Bab 11

HAI!

Sweet Partner hadir menemani malam minggu kalian💃

Btw ini draft terakhir yang aku punya dan aku belum nulis lanjutannya sama sekali. Jadi, hayuk jangan lupa vote dan komen yang banyak biar aku ada niat buat nulis lanjutan cerita ini😭👌

Selamat membaca❤

•••

“Mas, bawangnya udah dicuci belum?”

Aku menatap layar di depanku dengan fokus, mengamati setiap gerak-gerik Aulion yang berada di seberang sana.

“Belum. Dicuci dulu, ya?”

Mulutku berdecak, tetapi juga merasa lucu dengan pria di dalam layar ponselku tersebut. Tingkahnya sangat polos, benar-benar seperti seorang amatir yang coba-coba masuk ke dapur untuk memasak.

Saat ini, aku sedang melakukan panggilan video dengan Aulion. Tiba-tiba saja dia ingin makan ayam teriyaki buatanku. Sayangnya aku masih berada di kampung halamanku. Maka dari itu, Aulion memutuskan menghubungiku agar aku bisa memberinya instruksi secara langsung sambil mengawasinya tentunya. Takut-takut dia membuat dapur meledak.

“Dicuci dululah, Mas. Baru setelah itu dipotong. Kamu kebalik prosesnya.”

Okay, Sayang.” Ibu jari dan jari telunjuk Aulion membuat tanda “okay”. Selanjutnya dia mencuci bawang sesuai arahanku.

Aulion terlihat begitu fokus dengan masakannya. Walaupun wajahnya berjarak agak jauh dengan kamera, aku masih bisa melihatnya dengan jelas. Terutama mulutnya yang sedikit mengerut ketika dia sedang serius. Rasanya aku ingin berada di dekatnya, mengganggunya saat memasak—seperti yang sering dia lakukan padaku.

“Bener nggak motongnya gini?” Aulion mendekatkan talenan yang berisi potongan bawang ke kamera, meminta pendapatku.

“Bawang putihnya dihalusin lagi, Mas. Kayak dicincang gitu,” koreksiku yang segera diikuti olehnya.

Ya, Tuhan! Pria itu sangat menggemaskan. Padahal, aku tahu Aulion tidak akan pernah mau menyentuh dapur. Katanya repot, tetapi karena dia rindu dengan masakanku, dia rela menghabiskan waktunya di dapur. Bagaimana aku tidak ingin cepat-cepat pulang. Padahal, aku baru dua hari meninggalkannya.

Tubuhku sudah mulai terasa rileks setelah dua hari berada di sini. Pikiranku tenang. Tidurku pun berangsur-angsur nyenyak. Apalagi aku memilih untuk tidur di siang hari juga. Rasanya sebagian energiku yang hilang mulai kembali memenuhi diriku.

Untungnya aku sendirian di rumah. Dari kabar yang kudengar, ibu sedang ada kerjaan di luar kota. Semoga saja dia tidak kembali sebelum aku meninggalkan rumah. Aku hanya tak ingin bertatap muka dengannya. Hanya melihat wajahnya saja sudah berhasil memupuk amarahku sampai ke ubun-ubun.

Dan ayahku ... nanti aku akan mengunjunginya. Sudah lama aku tak melihatnya. Rasa rinduku padanya sudah begitu besar. Selama ini aku hanya bisa memantau perkembangannya lewat perawat yang bekerja di rumah sakit tempat ayahku di rawat.

“Kamu sendirian, Ra?” tanya Aulion saat kini dia sudah beralih memotong ayam.

Aku mengangguk walau kutahu saat ini Aulion sedang fokus dengan ayamnya.

“Ra?” Kali ini dia menghentikan sejenak kegiatannya, menatap pada layar di depannya untuk melihatku.

Nah, sepertinya aku salah memberinya jawaban berupa anggukan tanpa suara.

“Iya, Mas. Aku sendirian.”

Merasa puas dengan jawabanku sebelumnya, Aulion kembali melanjutkan kegiatannya. Tetapi kemudian pertanyaan baru terlontar dari mulutnya, “Ibu ke mana?”

“Ke luar kota,” jawabku dengan cepat. “Kalo udah selesai langsung siapin minyaknya, Mas.” Aku langsung mengalihkan pembicaraan setelahnya, menolak obrolan seputar orangtuaku secara halus.

Sepertinya Aulion menyadari keenggananku atas topik tersebut sebab dia tidak lagi bertanya.

Bertahun-tahun mengenalku, aku yakin Aulion sudah paham jika membicarakan orangtuaku adalah hal yang paling tidak aku sukai. Walaupun dia tidak tahu alasannya, dia tetap menunggu dengan sabar sampai aku siap menjelaskannya langsung padanya.

Untuk yang satu itu, aku cukup merasa bersalah pada Aulion. Padahal, dia hanya ingin mengenal keluargaku, tetapi aku selalu melarangnya, terus-menerus memberi alasan agar hal itu tidak terjadi.

•••

Selepas melakukan panggilan video dengan Aulion, aku bersiap untuk membesuk ayahku siang ini. Butuh waktu sekitar dua jam dari rumah untuk tiba di rumah sakit yang berada di pusat kota. Aku hanya perlu menaiki bus untuk sampai di sana.

Aku sudah berpakaian rapi, menyiapkan beberapa lembar uang tunai yang nantinya akan kugunakan untuk membeli makanan yang ayah suka sebagai buah tangan. Semangatku melonjak ke level yang paling tinggi. Senyum tak hilang dari bibir sejak aku bersiap untuk mengunjungi ayah.

Namun, saat aku keluar kamar, senyumku langsung lenyap begitu menemukan ibuku di sana, dengan wajah yang tampak lelah dan makeup tebal yang belum dihapus.

Aku tidak ingin merusak suasana hatiku siang ini. Aku ingin menyiapkan senyum terindah untuk ayah. Maka dari itu, aku melengos begitu saja dari hadapannya. Hanya melihat sekilas tanpa menyapa sama sekali.

“Kamu mau ke mana?”

Helaan napas panjang keluar dari bibirku bersamaan dengan kedua kakiku yang berhenti melangkah. Aku lantas berbalik, memberinya tatapan tak peduli dengan raut muka yang kubuat sedatar mungkin.

“Memangnya Ibu peduli?” Pertanyaanku terdengar seperti sedang menantangnya.

Ibu tersenyum sekilas lantas melipat kedua tangannya di depan dada, menelitiku dari atas sampai bawah dengan pandangan remeh. “Seharusnya kamu nggak usah pulang ke sini lagi. Kamu cuma bisa nambah-nambahin beban aja. Tagihan bulanan untuk listrik sama air pasti naik gara-gara kamu di sini.”

Aku mendengkus sinis. Setelah sekian lama aku tidak pulang, yang pertama kali terucap dari mulutnya adalah kalimat menyalahkan seperti itu. Salah satu hal yang membuatku enggan mengenalkan Aulion pada ibu adalah sifatnya yang menganggapku bukan seperti anaknya sendiri, melainkan seorang musuh.

Sejak aku lahir, ibu selalu menyalahkan kehadiranku. Tak pernah sedikit pun kuterima kasih sayang darinya. Untuk itu, sejak SMP aku memutuskan untuk hijrah ke kota lain, menetap bersama tanteku yang sayangnya sekarang sudah tinggal di luar negeri.

Terkadang, aku ingin menerima fakta jika ibu ternyata bukanlah ibu kandungku sehingga aku tak perlu menyisihkan sedikit rasa hormatku padanya. Sayangnya, wajahnya yang delapan puluh persen diwariskan padaku menunjukkan jika harapanku harus kubuang jauh-jauh.

“Sebelum pulang, aku bakal tinggalin uang di rumah. Ibu tenang aja.” Aku menanggapinya dengan nada angkuh. Untunglah sekarang hidupku sudah mapan sehingga tidak harus merengek di bawah kakinya untuk meminta ampun seperti dulu.

“Baguslah,” pungkasnya sambil lalu, yang lantas berpaling dariku dan berjalan menjauh begitu saja.

Kutarik napas dalam-dalam, mensugesti pikiranku agar tidak terpengaruh dengan sikap ibuku barusan. Hal seperti itu sudah biasa kuterima dalam hidupku. Jadi, aku pasti akan baik-baik saja.

Tanpa memedulikan ibu, aku segera bergegas meninggalkan rumah. Tak sabar rasanya ingin segera sampai ke rumah sakit tempat ayahku di rawat.

Dan di sinilah aku sekarang. Setelah melewati perjalanan selama kurang lebih satu jam empat puluh lima menit, aku akhirnya menginjakkan kaki di tempat ayah dirawat selama ini.

Sebelum masuk ke dalam, aku memilih untuk membalas pesan Aulion terlebih dahulu. Saat dalam perjalanan tadi, aku menghilangkan rasa bosan dengan melakukan chatting bersama pria  itu.

Rumah Sakit Jiwa Mahagoni.

Begitulah tulisan di bagian depan bangunan yang bentuknya masih terdapat unsur arsitektur Belanda ini. Tampak sedikit sepi di bagian depan. Dan ya ... sakit yang diderita ayahku selama ini adalah gangguan mental.

Bersyukur sekali rasanya aku bisa mendapat gaji yang besar hingga bisa membuat ayahku tetap bisa dirawat di sini selama beberapa tahun belakangan ini. Ah, jangan tanyakan bagaimana kontribusi ibu selama ayah sakit. Wanita itu jelas tidak peduli.

“Mbak Tiara?”

Salah seorang suster yang sudah kukenal dengan baik tampak terkejut dengan kehadiranku. Dia mungkin tak menyangka jika aku akan datang secepat ini setelah kemarin sempat bertanya-tanya soal kondisi ayah.

“Hai, Mbak! Apa kabar?” Kulempar senyum lebar pada wanita yang berumur tiga puluhan itu sembari memeluknya sekilas.

“Baik, Mbak,” jawabnya yang terlihat begitu ramah. “Bapak ada di taman, Mbak. Barusan selesai makan.”

“Aku langsung ke sana aja ya, Mbak.” Bibirku benar-benar tak menghilangkan sedikit pun senyum. Aku sangat bersemangat.

“Silakan, Mbak. Ada Mbak Jihan juga. Tadi dia yang suapin Bapak.”

Kakiku yang hendak melangkah ke taman rumah sakit urung seketika saat mendengar nama Jihan disebut. Senyumku pun lenyap tanpa peringatan, begitu terkejut mendengar kabar Jihan juga berada di sini.

Apa yang sedang perempuan itu lakukan? Bukannya dia sudah tidak lagi peduli padaku? Apalagi pada ayahku yang sejak awal sudah dianggap seperti ayahnya sendiri.

Tak dapat dipungkiri jika Jihan sangat dekat dengan ayahku, seperti halnya aku yang juga sangat lengket dengan keluarganya. Tetapi setelah apa yang terjadi di antara kami, kenapa dia masih peduli?

Benar saja, Jihan juga berada di sini. Dari jarak sekitar lima meter, aku menemukannya yang tengah berbincang santai dengan ayahku.

Pelan, kakiku mulai berjalan mendekatinya. Tiba-tiba saja perasaanku membuncah penuh kesedihan. Entah karena apa. Aku tak dapat mendefinisikannya.

“Jihan?” Suaraku bergetar saat menyebut namanya.

Yang dipanggil langsung menoleh. Kedua matanya sontak membulat lebar melihat kehadiranku yang tak disangka-sangkanya. Jihan lantas segera memulihkan ekspresinya sebelum bangkit berdiri dan pergi begitu saja dari hadapanku tanpa pamit.

Tubuhku rasanya begitu kaku, terasa berat bahkan hanya untuk mengangkat kakiku saja. Kepalaku menunduk dalam dengan air mata yang perlahan mulai menetes keluar.

Sudah kubilang jika aku belum siap bertemu dengan Jihan. Aku terlalu pengecut untuk sekadar mengucap kata maaf padanya.

Permintaan maaf karena telah merebut Aulion darinya.

•••

25 September, 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top