Bab 18

DOUBLE UPDATE!! Seneng, nggak?

Udah mulai bisa nebak-nebak belum, nih, kejadian antara Tiara dan Jihan sekitar empat tahun yang lalu?🤭

Karena hari ini udah double update, jadi vote dan komennya juga kudu double dari bab-bab sebelumnya ya😋

Selamat membaca❤

•••

“Kerja sama dengan PT. Qeon Tech bagaimana?”

Pertanyaan itu disuarakan oleh Aulion setelah aku melaporkan seputar informasi terbaru yang terjadi di perusahaan.

Aku masih berdiri di depan meja kerjanya, mengotak-atik tablet dalam genggaman untuk mencari jawaban dari pertanyaannya yang sudah kuarsipkan dalam folder tertentu. Sementara Aulion tampak fokus memeriksa lembaran dokumen yang tadi kuberikan padanya.

“Setelah pertemuan kemarin, PT. Qeon Tech bersedia untuk melanjutkan kerja sama dengan kita, Pak. Pertemuan untuk memperpanjang kontrak sudah dijadwalkan di tanggal dua puluh tiga nanti. Hari kamis,” kujabarkan jawaban dari pertanyaan Aulion secara detail.

Pria itu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian melepas kacamatanya dan menutup dokumen yang sebelumnya telah dibaca. Matanya kini berganti menatap ke arahku.

“Apa jadwal saya selanjutnya?” tanya Aulion seraya menyandarkan punggungnya pada kursi dengan manik yang menyorotku kian dalam.

“Bapak harus menemui Pak Yarim di jam sepuluh nanti,” jawabku, yang lantas mengangkat tangan kananku untuk melihat jam yang terpasang di pergelangan tangan. “Lima belas menit lagi,” tambahku.

Aulion mengangkat alisnya. “Bukannya Ayah lagi pergi?”

Ayah yang dimaksud Aulion adalah Pak Yarim. Ya, beliau memegang jabatan tertinggi di sini, sebagai CEO sekaligus pemilik perusahaan.

Aku menggeleng. “Saya sudah mengonfirmasi lewat sekretaris Pak Yarim kalau beliau baru akan pergi selepas makan siang. Jadi, Bapak masih bisa menemuinya.”

Aulion kembali mengangguk beberapa kali. “Hanya itu saja, kan? Setelah makan siang saya tidak memiliki jadwal apa pun?”

“Tidak ada jadwal apa pun lagi setelah makan siang, Pak,” jawabku langsung.

“Baiklah.”

“Kalau begitu saya permisi, Pak,” pamitku dengan anggukan kecil sebagai bentuk dari sopan santunku pada sang bos.

“Memangnya aku minta kamu untuk langsung keluar?”

Baru saja aku membalikkan badan, teguran dari Aulion tiba-tiba menelusup ke dalam telingaku, sudah mengubah kalimatnya menjadi tidak formal. Mau tak mau kuurungkan niatku yang hendak melangkah meninggalkan ruangannya.

“Saya masih punya beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan, Pak,” balasku realistis usai menghadap kembali ke arahnya.

Punggung Aulion menjauh dari sandaran kursi. Posisi duduknya menjadi tegak. Kedua sikunya sudah ditempatkan sebagai penyanggah di atas meja dan membentuk kepalan di antara jemarinya yang saling bertaut.

“Sayang,” desis Aulion. Kilat dingin bersinar di matanya, tampak tak senang dengan respons yang kuberikan sebelumnya.

Aku mendengkus geli. Tahu betul apa yang diinginkannya. Kalau bahasa yang digunakan Aulion sudah berganti menjadi non-formal, maka status kami tidak lagi sebagai seorang atasan dan bawahan.

“Kerjaanku beneran lagi banyak, Mas.” Pada akhirnya aku pun mengikuti alur yang dibuat olehnya.

“Ya, udah sini. Cium sebentar aja,” pinta Aulion, yang sudah memisahkan tautan jemarinya dan menggeser kursinya agak ke belakang, sebagai isyarat agar aku segera menghampirinya.

Kugelengkan kepalaku sembari menaruh tablet yang sedari tadi berada dalam genggaman ke atas meja. Takjub dengan sifat pemaksa Aulion yang sialnya sangat sulit untuk kutolak.

Kedua kakiku kuajak maju beberapa langkah, tiba di sisi Aulion sebelum pria itu menarikku dengan lembut hingga membuatku jatuh terduduk dalam posisi miring di atas pangkuannya.

Tanpa banyak basa-basi, aku melingkarkan kedua lenganku di lehernya lantas menjatuhkan kecupan sekian detik tepat di bibirnya.

“Cuma cium, kan?” tanyaku setelah menarik wajahku darinya, memberi jarak supaya kami bisa saling memandang.

Bola mata Aulion melebar bersamaan dengan senyum yang hadir dalam wajahnya. Seperti kesenangan dengan tindakanku barusan walau kutahu dia belum puas sama sekali.

Kedua lengannya mendekap pinggangku, menarik tubuhku makin dekat dengannya. “Itu namanya bukan ciuman, Sayang.”

“Terus?” Aku sengaja menantangnya dengan bibir berkedut, geli.

“Mau aku tunjukkan "cium" yang aku maksud?” Mulut Aulion melengkungkan senyum lebar, terlihat semangat dengan pembicaraan ini.

Dengan bibir yang kukulum untuk menahan hadirnya senyum, aku pun mengangguk tanpa membuka mulut.

Dan di detik selanjutnya, kurasakan wajah Aulion maju secepat kilat sebelum bibirnya menerkam bibirku tanpa ampun.

Dia bergerak melumat bibirku dengan rakus, seperti tak akan bertemu dengan hari esok. Punggungku juga sudah bersentuhan dengan pinggiran meja walau Aulion tetap menahan tubuhku dengan satu tangannya. Sedang yang satunya lagi sudah berpindah ke leherku, sesekali menekannya untuk memperdalam ciuman kami.

Aku juga tidak tinggal diam. Ikut membalas lumatannya yang dipenuhi hasrat. Jemariku kugunakan untuk mengacak-acak rambutnya. Terutama ketika ciumannya kian intens dan tanpa sadar membuatku mengerang pelan.

Entah sudah berapa lama ciuman itu berlangsung. Sempat terjadi jeda beberapa kali hanya untuk mengambil napas. Namun, aku baru benar-benar menghentikannya tatkala tangan Aulion yang semula menahan leherku, kini berpindah di dadaku, memberi remasan kecil di sana.

“Mas,” tegurku setelah berhasil menarik mulutku dari serangannya. Tanganku juga sudah berpindah untuk menahan pergerakan nakal dari tangannya agar tak melanjutkan aksinya tersebut.

Napas Aulion terdengar memburu saat dia baru saja memberi jarak dengan wajahku. Serupa dengan napasku yang ngos-ngosan. Tetapi ada seutas senyum tipis yang menaungi wajahnya, benar-benar terlihat puas setelah pergumulan bibir kami.

Tangan Aulion berpindah ke satu sisi wajahku, merangkumnya dengan ibu jari yang bermain di kedua belah bibirku yang masih basah dan sedikit membengkak. Sementara matanya terus tertuju ke arahku dengan binar yang dipenuhi kepuasan.

“Udah, ya?” tanyaku seraya menegakkan posisi dudukku yang sebelumnya sudah berubah menjadi setengah berbaring gara-gara Aulion. Tak lupa pula membetulkan bajuku yang agak berantakan.

Aulion nyengir, kemudian mengangguk.

Setelah mendapat persetujuan darinya, aku pun segera turun dari pangkuannya walau tak langsung pergi begitu saja. Aku terlebih dulu merapikan rambut Aulion yang bentukannya sudah tak keruan karena jemariku yang sedari tadi bermain di sana.

“Ayo, siap-siap, Mas. Kita ke ruangan Ayah sekarang,” ucapku yang telah selesai dengan rambut Aulion.

Aulion mengangguk dengan senyum yang tak kunjung menghilang. Menggemaskan sekali.

Aku lantas bersiap untuk meninggalkan ruangannya, tetapi sebelum itu terjadi, Aulion masih menyempatkan untuk menanamkan satu kecupan singkat di bibirku dan membuatku terkekeh geli karena tingkahnya yang satu itu.

•••

“Lagi ngegosipin apa, sih? Kok kayaknya seru banget,” celetukku begitu memasuki ruangan karyawan yang bekerja langsung di bawah naungan Aulion. Letak ruangan mereka tidak jauh dari milikku, hanya berjarak beberapa langkah dari mejaku yang berada tepat di depan ruangan Aulion.

Orang-orang yang mendengar celetukanku segera berpaling padaku dan cepat-cepat memintaku untuk bergabung bersama mereka yang sudah membentuk lingkaran.

“Ada gosip terhangat, Ra.” Mbak Dena, yang menjadi tujuanku datang ke ruangan ini buka suara.

Jam makan siang memang masih tersisa sekitar sepuluh menit lagi. Jadi, wajar saja bila mereka masih belum kembali ke kubikelnya masing-masing. Aku datang ke sini juga karena ingin menyerahkan beberapa dokumen pada mbak Dena sebelum aku lupa.

Tadinya, sih, aku hendak langsung kembali ke mejaku, tetapi entah kenapa gosip yang tengah mereka perbincangkan terdengar seru hingga aku memilih untuk bergabung sebentar.

“Apaan, sih?” Aku masuk dalam lingkaran tersebut, bersandar pada salah satu kubikel dengan kedua lengan yang terlipat di depan dada, bersiap mendengar gosip yang mereka bicarakan.

“Lo belom buka sosial media sama sekali ya, Ra?”

Pertanyaan itu datang dari Emi, yang langsung kubalas dengan gelengan kepala. Karena jadwal Aulion yang begitu padat sampai jam makan siang tadi, aku tidak sempat membuka ponselku selain untuk urusan pekerjaan.

“Ih, ketinggalan banget. Padahal udah trending di mana-mana, lho.” Mbak Dena menimpali.

“Berita apaan, sih?” tanyaku semakin tak sabaran.

“Itu, Ra, Jihan lagi kena skandal.”

Aku mengerutkan keningku. Belum menangkap siapa sosok Jihan yang dimaksud.

“Jihan? Jihan siapa?”

“Jihan Tanuwijaya-lah.”

Seketika tubuhku membeku, membentuk reaksi kaget yang nyata saat subjek yang menjadi topik pembicaraan mereka adalah Jihan. Kedua tanganku juga sudah meluruh di sisi tubuhku.

“Skandal apa?” tanyaku dengan darah yang mulai berpacu melalui nadiku.

“Video seksnya kesebar di internet.”

Dan setelah menerima jawaban itu, kedua kakiku terasa lemas luar biasa hingga membuatku nyaris merosot dari posisi berdiriku.

•••

Hayooo gimana tanggapan kalian tentang bab ini?

Besok ketemu lagi, nggak?

14 Oktober, 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top