Bab 27

HAI! Aku muncul lagi hari ini🤗

Seneng nggak ketemu Tiara dan Aulion setiap hari? Kalo seneng, selalu vote dan komen yang banyak ya biar aku update mulu sampe kalian bosen🤪🤭

Selamat membaca❤

•••

Detik-detik pertama kulalui dengan keterdiaman. Mataku hanya terfokus pada bapak dengan tubuh yang menegang. Degup jantungku melonjak di dalam sana. Bersamaan dengan itu pula suasana di sekitarku berubah hening. Tak ada lagi keriuhan yang terjadi.

Lututku terasa lemas, tetapi aku tetap memaksa untuk berdiri. Sudut mataku juga menangkap jika Aulion ikut berdiri seperti halnya diriku.

Selanjutnya, kubawa kedua kakiku melangkah menghampiri Jihan. Mataku menggelap dengan bibir yang bergemelutuk penuh amarah. Aku bahkan sudah tak peduli lagi dengan siapa aku berada saat ini. Aku tak peduli aksiku menjadi tontonan keluarga Aulion.

Tiba di hadapan Jihan, aku masih dapat menyaksikan senyum mengejek dalam wajahnya, yang makin membuat alirah darahku menggelegak kepanasan di dalam sana. Tetapi kemudian senyum itu sirna saat kugenggam satu tangan Jihan dan tanpa tedeng aling langsung menyeretnya ke dalam.

Seretanku cukup untuk membuat Jihan mengaduh. Lantas, kuentakkan tanganku dan membuatnya tersungkur beberapa langkah di depanku walau dia masih bisa menyeimbangkan tubuhnya dan kini dalam posisi membungkuk.

Jihan memang lebih tinggi dariku, tetapi badannya begitu kurus dan terasa ringan hingga aku mudah mendorongnya sedemikian rupa. Dan aku cukup puas dengan apa yang baru saja kulakukan.

Aku tidak berhenti sampai di situ. Kakiku kembali mendekatinya secepat kilat. Belum sempat Jihan menegakkan posisi berdirinya, aku sudah lebih dulu mendapatkan lehernya dalam cengkeramanku.

Di saat yang sama, aku mendengar suara teriakan bapak di belakang sana, yang membuat hatiku teriris perih. Disusul oleh pecahan kaca yang terdengar memekakkan telinga. Dan hal itu malah membuatku kian termotivasi untuk mencekik Jihan lebih kuat.

Ledakan amarah telah benar-benar membutakanku. Aku bahkan sudah tak peduli dengan kericuhan seperti apa yang terjadi di belakangku. Aku hanya berfokus pada Jihan.

Teriakan bapak pun tak berlangsung lama setelah kudengar beberapa langkah kaki yang berlarian di sekitarku. Dan setelahnya aku dipaksa untuk melepas cekikanku pada Jihan.

“Ra! Sadar, Ra!”

Teriakan Aulion menelusup ke dalam telingaku. Dia menarik paksa kedua tanganku dari leher Jihan dan berhasil dalam sekali percobaan.

Seketika aku tersadar dengan perbuatanku barusan. Napasku terengah-engah tatkala dadaku dipenuhi sesak. Kedua kakiku terasa lunglai dan nyaris jatuh kalau saja Aulion tak memegangi tubuhku.

Air mata perlahan menetes dari kedua mataku. Sebutir, dua butir, dan bertambah deras tiap detiknya. Wajahku terasa panas dengan rona kemerahan yang kuyakin sudah menjadi bagian dari mukaku.

Kedua tanganku gemetar hebat dengan telapak yang menengadah. Sementara manikku menatap kosong ke arah telapak tanganku yang baru saja kugunakan untuk mencekik Jihan. Tetapi lama-kelamaan pandanganku buram karena air mata yang kian banyak.

Aulion juga sudah memapahku, membantuku duduk di atas lantai. Dan aku berakhir dalam dekapannya.

Segera kulingkarkan kedua lenganku di seputaran perutnya dengan jemari yang menggenggam erat kausnya. Aku kembali menangis dalam pelukannya, terisak pilu. Aku tahu keadaan di sekitarku sudah tak kondusif karena perbuatanku, tetapi aku sungguh tak peduli sama sekali. Barangkali bunda akan mencaci makiku setelah ini karena telah merusak liburannya.

“Bapak,” lirihku, begitu teringat dengan bapak yang entah bagaimana bisa berada di sini. Aku mengangkat kepalaku, menatap Aulion dengan wajah dan rambut yang acak-acakan. “Bapak di mana?”

Seketika aku menjadi panik. Cepat-cepat bangkit berdiri dengan sorot yang berpendar ke sekeliling ruangan. Pasalnya, aku sempat mendengar bapak berteriak dengan suara pecahan kaca setelahnya.

“Shh ... tenang, Ra.”

Aulion menghentikan kepanikanku dengan cara memegang kedua pundakku, memaksaku untuk menatap ke arahnya.

“Bapak mana, Mas? Aku mau ketemu Bapak,” racauku dengan air mata yang kembali merebak. Dan aku menggeliat dalam pegangan Aulion, ingin melepaskan diri darinya, mencari bapak yang sudah tak tampak lagi dalam penglihatanku.

“Bapak udah sama Ian, lagi dibawa ke rumah sakit.”

Pergerakanku yang ingin membebaskan diri dari Aulion terhenti seketika. Secercah kelegaan hadir memenuhi diriku, dan aku menjatuhkan tubuhku dalam dekapannya.

“Anterin aku ketemu Bapak, Mas,” pintaku, dengan suara yang teramat pelan.

Aku merasakan anggukan Aulion di atas kepalaku sebelum mataku memejam perlahan dibarengi dengan tubuhku yang terasa lemas luar biasa. Lalu, aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya karena kegelapan sudah lebih dulu merenggut kesadaranku.

•••

Gelap masih melingkupi. Tak ada cahaya sama sekali. Aku menyadari kelopakku bergerak beberapa kali, mencoba mencari kesadaranku yang sempat hilang.

Kupaksa membuka kedua mataku sembari menggerakkan jemariku yang terasa kebas. Di detik pertama mataku terbuka, aku langsung menutupnya kembali, merasa sangat silau dengan cahaya yang masuk ke dalam retina.

Aku menghitung sampai sepuluh di dalam hati dengan dahi yang mengkerut. Samar-samar kurasakan belaian lembut di satu lenganku. Sekali lagi kucoba membuka mata, mengedip beberapa kali sebelum mataku benar-benar terbuka.

Pandanganku menyipit secara refleks saat berusaha menyesuaikan cahaya matahari yang menelusup lewat ventilasi jendela. Setelah berhasil, segera kutelengkan kepalaku ke sisi kanan dan langsung menemukan Aulion di sana.

“Hey.” Suara lembutnya yang sedikit serak terdengar di telingaku, dan aku mencoba menerbitkan senyum walau wajahku terasa kaku.

Aulion bangkit dari duduknya hanya untuk melepas masker oksigen yang menutupi hidung dan mulutku. Dia juga tak langsung duduk, membungkuk dengan wajah yang menatap cemas ke arahku. Jemarinya juga bergerak mengusap satu sisi wajahku.

“Aku panggil dokter dulu, ya,” ucapnya, memberi kecupan panjang di dahiku.

Aku tak menahannya meski banyak sekali perkataan yang ingin kuutarakan padanya.

Aulion kembali memasang masker oksigen padaku, lantas meremas tanganku sekejap sebelum berbalik dan meninggalkanku seorang diri.

Aku menatap ke langit-langit kamar yang serba putih. Tubuhku saat ini terasa lemas. Pegal luar biasa juga kurasakan di bagian punggungku. Tak heran bila tanganku kini tertancap jarum infus sebagai tambahan tenaga.

Entah jam berapa sekarang. Tak ada satu pun jam yang terpasang di dinding kamar inapku. Aku juga tak menemukan keberadaan ponsel sama sekali. Yang jelas, malam telah berlalu.

Entah seperti apa lanjutan dari kegaduhan yang kubuat tadi malam. Aku memang mengkhawatirkan pandangan keluarga Aulion terhadapku. Apalagi saat itu aku pingsan dan Jihan masih berada di sana, yang mungkin membocorkan tentang latar belakang keluargaku pada ayah dan bunda.

Namun, yang paling mendominasi pikiranku saat ini bukanlah hal tersebut, melainkan keadaan bapak.

Jihan sungguh keterlaluan. Aku bahkan menerima kabar dari dokter yang merawat bapak selama ini jika keadaannya sedang tidak stabil beberapa hari belakangan. Ditambah lagi persoalan penyakit jantungnya yang bisa kambuh kapan saja.

Setelah ini, kupastikan akan menuntut rumah sakit jiwa tempat bapakku dirawat karena telah lalai membiarkan Jihan yang bukan keluargaku membawa bapak sampai ke sini.

Selang beberapa menit sejak kepergian Aulion, pria itu kembali dengan seorang dokter. Aku langsung diperiksa sedemikian rupa dan tak perlu lagi menggunakan bantuan oksigen.

Katanya aku hanya kelelahan dan perlu asupan makanan yang cukup, terutama di saat hamil seperti ini.

Seketika aku mematung di tempat saat dokter menyebut tentang kehamilanku secara terang-terangan di depan Aulion. Begitu dokter telah selesai memeriksaku, pandanganku langsung terarah pada Aulion yang sudah kembali duduk di kursi yang diletakkan tepat di samping ranjang.

“Aku tahu,” ucap Aulion, seolah mendengar isi kepalaku. Bibirnya menyunggingkan senyum walau tak mencapai matanya.

“Mas.” Suaraku tak bisa keluar sama sekali karena tenggorokan yang begitu kering. Hanya bibirku saja yang bergerak memanggilnya.

Aulion begitu peka dan langsung memberikanku air mineral. Serta-merta kuangkat kepalaku sedikit. Bibirku menyentuh ujung sedotan dan mulai membasahi tenggorokanku secara perlahan.

“Jadi, yang kemarin bukan asam lambung, hm?” tanya Aulion setelah aku selesai minum.

Kepalaku kembali jatuh di atas bantal. Dan aku hanya menjawabnya dengan sebuah anggukan. Mewanti-wanti kemarahannya yang mungkin akan muncul karena lagi-lagi aku berbohong padanya.

Namun, yang kutemukan malah sebaliknya. Aulion tampak santai dengan senyum di satu sudut bibirnya. Kemudian tangannya kembali menggenggam tanganku dan yang satunya lagi dijatuhkan di atas perutku.

“Kita rawat sama-sama, ya,” kata Aulion seraya mengusap perutku dengan matanya yang menatap teduh ke arahku.

Mendadak tubuhku yang sedari tadi menegang berangsur-angsur rileks. Senyum mulai hadir dalam wajahku. Kubalas genggaman Aulion dan tanpa sadar sebulir air mata menetes dari pelupuk mataku.

Aku merasa lega dengan reaksinya tentang kehamilanku.

Sangat amat lega.

Aulion menerima kehadiran janin yang kini tumbuh dalam rahimku. Darah dagingku. Darah dagingnya.

•••

Urusan sama Aulion udah aman, tuh. Tinggal sama keluarganya aja, nih. Kira-kira gimana respons bunda pas tau Tiara lagi hamil?

Besok ketemu lagi, nggak?

25 Oktober, 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top