Bab 35
DOUBLE UPDATE!
Kudu banget bab ini diramein sampe kolom komentarnya tumpah-tumpah okeee😘😘
Selamat membaca❤
•••
Aku keguguran.
Dan itu adalah sebuah fakta yang tak bisa dielak kebenarannya.
Aku kembali pingsan usai mengamuk. Hari-hari berikutnya pun masih kulalui dengan kehisterisan, tak terima dengan janinku yang sudah tidak lagi menghuni rahimku. Perasaan sedih bergumul menjadi satu. Rasa hampa yang luar biasa pun ikut ambil bagian, seakan-akan aku sudah tak lagi memiliki jiwa dalam ragaku.
Awalnya aku merasa jika ini adalah akhir dari perjalananku. Aku juga ingin mengikuti jejak janinku. Aku juga ingin pergi dari dunia yang begitu kejam padaku. Tetapi bunda memberi beberapa nasihat yang membuatku berusaha untuk mencoba peruntunganku sekali lagi di dunia ini.
Kata bunda, aku masih punya bapak yang butuh perhatian dariku. Aku masih punya Aulion yang mungkin akan semakin hancur bila aku juga ikut pergi. Dan aku masih punya bunda serta keluarganya yang tak akan pernah berhenti menjadi support system-ku.
Kalau aku memilih untuk pergi, maka aku akan semakin dipenuhi penyesalan karena telah menyakiti hati orang-orang baik yang selama ini menyayangiku.
Kata bunda, aku harus bisa ikhlas. Barangkali Tuhan lebih menyayangi calon anakku. Masih banyak hal yang harus kulakukan di dunia ini, yang mungkin membuat Tuhan tidak ingin melibatkan anakku di dalamnya.
Aku mencoba untuk ikhlas, tetapi entah kenapa masih sulit bagiku untuk merelakan kepergian janinku meski sudah satu minggu berlalu.
“Mbak Tiara! Welcome home!”
Teriakan girang itu berasal dari Lana, yang menyambutku dengan heboh.
Aku mencoba melepaskan senyum walau tak mencapai mata. Lana langsung menubrukku, memelukku dengan hangat.
“Jangan sedih-sedih lagi ya, Mbak,” ucapnya.
Aku mendengkus geli seraya menepuk pelan punggungnya sebanyak dua kali sebelum mengurai dekapan kami.
“I am okay, Lana,” balasku, dengan tetap mempertahankan senyum dalam wajah.
Sudah cukup aku membuat khawatir keluarga Aulion selama beberapa hari belakangan karena tak bisa menghilangkan rasa sedih yang luar biasa sampai aku melakukan aksi mogok makan.
Syukurnya kesedihanku sudah berkurang sedikit demi sedikit saat ini. Tak separah tiga hari awal pasca keguguran, tetapi perasaanku kini menjadi hampa. Hatiku terasa kosong.
“Ayo, masuk,” ajak Aulion kemudian, merangkul pundakku dengan sebelah lengannya. Sedang yang satunya lagi digunakan untuk membawa ransel yang berisi keperluanku selama di rumah sakit.
Setelah bed rest total selama kurang lebih satu minggu, aku akhirnya diperbolehkan untuk pulang. Kondisi fisik dan mentalku sudah cukup membaik dan tak perlu lagi berada dalam pengawasan dokter.
Yang membuatku bisa bangkit secepat ini juga dikarenakan menerima kabar baik tentang bapak. Kondisinya sudah pulih seratus persen, dan dia sudah kembali dipindahkan ke rumah sakit jiwa.
Pulihnya kondisi kesehatan bapak membuatku tak harus mengawasinya lagi secara langsung. Ada dokter dan perawat yang akan mengawasinya selama dua puluh empat jam. Alhasil, aku diminta untuk tinggal bersama keluarga Aulion, di kediaman Atmaja yang selalu menyambutku dengan hangat.
Tadinya aku berniat untuk kembali ngekos, tetapi Aulion dan bunda langsung memberiku pelototan tajam, yang berarti jika aku tak mendapat persetujuan dari mereka.
Menggemaskan rasanya melihat kekompakan Aulion dan bunda dalam menjagaku selama satu minggu ini. Juga Lana, Ian, dan Anya yang tak henti merecokiku untuk kembali semangat. Tak lupa pula ayah yang diam-diam memerhatikan keadaanku walau tak dilakukan secara terang-terangan.
Melihat keluarga Aulion yang masih mau menerimaku setelah apa yang terjadi belakangan ini, aku yakin jika mereka adalah jelmaan malaikat. Mereka tak menghakimiku sama sekali. Menyimpan sendiri rasa penasaran mereka tentang kehamilanku. Mereka juga tak menatapku dengan pandangan jijik karena aku berasal dari keluarga yang berantakan.
Aku sangat amat takjub dan terharu dengan kebaikan hati keluarga Aulion.
Sekali lagi bunda benar. Aku tak seharusnya putus asa setelah kehilangan calon anakku. Masih banyak hal baik yang menungguku di depan sana. Dan aku harus tetap melanjutkan hidupku seberat apa pun masalah yang akan kembali kuhadapi nantinya.
“Nanti kalo aku udah bener-bener sehat, aku ngekos lagi aja ya, Mas?” tanyaku pada Aulion begitu kami tiba di kamar yang nantinya akan menjadi kamarku selama tinggal di kediaman keluarga Atmaja.
“Nggak usah ngomongin tempat tinggal kamu dulu. Sekarang fokus ke kondisi kesehatan dan mental kamu aja dulu,” jawab Aulion. Dia baru saja meletakkan ransel yang berisi barang-barangku ke atas sofa sebelum menyusulku yang tengah duduk di tepi ranjang.
“Tapi nggak enak kalo tinggal di sini terus.”
Aku mengikuti gerak-gerik Aulion sampai dia menjatuhkan bokongnya tepat di sisi ranjang yang kosong di sebelahku. Tubuhnya miring menghadap ke arahku dengan satu kakinya yang dinaikkan ke atas ranjang.
“Mau tinggal sama aku aja? Di apartemen.”
Aku berdecak dengan senyum yang perlahan hadir. “Udah siap dihajar bunda?”
Aulion terkekeh. Memahami maksud dari pertanyaanku.
Bunda masih menjunjung tinggi adat istiadat orang Indonesia kebanyakan. Dia jelas akan langsung menolak gagasan Aulion barusan walau kuyakin bunda sudah mengatahui jika dulunya aku sering menginap di apartemen Aulion.
“Nikah sekarang aja yuk, Ra?”
Sekali lagi Aulion memberi pertanyaan yang membuatku merasa geli. Dia mengajakku menikah seperti hendak mengajakku nonton bioskop.
“Aku serius,” ucapnya, menyadari raut jenaka yang kuperlihatkan sebagai anggapan jika pertanyaannya barusan hanyalah sebuah lelucon.
Aku menaikkan sebelah alisku tatkala menemukan wajah Aulion yang sudah dipenuhi keseriusan. Sepertinya dia memang sedang tidak bercanda.
“Tunggu di sini sebentar, ya.”
Dahiku makin mengerut dalam saat tiba-tiba saja Aulion pamit sejenak tanpa menjawab kebingunganku. Dia berjalan dengan langkah terburu-buru dan hilang dari pandanganku. Sementara aku tetap bertahan di sini seperti yang dia perintahkan.
Tak lebih dari tujuh menit kemudian Aulion kembali. Aku menyipitkan mataku saat melihat satu tangannya mengenggam sebuah benda kecil berbentuk kotak. Warnanya biru dan ... ah, itu adalah kotak cincin yang dia berikan saat melamarku waktu itu.
Jangan heran kenapa cincin tersebut bisa ada padanya. Aku memang sengaja mengembalikan cincin tersebut padanya di hari di mana aku memutuskan untuk menyudahi hubungan kami karena adu domba dari Jihan.
Ya, Jihan memang sengaja mengadu domba kami menggunakan rekaman pembicaraan lima tahun yang lalu. Masalah itu pun sudah Aulion jelaskan padaku. Dan tentu saja aku lebih memercayai Aulion ketimbang Jihan yang kehadirannya hanya untuk menghancurkan hidupku.
Masalah itu sudah clear. Apa pun alasan Aulion berbicara seperti itu sekitar lima tahun yang lalu, aku sudah tidak lagi peduli. Aku tidak hidup di masa lalu.
Mataku sontak membulat lebar saat Aulion tiba-tiba saja berlutut di hadapanku. Aku mengerjap beberapa kali dengan pandangan kaget sekaligus bingung.
“Menikahlah denganku, Tiara,” ujarnya, seraya menyodorkan cincin tersebut padaku dengan senyum lebar yang menghiasi wajahnya.
Ya, Tuhan! Dia melamarku lagi, tetapi kali ini dengan cara yang menggemaskan.
Aku mengangkat kedua tanganku untuk menutup mulutku yang menganga dan tak bisa mengeluarkan suara apa pun. Tetapi mataku berkilat geli, masih tak memercayai jika pria yang satu ini akan kembali melamarku.
“Harus dijawab?” tanyaku usai menyingkirkan kedua telapak tanganku dari mulut. Bibirku pun kini berkedut, menahan senyum yang hendak muncul.
Kedua belah bibir Aulion merekah semakin lebar, dan dia menganggukan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaanku.
“Memangnya aku bisa nolak?” ledekku, dengan senyum yang tak lagi bisa kutahan.
Tawa Aulion pun meledak bersamaan dengan posisinya yang berganti menjadi duduk di sisiku dan miring menghadap ke arahku sepenuhnya.
“Aku maksa,” ucap Aulion, yang tanpa basa-basi langsung mengambil tanganku dan menyematkan cincin tersebut di jari manisku. “Jangan dilepas lagi, ya.”
Aku mengangguk tanpa pikir panjang. Setelah serangkaian cobaan yang menghadang hubunganku dengan Aulion, mana mungkin aku mau melepasnya lagi. Aulion benar-benar pria terbaik dalam hidupku. Aku tidak akan pernah meninggalkannya lagi.
Tidak akan pernah.
Cincin tersebut kini sudah terpasang dengan sempurna di jariku. Aku menaikkan tatapanku dan netraku langsung bersirobok dengan milik Aulion yang menunjukkan binar yang sama dengan milikku. Binar yang dipenuhi kebahagiaan. Lalu, kucondongkan tubuhku ke arahnya untuk memeluknya.
“Terima kasih untuk semuanya,” lirihku, yang terlalu bingung harus menyampaikan rasa beruntungku mendapatkan pasangan sebaik dirinya dengan kata-kata seperti apa. “I love you.” Dan hanya kalimat itulah yang bisa kusurakan untuknya, mewakili rasa terima kasihku pada sosoknya yang selalu ada di sampingku dalam keadaan apa pun.
Aulion mengeratkan dekapannya padaku. Bisa kurasakan senyum tengah menaungi bibirnya saat ini.
“I love you too, Tiaraku sayang.”
•••
Udah siap ketemu ending?
Btw, buat yang mau baca cerita ini dari sudut pandang Aulion, jangan lupa mampir ke Karyakarsa, ya. Ada 2 chapter yang bisa dibaca secara gratis kok💃
Ketemu lagi besok kalo bab ini rame🙌
9 November, 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top