Bab 2

Update lagi hari ini!

Jangan lupa tinggalkan vote dan penuhi kolom komentarnya🥳

Selamat membaca❤

•••

Aku mematut diriku di depan cermin ketika menempelkan plester di leher. Bukan. Itu bukan luka, melainkan bekas ciuman Aulion tadi malam. Pria itu benar-benar seperti seorang vampir. Padahal, aku sudah berulang kali memperingatinya untuk tidak menciumku di leher, tetapi dia malah semakin beringas.

Sebenarnya bukan hanya satu kiss mark saja yang menghiasi leherku. Ada beberapa. Yang untungnya masih bisa kututupi dengan foundation. Hanya satu bekas ciumannya saja yang sampai siang ini masih terlihat dengan jelas.

“Leher kamu luka?”

Aulion tiba-tiba berdiri di belakangku. Dari bayangan di dalam cermin, aku bisa melihat raut khawatir dalam wajahnya.

“Abis digigit Vampir,” jawabku asal sembari beranjak dari kursi rias untuk memasukkan beberapa barang yang akan kubawa nantinya ke dalam tas.

Aulion mengikutiku dengan satu alis yang naik ke atas, seolah meminta penjelasan. Dahinya yang berkerut menunjukkan jika dia tengah berpikir keras sebelum mulutnya akhirnya mengeluarkan dengkusan geli, yang kuanggap bahwa dia sudah mengetahui maksud dari jawabanku barusan.

“Bekas ciumanku, ya?” Aulion cengengesan sambil menggaruk belakang kepalanya.

Selesai dengan tasku, aku langsung menghadap ke arah Aulion dan memberinya tatapan gemas. “Menurut kamu?” tanyaku dengan kedua bola mata yang berputar.

Dengan wajah sok polosnya, Aulion malah terkekeh dan mengulurkan tangannya untuk mendekapku.

“Minta maaf buruan,” ucapku yang memilih untuk tetap diam tanpa membalas pelukan Aulion.

“Maaf, Sayang. Tapi aku suka ciumin leher kamu. Jadi, aku nggak bakal berhenti.”

“Ish, nyebelin!” Tanpa aba-aba aku memukul dada Aulion berulang kali. Biar saja, biar dia tahu rasa.

Tetapi bukannya kesakitan, dia malah terbahak kencang meski pelukannya di tubuhku terpaksa harus disudahi.

“Buruan, ah, ayok pergi. Bunda dari tadi nge-chat mulu. Nanyain udah sampe mana.”

Tanpa meminta persetujuan Aulion, aku menggandeng tangan pria itu untuk segera mengajaknya bergegas pergi. Sementara Aulion kelihatan puas bisa menggodaku sekali lagi. Terlihat dari sisa-sisa tawa yang masih mendiami wajahnya.

•••

Hampir empat tahun lamanya aku mengenal Aulion. Apa pun tentangnya aku sudah hafal. Waktu selama itu juga membuatku akrab dengan keluarga Aulion. Bukan hanya keluarga intinya saja. Bahkan, keluarga besarnya pun kukenal dengan baik. Mulai dari kakek dan neneknya sampai keponakan-keponakannya.

Saking akrabnya, aku sampai memanggil kedua orang tua Aulion dengan sebutan ayah dan bunda. Aku benar-benar sudah dianggap seperti anak mereka sendiri. Apalagi Aulion bolak-bolak mengikutsertakanku ke dalam kegiatan apa pun di dalam keluarganya.

Hebatnya lagi, aku disambut hangat oleh seluruh keluarga besar Aulion. Jika Aulion datang ke acara keluarganya tanpaku, hal itu malah akan menjadi pertanyaan besar dalam benak keluarganya.

Dan yang dari tadi kusebut-sebut sebagai bunda tentu saja ibunya Aulion.

Saat ini, kami sedang dalam perjalanan menuju rumah Aulion. Setiap minggu, pria itu memang diwajibkan untuk pulang. Dengan catatan untuk tidak lupa membawaku juga.

Ya, sedekat itulah aku dengan keluarga Aulion. Sampai acara kumpul-kumpul pribadi seperti itu saja aku juga diharuskan datang.

Hal itulah yang sangat kusyukuri semenjak mengenal Aulion. Dia membuatku merasa hidup kembali. Dia membuatku bisa kembali merasakan kehangatan di dalam keluarga. Keluarga Aulion membuatku merasa ada dan dianggap.

Begitu sampai, aku bersicepat keluar dari mobil tanpa menunggu Aulion. Padahal, belum ada tiga hari aku bertemu dengan bunda, tetapi entah kenapa aku sudah begitu merindukan sosoknya. Bunda adalah tipe seorang ibu yang diidam-idamkan oleh banyak orang. Termasuk aku.

Assalamualaikum.” Aku memberi salam terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam. Senyumku merekah lebar begitu mendengar suara berisik dari dalam.

“Nah, itu Mbak Tiara udah dateng.”

“Akhirnya dateng juga si Mbak.”

Suara itu sudah pasti milik Lara dan Lana meski aku belum melihatnya sama sekali. Ya, mereka terlahir kembar. Anak bungsu di kelurga Aulion yang tahun ini baru masuk kuliah.

“Dor!”

Saat sedang berjalan menuju ruang keluarga, aku dikagetkan dari belakang oleh seseorang. Aku sudah bisa menebak siapa yang berbuat iseng seperti ini. Saat aku berbalik dan mendapati sang pelaku, terkaanku memang tepat sasaran.

Julian Atmaja. Atau biasa dipanggil Ian. Anak kedua di keluarga Aulion. Bibirnya kini tengah menampilkan senyum jahilnya karena berhasil mengagetkanku. Pria yang baru berumur dua puluh empat tahun ini adalah yang paling iseng di keluarga Aulion.

“Ian! Nyebelin banget, sih!” teriakku padanya sambil berusaha memukul tubuhnya yang proporsinya sebelas dua belas dengan Aulion.

“Biarin aja, Ra. Kelakuannya mirip Dajjal emang.” Aulion tiba-tiba sudah berada di sampingku, merangkul pundakku lantas membawaku untuk melanjutkan langkah menuju ruang keluarga.

Aku merasa berada di atas angin setelah Aulion membelaku. Dengan bangga aku menjulurkan lidahku pada Ian, gantian mengejeknya.

“Anjing lo, Bang,” balas Ian yang jelas saja langsung membuat bunda heboh dan segera menceramahi Ian supaya mulutnya tak lagi mengucapkan kata-kata kotor.

Berada di tengah-tengah keluarga Aulion benar-benar seru sekali. Kalau saja aku masih balita, aku akan merengek minta diadopsi oleh ayah dan bunda.

Aulion, Ian, Lara dan Lana pasti tak pernah menyesal telah dilahirkan dari keluarga ini. Tidak seperti aku, yang sampai detik ini masih bertanya-tanya kenapa aku harus lahir dari rahim ibu kandungku.

Aku menggeleng cepat. Membersihkan benakku dari pikiran-pikiran tidak penting yang bisa saja merusak suasana hatiku.

“Bunda, ajarin lagi dong resep nasi gorengnya. Tadi pagi aku bikin tapi hasilnya gagal.” Aku langsung mengadu pada bunda setelah berada di ruang keluarga. Tak lupa pula menyalami ayah dan bunda terlebih dahulu.

“Tadi pagi Bunda bikin nasi goreng buat sarapan, lho.”

“Pasti enak, deh,” ucapku dengan suara lemah. Kemudian kutolehkan kepalaku ke arah Aulion dan berkata, “Seharusnya kamu sarapan di sini aja tadi, Mas.”

“Aneh banget Tiara, Bun. Padahal nasi gorengnya tetep enak,” balas Aulion dengan gelengan kepalanya.

Bunda terkekeh. Aku yang duduk tepat di samping bunda mendapat usapan ringan di rambutku. “Nanti Bunda ajarin lagi, deh.”

Aku hanya merespons ucapan bunda dengan pekikan kegirangan.

Setelahnya, kami semua sibuk mengobrol, membicarakan hal apa pun—mulai dari yang penting sampai yang tidak penting sekalipun—sambil menikmati cemilan buatan bunda dan si kembar yang baru belajar memasak.

Sampai waktu makan siang hampir tiba, Lara dan Lana mengajakku untuk pergi ke kamar mereka sebentar dengan maksud untuk menunjukkan makeup yang baru mereka beli langsung dari Korea Selatan. Aku jelas tak menolak karena aku juga menyukai makeup.

Selama ini, aku yang meracuni si kembar untuk lebih perhatian terhadap penampilan. Mereka selalu berkonsultasi padaku tentang makeup dan skincare.

“Mbak, duduk dulu, deh.” Lana membimbingku untuk duduk di tepi ranjang setelah berada di kamar mereka. Sementara Lara bertugas menutup pintu sebelum bergabung bersama kami.

Aku melihat keduanya secara bergantian dengan kening yang mengerut. Biasanya si kembar akan menunjukkan wajah ceria jika ingin membicarakan soal makeup, tetapi raut keduanya malah tampak serius dan sedikit waswas.

“Kenapa sih, Dek?” tanyaku pada akhirnya, terlalu penasaran dengan ekspresi si kembar yang malah membuatku menjadi cemas.

“Itu, Mbak.” Lara terlihat bingung ketika hendak berbicara. Ia lalu menunjuk Lana dan berucap, “Lo aja, deh, yang ngomong.”

Aku berpaling menatap Lana, menunggu kalimat yang akan keluar dari mulutnya dengan perasaan tidak enak serta jantung yang mendadak berdegup kencang.

Lana tampak menghela napas panjang terlebih dahulu sebelum buka suara. “Itu, Mbak. Aku dapet kabar kalo Mbak Jihan hari ini pulang ke Indonesia.”

Awalnya aku hanya diam. Otakku pun masih belum dapat mencerna kalimat Lana dengan baik. Sampai pada akhirnya aku sadar siapa sosok yang mereka maksud.

“Ih, kirain apaan,” balasku dengan santai. Atau lebih tepatnya berusaha untuk santai. “Turun, yuk. Makan siang. Entar yang lain nungguin,” tambahku yang berlekas-lekas meninggalkan kamar si kembar.

Dalam perjalanan menuju ruang makan, aku berulang kali menarik napas panjang. Hal itu kulakukan untuk menenangkan kerja jantungku yang berpacu dengan tidak normal.

Jihan. Satu nama itu berhasil membalikkan suasana hatiku hingga terjun bebas ke jurang yang paling dasar.

•••

13 September, 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top