku memalingkan wajahku ke arahnya dan pandangan kami bertemu, aku benar-benar menyerah pada keadaan.

•••

Rangga Tanuwijaya. Nama yang sudah lama tak terdengar di telinga. Pun dengan wajah yang tak pernah lagi tampak di mata. Menetap di luar negeri selama bertahun-tahun lamanya membuatku hampir melupakan sosoknya. Dan entah karena alasan apa, kini dia kembali.

Aku menelan ludah berulang kali untuk mengurangi rasa gugup yang berlebihan. Duduk di samping Aulion setidaknya bisa menyingkirkan sedikit ketidaknyamananku walau jemariku tak berhenti memilin ujung rokku.

“Jadi, kalian sekarang pacaran?” Mas Rangga kelihatan tidak enak kala menanyakannya, tetapi sepertinya dia terlalu penasaran hingga mau tak mau pertanyaan tersebut tetap disuarakan.

Aku tidak berani menjawab. Kuserahkan kepada Aulion karena dia yang lebih pantas memberi tahu perihal hubungan kami kepada mas Rangga. Lagi pula aku tak ingin salah jawab dan membuat semuanya menjadi berantakan.

“Nggak pacaran sih, Ga, tapi kita sama-sama komitmen untuk bareng-bareng terus.”

Berat kepalaku membuat gerakan mengangguk untuk membenarkan jawaban Aulion. Sampai detik ini pun aku tak benar-benar tahu siapa aku di dalam hidupnya. Hubungan kami sudah bejalan selama kurang lebih empat tahun lamanya. Kami bahkan berhubungan layakanya suami istri, tetapi di depan orang-orang, aku seperti tidak diakui oleh Aulion sebagai sosok yang penting dalam hidupnya.

Pikiran itu kadang kala ingin membuatku menyerah saja, menyudahi hubungan kami yang kurasa sudah tidak lagi sehat.

“Si Tiara jangan kelamaan dianggurin. Kasih kepastian, dong,” balas mas Rangga yang terdengar bercanda. Tetapi di dalam hati aku menyetujui ucapannya seratus persen.

Sementara Aulion hanya menanggapinya dengan tawa basa-basi. Lagi-lagi aku harus menelan kekecewaan karena dia tak langsung mengiyakan ucapan mas Rangga atau paling tidak menyanggahnya.

“Mas Rangga kapan balik ke Indonesia? Kok aku nggak dapet kabar apa-apa.” Kali ini aku memutuskan untuk bergabung dalam obrolan.

Sepertinya perasaan gugupku karena bertemu mas Rangga sudah teralihkan dengan perasaan lain yang tiba-tiba hadir dan membuat suasana hatiku berubah menjadi melankolis. Setidaknya aku mulai bisa bersikap sedikit lebih santai dan mulai berani menatap ke dalam bola mata mas Rangga saat dia berbicara.

Terlukis sebuah senyum di bibir mas Rangga, tetapi tidak mencapai matanya dan malah terlihat seperti dipaksakan.

“Aku bercerai dengan istriku, Ra.”

Di detik pertama aku hanya mampu mengedipkan mataku, menunggu sampai otakku benar-benar bisa mengolah informasi tersebut dengan baik. Lalu, di detik ketiga barulah aku menunjukkan keterkejutanku dengan mulut yang setengah terbuka dan kedua mata yang membelalak.

Kalau tidak salah dengar, mereka tadi sempat membahas tentang hak asuh Sasa—anak mas Rangga dan istrinya. Berarti benar jika mas Rangga telah bercerai?

Gila! Padahal, mas Rangga sudah menikah selama lima tahun lamanya.

Aku mengulum bibirku, menunduk dengan perasaan tidak enak setelah mendengar informasi tersebut. Aku turut sedih dengan pernikahan mas Rangga yang hanya seumur jagung. Padahal, dia pria yang sangat baik.

Untungnya Aulion berhasil membuang aura suram tersebut dengan mengalihkan topik pembicaraan. Aku pun sesekali ikut menimpali pembicaraan di antara mereka. Sekadar bertanya tentang pekerjaan dan kehidupan pribadi. Sampai pada akhirnya yang aku takutkan terjadi—mas Rangga membahas soal Jihan yang merupakan adik kandungnya.

“Udah dikabarin belum, Ra, kalo Jihan hari minggu nanti bakal tunangan?”

Mendapat pertanyaan tersebut, Aulion sepertinya langsung tersadar dengan keresahanku. Dia sempat melirik ke arahku sebelum tangannya bergerak membawa tanganku ke dalam genggamannya lantas memberi usapan kecil di sana.

Mas Rangga benar-benar tak tahu jika hubunganku dengan Jihan sudah tak sebaik dulu. Dia masih menganggapku sebagai sahabat baiknya Jihan.

“Ah, itu. Belum sih, Mas.” Aku mengusahakan bibirku untuk mengukir senyum.

Kenyataannya, aku sangat ingin berteriak di hadapan mas Rangga jika aku dan Jihan kini bersikap selayaknya musuh bebuyutan, tetapi aku tak sampai hati mengatakannya pada orang sebaik mas Rangga. Maka dari itu, bungkam adalah pilihan yang tepat.

“Anak itu kebiasaan. Masa sahabatnya sendiri nggak dikabarin,” gerutu mas Rangga.

Dan aku berharap ini adalah kali terakhirnya aku bertemu dengan mas Rangga. Aku tidak ingin berhubungan dengan siapa pun yang dekat dengan Jihan, termasuk mas Rangga yang dari dulu sudah kuanggap seperti kakakku sendiri.

•••

18 September, 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top