Bab 13

Ketemu lagi hari ini!

Aku pengen double update sebenernya, tapi entar aja deh ya, kalo tiap bab di cerita ini tembus 500 votes😋 bismillah yok bisa yok🤭

Selamat membaca❤

•••

“Kenapa kamu nginep di rumahmu yang kayak neraka itu sih, Ra? Kayak nggak punya temen yang tinggal di sini aja.”

Aku menyesap teh hangat dalam cangkir yang sedari tadi kugenggam dengan kedua tangan. Mataku melirik ke atas, memerhatikan Isna—salah satu teman baikku di kampung halaman. Senyum geli hadir dalam wajahku, merasa terhibur dengan omelan Isna yang kini sudah punya dua anak.

Dia masih berdiri di hadapanku, dengan sebelah tangan yang menggendong anaknya yang baru berumur satu tahun. Sedang tangannya yang lain digunakan untuk mengotak-atik ponselnya.

“Aku telepon suamiku dulu, Ra. Biar pas pulang nanti aku suruh dia mampir ke rumah Pak RT buat gerebek ibu kamu itu,” ucap Isna dengan nada menggebu-gebu.

Aku masih menikmati teh hangat buatan Isna, terus menyesapnya hingga tersisa setengah sambil terus memerhatikan Isna yang terlihat begitu kesal.

Sejujurnya sudah jadi rahasia umum tentang sikap ibuku yang seperti itu. Dari dulu Isna ingin sekali mengusir ibuku dari daerah sini, tetapi hal itu sangat tidak memungkinkan. Ditambah lagi dengan permintaanku supaya ibuku tetap diperbolehkan tinggal di sini.

Isna dan orang-orang di sekitar sini memang tidak ada yang suka dengan ibu. Syukurnya ibu memang jarang sekali pulang ke rumah hingga tidak ada cekcok yang harus terjadi setiap hari karena ibuku memang tipe orang yang suka ngotot.

Saat pulang ke kampung halaman, aku bisa saja menyewa hotel atau menginap di rumah Isna, tetapi entah kenapa aku tidak pernah bisa melakukannya. Kendati ibuku sangat kejam padaku sejak dulu, tetap saja rumah itu memiliki banyak kenangan indah. Apalagi saat aku dan ayahku masih tinggal bersama.

Dan lagi, aku sengaja menginap di rumah juga karena ingin memastikan jika kondisi ibuku baik-baik saja.

Ya, meski sudah berulang kali disakiti oleh ibu, aku tetap tidak bisa abai terhadap dirinya. Sisi lain dalam diriku menolak keras ketika aku hendak memutus hubungan dengannya walau aku tahu ibu akan sangat senang jika hal itu terjadi.

“Nggak usah repot-repot, Na. Biarin ajalah dia mau apa juga.” Aku mulai menanggapi celotehan Isna setelah meletakkan cangkir berisi teh hangat milikku ke atas meja.

Isna menghela napas panjang, berpaling sejenak padaku dengan ekspresi jengah. “Masih mau belain ibu kamu?”

“Bukan mau ngebelain, tapi entar urusannya jadi panjang, Na. Aku pulang ke sini karena pengen nenangin pikiran. Sia-sia dong kalo entar ada huru-hara kayak gitu.” Aku membuat pembelaan.

Isna terdiam sekejap dengan pandangan kosong ke depan. Kemudian helaan napas panjang kembali keluar dari mulutnya seiring dengan posisi berdirinya yang diubah menjadi duduk.

“Capek banget lihat kelakuan ibu kamu itu,” gerutu Isna dengan putaran di kedua bola matanya.

Aku hanya tersenyum tipis, berterima kasih pada Isna yang sudah sebaik ini padaku. Dan malam ini pun kuputuskan untuk menginap di rumahnya.

•••

Aku melirik jam di dinding dengan pandangan yang menyipit. Beberapa kali mengedip hanya untuk mencerahkan penglihatanku yang tampak samar.

Jarum jam masih menunjukkan pukul empat pagi. Aku terpaksa bangun karena suara pintu kamar yang diketuk beberapa kali, serta namaku yang turut disebut berulang-ulang.

“Kenapa, Na?” Aku berteriak dari dalam sambil mencoba memulihkan kesadaran dengan keluar dari dalam selimut lalu duduk sebentar di pinggir ranjang.

“Keluar bentar, Ra,” balas Isna, yang sedari tadi memanggil-manggilku.

Aku menggosok wajahku dengan telapak tangan. Bersamaan dengan itu pula aku sudah kembali mendapatkan kesadaranku secara penuh. Kemudian melangkah menuju pintu dengan segenap pertanyaan kenapa Isna membangunkanku di pagi buta seperti ini.

Begitu membuka pintu kamar, pandanganku berlabuh pada Isna tidak lebih dari tiga detik. Fokusku malah tersedot oleh sesosok pria yang berdiri di belakang Isna. Sesosok pria yang dibalut hoodie dan celana panjang, dengan rambut yang terlihat acak-acakan serta pandangan sayu yang terus mengarah padaku.

“Mas?”

Dan ya, sosok pria yang paling menarik perhatianku setelah membuka pintu kamar adalah Aulion. Entah bagaimana bisa dia mengetahui keberadaanku di sini. Padahal, aku tidak pernah menceritakan di mana letak rumahku secara detail padanya.

Sedetik kemudian, kurasakan Aulion mendekap tubuhku dengan erat, membuat Isna perlahan mundur ke belakang dan berdiri di samping suaminya.

“Mas?” Sekali lagi kupanggil Aulion saat dia hanya memelukku dalam beberapa waktu tanpa berbicara sama sekali. Tetapi hanya dengan pelukannya saja aku bisa merasakan ketakutan yang luar biasa dalam dirinya.

Aulion tak kunjung buka suara. Dan aku pun memutuskan untuk membalas pelukannya, mengusap punggungnya naik turun dengan gerakan lembut. Saat itu pula Isna dan suaminya pamit, memberi waktu untuk kami berdua.

“Aku nggak apa-apa, Mas,” ucapku, dengan suara yang terdengar lirih. Kendati dia tak bertanya perihal keadaanku, aku tahu Aulion sangat amat mengkhawatirkanku.

Jujur saja, aku tidak bisa terlelap dengan nyenyak. Aku bahkan baru bisa tidur di jam tiga pagi karena memikirkan Aulion yang kusadari mendengar semua percakapanku dengan ibu.

Barangkali Aulion sudah mendengar dengan telinganya sendiri jika ibuku menggeluti profesi yang jauh dari kata mulia.

Hal itulah yang sejak dulu menjadi alasanku belum ingin mengenalkan Aulion pada keluargaku yang jauh dari kata sempurna. Ibuku adalah seorang pekerja seks komersial, sementara ayahku menderita gangguan jiwa.

Aku terus memikirkan hal itu. Merasa tidak pantas berada di sisi Aulion dengan keluarganya yang begitu sempurna. Bahkan, sempat terbersit dalam benakku untuk mengakhiri hubungan kami. Sebab, aku tidak ingin keluarga Aulion menanggung malu karena telah memilihku sebagai pasangannya.

Kurang lebih tujuh menit berlalu, Aulion akhirnya melepas dekapannya di tubuhku. Dia benar-benar tampak kacau. Tetapi yang membuatku terenyuh seketika adalah wajahnya yang kelihatan basah karena air mata.

Apa dia baru saja menangis? Karena aku?

“Ra.” Aulion menyebut namaku dengan suaranya yang bergetar. Kedua tangannya sudah merangkum wajahku dengan netra yang menatapku lekat. “Aku nggak akan pernah lagi ngebiarin kamu sendirian. Nggak akan pernah,” katanya dengan penuh tekad.

Melihatnya yang serapuh ini, entah kenapa aku juga tidak bisa menahan kepiluanku. Tiba-tiba saja setetes air mata jatuh, yang kemudian langsung diusap dengan lembut oleh ibu jari Aulion. Bibirku bahkan bergetar saat isakan hendak ambil bagian.

“Ayo, pergi. Aku udah nyewa hotel di sekitar sini,” ucap Aulion sembari menarik tangannya dari wajahku dan mengelap sisa-sisa air mata dari wajahnya.

“Mas.” Aku mengambil satu tangannya, membawa ke dalam genggamanku dengan kepala yang menunduk. Air mataku keluar semakin deras hingga aku tak bisa berkata apa pun lagi.

Aulion menarikku dengan lembut dan kembali memelukku. Kali ini gantian aku yang menangis dalam dekapannya. Perasaanku campur aduk. Takut. Marah. Sedih. Semuanya berkumpul menjadi satu, menusuk-nusuk hatiku tanpa ampun.

Namun, begitu aku menatap wajah Aulion, seluruh perasaan itu lambat laun tergantikan dengan rasa aman. Terlebih lagi saat Aulion mendekapku dalam pelukan hangatnya.

“Aku janji akan jagain kamu terus, Ra.”

Aku hanya mengangguk-anggukkan kepalaku saat janji lainnya terlontar dari mulut Aulion. Dan aku sepenuhnya yakin jika janji itu benar-benar akan dilaksanakan olehnya, bukan hanya sekadar kalimat bualan semata.

•••

Setelah baca bab ini, kalian dukung Tiara tetep bareng Aulion nggak?🤭

Ketemu lagi secepatnya kalo kolom komentarnya udah rame kayak bab sebelumnya💃

10 Oktober, 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top