Bab 1

Yuhuuu! Akhirnya aku update Bab 1-nya juga, nih🥳

Eitss tapi bentar.. aku cuma mau ngingetin kalo kalian harus cukup dewasa ya untuk baca cerita ini biar bisa menyikapi apa yang aku sajikan di sini dengan bijak🥰

Nah, kalo yang masih merasa bocil dan belum cukup umur, inget apa kata kang parkir? Yak betul, mundur🤣

Selamat membaca sayang-sayangku. Jangan lupa ramekan kolom komentarnya❤

•••

“Tadi malem kamu keluarin di dalem, ya?”

Kumundurkan kepalaku beberapa senti dari dada bidang pria di sisiku, menatap lurus ke dalam matanya yang masih tampak sedikit sayu sekembalinya dari alam bawah sadar. Pria dengan iris cokelat gelap itu terkekeh kecil.

“Selamat pagi juga, Sayang.” Dia memajukan wajahnya untuk menanamkan sebuah kecupan ringan di dahiku.

“Bener, kan? Tadi malem keluar di dalem, kan?” Aku kembali menodongnya dengan pertanyaan yang sama.

Tawanya kembali terdengar di telingaku. Kedua mataku semakin menyipit ketika menatapnya, menunjukkan keseriusan akan pertanyaanku.

“Iya-iya, aku keluar di dalem,” jawabnya pada akhirnya.

Bibirku mencebik sebagai respons pertama atas jawabannya. “Kamu nggak pake kondom, kan?”

“Kamu kan tahu kalo aku nggak suka pake kondom.”

Kuembuskan napas panjang, sedikit kesal karena pria itu menjawabnya dengan santai.

“Kalo aku hamil gimana?” Pertanyaan baru keluar dari mulutku, begitu ketus dan terucap dengan cepat.

“Kamu nggak mau hamil?”

Aku memutar kedua bola mataku, merasa jengah dengan dirinya yang malah balas bertanya.

“Mau, tapi nggak sekarang, Mas.”

Aku sudah sekesal ini, tetapi dia masih bisa senyum-senyum tidak jelas seperti itu. Dia pikir aku bercanda apa?

“Mas! Ih, kamu tuh kebiasaan,” tukasku saat melihat pria yang bernama Aulion itu malah bangkit dari ranjang setelah sempat memberi ciuman kecil di rambutku.

“Kenapa lagi, Tiara?” Tanpa melihat ke arahku, Aulion berdiri di sisi ranjang sembari memakai celananya yang tadi malam dibiarkan teronggok menyedihkan di atas lantai yang dingin.

Aku yang berbaring miring sedari tadi, tentu saja dapat menyaksikan dengan jelas kedua bokong telanjang Aulion. Seketika tanganku merasa gatal, ingin segera meremasnya.

Sialan emang pikiran gue. Nggak ada harga dirinya banget.

Aku menggeleng kuat, menghilangkan pikiran mesum yang mulai merasuki benakku. Entah kenapa, sejak mengenal Aulion, beberapa setan mesum dari gunung dan laut mulai membuat sarang tersendiri di otakku.

“Kalo orang nanya, tuh, jawabnya yang bener.”

Aulion yang telah selesai mengenakan celananya lantas berbalik, menatapku dengan senyum setengahnya dan kedua lengan yang disilangkan di depan dada.

“Salah lagi?”

“Salahlah,” jawabku dengan ketus.

Kemudian aku mengubah posisiku menjadi duduk, menarik serta selimut untuk menutupi tubuh telanjangku lantas kembali menatap Aulion yang ternyata masih memerhatikanku dengan lekat.

“Ambilin baju aku, Mas.”

“Minta tolong?” Bukannya langsung menjalankan apa yang keluar dari mulutku, Aulion masih sempat-sempatnya meledekku yang lupa menyelipkan kata tolong dalam kalimatku sebelumnya.

Pria ini tingkat menyebalkannya memang sudah parah. Kerjaannya bikin aku naik darah mulu.

“Mas, kamu lagi ngajak gelut, ya?” Mukaku sudah tertekuk masam, menyipit ke arahnya sebagai peringatan.

Yang kudengar setelahnya adalah tawa Aulion yang membahana. Hebat. Dia kelihatan puas sekali karena telah berhasil mengundang rasa kesalku pagi ini.

“Kamu sensi mulu sih, Ra,” ucap Aulion seraya menyerahkan satu set pakaian milikku yang sebelumnya tercecer di atas lantai.

“Kamu yang mancing-mancing.”

Aulion mengambil duduk di sisi ranjang. Satu kakinya naik dengan lutut yang ditekuk. Kedua matanya juga tak pernah lepas dariku.

“Kamu bukan ikan, Ra.”

Tuhkan, baru saja hatiku terasa agak dingin karena emosi yang sedikit demi sedikit mulai menghilang. Sekarang malah dibikin panas lagi.

“Mas, jangan ngeliatin dulu. Aku mau pake baju.” Aku mengabaikan kalimat menjengkelkan Aulion barusan dan mengutarakan niatku yang ingin mengenakan baju tanpa dilihat olehnya.

Walaupun aku dan Aulion sudah sering bersama-sama dalam keadaan full naked, tetap saja aku masih punya rasa malu di saat-saat tertentu.

Aulion terkekeh. Dia kemudian mengacak rambutku sebelum bergegas turun dari ranjang. “Aku di dapur ya, Ra. Mau minum kopi dulu.”

Aku hanya memberinya sebuah anggukan, yang setelahnya disusul oleh kepergian Aulion dari kamar ini.

Aulion memang super duper menyebalkan, tetapi dia masih bisa menghargai apa yang aku inginkan. Sikapnya yang manis akan muncul di waktu-waktu tertentu. Dan itu cukup untuk membuat rasa cintaku padanya meningkat ke level selanjutnya.

•••

“Aneh banget ya, Mas. Padahal resepnya udah sama kayak yang Bunda kasih, tapi rasanya nggak seenak buatan Bunda,” ucapku dengan bibir yang mengerut cemberut setelah menelan satu sendok nasi goreng buatanku.

Berbanding terbalik denganku yang sangat ogah-ogahan menyantap nasi goreng tersebut, Aulion yang duduk di hadapanku malah terlihat begitu bernafsu. Dia seperti orang yang tidak diberi makan selama berhari-hari.

“Tapi ini enak, Ra.”

Dia bahkan tidak melihatku ketika menjawab, begitu fokus dengan nasi goreng miliknya yang hanya tersisa setengah piring lagi.

Astaga! Ini orang rakus atau doyan, sih?

Aku menggeleng-gelengkan kepala dengan senyum geli yang muncul di bibirku, merasa takjub dengan kelakuan Aulion yang barbar saat makan. Namun, aku bersyukur karena sarapan buatanku membuatnya makan dengan lahap walaupun aku masih tidak puas dengan rasanya yang tak senikmat bayanganku.

Sama seperti akhir pekan biasanya. Aku akan menghabiskan waktu di apartemen Aulion, tidur di kamarnya dan menghabiskan malam yang panjang dengan berselimut gairah. Entah sejak kapan bercinta masuk ke dalam hubungan kami. Yang jelas, apa pun itu, aku merasa bahagia bila melalukannya berdua bersama Aulion.

Jangan tanyakan apa aku dan Aulion sudah berstatus sebagai suami istri. Sudah pasti jawabannya belum. Atau mungkin tidak. Kami hanya dua orang asing yang kebetulan bertemu dalam keadaan tidak baik-baik saja. Yang kemudian merasa nyaman saat bersama dan sama-sama saling membutuhkan.

Kehadiran Aulion di hidupku bagai obat penyembuh luka hati yang selama ini kucari. Begitu pun peranku dalam hidup Aulion. Kami seperti simbiosis mutualisme. Sama-sama saling menguntungkan.

Dua tahun aku merasa baik-baik saja berhubungan tanpa status yang jelas dengan Aulion. Namun, di tahun ketiga, aku lengah. Aku kecolongan dan tanpa sadar membiarkan hatiku  ikut ambil bagian dalam hubungan kami. Dan tebak apa jadinya.

Ya, aku jatuh cinta pada Aulion.

“Nggak diabisin, Ra?”

Aku meninggalkan lamunanku dan kembali ke dunia nyata begitu mendengar suara Aulion. Kuangkat kepalaku dan mendapati nasi goreng dalam piringnya telah habis tak bersisa.

“Nggak suka, Mas,” jawabku dengan sedikit rengekan dan bibir yang melengkung ke bawah.

Aulion tengah menenggak segelas air mineral sebelum matanya kembali menyorotku. “Kamu mana bisa gendut kalo pola makannya gitu.”

Bibirku mengerucut dengan tangan yang bolak-balik menggerakkan sendok di atas nasi goreng yang hanya masuk ke dalam perutku sebanyak lima suap.

Badanku memang cenderung kurus dengan tubuh yang cukup tinggi. Aku rasa badanku bisa dikatakan ideal. Aku juga tidak mudah gemuk. Malah lebih sering kehilangan berat badan. Hal itu pula yang membuat Aulion sedang gencar-gencarnya membuat berat badanku naik. Katanya, sih, biar orang-orang tak menganggap kalau selama ini aku tidak bahagia berhubungan dengannya.

Aneh. Padahal berat badan seseorang tidak selalu merujuk pada seberapa bahagianya orang tersebut.

“Aku mau makan roti aja deh, Mas. Mau bikin sandwich. Enak kayaknya,” ucapku pada akhirnya, memutuskan untuk tak menghabiskan nasi goreng yang kuanggap gagal.

“Jangan dibuang, Ra. Nanti biar aku makan. Simpen dulu di lemari.”

Okay, Baby!” sahutku dengan suara nyaring lantas meletakkan nasi goreng tersebut di dalam lemari sesuai dengan perintah sang tuan rumah.

Setidaknya aku merasa beruntung kali ini karena Aulion tidak mengomeliku yang tak menghabiskan makananku. Biasanya dia akan berceramah panjang lebar sampai telingaku sakit mendengarnya terus-terusan ribut.

Jujur saja, aku memang pemilih soal makanan. Lebih tepatnya suka tiba-tiba kehilangan selera makan. Aku bahkan bisa tidak menyukai hasil masakanku sendiri. Seperti tadi misalnya.

Aku menghabiskan waktu selama beberapa menit di dapur, membuat sandwich untuk sarapanku sebagai pengganti nasi goreng yang kini telah tersimpan aman di dalam lemari.

“Ra, aku mandi dulu, ya!”

Terdengar suara teriakan Aulion dari meja makan. Tanpa repot-repot menghampirinya, aku balas berteriak.

“Nggak boleh! Cium dulu, Mas!”

Sejujurnya aku merasa geli meminta hal-hal seperti itu, tetapi lucu saja melakukannya hanya untuk membuat Aulion menunda kegiatannya. Dan Aulion tentu saja tak akan menolaknya. Sekarang telingaku bahkan sudah mendengar derap langkahnya yang tengah berjalan menghampiriku.

“Gemes,” katanya yang kemudian merangkum wajahku dan memberi kecupan panjang tepat di bibirku.

Aku tak bisa menahan tawaku. Sudah kubilang Aulion terkadang memang bisa semanis itu.

•••

Gimana menurut kalian Bab 1-nya? Udah cukup bikin kalian jatuh cinta, kah?🤭

Seperti biasa ya, aku bakal update rutin kalo pada rajin vote dan komentar. Fyi aja, aku udah punya stok beberapa bab, tinggal upload tergantung jumlah vote dan komennya xixixi

Ketemu lagi besok kalo bab ini rame😘😘

12 September, 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top