Bab 25

HAI! Ketemu lagi sama rora💃

Maapin nggak bisa update selama dua hari kemaren😭 nanti aku ganti pake double update ya kapan-kapan ehehe

Btw, bab ini lebih panjang dari biasanya. Jadi, kudu diramein pokoknya. Vote dan tulis komentar kalian tentang bab 25 ini🤗

Selamat membaca❤

•••

Aku bergelung di balik selimut. Tubuhku gemetar. Denyutan menyebar di sekitar kulit kepalaku, membuat efek pening hingga aku ingin merasa jatuh tiap kali bangkit dari tidurku.

Tunggu gue, Ra. Lo bakal hancur bareng gue.

Kalimat ancaman Jihan kemarin sore terus memenuhi benakku, tak memberikan tidur yang nyenyak dan membuatku mendapatkan mimpi buruk yang parah.

“Mbak, aku panggilin Abang aja, ya?”

Pertanyaan itu disuarakan dengan nada cemas. Suara milik Lana yang sedari tadi duduk di pinggir ranjang sambil mengecek suhu badanku dengan meletakkan punggung tangannya di dahiku.

“Mending ke klinik di deket sini aja. Kamu menggigil mulu, lho, Mbak dari pagi.”

Suara lainnya ikut menimpali. Meski kedua mataku memejam sejak tadi, aku tahu jika suara itu milik Anya, yang sama khawatirnya dengan Lana.

Selama menginap di vila milik keluarga Aulion, aku memang menempati kamar yang paling besar bersama Lana dan Anya. Tidak mungkin aku dan Aulion berada dalam satu kamar yang sama di saat ayah dan bunda juga berada di sini.

Aku memang sudah merasa tidak sehat sedari malam tadi. Makan malamku juga tak habis karena perut yang benar-benar terasa mual, tetapi aku berhasil menyembunyikannya dari Aulion.

Menjelang tidur, perutku semakin bergolak parah dan membuatku harus memuntahkan seluruh isi makan malamku. Lana dan Anya menyaksikannya langsung, tetapi aku memaksa mereka untuk tidak memberi tahu siapa pun, terutama Aulion. Aku tidak ingin merusak suasana sama sekali.

Sialnya, tubuhku terasa makin parah saat subuh tadi. Udara dingin serasa menusuk-nusuk kulitku bagai jarum yang tajam. Dan aku berakhir menggigil sampai matahari perlahan mulai naik ke peraduannya.

“Mbak nggak apa-apa.” Aku menarik napas panjang ketika angkat suara. “Ini cuma karena udaranya lagi dingin banget aja,” tambahku, yang perlahan mulai memaksa kedua mataku untuk terbuka.

“Kalo gitu minum obatnya, Mbak.” Nada suara Anya berubah sedikit jengkel.

Dia sedari tadi memang menawariku untuk minum obat, tetapi perutku benar-benar tak bisa diajak kompromi dan aku yakin obat yang nantinya baru mencapai tenggorokanku akan langsung kumuntahkan.

“Biar aku gerus obatnya,” ucap Anya pada akhirnya, mutlak dan tak ingin mendengar pendapatku terlebih dahulu.

Anya langsung menghilang dari pandanganku dalam sekejap. Dan aku tak bisa berbuat apa pun selain menyetujuinya.

“Aku takut banget lihat Mbak Tiara kayak gini. Aku panggilin Abang aja, ya?”

Tatapanku beralih pada Lana. Meski mataku terasa sayu, aku masih bisa melihat dengan jelas jika Lana duduk di pinggir ranjang dengan lututnya yang bergerak gelisah, benar-benar mengutarakan kekhawatirannya padaku.

Aku menarik selimut yang sempat merosot karena pergerakanku. Lalu menggenggamnya erat-erat dan mencoba memberikan senyum pada Lana walau tak mencapai mata. Hanya sudut-sudut bibirku saja yang bergerak.

“Jangan bilang Abang ya, Na. Please.” Aku memohon pada Lana dengan suara yang menghilang di ujung kalimat. Tenggorokanku terasa tercekat dan kering.

Lana tak berkata apa pun. Hanya mendesah panjang dan kedua kakinya bergerak semakin cepat. Pandangannya juga sesekali dialihkan dariku, berlabuh pada pintu kamar. Mungkin tidak sabar menunggu Anya kembali ke sini karena dia terlihat kebingungan menghadapiku seorang diri.

Tak lebih dari lima menit kemudian, Anya muncul dengan piring kecil yang berisi obat yang sudah berbentuk butiran halus serta segelas air hangat untukku.

“Ayo, Mbak, aku suapin obatnya,” kata Anya, mengambil alih tempat duduk Lana sebelumnya dan membuat gadis itu berdiri di belakangnya.

Kali ini aku menuruti Anya. Mencoba duduk dengan dibantu olehnya. Kepalaku terasa beputar-putar begitu aku sudah dalam posisi duduk. Mataku memejam seketika dengan dahi yang mengerut dalam, dan aku merintih kesakitan.

“Kita pulang sekarang.”

Saat masih mencoba menyeimbangkan tubuhku yang sedikit oleng, tiba-tiba saja telingaku mendengar suara berat yang terkesan dingin. Dan ketika mataku kembali terbuka, manikku langsung beradu pandang dengan Aulion yang entah bagaimana bisa berada di kamar ini.

Sial!

Aku mengumpat di dalam hati bersamaan dengan ketegangan yang berangsur-angsur mulai memenuhi tubuhku.

“Kalian berdua keluar. Biar aku yang urus Tiara.” Dia mengusir Lana dan Anya yang sama kagetnya denganku. Kedua gadis itu tak bisa membantah Aulion yang ekspresinya tampak menyeramkan, dan berakhir meninggalkanku bersamanya.

Aulion langsung menutup pintu kamar begitu Lana dan Anya tak lagi berada di sini. Dia berjalan menghampiriku dengan langkah lebar. Tatapan tajamnya menghunusku begitu lekat. Sementara aku mengaku kalah. Kepalaku kutundukkan perlahan, tak berani menatap sorotnya yang begitu dingin.

Dia duduk di pinggir ranjang, tempat yang diduduki Lana dan Anya sebelumnya. Aku belum berani mengangkat kepalaku sepenuhnya, hanya melirik pria itu lewat sudut mataku dengan jemari yang bertaut gugup di dalam selimut.

Dalam pandanganku, dia tampak sedang memindahkan obat yang sudah digerus ke dalam sendok. Lalu, menambahkan sedikit air di sana dan mengaduknya agar tercampur rata.

“Buka mulut kamu.”

Selanjutnya, Aulion menyodorkan sendok berisi obat tersebut padaku. Mau tak mau kunaikkan pandanganku walau fokusku hanya kutautkan pada sendok tersebut, masih belum berani menatap tepat ke mata Aulion sama sekali.

Aku menuruti perintahnya tanpa protes, membuka mulut dan melahap obat tersebut. Buru-buru kutelan obat tersebut walau awalnya terasa susah. Rasa pait menyebar di seluruh mulut sampai ke bibirku. Dan aku kembali memejam dengan wajah mengernyit.

Kali ini Aulion menyodorkan segelas air hangat padaku. Langsung kuterima dengan cepat dan meneguknya sampai sisa-sisa obat yang menyebar di mulutku menghilang. Tetapi bersamaan dengan itu, rasa mual kembali menerjangku.

Kuhentikan meminum air hangat tersebut dan beralih menutup mulutku dengan telapak tangan. Perutku sudah bergejolak di dalam sana.

“Mau muntah?” tanya Aulion, berubah panik dan posisi duduknya makin dekat denganku.

Dia mengambil gelas dari tanganku, memindahkannya kembali ke atas nakas dan buru-buru mengusap punggungku.

Dua menit kemudian, kutarik telapak tangan dari mulutku. Napas panjang berangsur-angsur keluar. Aku bisa menahan diri untuk tidak muntah walau napasku setelahnya berubah jadi terengah-engah, seakan-akan seluruh udara menguap dari paru-paruku.

“Kita ke rumah sakit sekarang,” kata Aulion, bernada tegas dan pantang dibantah.

Aku yang sudah merasa begitu lemas tidak memberi respons apa pun. Kujatuhkan dahiku bersandar pada satu pundaknya, menunggu sampai napasku kembali normal. Sementara Aulion terdengar menghela napas beberapa kali. Belaiannya di punggungku juga sudah naik ke rambutku. Dan perlahan mataku kembali terkatup.

•••

Jam sepuluh pagi, saat matahari naik semakin tinggi, tubuhku tak lagi menggigil. Hanya pening yang saat ini masih tersisa. Perutku juga sudah tak terlalu mual karena bunda membuatkanku semacam jamu.

Kedatangan Aulion yang tiba-tiba membuat satu vila mendadak heboh. Berita tentangku yang terserang sakit langsung menyebar. Bunda adalah orang yang paling berisik saat tahu aku sakit—walaupun aku sedikit senang mendapat perhatian lebih darinya.

Tetapi tetap saja aku merasa tak enak hati karena merusak liburan keluarganya.

“Bunda pokoknya mau ikut,” ucap bunda, saat aku dan Aulion bersiap untuk pergi ke klinik terdekat.

Aku tersenyum pada bunda walau senyumku masih tampak lemah. “Aku sama Mas Aulion aja nggak papa, Bun.”

“Aulion mana tahu soal penyakit-penyakit gitu. Jadi, kamu pergi sama bunda aja.”

“Bun.” Aulion menegur bunda, tampak jengah dengan bunda yang selalu bersikap berlebihan.

“Lebay banget, sih, Bun. Yang nanti meriksa Mbak Tiara juga bukan Abang, tapi dokter.” Ian yang baru kembali dari dapur dengan sekaleng minuman soda ikut menimpali, yang tentunya langsung mendapat pelototan tajam dari bunda.

“Aku sama Mas Aulion aja, Bun,” ucapku, menyentuh lengan bunda dan mengusahakan untuk menerbitkan senyum yang jauh lebih lebar.

Bunda tampak mengembuskan napas panjang dan gantian menyentuh tanganku. Mengangguk pada akhirnya. “Pokoknya kalo ada apa-apa, langsung telepon Bunda ya, Nak,” katanya, mengubah sentuhannya pada rambutku.

Aku langsung menganggukkan kepalaku, mengiyakan permintaan bunda. Setelahnya, aku segera pergi ke klinik bersama Aulion.

Jarak ke klinik tak terlalu jauh. Kata Anya hanya memakan waktu sekitar lima belas menit saja. Tetapi di sepanjang jalan, perutku kembali terasa mual karena jalan yang tidak rata. Aku lantas mengatupkan bibirku rapat-rapat sambil mengusap-usap perutku sendiri.

“Mual lagi?” tanya Aulion, yang sepertinya menyadari gelagatku.

Aku menoleh padanya sambil menggigit bibir bawahku, lalu mengangguk tanpa suara.

“Setelah cek kondisi kamu, kita pulang aja, ya.”

Kalimat Aulion barusan tidak terdengar seperti sebuah pertanyaan. Matanya juga tak sekalipun melirik ke arahku. Barangkali dia masih marah karena aku yang mencoba menyembunyikan rasa sakitku darinya.

Kepalaku kembali kutolehkan ke luar jendela, menghela napas panjang tanpa menjawab Aulion sama sekali.

Tentu saja aku ingin mendebatnya, menolak untuk pulang, tetapi dalam kondisiku yang seperti ini sangat tidak memungkinkan. Yang ada perutku malah bertambah sakit. Jadi, kali ini aku memutuskan untuk tetap diam.

Tak lama kemudian, kami tiba di sebuah klinik yang masih menggunakan bangunan lama. Kondisi pagi ini juga terbilang cukup sepi. Hanya terlihat beberapa suster yang lewat.

“Aku sendirian aja, Mas,” tukasku saat aku sudah dipanggil untuk melakukan pemeriksaan.

Aulion sudah dalam posisi berdiri sepertiku. “Aku ikut.”

“Mas,” tegurku dengan suara yang begitu lelah.

Di dua detik pertama Aulion hanya diam menatapku tanpa ekspresi apa pun, tetapi kemudian dia mengangguk dan kembali duduk seperti sebelumnya. Dan aku pun segera memasuki ruangan dokter.

Dalam beberapa menit, dokter wanita yang mungkin seumuran dengan bunda bertanya padaku dengan ramah. Entah sudah berapa pertanyaan yang dilontarkan olehnya. Pertanyaan yang entah kenapa membuatku merasa waswas seketika.

Lantas, ketika dokter tersebut memintaku untuk melakukan USG, jantungku langsung terpompa dengan cepat di dalam sana.

Aku pun kini sudah dalam posisi berbaring, merasakan gel yang dioleskan di atas perutku dengan kegundahan yang makin mendominasi.

“Selamat ya, Ibu, atas kehamilannya.”

Aku menatap dokter tersebut dengan mata yang berkedip sebanyak dua kali dan mulut yang setengah terbuka. Benakku masih berusaha mencerna ucapannya.

“Ha-hamil?”

Dokter tersenyum dan mengangguk padaku. “Perkiraan usianya baru tiga minggu.” Dia menunjuk ke arah monitor untuk menunjukkan titik kecil yang ada di sana, yang merupakan janin yang kini tumbuh dalam rahimku. Dan aku tak bisa berkata-kata lagi setelahnya.

•••

Siapa yang udah nebak kalo Tiara emang lagi hamil? Selamat! Kalian cocok jadi cenayang🤭🤣

Ketemu lagi besok kalo bab ini rame sampe ratusan komen wkwk. Kalo gak rame, ketemu hari senin😋

23 Oktober, 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top