Bab 17

Hari minggu kali ini terasa berbeda dengan yang lalu-lalu. Biasanya pesan bombardir dari bunda sudah kuterima sejak pagi, tetapi kali ini beliau hanya menyapa lewat pesan singkat, mengatakan jika hari ini tak bisa berkumpul bersama.

Aku tak masalah sama sekali. Toh, keadaan Aulion juga sedang tidak sehat. Kami juga harus berangkat ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisi pria itu.

Seperti halnya Rafa, keluarga inti Aulion juga turut diundang ke acara pertunangan Jihan. Meski mereka sudah tahu bagaimana hubungan Aulion dan Jihan berakhir, mereka tetap harus datang karena pada dasarnya orangtua Aulion berteman dekat dengan orangtua Jihan.

Kadang kala kenyataan itu yang membuatku merasa tidak percaya diri. Kendati keluarga Aulion benar-benar menerimaku apa adanya, aku tetap merasa tak sebanding dengan mereka.

Andai saja aku menjalin hubungan dengan lelaki biasa-biasa saja, aku pasti tak akan merasa insecure setiap saat.

Dibandingkan dengan Jihan, aku tidak ada apa-apanya sama sekali. Jihan berasal dari keluarga terpandang, sepantaran dengan latar belakang keluarga Aulion. Tak seperti diriku yang sangat tidak jelas asal-usulnya.

Kalau saja waktu itu aku tidak membocorkan tentang perselingkuhan Jihan pada Aulion—ah, tidak! Aku tidak boleh lagi mempermasalahkan apa yang menjadi keputusanku sekitar empat tahun yang lalu.

Kugelengkan kepalaku beberapa kali seraya mencoba mengenyahkan memori-memori lama yang sekonyong-konyong hadir memenuhi benakku.

Tidak.

Aku tak boleh lagi menyalahkan diriku sendiri atas apa yang kuperbuat empat tahun silam. Kalau aku tidak seberani itu, aku tak mungkin bisa bersanding dengan Aulion saat ini.

“Sekarang mikirin apa lagi?”

Interupsi berupa sebuah pertanyaan datang dari Aulion. Buru-buru kutelengkan kepalaku ke sumber suara dan menemukan pria itu yang rupanya sudah keluar dari ruangan dokter. Dia lantas mengambil duduk di sampingku sembari menenteng resep obat di satu tangannya.

“Udah selesai?” Aku mengabaikan pertanyaan Aulion sebelumnya. Malah melontarkan sebuah pertanyaan baru untuknya.

Jemari Aulion bertengger di satu sisi wajahku, bergerak memindahkan rambutku ke belakang telinga. “Udah,” jawabnya kemudian.

“Apa kata dokter?” Aku kembali menuturkan pertanyaan lain, dan membiarkan Aulion tetap memainkan jemarinya di rambutku.

“Cuma terlalu capek.”

Aku hanya mengangguk-anggukkan kepalaku karena diagnosis dokter sama seperti yang kupikirkan sejak tadi malam. Aulion memang akan jatuh sakit bila terlalu memforsir dirinya sedemikian rupa. Kapasitas energi dalam tubuhnya juga punya batas walaupun pria itu gila kerja.

“Kamu kenapa bisa secantik ini ya, Ra?”

Mendadak Aulion mengubah topik pembicaraannya. Tangannya yang semula berada di sisi kepalaku, kini berpindah ke atas kepalaku, memberi tepukan-tepukan ringan di sana. Sorot matanya juga sudah sepenuhnya mendarat di wajahku, menatapku dengan maniknya yang seolah-olah begitu memujaku.

Dengkusan geli keluar begitu saja dari mulutku. Ditambah dengan gelengan kepala karena Aulion yang jadi se-random ini.

Tanpa menanggapi ucapannya sebelumnya, aku mengambil resep obat dokter dari Aulion untuk segera menebusnya. Sementara Aulion kupaksa untuk tetap bertahan di kursi tunggu sampai aku kembali.

•••

“Sebentar dulu, Mas. Aku pindahin supnya ke mangkuk dulu.” Aku menegur Aulion yang sejak tadi bergelayut manja di tubuhku.

Aulion mengangkat dagunya dari pundakku. Kedua lengannya yang memeluk pinggangku agak dilonggarkan sedikit. “Udah,” balasnya kemudian.

Aku memutar kepalaku ke belakang, menatap Aulion dengan sebelah alis yang terangkat melalui sudut mataku. Kemudian terkekeh karena pria itu tidak benar-benar menjauh dariku.

“Mas, maksud aku, tuh, lepas dulu.” Kujelaskan padanya maksud dari teguranku sebelumnya walau kuyakin Aulion sudah memahaminya. Dia memang sengaja tak mau jauh-jauh dariku.

“Kalo kayak gini, kan, kamu udah bisa pindahin supnya, Sayang,” bela Aulion. “Kalo lagi sakit gini, aku tuh bawaannya pengen manja-manja terus sama kamu.”

Lagi-lagi tawaku menguar di udara sambil geleng-geleng kepala. Alibi pria itu sungguh menggemaskan sekali. Padahal, saat dalam kondisi sehat pun dia tetap manja padaku.

Alhasil, aku tetap membiarkan Aulion terus memelukku dari belakang walau saat ini dekapannya tak seerat sebelumnya. Lantas mulai memindahkan sup yang baru selesai kumasak untuk makan malam ke dalam mangkuk.

Empat tahun bersama Aulion, aku sudah hafal betul kebiasaan pria itu saat sedang sakit. Dia pasti selalu menginginkan makanan berkuah, dan sup buatanku selalu menjadi pilihannya.

Jika Aulion sakit selama seminggu, maka dalam waktu seminggu itu pula dia akan terus memintaku untuk membuatkannya sup. Pria itu tak merasa bosan sama sekali terus-terusan mengonsumsi menu yang sama. Aneh memang.

“Sekarang aku mau bawa ini ke meja makan, kamu masih mau ngelendotin aku?” tanyaku usai memindahkan sup dari panci ke dalam mangkuk. Kedua tanganku juga sudah berada di pinggiran mangkuk, siap mengangkatnya ke meja makan.

Untuk yang satu ini Aulion tidak bisa protes. Pada akhirnya dia melepaskan dekapannya dari tubuhku walau sempat mencuri satu kecupan singkat di pipiku.

Aku yang sudah bisa bergerak bebas pun segera membawa sup tersebut ke meja makan sembari menyuruh Aulion untuk mengambil tempat terlebih dahulu. Sementara aku mulai menyiapkan peralatan makan dan menu makan malam lainnya yang juga hasil masakanku sendiri di atas meja.

“Dikit aja, Ra. Mulut aku masih kerasa pait, nggak enak buat makan,” papar Aulion ketika aku tengah mengambilkan nasi untuknya.

“Segini?” Kuperlihatkan isi piring tersebut pada Aulion, meminta pendapatnya.

Aulion mengangguk sebanyak dua kali. Lalu, kuserahkan piringnya yang sudah berisi nasi dan membiarkannya mengambil lauk sendiri.

“Besok kalo masih nggak enak badan, nggak usah ngantor dulu, Mas,” ucapku yang sudah dalam posisi duduk setelah mengisi piringku dengan nasi.

Aulion menyesap kuah sup terlebih dahulu sebelum menyahutiku. “Sekarang udah agak enakan, kok. Kayaknya besok nggak masalah kalo kerja.”

“Tapi kalo besok pagi badan kamu masih panas, aku nggak akan ngebolehin kamu keluar dari apartemen sejengkal pun. Okay?” Aku membuat tawaran pada Aulion. Sebab, pria yang satu ini kadang suka bandel. Sifatnya yang gila kerja sering kali digunakan untuk mengabaikan kondisi tubuhnya sendiri.

Okay,” jawab Aulion yang membuatku tersenyum menang, tetapi hanya bertahan sekejap karena kalimat lanjutan darinya. “Tapi kamu juga harus bolos kerja buat nemenin aku.”

Aku memutar kedua bola mataku. Kubatalkan niatku yang tadinya hendak memasukkan sesuap nasi ke dalam mulut. Manikku juga sudah menyorot Aulion yang duduk di hadapanku, sedang menyantap makanannya tanpa peduli dengan perubahan raut wajahku.

“Kerjaanku udah numpuk gara-gara cuti kemarin, Mas. Jangan aneh-aneh, deh.”

Aulion mengangkat kepalanya, melempar senyum setengahnya padaku, seakan-akan tidak merasa bersalah sama sekali dengan omongannya sebelumnya.

“Ya, udah, untuk saat ini nggak apa-apa. Tapi setelah kamu jadi istriku nanti, aku nggak akan ngebiarin kamu kerja kalo aku juga nggak bisa kerja. Deal?”

Aku baru saja memasukkan sesendok nasi dan lauknya ke dalam mulutku, sudah siap untuk mengunyahnya, tetapi mulutku mendadak tak bisa digerakkan. Mataku yang mengarah pada Aulion pun berkedip sebanyak dua kali dengan kilat keterkejutan yang menyambar.

Kalau tidak salah, Aulion sangat jarang sekali membawa-bawa topik seputar aku yang kemungkinan akan dijadikan sebagai istrinya. Dan entah setan apa yang merasukinya saat ini, pria itu tiba-tiba membahas hal tersebut.

Tentu saja aku langsung diserang shock. Ucapannya sebelumnya sontak memberi secercah harapan padaku, bahwa hubungan yang tanpa status ini tak akan berakhir sia-sia. Aulion sepertinya serius denganku.

Semoga saja pikiranku kali ini tidak berkhianat sebab aku sudah terlanjur berharap.

•••

Udah ada clue dikit, tuh? Kira-kira gimana menurut kalian?🤭

Mau double update nggak, nih? Aku tunggu komennya rame dulu, ya😋

14 Oktober, 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top