Bab 23

HAI! Maaf kemaren nggak bisa update😭

Seperti biasa ya, jangan lupa vote dan ramekan kolom komentarnya! Yuk bisa yuk komen yang banyak🔥

Selamat membaca❤

•••

“Enak, Mas, di situ.”

“Di sini?”

Aku mengangguk singkat dan membiarkan Aulion mempertahankan pijatannya di bagian belakang leherku. Sementara kedua mataku memejam, menikmati gerakan jemarinya di sana sambil sesekali mengerang keenakan.

Seharian ini aku merasa tidak enak badan. Perutku terus bergejolak, seperti sedang diaduk-aduk sedemikian rupa, mendatangkan mual hingga sarapan yang kusantap pagi tadi harus berakhir menjadi muntahan.

Malam harinya aku tidak menginap di apartemen Aulion dan harus berjuang dengan rasa sakit di perutku seorang diri. Syukurlah selang satu jam kemudian, usai beristirahat sejenak dan menelan sebutir obat pereda mual, aku bisa berangkat kerja meski terlambat.

“Tadi malem makan apa?”

“Makan kayak biasa, Mas. Nggak yang aneh-aneh.”

Bila perutku sedang sakit, dugaan Aulion pasti langsung jatuh pada makanan yang kumakan. Sebab, aku memang sering kali menyantap makanan-makanan tak sehat. Tetapi sungguh, tadi malam aku memang tidak memakan yang aneh-aneh.

“Terus kenapa bisa sampe muntah gitu?”

Aku memang menceritakan pada Aulion apa yang kualami pagi tadi karena selama jam kerja, pria itu tak henti merecokiku demi mendapat alasan sejujur-jujurnya tentang keterlambatanku. Sudah kuberi kebohongan, tetapi sialnya Aulion sangat pandai menebak jika aku sedang berdusta.

“Masuk angin kayaknya,” jawabku, seraya mengedikkan kedua bahuku. “Udah, Mas,” ucapku kemudian, meminta Aulion untuk menyudahi pijatannya yang langsung disanggupi tanpa bantahan.

“Kita nggak usah ikut liburan bareng keluarga aku aja, ya?”

Aku membetulkan posisi dudukku, yang tadinya bersila di depan Aulion yang duduk dengan punggungnya yang disandarkan pada lengan sofa, kini memutar tubuhku ke arahnya. Pelototan langsung kulayangkan untuknya begitu kami sudah saling berhadapan.

“Nggak mau!” jeritku sambil mengerutkan bibirku ke depan, menghadangnya dengan penolakan secara terang-terangan.

“Kamu lagi sakit gini, lho.” Aulion tak mau kalah.

Wajahku mengerut dengan bibir yang sudah melengkung ke bawah. Aku menyipitkan kedua mataku padanya dan buru-buru menarik lengannya untuk masuk dalam genggamanku.

“Nggak mau, nggak mau, nggak mau! Pokoknya aku mau ikut!” Aku kembali menjerit seperti sebelumnya, tetapi kali ini nadaku berubah menjadi sebuah rengekan sambil menarik-narik kedua lengan Aulion seperti halnya anak kecil yang tengah merajuk.

Sedikit perubahan hadir dalam ekspresi Aulion. Bibirnya juga tampak berkedut menahan tawa, tetapi dia menahan agar air mukanya tetap lurus.

“Mas!” Aku mengentakkan tangannya dengan kesal yang disusul oleh genggaman kami yang terlepas. Kemudian melipat kedua tanganku di depan dada dan buang muka.

Pada akhirnya Aulion tak dapat menahan tawanya. Ledakan tawanya menyelinap ke dalam pendengaranku dan nyaris membuat bibirku menerbitkan senyum.

“Kamu udah 26 tahun, Sayang. Nggak cocok ngambek-ngambekan gini,” tukas Aulion seraya merangkum wajahku dan memutarnya untuk saling berhadapan kembali. Sisa-sisa tawanya juga masih terlihat jelas lewat senyum tipis di bibirnya.

“Aku masih 25,” protesku, mengoreksi ucapannya yang tak sesuai fakta.

“Bulan depan udah 26.” Aulion menjulurkan lidahnya di akhir kalimat.

Aku hanya menanggapinya dengan decakan dan putaran bola mata.

Ada jeda singkat yang menyelinap di antara kami. Dan itu digunakan Aulion untuk terus memandangiku dalam jarak yang dekat. Jarinya juga sibuk bergerak mengusap pipiku yang malam ini terlihat jauh lebih pucat dari sebelumnya. Sedangkan aku masih bertahan dalam kecemberutan.

“Mas!” Aku menjerit kaget saat Aulion tanpa aba-aba memegang pinggangku lantas mengangkatku dengan mudah ke atas pangkuannya.

“Hmm?”

Dia tampak tak merasa bersalah sama sekali. Bibirnya malah membentuk cengiran lebar. Berbanding terbalik dengan ekspresiku yang sudah sepenuhnya berubah. Mataku bahkan masih terbuka lebar.

“Ih, nyebelin!” Aku mencebikkan bibirku dan melayangkan beberapa pukulan kecil di lengan atasnya, yang malah membuat tawa Aulion kembali terdengar, bahkan lebih kencang dari sebelumnya.

Kendati sempat protes dengan tindakannya tersebut, aku tetap tak beranjak dari atas pangkuannya, malah membetulkan letak kedua kakiku yang sebelumnya terlipat di atas sofa menjadi memeluk pinggang Aulion. Lenganku juga ikut berpindah melingkari lehernya.

Lagipula, aku suka posisi seperti ini.

Duduk di pangkuannya menjadi favoritku.

“Pokoknya besok tetep ikut, ya.” Aku kembali buka suara, menyambung topik sebelumnya.

Aulion tersenyum, tetapi tak langsung menanggapi ucapanku. Wajahnya condong ke depan dan berhenti sampai bibirnya menyentuh garis leherku, menanamkan dua kali kecupan singkat di sana yang membuatku otomatis menggeliat kegelian.

“Iya. Besok tetep ikut setelah kita periksa keadaan kamu di dokter, ya,” balas Aulion, menengadahkan kepalanya kepadaku yang jadi sedikit lebih tinggi beberapa senti darinya karena berada dalam pangkuannya. Di akhir kalimat, dia juga sempat mencuri ciuman kilat di bibirku.

Mimik cemberutku kembali hadir. Bukan karena ciuman tiba-tibanya, melainkan perkataannya yang akan membawaku ke dokter. Jujur saja, aku paling tidak suka berurusan dengan dokter untuk diriku sendiri.

Aku terbiasa mengatasi semuanya seorang diri. Selagi sembuh dengan mengonsumsi obat, maka tak perlu repot-repot pergi ke dokter. Aku jadi rutin pergi ke dokter sejak mengenal dekat Aulion.

Karena kebiasaan itu, aku jadi lebih sering menyarankan Aulion untuk memeriksakan dirinya ke rumah sakit meski hanya terserang flu biasa. Tetapi tetap pada pendirianku di awal, aku lebih suka untuk tak pergi ke dokter jika aku yang sedang sakit.

Aku tidak terdengar egois, kan?

“Kenapa cemberut lagi, hm?” Aulion menarik bibirku yang maju dengan jemarinya. Refleks membuatku memukul tangannya hingga dia menjauhkan jarinya dari bibirku, lalu terkekeh.

“Aku nggak mau ke rumah sakit.”

“Ke rumah sakit atau kita nggak ikut sama sekali?”

Aku mengembuskan napas kasar sebelum menggembungkan kedua pipiku setelah mendengar kalimat Aulion yang terdengar otoriter. Dan jika paksaannya sudah disuarakan, maka tak ada jalan lain bagiku selain menerimanya.

Iya. Aku berakhir pasrah.

•••

Menjelang waktu tidur, perutku masih terasa tidak enak. Terus bergolak dan sesekali masih menyebabkan rasa mual walau tidak separah tadi pagi. Aku juga bolak-balik bersendawa. Sepertinya memang masuk angin.

Walau bukan jadwalnya, malam ini aku sengaja menginap di apartemen Aulion. Selain karena kondisi tubuhku yang tidak enak, besok aku dan keluarganya akan menginap di vila pribadi milik keluarga Atmaja untuk merayakan ulang tahun pernikahan ayah dan bunda. Waktunya juga pas sekali dengan long weekend.

Aku baru saja mengganti pakaianku menjadi daster berbahan satin, dengan tali spageti dan potongan rendah yang hanya menutupi setengah pahaku saja. Lantas, segera beranjak menuju ranjang dan siap untuk pergi ke alam mimpi.

Aulion sedang berada di kamar mandi untuk buang air besar. Aku memutuskan untuk menunggunya sampai selesai. Lampu utama juga belum kumatikan.

Selagi menunggu Aulion, aku memilih untuk berselancar di sosial media, mencari tahu trending topic di internet hari ini. Namun, seperti yang lalu-lalu, jariku malah membuka akun gosip dan mencari tahu berita terbaru tentang Jihan.

Sudah seminggu berlalu. Dia tak pernah lagi muncul di hadapanku. Kejadian waku itu juga sudah bisa kulupakan pelan-pelan. Aku dan Aulion memutuskan untuk tak lagi membahas soal Jihan walau di awal pria itu sempat ngotot untuk melaporkan tindakan Jihan ke polisi.

Empat hari yang lalu, polisi mengonfirmasi jika sosok wanita dalam video berdurasi dua menit itu memanglah Jihan. Serbuan komentar yang kebanyakan berbentuk cemoohan memenuhi kolom komentar instagram Jihan. Dia juga sudah melakukan konferensi pers dan meminta maaf atas tindakannya. Kini, Jihan sedang menjalani proses hukum.

Sejujurnya aku sedih melihat Jihan yang harus berhadapan dengan hukum karena video lima tahun yang lalu. Dan aku juga penasaran siapa sebenarnya yang menyebarkan video tersebut.

Video yang Jihan kirim padaku lima tahun lalu memang masih tersimpan di ponsel lamaku yang bahkan kini sudah tak berfungsi lagi dan menjadi bangkai di lemari kos-kosanku. Aku rasa Jihan juga sudah menghapus video yang membawa kenangan buruk di masa lalunya itu. Lantas, siapa yang tega menyebarkannya?

Kalau diingat-ingat lagi, dulu aku memang pernah menunjukkan pada Aulion tentang video-video porno Jihan. Kalau tidak salah, Aulion sempat menyalinnya sebagai bukti jika perselingkuhan Jihan waktu itu bukan sesuatu yang pantas untuk dimaafkan.

Selintas spekulasi yang hadir dalam benakku mendadak membuatku mematung. Jemariku berhenti menggulir layar ponselku dan mataku melebar seketika.

Tidak mungkin jika seseorang yang menyebarkan video tersebut adalah Aulion, bukan?

Tidak.

Tidak mungkin.

Langsung kugoyangkan kepalaku untuk mengempaskan tebakan-tebakan aneh yang sempat hadir. Lantas, kumatikan ponselku dan meletakkannya kembali ke atas nakas.

Tak lama kemudian, Aulion keluar dari kamar mandi. Dan aku berusaha untuk menormalkan kembali ekspresiku agar tak mengundang kecurigaannya.

“Mau tidur sekarang?” tanya Aulion, sembari berjalan menghampiriku.

Aku melempar senyum canggung padanya, lalu mengangguk.

Syukurlah Aulion tak menyadari raut wajahku. Dia dengan tenang berjalan menuju sakelar untuk mematikan lampu. Kemudian kunyalakan lampu tidur yang berada di sisi kanan dan kiri ranjang. Bersamaan dengan itu pula Aulion naik ke atas ranjang, bergabung bersamaku di bawah selimut yang sama.

Dia menarikku mendekat sebelum membungkusku ke dalam dekapannya.

“Selamat tidur, Sayang,” ucapnya, mencium rambutku.

“Selamat tidur,” sahutku, yang lebih mirip gumaman.

Dalam pelukannya, mataku tak bisa terpejam sama sekali. Malah sibuk memikirkan hal baru yang sekonyong-konyong muncul untuk menguasai kepalaku.

•••

Hayuk tebak-tebak lagi siapa yang nyebarin video esek-eseknya Jihan🤭🤭

Besok ketemu gak, nih?

20 Oktober, 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top