Bab 21
DOUBLE UPDATE! Seneng kan?😋
Bab ini baru banget selesai ditulis. Kalo ada typo atau kalimat yang aneh, tolong kasih tau aku, ya🤗
Jangan lupa diramein loh ya kolom komentarnya. Jangan lupa vote juga😍🥳
Selamat membaca sayang-sayangku❤
•••
“Gue harus gimana, Ra?”
Aku memandang Jihan yang tengah menangis setelah memberitahukanku perihal video yang didapatnya dari Brandon, sosok lelaki yang menjadi selingkuhannya.
Aku mengusap wajahku dengan helaan napas kasar yang keluar begitu saja. Kuambil langkah mendekati Jihan lantas duduk di sampingnya. Kedua pundaknya kupegang erat-erat dan memintanya untuk menatap ke arahku.
“Kita laporin ke polisi aja, ya? Apa yang Brandon lakuin ke elo udah termasuk kejahatan.” Kucoba memberi solusi, yang langsung mendapat penolakan dari Jihan.
Jihan mengangkat kepalanya, kemudian menggeleng keras. Wajahnya tampak kacau dengan air mata yang berlinang. Makeup-nya pun berantakan dengan bulu mata palsunya yang hampir copot.
“Gue nggak bisa, Ra. Kalo gue ngelaporin itu, orang-orang bakal tahu kalo gue udah berhubungan badan sama Brandon. Karir gue lagi naik sekarang, gue nggak mau rusak cuma karena itu,” tolak Jihan, dengan rembesan air mata dan kefrustrasian yang enggan pergi.
Bahu Jihan kuremas pelan saat kepalaku menunduk. Kedua mataku memejam sejenak dengan helaan napas yang kembali terlontar. Dunia seras berputar, dan aku memilih untuk diam sekejap sampai pening di kepalaku menghilang walau tak sepenuhnya.
Tak pernah sekalipun terbayang dalam benakku jika Jihan akan melakukan hal semenjijikkan itu. Berselingkuh dari Aulion saja sudah salah, ditambah lagi dengan dirinya yang rupanya sudah sampai berhubungan intim dengan lelaki lain yang menjadi lawan mainnya di sebuah TV series.
Sejujurnya aku marah saat mendengar tentang perselingkuhan Jihan. Ada perasaan kuat yang membuatku ingin mengadukan perbuatan Jihan pada Aulion. Tetapi entah kenapa aku tak bisa melakukannya. Aku merasa tak berhak ikut campur dengan urusan Jihan yang sudah masuk ke dalam ranah pribadinya.
Peganganku pada pundak Jihan melemah, kemudian turun perlahan dan jatuh di atas pangkuanku. Saat itu pula aku mengangkat kepalaku, memandang Jihan dengan sorot yang sama frustrasinya dengan wanita itu.
“Terus sekarang mau gimana?” tanyaku, dengan nada lemah dan tak menemukan solusi lain untuk memecahkan masalahnya.
Jihan menggeleng, menunduk dengan sisa-sisa isakan tangisnya yang sudah mulai berkurang.
“Kalo permasalahan ini nggak ada ujungnya, apa nggak sebaiknya lo udahin aja hubungan lo sama Mas Aulion?” Sebuah gagasan tercetus dalam benakku dan langsung kusuarakan pada Jihan.
Secepat kilat Jihan mengangkat kepalanya, memberi pelototan tak terima padaku. “Enggak. Gue nggak akan ngelepasin Mas Aulion. Lo tahu sesayang apa gue sama dia, Ra.”
“Kalo lo sayang sama dia, kenapa lo selingkuh sama Brandon? Lo bahkan sampe tidur sama dia.” Kumundurkan sedikit posisi dudukku dari Jihan, kemudian menggeleng, tak habis pikir dengan jalan pikirannya yang tak masuk akal itu.
“Gue cuma nyari sesuatu yang nggak gue dapetin dari Mas Lion, Ra. Lo tahu itu.”
“Terus sekarang lo mau gimana?”
Jihan meraih kedua tanganku usai mengusap bekas air mata di wajahnya dengan kasar. Sekejap kurasakan tekad yang kuat dalam tatapannya yang menyorotku lekat-lekat. “Gue bakal cari cara untuk lepas dari Brandon, tapi lo harus janji nggak bakal ngebocorin tentang perselingkuhan gue ke Mas Lion.”
Aku menaikkan sebelah alisku, membalas tatapan Jihan dengan skeptis. “Kalo misalnya Mas Aulion tahu gimana?”
“Enggak. Dia nggak bakal tahu, Ra. Tapi gue mohon sama lo, jangan ngebocorin apa pun ke dia. Gue bakal cari solusinya dan setelah itu hubungan gue sama Mas Lion bakal baik-baik aja,” ucap Jihan, dipenuhi hasrat yang membara dalam bola matanya. “Lo bisa, kan, Ra janji ke gue soal itu?”
Aku tak langsung menjawab, menunduk sejenak dan memerhatikan tangan Jihan yang meremas tanganku, seakan-akan begitu memohon agar aku menuruti kemauannya. Lalu, saat kunaikkan kembali pandanganku padanya, yang kulakukan adalah mengangguk seraya berucap, “Gue janji.”
•••
Janjiku pada Jihan sekitar lima tahun yang lalu yang pada akhirnya kukhianati, kini telah mengubah persahabatan kami menjadi sebuah permusuhan tanpa akhir.
Selintas memori masa lalu memenuhi kepalaku satu per satu, menunjukkan kilas balik tentang apa yang terjadi antara aku dan Jihan. Hal itulah yang membuatku masih sering dipenuhi perasaan bersalah terhadap Jihan walau pada dasarnya semua kesalahan memang terletak padanya.
Aku gagal memenuhi permohonan Jihan.
Aku gagal menepati janjiku sendiri padanya.
Terkadang aku penasaran apa jadinya kalau waktu itu aku tidak mengadukan perbuatan Jihan pada Aulion. Mungkin Jihan sudah hidup bahagia dengan Aulion, dan aku tak akan terjebak bersama pria itu. Lalu, hubunganku dengan Jihan pasti akan baik-baik saja.
Aku menggeleng keras, menolak pikiran-pikiran itu dalam kepalaku. Apa yang terjadi di masa lalu tidak boleh lagi kusesali.
Aku harus bersyukur dengan apa yang kuterima saat ini.
“Nggak bisa tidur?”
Pertanyaan itu datang dari Aulion, yang sedari tadi ikut berbaring di sisiku, merengkuh tubuhku yang terasa lemah dalam dekapan hangatnya.
Setelah kejadian penyerangan Jihan terhadap diriku sore tadi, tanpa basa-basi Aulion segera membawaku ke apartemennya. Dia tidak lagi butuh izinku. Dan aku juga tak bisa menolak karena ketakutan dan shock yang tak henti menghantuiku.
Dan di sinilah aku sekarang, berbaring di atas ranjang king size Aulion, berpelukan selama beberapa saat bersama pria kesayanganku ini untuk menunggu kantuk datang.
Kulonggarkan dekapanku di tubuh Aulion, menggeser kepalaku agak ke belakang sebelum mendongak dan mengadu pandangan kami. Belaian jemarinya terus bermain di seputar rambutku, dan aku tersenyum karena itu.
“Udah ngantuk, sih, tapi susah banget mau tidur.”
“Mau aku buatkan minuman hangat dulu?”
Aku menggeleng, menolak kebaikan hatinya. Tangan Aulion yang masih bertahan di kepalaku kuambil begitu saja, mengecup ujung jarinya satu per satu. Begitu selesai, kukembalikan fokusku pada Aulion yang bibirnya kini tengah membentuk senyum lebar, begitu senang dengan perbuatanku barusan.
“Kamu kenapa tadi bisa ada di kosanku?” tanyaku, tetap membiarkan satu tangannya berada dalam genggamanku.
Kami memang belum membahas sama sekali tentang insiden penyerangan Jihan. Aulion terlalu sibuk menenangkanku. Sementara aku berusaha kerasa melawan trauma yang terus membayangiku.
Kini aku sudah merasa jauh lebih tenang dan penasaran bagaimana bisa Aulion datang dan menyelamatkanku pada saat itu.
Aulion tak langsung menjawab. Dia menunduk dan secepat kilat mencuri satu ciuman singkat di bibirku, mengundangku untuk berdecak geli.
“Sebelum aku pergi dari kosan kamu, asisten Jihan tiba-tiba nyamperin aku dan minta tolong ke aku buat nengokin Jihan yang katanya lagi ada di kamar kamu.”
“Asistennya?”
Aulion mengangguk. “Jihan dateng bareng asistennya, tapi cuma dia yang masuk. Asistennya takut Jihan bikin masalah lagi. Kebetulan dia ngelihat aku dan aku ngerasa bersyukur banget dia minta tolong ke aku walaupun aku terlambat nolongin kamu.” Suara Aulion menghilang di ujung kalimat. Maniknya bergerak gelisah sebelum memejam perlahan, kelihatan sangat marah dan menyesal dalam waktu yang bersamaan.
“Hey.” Aku melepas genggamanku di tangan Aulion, berganti memegang satu sisi wajahnya, memberi usapan lembut di rahangnya yang terasa kasar karena bakal janggutnya.
Teguranku membuat Aulion kembali membuka matanya, lalu menyorotku dengan waspada. “Aku takut banget waktu ngelihat kamu digituin sama Jihan, Ra. Aku ...” Aulion seperti kehabisan kata-kata, dan hanya bisa menghela napas panjang setelahnya.
“Aku nggak apa-apa, Mas,” ucapku seraya menerbitkan senyum, mencoba meyakinkan Aulion jika aku memang baik-baik saja.
“Ya, Tuhan!” desahnya panjang. Dan sebelum aku menyadarinya, dia telah membawaku ke dalam pelukannya. Begitu erat dan posesif.
Aulion mengecup rambutku beberapa kali, dan aku hanya membiarkannya sembari membalas pelukannya.
“Aku bener-bener ngerasa nggak berguna.” Aulion berbisik sangat pelan, mempererat dekapannya sampai membuatku kesulitan bernapas. “Dua kali aku gagal ngelindungi kamu.”
“Jangan ngomong gitu,” bantahku, cemberut padanya.
Terdengar tarikan napas panjang dari Aulion sebelum dia mengurai pelukan kami secara perlahan. Jarak kembali hadir di antara kami hingga tatapan kami kembali terhubung. Tangannya yang satu berada di tengkukku, dan saat itu pula aku mengambil napas yang dalam.
“Aku nggak bisa terus-terusan ngebiarin kamu sendirian. Aku pengen kamu selalu ada dalam pandanganku selama dua puluh empat jam.” Awalnya aku merasa heran dengan kalimatnya yang terdengar tak masuk di akal, tetapi saat dia melanjutkan ucapannya, serta-merta tubuhku mematung dan mataku membelalak lebar tanpa dapat dicegah. “Jadi, menikahlah denganku, Ra.”
•••
Kita flashback pelan-pelan, ya. Tapi udah mulai kebaca belum, nih, tentang perselisihan antara Tiara dan Jihan di masa lalu?
Besok ketemu lagi kalo aku nggak males, ya. Soalnya weekend gini bawaannya males mau ngapa-ngapain wkwk
Btw, makasih banyak untuk temen-temen pembaca yang udah ngikutin Sweet Partner sampe sejauh ini. Sayang banget pokoknya😘
16 Oktober, 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top