Bab 10
Hai! Ada yang nungguin cerita ini update, gak?
Seperti biasa, guys, vote sebelum baca dan jangan lupa tinggalkan komentar yang banyak💃
Selamat membaca❤
•••
Aku membereskan tempat tidur Aulion, melipat selimut dan menyusun bantal dengan posisi berjajar supaya terlihat lebih rapi. Pagi tadi aku tak sempat melakukannya. Lagi-lagi aku bangun terlambat meski malamnya aku tidak melakukan apa pun dengan Aulion selain berpelukan.
Sejak pembicaraan kami waktu itu, Aulion memintaku untuk menginap di apartemennya. Katanya dia sangat merindukanku. Dan sudah tiga hari berturut-turut aku bermalam di kediamannya.
Seperti yang aku bilang tadi, kami tidak melakukan kegiatan panas di atas ranjang. Aulion mungkin ingin melakukannya, tetapi dia lebih memilih untuk menurunkan egonya saat aku menolak dengan alasan terlalu lelah.
Aku memang cukup letih dengan apa yang terjadi belakangan ini. Karena pikiran yang terus bekerja ekstra, badanku pun ikut merasakan dampaknya. Aku merasa tidak bersemangat selama beberapa hari ini. Oleh karenanya aku meminta jatah cuti pada Aulion.
Dia tentu saja mengizinkan. Aku juga tidak pernah mengambil jatah cutiku selama ini. Kecuali jika keluarga Aulion mengajak liburan tentunya. Maka, kali ini kuputuskan untuk mengambil cuti mandiri selama beberapa hari.
Tujuanku selama cuti adalah pulang ke kampung halaman. Rasanya sudah cukup lama aku tidak pulang. Mungkin di sana aku bisa melepas pikiran-pikiran jahat dalam kepalaku. Aku butuh ketenangan. Dan selama berada di sana, aku tidak ingin memusingkan perihal pekerjaan walau kutahu Aulion akan sangat kerepotan bila tak ada aku di sisinya.
"Peluk sebentar."
Aulion tiba-tiba saja memeluk tubuhku dari belakang saat aku tengah menutup gorden. Dagunya jatuh di atas pundakku bersamaan dengan hidungnya yang membaui leherku.
Aku terkekeh sembari menjatuhkan tanganku di atas tangannya yang bertengger di perutku. “Udah nggak kangen, kan?”
“Mana bisa aku nggak kangen sama kamu.” Ucapannya bernada manja.
Tanganku naik ke atas, membelai wajahnya. “Aku udah di sini dari hari minggu, lho.”
“Tetep aja, Ra. Kamu ngangenin soalnya.”
Aku mendengkus geli mendengar rayuannya. “Alay, ih.”
“Biarin,” sahut Aulion tak acuh. Kini dia malah memberi beberapa kecupan di leherku hingga membuatku sedikit kegelian.
“Ngapain sih, Mas?” protesku yang tampaknya tak dihiraukan sama sekali olehnya. “Udah, ih, meluknya. Aku masih harus balik ke kos buat ngambil barang-barang.”
“Lima menit lagi, Ra. Kamu pasti nanti di stasiun nggak mau dipeluk.”
Lagi-lagi aku tertawa, tetapi tak pelak membenarkan apa yang barusan terucap dari mulut Aulion. Aku hanya tidak terlalu suka mengumbar kemesraan di depan umum. Agak risi rasanya bila menjadi pusat perhatian.
Kubiarkan Aulion mendekapku sesuai waktu yang dia minta. Meninggalkan Aulion selama beberapa hari sudah pasti akan membuatku merindukannya, maka aku juga memilih untuk menikmati pelukan hangatnya.
“Mas.” Aku kembali bersuara setelah sekitar dua menit berlalu dalam sunyi.
“Hm?”
“Kamu jangan minum-minum lagi, ya,” pintaku sepenuh hati.
Melihat Aulion mengonsumsi minuman beralkohol memang bukan hal baru lagi bagiku. Itu tidak mengejutkan sama sekali. Sifat Aulion yang satu itu sudah kuhafal dalam ingatan. Jika dia benar-benar sedang merasa down, maka alkohol adalah pelariannya.
Tetapi itu dulu, saat dia belum bertemu denganku. Setelah bersamaku, Aulion mulai berubah. Dia tak lagi melampiaskan emosinya pada alkohol, melainkan padaku. Dia hanya butuh diberi pelukan dan dukungan. Sayangnya waktu itu akulah penyebab dirinya begitu stres. Tidak adanya diriku di sisinyalah yang membuat Aulion pada akhirnya memilih untuk menumpahkan segala emosinya dengan cara mabuk-mabukan.
Sejujurnya aku sedih melihatnya seperti itu. Saat itu Aulion pasti sangat kebingungan. Dia kehilangan sandarannya dan dipaksa untuk menghadapi semuanya seorang diri.
“Nggak akan, Ra. Maaf karena kemaren aku kelepasan,” jawabnya dengan nada bersalah yang begitu kentara.
Aku tersenyum, mengusap punggung tangan Aulion untuk menenangkannya. Dia sangat tahu jika aku tak menyukai perilakunya yang satu itu, tetapi aku juga tidak bisa menyalahkannya sepenuhnya. Karena kesalahpahaman yang terjadi, hubungan kami jadi kacau.
“Kalau ada apa-apa selama aku pergi, kamu cerita aja ke aku, Mas.”
Aulion menarik dagunya dari bahuku seiring dengan pelukannya yang melonggar, tetapi kemudian dia memutar tubuhku hingga kami saling berhadapan. Lagi, kedua lengannya memeluk pinggangku.
Dengan wajah bingungnya, dia kemudian bertanya, “Aku boleh ganggu waktu kamu selama di sana?”
"Mas, aku di sana cuma pingin bebas dari kerjaan sebentar, bukan buat ngehindari kamu." Aku terkekeh mendengar pertanyaannya yang terdengar begitu polos. "Ya, jelas bolehlah. Aku juga nggak mau ketinggalan kabar dari kamu."
Perlahan, bibir Aulion kembali mengembang, membentuk senyuman lebar sampai deretan giginya terlihat. Dia tampak seperti bocah yang sedang kegirangan setelah mendapat mainan baru.
“Aku pikir kamu bener-bener nggak mau diganggu.” Dia cengengesan di akhir kalimat.
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku. Senyum geli masih bertahan di bibirku. Lucu saja melihat sikap Aulion yang seperti itu.
Aulion kemudian menghadiahkan satu ciuman di bibirku, yang lantas berlanjut menjadi pagutan selama beberapa saat.
Ck! Pria yang satu ini memang tidak pernah mau rugi.
“Ra, aku ikut kamu aja boleh nggak, sih?” tanya Aulion setelah kami berada di lift, menuju basement dan bersiap pergi ke kosanku untuk mengambil barang-barang yang hendak kubawa pulang.
“Jangan aneh-aneh deh, Mas.”
Aulion mengambil satu tanganku untuk digandengnya kemudian. Lalu, sama-sama kami berjalan menuju tempat di mana mobil pria itu diparkir.
“Makanya kamu baliknya jangan minggu, Ra. Kelamaan. Aku keburu kangen.”
Aku memilih untuk masuk ke dalam mobil terlebih dahulu sebelum menanggapi ucapan Aulion. “Kamu hidup di zaman apa sih, Mas. Sekarang, kan, udah bisa video call.”
“Kalo video call nggak bisa meluk kamu.”
“Peluk online,” balasku asal.
Aulion kemudian melajukan mobilnya, bergabung bersama kendaraan lainnya di jalan raya. Namun, tampaknya dia masih tak ingin menyelesaikan perdebatannya denganku.
“Serius deh, Ra, aku ikut kamu aja ya? Masih ada tiket kereta yang sisa, kan?”
Aku memutar kedua bola mataku. “Aku udah atur jadwal kamu, Mas. Ada rapat yang nggak bisa kamu tinggal.”
“Ya, udah, tinggal dijadwal ulang aja,” jawabnya seenak jidat.
Ada apa, sih, dengan Aulion? Dia kelihatan semakin manja. Apa ini efek dari pertengkaran kami kemarin? Tetapi biasanya dia tidak pernah seberlebihan itu.
“Jangan ngada-ngada deh, Mas.”
“Gimana kalo hari sabtu aku susulin kamu?”
Ya, Tuhan!
“Kurang kerjaan. Hari minggu aku juga udah balik ke sini lagi.”
“Sesekali aku pengen ikut kamu, Ra. Sekalian kenalan sama orangtua kamu. Selama ini, kan, belum nemu waktu yang tepat buat ketemu mereka.”
Napasku tiba-tiba tercekat saat Aulion membicarakan soal orangtuaku. Selama ini aku memang tidak pernah mengenalkan pria itu pada keluargaku. Aulion tidak tahu asal-usulku selain kampung halamanku. Dia tidak tahu siapa kedua orangtuaku, apa aku punya saudara atau tidak. Hal-hal berbau pribadi seperti itu selalu bisa kututupi dengan baik.
Kini, Aulion kembali menyinggungnya, membuatku merasa tak enak hati padanya. Bukan aku tak mau mengenalkannya pada orangtuaku, tetapi keadaan yang tidak memungkinkan membuatku selalu menutup rapat perihal keluargaku.
“Oh, iya, Bapak gimana kabarnya? Masih sakit?”
Topik seputar orangtuaku masih menjadi hal yang ingin Aulion bicarakan selagi kami dalam perjalanan menuju statiun kereta. Nyatanya, aku tidak suka membahas hal itu. Aku belum siap jika Aulion tahu tentang keluargaku.
“Bapak udah lumayan sehat kok, Mas,” jawabku dengan berat hati, berharap Aulion segera menyudahi perbincangan mengenai keluargaku.
Aulion menganggukkan kepalanya. “Jadi, aku tetep nggak boleh nyusulin kamu, Ra?”
Aku menatap Aulion, mengamati wajahnya yang tengah serius dengan jalanan di depan sana. Walau begitu, aku masih dapat menemukan raut berharap dalam ekspresinya.
“Nanti ya, Mas. Kalo udah saatnya, aku pasti bakal ngenalin kamu ke orangtuaku,” jawabku pada akhirnya, memilih untuk main aman.
Padahal, aku juga tidak bisa menjanjikan kepada Aulion kapan “nanti” yang kumaksud.
•••
23 September, 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top