ཻུ☽。Sweet Night 〜

🌙 ·  ·  ·  ──────── · ·  · 🌙
The Moon, The Stars, and Illussion
NakanoDistrict Project
🌙 ·  ·  ·  ────────  · ·  · 🌙

Sinar mentari tetap memancarkan cahaya. Membuat bentangan lebar sang nabastala bersinar cerah. Menghangatkan pun membuat gerah makhluk hidup yang ada. Betapa lega dengan semilir angin terasa pula di hari yang masih terus berjalan seperti biasa.

Namun, entah apa yang membuat seorang dokter pria berusia 32 tahun yang bernama Mori Ougai itu terus melihat ke hamparan kota Yokohama yang masih sama berjajarkan berbagai bangunan megah dengan beberapa kendaraan yang berlalu lalang pun seolah tenggelam di antara lautan manusia yang masing-masing memfokuskan diri pada pekerjaan mereka. Sebuah pemandangan yang biasa seperti hari-hari sebelumnya.

Dan sebuah kegiatan biasa di saat yang sama, yaitu menunggu sesosok gadis muda yang selalu terlihat bersepeda menuju rumah sakitnya. Alih-alih menunggu kedatangannya untuk memenuhi janji konsultasi pun sesungguhnya ia menyembunyikan rasa kekhawatiran jauh dalam dada.

"Hora, Rintarou! Kau ingin terus diam di sana selama dia tergeletak, ha?!" seru seorang gadis manis berusia dua belas tahun yang menjabat sebagai perawat yang membantu Mori Ougai itu, setelah mendobrak masuk tanpa memikirkan nasib pintu ruangan dokter pria tersebut yang kian rapuh.

Mori tetap berdiam diri dan masih mengamati pemandangan di balik jendela ruangannya di rumah sakit ini seraya membatin, "Keras kepala sekali." Pun menghela napas, ketika mendapati kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh seorang gadis pengidap narkolepsi.

Sesosok gadis yang menjadi pasien tetap dan memiliki janji konsultasi dengan Mori yang menunggu kedatangannya di rumah sakitnya ini.

Tak heran jika dokter pria itu tak bosan-bosan mengamati kota yang sama siklusnya setiap hari hanya demi mengetahui apa yang akan terjadi pada gadis muda pengidap narkolepsi tingkat akut ini selama perjalanan menuju rumah sakit, walau sesungguhnya janji yang dilakukan hanya dua kali dalam tujuh hari.

Dan kemacetan lalu lintas di balik jendela rumah sakit ini dikarenakan penyakit sang gadis yang mulai kambuh menyebabkan dia tertidur tiba-tiba di jalanan adalah yang sering terjadi.

"Rintarou!"

"Ah, ha'i, ha'i, Elise-chan! Saatnya menolong dia, ya?"

"Pokonya cepatlah, bodoh!"

Segera dua tenaga medis itu menuju ke tempat kejadian perkara guna menangani kemacetan, sebelum berubah menjadi kecelakaan. Keduanya fokus kepada sesosok gadis yang tergeletak dengan tidur lelap di jalanan sampai-sampai banyak pengendara yang mulai emosian.

Rupanya mereka hanya fokus pada ketidaknyamanan. Tak heran jika tak ada yang turun tangan untuk memberi belas kasihan. Untuk itu Mori menggendong si gadis ala bridal style tanpa segan. Entah karena kewajiban pekerjaan atau memang sudah menjadi sebuah kebiasaan.

Tak lama kemudian sebuah tandu yang dibawa oleh beberapa tenaga medis pun datang ke hadapan Mori. Namun, dokter pria itu hanya diam mengamati seraya terus menggendong si gadis pengidap narkolepsi.

Sementara Elise si gadis perawat manis yang setia di samping Mori pun berseru, "Letakkan saja dia di sana, Rintarou! Nanti jatuh!"

"Oh, ah." Mori hanya merespon dengan gumaman. "Tidak usah. Aku bisa," tambahnya yang kemudian kembali berjalan masuk menuju klinik bersama si gadis narkolepsi di gendongannya ini dengan santai.

" ... Apakah tidak apa dibiarkan begitu?" tanya Tachihara Michizo selaku salah satu tenaga medis yang datang bersama dengan tenaga medis lain yang membantunya membawa tandu yang niatnya untuk gadis yang berada pada gendongan Mori tersebut.

Elise hanya bergidik bahu. "Dia selalu seperti itu," jawabnya yang kemudian menyusul Mori yang berada cukup jauh.

Begitulah Mori Ougai yang tak mengetahui alasan dari tugas maupun kebiasaan-kebiasaannya sehari-hari, ketika menghadapi gadis dengan penyakit yang sudah tak asing lagi di dunia medis. Entah tak mau meremehkan atau memang berbelas kasih. Namun, belas kasih yang ia beri cukup berlebih. Itulah yang dipikirkan oleh setiap tenaga medis di sepanjang lorong menuju ruang rawat khusus yang Mori lewati untuk memerikasa keadaan si gadis.

Segera setelah sampai, Mori meletakkan gadis yang sedari tadi terlelap di gendongannya tersebut di ranjang secara perlahan. Dan sampai situ dia hanya bungkam. Mori larut dalam perhatiannya pada gadis muda yang penyakitan, tetapi bisa tenggelam begitu mudah ke dalam kenyamanan. Nampaknya pria itu menikmatinya, walau dengan netra pasiennya yang tak ia ketahui seberapa indahnya itu terpejam.

Mungkin saja itu kebahagiaan di tengah pekerjaan. Hey, sejak kapan? Alih-alih keuntungan dengan sedikit sangkalan.

"Ih, minggir!" seru Elise tiba-tiba seraya mendorong Mori dengan kasar ke sisi sebelah agar ada ruang untuknya yang akan memulai pemeriksaan pada gadis muda yang terlelap nyenyak sampai saat ini.

Mori yang tersingkir dan nyaris tersungkur di lantai itu seketika memanyunkan bibir dan mulai merengek, "Heee, hidoii yo, Elise-chan! Demo, daijoubu! Nanti kalau aku terluka bakal diobati oleh Elise-chan, 'kan, 'kan?" Entah siapa yang merupakan anak kecil di sini.

Sementara Elise hanya melempar tatapan nanar pada Mori. "Hmph! Menyedihkan!" serunya yang kemudian kembali fokus dalam menyiapkan alat medis. "Dasar merepotkan. Seharusnya kau tahu apa yang harus kau lakukan jika kau memang menaruh perhatian," tambah Elise yang bahkan berada jauh dari pemahaman anak yang seumuran.

" ... Hee, begitu?" Nampaknya Mori tak terlalu mempertanyakan. "Bukankah itu sudah termasuk salah satu bantuan yang telah kuberikan?" ucapnya dengan yakin jika tak ada kesalahan dari apa yang dia lakukan.

"Memangnya apa yang kau lakukan?" Elise menghentikan kegiatan memeriksanya sejenak, kemudian beralih tatap dengan Mori yang membuatnya gregetan.

Mori hanya melukiskan senyum kekanakan yang konyol di wajah, kemudian berkata, "Memberinya perhatian! Benar, 'kan?" Senyum kekanakan yang konyol itu mengharapkan respon terbaik dari sesosok gadis manis di hadapannya.

"Hah?" Rasanya Elise seperti salah dengar.

Mori dengan senang hati mengulang. "Perhatian~!" katanya dengan girang.

"Pantas menyedihkan!" seru Elise kemudian seraya melemparkan tendangan dari kaki kecilnya yang mendarat tepat di tulang kering Mori seketika.

"Ittai, ittai!" Mori merintih sampai melompat saking sakitnya di tulang kering.

Sementara Elise yang tak peduli pun hanya berbalik untuk kembali melanjutkan kegiatan medis. "Dasar kaum tidak pekaan ... !" gerutunya kemudian yang baru saja selesai dengan tugasnya dan tanpa pikir panjang langsung meninggalkan Mori yang masih merintih kesakitan, setelah menyelimuti sang gadis yang masih terlelap nyaman sepanjang pengobatan.

"Aaa, Elise-chan! Matte yo!" Mori merengek seraya menyusul anak gadisnya segera.

Namun, belum sampai selangkah, Mori mengurungkan niatnya dan berbalik memperhatikan pasiennya yang entah bagaimana terus memejamkan mata di tengah keributannya dengan Elise barusan. Begitu tenang dan teratur napasnya seolah tiada sedikit pun rasa kekhawatiran.

"Seharusnya kau tahu apa yang harus kau lakukan jika kau memang menaruh perhatian."

Tak ingin memikirkan hal yang sudah ia tahu, dokter pria itu memutuskan untuk meraih data pemeriksaan yang dilakukan Elise pada si gadis beberapa saat lalu. Tatapannya mendadak sendu. Namun, bibirnya tak membentuk kurva apapun. Entah mengapa ia menolak merasakan emosi, hingga enggan berekspresi, walau sedikit pun. Padahal diagnosis mengenai kesehatan pasien gadisnya tersebut cukup menunjukkan kondisi yang buruk.

Entah mengapa Mori tergerak untuk menaikkan selimut si gadis sampai dagu, sebelum ia benar-benar berlalu. Seribu sayang ketika mengamati si gadis yang senantiasa tertidur di sana membuatnya terus mengurungkan niat tersebut.

"Memberinya perhatian! Benar, 'kan?"

Mori tak habis pikir mengapa ia bisa menaruh perhatian.

"Bukankah itu sudah termasuk salah satu bantuan yang telah kuberikan?"

Justru Mori merasa jika hal tersebut merupakan suatu alasan dari apa yang dia lakukan. Mori hanya mengkhawatirkan.

"Memangnya apa yang kau lakukan?"

Mori kembali mengamati diagnosis si gadis narkolepsi yang tercatat rapi di atas putih. "Apapun yang bisa membuatnya segera pergi dariku .... "

Inilah kekhawatiran dari sebuah perhatian yang berlebihan yang tak Mori Ougai tahu setiap ia berikan nyaris setiap waktu pada gadis narkolepsi dengan nama Acaciase Arina yang tercatat pada data pemeriksaan tersebut.

Entah Mori yang bodoh atau memang tidak mau tahu. Entah Mori yang benar-benar tidak tahu atau memang takut kehilangan di saat-saat cinta itu mulai tumbuh.

Memikirkannya saja sudah cukup meyakinkan Mori jika luka hati tak akan semudah itu untuk sembuh.

Mori memilih untuk beranjak segera daripada larut dalam rasa yang bergejolak dalam dada, hingga tercipta luka di sana. Pria itu hanya ingin mencegah, tanpa tahu jika rasa itu sudah menetap di sana cukup lama.

Semoga semuanya tetap baik-baik saja.

Entah bagaimana kesunyian ruangan membuat sang gadis yang sedari tadi terpejam cukup lama di ranjang sana kini membuka mata. Cahaya lembut dari sang rembulan yang menembus jendela menerangi setiap sudut gulita ruangan tersebut adalah yang pertama kali menyapa kedua netranya. Sesaat membuatnya bertanya-tanya di mana dan mengapa.

Beberapa saat setelahnya, samar-samar ia mendengar sebuah suara kala mengumpulkan jiwa. Sebuah suara yang seperti sedang berbicara entah apa. Sebuah suara yang tak asing lagi di indra pendengarannya.

"Suara Mori-sensei .... " batinnya kemudian, bersamaan dengan kedua tangannya yang meremas suatu kehangatan dari sebuah selimut yang baru ia sadari jika sedari tadi ia terselimuti. "Kambuh lagi ... Mori-sensei pasti kerepotan mengurus aku yang terus begini ... " Ia memutuskan untuk mendudukkan diri.

"Ah, Acacia-kun?" Sebuah langkah kaki terdengar, bahkan semakin jelas, hingga menampakkan sesosok dokter pria yang baru saja memasuki ruangan seorang gadis yang sedang termenung. "Kebetulan sekali kau sudah bangun," katanya lagi seraya berjalan mendekati sang gadis dengan kedua tangan yang tersaku.

Gadis yang merupakan Acaciase Arina itu menatap sang dokter pria, kemudian bertanya, "A-ada apa, Mori-sensei? Apakah tadi itu panggilan dari Otou-sama?"

"Ya, tidak banyak," jawab Mori Ougai singkat, jelas, padat seraya menyalakan penerangan di ruangan tersebut agar dapat memudahkannya dalam memulai pemeriksaan pada Arina untuk malam ini.

"A-apa ada pesan untukku?" Sementara Arina tak lepas pandangan dari Mori yang malah sibuk sendiri tersebut.

Mori beralih tatap pada Arina yang masih dengan tatapan bertanya-tanya. "Lebih tepatnya ada pesan dariku untukmu." Dengan cepat beralih pada cairan infus yang harus diganti dengan segera.

"Eh?" Arina semakin bertanya-tanya.

Helaan napas menjadi pembuka bagi Mori yang kemudian berkata, "Kesehatanmu adalah sepenuhnya tanggung jawabku. Jadi, dengan segala otoritasku, kau harus berada di bawah pengawasanku. Mulai saat ini dan sampai kau sembuh."

Seketika hening terjadi. Nampaknya Arina berpikir. Dengan hati-hati mencerna setiap ucapan Mori. " ... Rawat inap, Mori-sensei?" tanyanya kemudian.

Tiba-tiba Mori berdehem. " ... Ya, begitulah yang kumaksud," jawabnya seraya meracik obat untuk pasiennya.

"S-sungguh ... ? 24 jam bersama Sensei ... ?" tanya Arina yang entah tersipu atau ragu dengan keputusan dokternya tersebut.

Berbeda dengan Mori yang hanya menutup mulut seraya menatap Arina yang seolah meminta penjelasan mengenai apa yang diucapkannya tadi itu.

Dengan cepat Arina tahu pun gadis itu menjawab, "M-maksudku, a-aku benar-benar harus di sini sampai sembuh bersama dengan Sensei yang repot-repot ingin mengawasiku secara langsung ... , padahal aku selalu merepotkanmu di saat-saat aku kambuh .... " Rupanya ia tak bisa berhenti menyalahkan diri sendiri sedari ia terbangun.

"Bukankah lebih baik kau menurut padaku daripada menyalahkan dirimu? Kau tahu itu tidak akan membuatmu sembuh," ucap Mori yang terdengar ketus, walau sesungguhnya hanya berniat jujur.

"A-ah, souka ... Benar juga. G-gomenasai." Arina tersenyum canggung.

"Baiklah, makan lalu minum obatmu," ucap Mori segera setelah melihat salah seorang perawat membawakan senampan makanan ala rumah sakit pada Arina, kemudian meletakkan obat di meja nakas ranjangnya. "Setelah semua itu, kau harus sudah tertidur, saat aku kembali memeriksamu." Pria itu mulai berjalan menjauh, setelah dirasa pesan yang ia beri sudah cukup.

Langkah kaki sang dokter pria yang kian menjauh itu membuat Arina dapat mendengar gema degub jantungnya tersebut dengan penuh fokus. " ... A-ano, Mori-sensei ... ," panggilnya kemudian dengan gugup.

Sementara Mori dengan segera menghentikan langkah, kemudian berbalik arah guna menatap Arina.

Tatapan itu cukup membuat Arina melanjutkan ucapannya. "Apakah ... aku akan sembuh? Apakah aku bisa menjalankan keseharianku tanpa harus membebani orang lain, terutama orang-orang yang kusayang dan dirimu?"

Butuh waktu sesaat bagi Mori untuk menimbang jawaban yang tepat. " ... Kita lakukan yang terbaik bersama-sama," jawabnya yang kemudian menghilang di balik pintu ruang rawat Arina yang tertutup rapat bersama dengan sang perawat.

"K-kita ... ? Bersama ... ?" Lidah Arina kelu setelahnya diikuti dengan rona merah tipis di wajah. Entah ucapan Mori terasa ambigu atau memang Arina saja yang melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

" ... Apakah Anda yakin penyakitnya yang bertahan seumur hidup itu akan sembuh ... ?" Sang perawat bertanya dengan ragu.

"Justru dialah yang akan terus hidup selama ada aku," jawab Mori dengan cepat, kemudian menghentikan langkah seraya menatap sang perawat. "Jangan coba-coba ragu apalagi denganku."

Dan sang perawat hanya bisa mengangguk kaku.

Terbaring di bawah selimut gulita sang semesta membuat Arina menyadari jika ia tak bisa menutup mata. Entah karena ucapan Mori yang terngiang di kepala atau memang dosis obatnya yang kian bertambah. Tak ada yang bisa dilakukan oleh Arina, ketika obat yang merupakan kapsul tidur di meja nakasnya hanya diberikan satu buah saja, selain mencoba terlelap daripada harus merepotkan Mori untuk datang dan sekadar memberikan sebiji obat lagi untuknya.

Sayang sekali, Arina malah semakin terjaga. Gadis itu menghela napas pasrah. Selalu seperti ini setiap malamnya. Bagaimana kalau ia tak bisa menutup mata kala malam tiba selamanya? Pikiran negatif mulai menguasai benaknya. Membuatnya bergerak ke sana ke mari dengan gundah.

Sampai beberapa detik kemudian ia berhenti kala melihat cahaya rembulan yang masih bersinar indah, walau tak menerangi sampai setiap sudut tergelap dunia. Namun, cukup membuat Arina menganggap bahwa nyatanya insomnia tak seburuk yang dia kira. Padahal ia selalu melihat cahaya rembulan yang sama di jendela kamar mansionnya.

" ... Kita lakukan yang terbaik bersama-sama."

Meski begitu, manik ungu anggun Arina memancarkan keindahan cahaya lembut sang rembulan, bersamaan dengan rasa dalam diri yang meluap tak karuan bagai adanya kupu-kupu yang berterbangan, hingga membuat Arina menyunggingkan senyum kebahagiaan. "Tsuki ga kirei ... ," gumamnya kemudian dengan netra yang terpejam erat seolah mengunci rapat keindahan yang membuatnya larut dalam bahagia, walau dengan rembulan dan dari jendela yang sama, kali ini Arina melihatnya di tempat yang berbeda.

Sebuah tempat yang akan mengajarkannya merasakan kebahagiaan sederhana dalam menikmati malam indah.

Tibalah saatnya Mori memeriksa keadaan Arina. Lebih-lebih mengenai pesan tidur pada pasien gadisnya. "Oh ... ," gumamnya kemudian dengan perasaan lega melihat Arina yang tertidur pulas.

Alih-alih ingin pergi segera, Mori tergerak untuk mendekati ranjang Arina, ketika melihat jendela kamar inap gadis itu masih tetap terbuka, bahkan angin berhembus cukup kencang untuk mengibaskan tirai jendela yang sesekali mengelus lembut wajah terlelap Arina yang disinari atau lebih tepatnya tidur sambil menghadap cahaya rembulan nan jauh di sana.

Tangan Mori jadi enggan menutup jendela. Malah tergerak mendekati wajah pasien gadisnya. Nampaknya terpana akan pesona sang rembulan yang terpancar dari wajah muda Arina. Entah pada cahaya lembut rembulan atau pada wajah tidur Arina yang kali pertama dipandang oleh netra violetnya.

"Apakah ... aku akan sembuh? Apakah aku bisa menjalankan keseharianku tanpa harus membebani orang lain, terutama orang-orang yang kusayang dan dirimu?"

Seketika tangannya terhenti dan cepat-cepat membenarkan posisi selimut Arina, walau sedikit. " ... Kuharap kau menikmati malam indah yang akan kau lewati ... ," gumamnya seraya menyakukan tangannya segera, kemudian berbalik meninggalkan Arina yang hanyut begitu jauh ke dalam mimpi.

"K-kita ... ? Bersama ... ?"

"Justru dialah yang akan terus hidup selama ada aku."

Mori menutup pintu dan pergi, sementara Arina sempat membuka mata, tetapi tertidur kembali. Masing-masing merasakan satu keganjalan dalam hati. Namun, satu yang pasti, yaitu jika keduanya sama-sama mengharapkan sesuatu yang baik terjadi. Entah saat ini, suatu saat nanti, atau mungkin beberapa saat lagi.

Tanpa diketahui jika kisah mereka dimulai bersama malam ini.

Hanya sebuah kisah yang ditulis oleh malam indah dari Mori Ougai yang entah melakukan kewajiban atau memberi perhatian pada Arisuin Arina yang enggan ketiduran.

Cahaya mentari yang indah nan membawa kehangatan ke seluruh sudut dunia pun menjadi pengganggu seketika langsung menyorot Arina begitu saja. Lelap gadis tersebut tergugah secara paksa. Ia menyadari jika jendela masih dengan lebar terbuka. Arina hanya menghela napas, sebelum akhirnya terduduk di ranjang seraya menutup sedikit jendela kamarnya.

"Selamat pagi, Acaciase-san. Waktunya pemeriksaan dan sarapan."

"Ah, b-baik ...." Seribu sayang Arina tak dapat kembali dalam mimpi, ketika sang perawat lebih dulu datang ke mari.

Di tengah-tengah sarapan dan pemeriksaannya, Arina memberanikan diri untuk bertanya, "A-ano, di mana Mori-sensei? Apa dia ada dan akan di sini?" Ia sedikit gugup dan malu.

"Ah, ya, tentu saja. Untuk sementara dia sedang disibukkan dengan mengajar mahasiswa-mahasiswi kedokteran. Anda diminta untuk makan, beristirahat, dan minum obat yang rutin sampai ia kembali memeriksa sendiru kondisi Anda," jelas sang perawat wanita dengan ramah bersamaan dengan dia yang telah menyelesaikan pemeriksaannya. "Baiklah, ini obatnya," tambahnya seraya meletakkan satu buah pil pada nampan makanan Arina.

"Begitu, ya ... ," gumam Arina seraya memandangi satu buah pil tersebut di nampannya. Sebuah obat yang harus ia konsumsi entah sampai kapan. "Ah, tidak. Aku harus meminumnya. Aku harus sembuh secepatnya. Aku tidak mau mengecewakan semuanya, terlebih Mori Ougai-san ... ," batinnya kemudian menelan dengan segera obat tersebut, setelah habis sarapannya.

"Beristirahatlah, ya. Yakinlah bahwa Anda pasti akan baik-baik saja."

Arina tersenyum. "Terima kasih."

Segera setelah tugas selesai, sang perawat hilang dari pandangan mata. Membuat Arina menghela napas, kemudian memeluk lutut yang ia lipat seraya menenggelamkan wajahnya di sana.

" ... Baik-baik saja, ya ... ?" Arina meyakinkan diri jika ia benar-benar akan baik-baik saja.

"Hah!"

Seketika Arina mengangkat wajah. "E-eh, Elise-c-chan?" Ia terkejut dengan kehadiran sesosok gadis kecil yang nampak kesal entah mengapa. "K-kenapa?" tanyanya kemudian.

"Hah? Kenapa tanya Nee-san? Harusnya aku yang bertanya! Kenapa Nee-san sendirian di sini?" Gadis yang tak lain adalah Elise itu sendiri mendekat dan menaiki ranjang Arina dengan kursi yang ada.

"Eh?" Arina menatap heran Elise di hadapannya. "B-bukankah di sini tempatku dirawat inap? Mori-sensei yang-"

"Sudah kuduga! Dia memang bodoh!" gerutu Elise tiba-tiba yang membuat Arina gelagapan.

"B-bukan begitu, Elise-chan. Maksudnya-"

"Sudahlah, Arina-nee, tempatmu bukan di sini!" tegas Elise yang kurang meyakinkan sama sekali secara dia hanya seorang gadis kecil. "Baiklah, saatnya pindah tempat!" katanya yang entah dengan semangat atau kesal sampai-sampai ia begitu bergegas bersiap-siap dalam berpindah.

"H-hee? K-kenapa? Ke mana?" tanya Arina berturut-turut saking panik dirinya saat ini.

"Ke tempatmu yang seharusnya!" jawab Elise yang menggandeng tangan Arina yang kosong saat tangan lain gadis muda tersebut membawa alat infus.

Belum sempat kembali bertanya pun Arina sampai di depan ruangan Mori yang dibuka pintu ruangannya oleh Elise. "J-jangan bercanda, Elise-chan ... ! Bagaimana mungkin aku di sini?" Arina terus panik mengingat ia dan Elise masih berada di depan ruangan Mori dengan beberapa orang rumah sakit berlalu lalang sekitar sini.

"Jangan marah padaku, terlebih dirimu sendiri. Marahlah pada Rintarou yang asal bicara kemarin! Hmph!" Elise sebal seketika. Namun, tetap membawa Arina yang tak dapat berkata apa-apa lagi itu masuk ke ruangan.

"Kesehatanmu adalah sepenuhnya tanggung jawabku. Jadi, dengan segala otoritasku, kau harus berada di bawah pengawasanku. Mulai saat ini dan sampai kau sembuh."

"Memang benar, tapi ... ," ucap Arina yang sejenak menjeda kalimatnya.

Elise berbalik menatap Arina dan segera menjawab, "Huh! Kenapa harus ragu kalau dia saja mau?"

Sekali lagi, Arina kelu. "B-baiklah ... ," jawabnya yang tak dapat dipungkiri jika ia juga tersipu.

Alih-alih melepas lelah, tetapi Mori malah dikejutkan dengan sesuatu yang tidak disangka di depan mata. Terlihat ada Arina yang terlelap nyenyak di sofa dengan Elise yang asyik menggambar di meja dekatnya. Membuat rasa terkejutnya berkurang pun ia tak perlu bertanya, ketika tahu intinya.

Dokter pria itu mendekat yang bersamaan mendapat instruksi larangan dari si gadis kecil yang sempat asyik menggambar barusan.

"Hee, kenapa, Elise-chan? Aku tidak akan melukainya, kok," ucap Mori dengan lebaynya.

"Huh, tidak katamu! Bukankah kau sendiri yang memintanya selalu ada bersamamu!" Elise mengomel seraya membenarkan posisi selimut Arina.

Mori terperanjat kaget, sebelum akhirnya menjawab dengan gelagapan. "K-karena sudah tugasku memastikan dia selalu bersamaku sampai dia sembuh, 'kan, Elise-chan ... !" rengek Mori setengah berbisik agar dimaafkan.

"Seharusnya bukan seperti itu, bodoh!" gertak Elise yang nampak mengamuk. Namun, agaknya ia tak melihat kondisi mengingat Arina masih tertidur.

Pertengkaran antara sang dokter dengan perawat kecilnya tersebut terjeda sementara kala menyadari seorang Arisuin Arina yang melenguh. Membuat Mori terfokus pada gadis muda yang beruntungnya masih setia terlelap di sofa itu.

Berbeda dengan Elise yang kembali menegur, "Memangnya apa yang kau mau?"

Seketika detik itu, Mori enggan menjawab pertanyaan tersebut, bahkan sampai hari demi hari yang kian berlalu.

Dan selama tiga hari yang berlalu itu Arina tak bertemu dengan Mori, walau untuk sekadar melihat wajahnya sekalipun. Nampaknya Arina terlalu larut dalam tidur di ruangan Mori setiap kali dokter pria itu tak ada di situ, hingga beberapa saat kemudian, Arina selalu terbangun di kamar inap pribadinya tanpa ada siapapun, terlebih lagi Mori Ougai sendiri yang katanya akan selalu mengawasinya tersebut.

"Bukankah sudah pasti Mori-sensei akan membuatku sembuh, walau sekadar dengan obat yang kuminum?" batin Arina yang sekali lagi menelan obat yang sama seperti yang diberikan beberapa hari lalu.

Namun, tak dapat dipungkiri membuatnya berpikir jika bukannya sembuh, ia malah meragu, dan merepotkan Mori secara terus-menerus, tak peduli seberapa banyak macam obat narkolepsi yang ia minum tersebut.

Benarkah ia benar-benar akan sembuh?

Hari ini, detik ini, saat ini Arina akan menunggu bersama dengan Elise di ruangan Mori dan meminta padanya sebuah resep obat yang lebih ampuh. Maka dari itu, Arina bersikeras untuk tidak tertidur sampai terlihat batang hidung Mori di dalam sekitar ruangan dokter pria itu.

"Ya, ampun! Pria tua itu tidak tahu siapa yang harus diutamakan terlebih dahulu!" gerutu Elise seraya berkacak pinggang kala menatap pintu yang tak dibuka-buka oleh sang pemilik ruangan itu.

"A-ah, mungkin memang sibuk," ucap Arina seraya tersenyum kikuk, kemudian beralih menatap luar jendela yang nampaknya malam akan semakin larut. "Setidaknya aku tidak bisa tidur. Aku yakin kami pasti bertemu." Jantung Arina mendadak berdegub gugup.

"Ck, bukan itu yang kumaksud, Nee-san," balas Elise yang kemudian berbalik menatap Arina. "Dengan dia yang seperti itu sebenarnya sudah sangat mengecewakanmu. Masa kau tidak tahu? Atau kau tidak sadar dengan hal itu?" Elise bertanya begitu menggebu sampai-sampai berdiri di hadapan Arina yang setia terduduk di sofa sambil memegangi kedua pipi gadis muda tersebut agar fokus pada dia yang tengah serius.

"Y-ya, itu, aku bukan siapa-siapa bagi Mori-sensei. Jadi, untuk apa aku merasa seperti itu?" Arina tak bisa berhenti tersenyum kikuk, walau jantung terus berdegub tak karuan, hingga menciptakan keraguan.

"Huh, karena dia bodoh, Nee-san tahu," jawab Elise yang tak dapat berhenti menggerutu, kemudian duduk di samping Arina dengan wajah yang terlanjur dan malah semakin cemberut.

Arina menyunggingkan senyum tipis. "Aku tahu dia sibuk, tapi aku yakin dia berusaha meluangkan waktu," katanya yang ditatap tak percaya oleh Elise yang justru membuat Arina keheranan sendiri.

" ... Kenapa kau seyakin itu, Arina?"

" ... Hmph, dasar lamban," ucap Elise seraya memalingkan wajah dengan kesal melihat kehadiran lamban seorang Mori yang sekarang tengah menumpu Arina yang tiba-tiba jatuh tertidur tepat di pundaknya tersebut.

"Aku tahu dia sibuk, tapi aku yakin dia berusaha meluangkan waktu."

Mori menghela napas, kemudian tak tahan untuk tidak melukis senyum sendu. " ... Lebih baik untuk tetap tidak tahu ... apapun, satu pun ... Nee-"

"Jangan tanya padaku. Urusanmu dia, bukan aku," kata Elise menyela dengan acuh tak acuh kemudian pergi meninggalkan dua insan tak jelas di dalam ruangan situ.

"Hee, hidoi na. Maa, daripada itu memang sudah saatnya kau tidur," gumam Mori yang dengan enteng menggendong tubuh mungil Arina ala bridal style menuju kamar inapnya yang berada tak terlalu jauh.

Tak butuh waktu lama dan tak terasa bagi Mori saat sudah menidurkan dengan perlahan tubuh sang gadis lugu yang masih setia tertidur di ranjang kamar inapnya. Membuat Mori menetap lebih lama di sana. Menatap betapa tenang lelap sang gadis di bawah sinar rembulan dengan tirai jendela yang menari-nari mengikuti semilir angin malam indah.

Sebuah malam yang masih menuliskan kisah mereka-sampai malam kali ini mereka masih diizinkan untuk tetap bersama.

Namun, mengapa dan untuk apa?

Beberapa saat kemudian ketika Mori masih berfokus pada Arina dan segala diagnosis mengenai pasien gadisnya, seorang perawat membuka pintu kamar inap Arina dan berkata, "Selamat malam, Acaciase-san. Waktunya minum obat."

Mori menoleh dan mengikuti arah pandang nampan yang tersedia beberapa botol obat serta air putih yang dibawa sang perawat yang ia letakkan di meja nakas dekat ranjang Arina dan pergi dengan segera.

"Memangnya apa yang kau mau?"

"Cepatlah sembuh, cepat pergi dariku." Seketika tangan Mori tergerak untuk mengambil semua botol obat yang di sana, sebelum akhirnya sebuah tangan yang lebih mungil darinya menghentikan niatnya.

Mori menghela napas, kemudian menatap Arina yang segera berkata, "A-aku membutuhkan obat itu, Sensei ...." Gadis itu nampak memohon padanya.

"Seharusnya bukan seperti itu, bodoh!"

Dokter pria itu terdiam cukup lama. Hening melanda keduanya saking fokus Mori mengamati wajah Arina. " ... Bukankah kau membutuhkanku?" tanyanya dengan hati-hati dan sedikit meragukan jawaban pasien gadisnya.

Arina menggeleng cepat dan menimpali, "Tidak, aku hanya ingin sembuh. Aku tidak ingin Sensei melakukan pengorbanan apapun untukku. Bukankah kita sudah sepakat untuk melakukan yang terbaik bersama-sama saat itu?" Bahkan Arina mengulas senyum dan dengan sengaja tak melepaskan tangannya dari dokter pria tersebut.

" ... Kenapa kau bisa seyakin itu?" Sekali lagi, Mori masih ragu.

Senyum di wajah Arina semakin merekah yang membuat dia dengan yakin menjawab, "Karena aku melakukan yang terbaik bersama-sama dengan orang yang kucintai."

Lagi-lagi Mori Ougai tak mengeluarkan separah kata pun. Nampaknya lidahnya sudah terlalu kelu. Betapa ia sungguh tertegun. " ... Andai aku memiliki keyakinan sepertimu," ucapnya tanpa ragu-ragu. "Karena aku terlalu takut dengan apa yang kutahu akan terjadi padamu," lanjutnya yang enggan terucap dengan bibirnya tersebut.

" ... Jadi, kau membiarkanku untuk tetap meminum obat-obat itu, 'kan, Sensei?" tanya Arina yang mencegah hening kembali menimpa.

Tiba-tiba Mori tersenyum. "Setidaknya aku tahu yang terbaik untukmu ... ," katanya.

Sementara Arina tak sempat bertanya aapapun karena diri terlanjur tersipu, ketika dokternya yang entah apa dan mengapa tiba-tiba saja mengenggam tangannya yang tak ia lepas beberapa saat lalu.

"Sen-"

Tangan yang saling menggenggam itu dibawa Mori sampai menidurkan Arina di ranjang kembali yang tak lupa gadis itu ia selimuti. " ... Wish you a sweet night, Arina."

" ... Aku tahu kalau aku tidak mencintai orang yang salah."

Langkah kakinya tak tergerak sedikit pun dari depan pintu sebuah ruangan yang telah tertutup sepenuhnya. Hanya ada dia dan semilir angin hampa yang tersisa. Membuat Mori makin larut dalam lautan rasa. Sungguh ucapan Arina membuatnya menyusuri lebih dalam pada setiap makna kata. Tak henti-hentinya pria itu bertanya-tanya mengapa. Berharap ada makna pun jawaban lain selain cinta.

"Karena aku melakukan yang terbaik bersama-sama dengan orang yang kucintai."

Senyum sendu terlukis di wajah Mori seketika. "Jangan buat aku merasakan apapun-sesuatu. Aku tidak mau jatuh hanyut terlalu dalam hanya karena lebih dari sekadar mengkhawatirkanmu. Jangan pernah ... sekalipun," ucapnya seraya melangkah pergi dari depan kamar rawat Arina dengan menyusuri lorong-lorong yang memancarkan cahaya lembut sang chandra, hingga menciptakan siluet-siluet benda gelap di lantai yang menarik atensi Mori ke sana.

Tak pernah sekali Mori memperhatikan sedikit setiap malam panjang yang ia lewati. Namun, memperhatikan pertama kali bukan berarti ia menyesali.

" ... Kau rembulan, aku kegelapan. Tidak kusangka kau menemukan kebahagiaan, sementara aku ketakutan ...."

Mori mempertanyakan apakah malam yang ada akan selalu terlewati dengan indah.

Sejak larangan seorang Mori Ougai di hari itu membuat Arina menjalani rawat inap di setiap hari yang berlalu tanpa obat-obatan sebiji pun selama seminggu. Namun, hal itu tak membuat Arina takut tidak sembuh, karena ia tahu jika obat pengganti yang terbaik saat ini adalah selalu bertemu dengan sesosok dokter pria yang dia cintai itu.

Sesaat Arina tersenyum penuh syukur ketika keyakinan asmara terjawab saat itu. Sungguh Mori telah memberikan sesuatu yang lebih dari apapun. Maka dari itu, Arina menahan suatu rasa terkutuk yang terus membuatnya melamun sampai tiada rasa kantuk. Bagai rela menunggu malam hingga suntuk agar setidaknya ia bertemu dengan sosok yang dicinta sebelum tertidur.

Panjang umur ketika tak lama sesosok yang ditunggu membuka daun pintu. Namun, Arina memilih untuk tetap membisu. Bahkan enggan menatap untuk sekadar memastikan siapa itu. Nampaknya ia terpesona pada gulita malam yang selaras dengan satu rasa terkutuk yang sempat cukup lama dia pendam tersebut.

Sementara Mori tak terkejut melihat Arina yang belum terbuai kantuk. Pun sudah kebiasaannya untuk bertemu gadis pujaan hatinya tersebut seraya berucap, " ... Sweet night." Ia berharap dapat menjadi mantra ampuh untuk Arina agar mampu tertidur.

"Ah, ya, sweet night. Mengapa tidak menikmatinya bersama-sama, Sensei? Ya, kau tahu aku ... menantikan suasana istimewa malam indah, ketika kata yang terucap selalu sama, tetapi perlahan terdengar berbeda," balas Arina yang tak mau mengaku jika ia terjerat benang rindu sampai enggan menatap Mori yang mungkin tidak setuju untuk menetap sementara bersama-sama dengannya yang sedih-sendu menahan rasa terkutuk tersebut. Pun semilir angin yang berhembus tak dapat menyapu pergi sang rindu.

Sementara sepi yang melanda seolah menjadi jarak di antara mereka yang diisi dengan nyanyian sunyi malam hari seketika membuat Mori tak mengatakan sepatah kata saking larut ia mengamati Arina. Sesosok gadis muda yang menahan rindu di bawah chandra. Nampak sekali jika sang gadis mengharap pada sang rembulan untuk tetap mengukir romansa. Bahkan seolah mengajak Mori untuk ikut menulis sedikit kisah, ketika terbuai dengan pesona cahaya rembulan yang terpantul dengan tenang nan indah di netra ungu anggun Arina.

Seketika Mori terkekeh dan berkata, "Kau benar. Malam indah."

Dan entah kebetulan saja atau memang disengaja sebuah kecupan lembut mendarat dengan hangat saat itu juga di dahi Arina yang membelalak tak percaya. Rasanya waktu seolah terhenti sesaat. Namun, cukup membuat kupu-kupu dalam perut berterbangan menebar euforia di dalam sana.

"Sweet night. Sleep tight. Thanks for the moonlight, Arina."

Malam indah yang berakhir luar biasa tak Arina biarkan dirinya terlelap begitu saja dan saat itu juga. Gadis muda itu memilih untuk membawanya dalam doa. "Aku yakin kita akan bersama selamanya," batinnya seraya meninggalkan siluet seorang Mori Ougai di tempat terindah dalam dada. Membuatnya memiliki semangat untuk sembuh dengan cara ampuh yang istimewa dari sosok pria yang dia cinta.

Sang dokter pria menahan diri untuk tidak menutup pintu, sebelum ia bisa melihat wajah tertidur gadisnya tersebut. " ... Aku jamin kita akan bersama selamanya." Namun, ia akhiri dengan senyum sendu.

Setidaknya, kali pertama mereka bisa percaya jika cinta itu indah.

BRAK!

Suara bantingan yang memekakkkan telinga tak membuat Mori ketakutan sekali pun melihat wajah seorang dokter pria paruh baya yang menatapnya tajam yang seolah ingin melihat Mori gemetaran mendapat tatapan bak peringatan. Namun, Mori hanya memilih untuk diam memperhatikan, bahkan sampai pria paruh baya itu berucap, "Kau mendapat bayaran hanya untuk main-main saat pengobatan, hah!"

Beberapa saat lamanya Mori menatap lurus dalam-dalam netra sang dokter paruh baya di hadapannya. " ... Saya hanya melakukan apa yang seharusnya saya lakukan," jawabnya kemudian.

"Pikirmu itu masuk akal? Apakah kau sudah beralih menjadi paranormal, hah!" Sang dokter paruh baya semakin menggertak.

"Saya yakin itu yang terbaik untuknya."

"Kau hanya akan menyia-nyiakan pengobatannya! Kita dibayar bukan untuk semena-mena!"

Seketika nada dan aura di sekitar Mori berubah kala menjawab, "Aku tidak peduli jika uang adalah masalahnya."

Saat itu juga sang pria paruh baya mencengkeram dengan kuat kerah pakaian Mori seraya membalas dengan tegas. "Uang yang diberikan sudah menjadi bukti bahwa nyawa dia adalah sepenuhnya tanggung jawab kita! Cepat berikan dia obat rutin seperti biasanya!" Seisi ruangan seketika penuh dengan teriakannyasampai menggema.

" ... Aku tetap akan menyembuhkan dia tanpa membuatnya semakin menderita, karena kalian yang akan membunuh Arina."

PLAK!

"Kita adalah dokter yang berakal. Jangan coba-coba menjadi paranormal dengan tahayul belaka, Ougai."

"Aku tahu dia sibuk, tapi aku yakin dia berusaha meluangkan waktu."

"Karena aku melakukan yang terbaik bersama-sama dengan orang yang kucintai."

"Kau benar. Malam indah."

Salah satu pipi yang tergores sebuah luka di sana masih mampu menyinggungkan senyum tulus, tetapi sendu rasanya. " ... Memang seharusnya aku tidak mengetahui apapun, ya, 'kan?"

Perlahan tak ada secercah cahaya chandra di setiap ujung ke ujung langit gulita sang semesta. Gemerlap bintang tak lagi nampak indah. Bahkan senandung malam terasa semakin suram saja.

Entah mengapa menciptakan gejolak khawatir dalam dada. Mori seolah tak siap untuk berpartisipasi dalam operasi yang tak lama harus segera ditanganinya. Tanpa sadar ia sampai terdiam di depan pintu ruang operasi dengan dilemma. Namun, genggaman kecil dari tangan mungil Elise menyadarkan Mori seketika pun gadis kecil itu berkata, "Prioritasmu siapa, Rintarou?"

"Aaakh! Obat! Berikan! Berikan aku obat!" Teriakan yang terus menggema dari salah satu kamar rawat inap yang diduga milik seorang gadis muda dengan kondisi yang semakin parah kian detiknya.

Sudah jelas kekacauan terjadi di dalam sana. Berbagai macam obat-obatan berserakan di lantai. Beberapa tempat terdapat muntah disertai dengan darah. Ditambah sang gadis berteriak tak karuan bagai gila. "Obat! Aaaa! Berikan aku obatnya!!" teriaknya sampai tak sadar jika ia mulai mengukir luka.

Bahkan dan syukur gema teriakan sang gadis mengundang kehadiran Mori Ougai yang berlari dengan perasaan kacau ke kamarnya. "Arina!" teriaknya dengan kejut dan sesegera mungkin menghampiri sang gadis agar ia tak semakin parah.

Lebih lagi Mori tak menyangka jika keadaan kamar Arina begitu kacau dan menjijikkan, sementara beberapa perawat bersama dengan seorang dokter paruh baya yang sempat berhadapan dengannya malah diam memperhatikan Arina bagai seorang pasien buangan.

"Obat! Obat! Mori-sensei ... berikan aku obatnya! Berikan padaku obatnya, Sensei!!"

Teriakan histeris yang semakin menjadi-jadi dalam memenuhi sudut ruangan membuat Mori menjatuhkan atensi pada obat-obatan yang berserakan seketika dapat dengan yakin mencekik dokter pria paruh baya yang sudah Mori duga telah melakukan percobaan obat-obatannya pada Arina dengan dosis tak karuan.

"Kau mendapat undangan untuk pulang dari Neraka, Tuan." Tulang-belulang sang pelaku yang Mori rasakan membuat ia semakin gila untuk terus mencekik sampai dirasanya akan patah.

"Aaaa!!"

"Rintarou!"

"Kau-" Mori menggertakan giginya. "-matilah!" Salah satu tangannya lagi melayangkan sebilah pisau bedah. Beruntung tertancap di tembok saja.

Dengan entengnya Mori membuang semua obat-obatan keras yang masih belum terbuka untuk Arina coba pada tempat sampah begitu saja. Bahkan tatapannya begitu kosong nan tajam di saat bersamaan seolah mengutuk obat-obatan tersebut untuk kembali ke dapat Neraka, tak terkecuali menyimpan sumpah untuk nyawa sang dokter pria paruh baya.

Sungguh Mori sangat marah, walau ia sendiri tak menyangka sekali seumur hidup ia begitu menyala-nyala amarahnya.

Tak lama Arina bersuara dengan lemah. "Biarkan aku meminun obat itu, Mori-sensei .... Aku sangat membutuhkan itu. Aku ingin cepat sembuh," mohonnya ketika Mori akan membuang salah satu obat lainnya.

Seketika tangan Mori terhenti, kemudian menghadap Arina dengan sedih. " ... Kau tidak mempercayaiku."

"Aku hanya ingin bersamamu selalu agar dapat melihatmu saat terbangun ...."

"Kau tidak membutuhkan itu. Sampai kapanpun kau tidak akan sembuh," jawab Mori dengan cepat dan begitu terus terang yang seketika membuat Arina membelalak tak percaya sampai ia gemetar ketakutan dan tanpa sadar mulai meneteskan beberapa bulir air mata.

Tentu saja Mori tak membiarkannya begitu saja. Pria itu menangkup pipi gadis muda yang dia cinta. Air mata yang mengalir bebas membuat Mori dapat merasakan pedih yang Arina rasa.

Namun, realita tetap realita. Sungguh sebuah penyebab luka yang luar biasa.

Mori mengusap air mata Arina perlahan. "Maka, ayo kita habiskan sisa kebahagiaan yang belum berlalu bersama-sama sampai waktu tak berani menyentuh .... Benar, jangan biarkan kisah kita lekang oleh waktu." Mori mengukir senyum tulus dan sempat-sempatnya menambah ucapannya tersebut. "Aku juga ingin bersamamu. Arina, menikahlah denganku ...."

Sesaat Arina kelu. Bahkan membeku hanya dengan menatap lurus iris violet sendu sang dokter yang melamarnya tiba-tiba itu.

" ... Kau tidak berkorban apapun untukku?" tanya Arina ikut membiru.

"Itu hanya akan menciptakan luka baru. Sama seperti apa yang kau katakan beberapa saat lalu .... Hanya ini yang dapat kulakukan agar kita bersama-sama selalu ... ," jawab Mori dengan mantap sambil menenggelamkan Arina dalam peluk.

" ... Perjuanganmu lebih dari pada harapanmu ...." Arina tak tanggung-tanggung dan langsung larut dalam kehangatan Mori yang baru ia rasakan tersebut.

Memang benar jika pengorbanan dan perjuangan memiliki hasil yang berbeda, ketika realita mau dan seketika mereka rubah.

Semilir angin membuat tirai dan beberapa kelopak bunga yang ada pun menari-nari. Perlahan membawa lantunan melodi penuh kasih pada seorang gadis. Rasanya seolah menuntun sesosok Acaciase Arina yang telah terbalut anggun nan cantik dengan gaun putih untuk menyatu bersama dengan sang rembulan yang dengan lembut menyinari. Dengan harap ia bisa menikmati malam indah yang dinanti sampai membuatnya gugup ini. Bahkan beberapa kali ia ingin dibuat menangis.

Arina masih tak percaya jika ia akan berdiri di saat seperti ini di sini untuk bersatu bersama-sama dengan pria yang dia cintai. Maka dari itu, ia tak ingin jatuh ke dalam narkolepsi. Bagaimanapun, ia sudah tak diizinkan untuk mengonsumsi sebuah pil pun oleh sang calon suami, Mori Ougai.

Pun Arina meraih kotak kecil berbalut kain beludru merah di salah satu meja pendamping pengantin wanita tersebut dan membukanya yang seketika menampakkan cincin sederhana yang tetap mewah. Seketika Arina menggigit bibir kecilnya.

"Kau terlihat luar biasa malam ini, Nak Arina." Sang ayah angkat menghampiri putrinya yang termangu melihat cincin pernikahan.

" ... Tou-san ... , tidak bisakah aku memakai cincin ini sekarang saja ... ?" pinta Arina.

Ryuuro Hirotsu selaku ayah angkat Arina tersebut pun kelu. " ... Aku tahu kau takut ... , tapi maafkan aku yang sampai detik ini tak berani melakukan apapun untukmu ... ," ucapnya dengan penuh pilu. Hirotsu lebih larut dalam biru sampai takut akan terjadi sesuatu.

"Tapi aku tahu kau masih sanggup mengatakan pada Rintarou-kun jika aku sangat mencintainya dan mau menerima dia sebagai teman sehidup ... semati ... jika nanti aku mulai tertidur ... ," jawab Arina dengan cepat seketika membalikkan badan seraya menatap sang ayah angkat dengan senyum bahagia yang terulas tulus di wajah.

Hirotsu tersenyum simpul. "Bukankah ini momen kebahagiaanmu?"

"Maka dari itu, kumohon, sampaikan juga cintaku ... pada Rintarou-kun." Bahkan Arina sampai menggenggam tangan Hirotsu yang perlahan ia letakkan cincin pernikahannya pada tangan ayah angkatnya tersebut.

" ... Berbahagialah selalu ...." Dengan segala ketidaksanggupan Hirotsu pun menyematkan cincin berhiaskan berlian tersebut pada jari manis Arina yang berbalut sarung tangan putih panjang itu.

Dan Arina mengamati cincin pernikahan yang tersemat sempurna di jari manisnya dengan euforia. " ... Shindemo ii wa."

Tatapan Arina yang nampak berbinar seolah semuanya akan baik-baik saja dan berakhir bahagia justru membuat Hirotsu menahan setetes air mata agar tak jatuh seenaknya bahkan sampai ketika Arina menutup mata dan terjatuh ke dalam rengkuhannya seketika.

Hirotsu yang sudah sigap di tempat pun memeluk Arina dengan erat, bahkan sangat. "Bagaimanapun, bunga terindah adalah mereka yang dicabut lebih dulu, bukan?" Pria tersebut tetap menolak untuk meneteskan setetes pun air mata.

Hirotsu merasa tak pantas menangis di hadapan Arina yang tak banyak ia beri apa-apa.

Cahaya rembulan yang lembut perlahan meredup. Membuat suasana langit malam terkesan sendu. Tak dapat dipungkiri menguatkan secuil rasa pilu dalam dada Mori Ougai yang telah terbalut rapi dengan tuxedo putih tersebut. Namun, hal itu tak membuatnya mundur sampai mampu menjemput sesosok belahan jiwanya untuk bersatu.

" ... Dia sudah lama tertidur. Apakah kau yakin akan melanjutkan pernikahan ini, Sensei?"

Mori berbalik seraya mengulas senyum tipis. "Setidaknya biarkan ini berakhir dengan tangis ... bahagia, 'kan?" Pun Mori pergi mendahului sesosok calon ayah mertua yang berucap tadi menuju ke altar pernikahan yang sudah ditunggu oleh sang calon istri.

" ... Terima kasih." Sementara Hirotsu memilih untuk memahami atas dasar hati yang sama-sama teriris.

Kelopak bunga yang berterbangan menghiasi langit malam yang nampak sepi. Derit pintu menarik atensi setiap pandang mata di satu ruangan pengikat janji suci. Sesosok Mori Ougai yang dengan gagah dan kuat hati menampakkan diri tersebut terbalut begitu menawan dan rapi dengan tuxedo putih. Setiap kerabat yang hadir sebagai saksi dalam mengikat janji suci pun memperhatikan sang pengantin pria yang dengan perlahan mulai melangkahkan kaki untuk lanjut memasuki. Musik klasik pun mengiringi. Seketika pandangan mata para saksi beralih seolah tak kuat melihat ikatan janji sehidup-semati seorang Mori Ougai.

Setiap langkah yang digiring dengan musik klasik pun terus menyayat hati sampai membuat Mori semakin larut dalam sedih. Bahkan ia enggan melihat setiap mata para saksi yang telah banjir dengan tangis pedih. Namun, tak dapat dipungkiri jika Mori sendiri tak kuat menahan perih semakin ia mendekat pada Arina yang terbuai damai dalam mimpi abadi di atas ranjang kematian dengan gaun putih yang mempercantik tubuh pucat nan dingin sang calon istri.

Tak ada pancaran cahaya dari dua netra ungu anggun Arina. Tak ada gerakan napas dari dada sang gadis muda. Tak ada senyum dan sipu yang menjadi ciri khasnya. Tak ada suara malu-malu yang selalu terdengar nantinya. Tak akan ada saat di mana lembutnya cahaya rembulan terpantul cantik di netranya. Tak akan ada apapun yang mengembalikan Acaciase Arina ke dunia.

Seketika Mori jatuh terduduk di samping ranjang kematian Arina. Dengan tangan yang gemetar ia memberanikan diri untuk menggenggam tangan dingin calon istrinya pun perlahan mengangkat wajah.

Selang beberapa lama hening melanda sejak Mori sampai di samping ranjang Arina pun terdengar sebuah kata dari sang pengantin pria. "Aku senang kau menyukai gaunnya." Ia berucap dengan linangan air mata dan senyum bahagia yang saling tumpah-ruah bersama-sama.

" ... Benar-benar malam indah untuk pernikahan kita, ya, 'kan?" ucap Mori setengah lirih saking susah payah menahan pedih agar tak satu dari para saksi dapat mendengar isak tangisnya yang menyedihkan ini.

Sebagai seorang pendeta yang juga bertanggung jawab pun tak ingin larut dalam duka berkedok suka ini lebih lama, ia pun mulai berkata, "Apakah kau Mori Ougai menerima ... Acaciase Arina sebagai teman sehidup semati, walau ia sudah menjadi almarhumah?"

Mori dengan sigap menggenggam tangan kanan Arina, kemudian mengecup lembut tangan dingin berbalut sarung tangan putih tersebut seraya menjawab, "Tsuki ga kirei da ne?"

Netranya terbuka tiba-tiba. Bahkan mengambil napas dengan tergesa-gesa. Mori Arina mendadak tak tenang dalam lelapnya entah mengapa. Namun, ia reflek membuang pandangan pada sesosok pria yang masih setia terbuai dalam mimpi indah. Pun ia bernapas lega, ketika semuanya baik-baik saja, termasuk dirinya yang masih diizikan untuk melihat seorang Mori Ougai yang dicintainya kala ia terbangun dengan gelisah di bawah langit malam indah.

Arina memutuskan untuk terbaring kembali. Namun, ia terpaku dengan lelap aneh Mori. Perlahan membuatnya meraih tangan sang suami, kemudian menggenggamnya seraya berucap, "Sweet night, Rintarou-kun." Pun berusaha ikut terbuai mimpi kala menyadari rembulan yang dengan lembut masih menemani.

" ... Menyedihkan sekali ...." Mori mengepalkan tangannya yang terasa dingin.

Sesaat Arina merasakan satu pergerakan kecil dari tangan sang suami yang masih ia genggam sampai saat ini. Tak lama ia mendapati Mori telah sepenuhnya menampakkan manik violet yang terlukis sedih. Arina bertanya-tanya bagaimana cara ia mengatakan kalau ia selalu dan ada di sini tanpa ada kesan ilusi yang mengikuti.

Seketika Mori mengubah posisi, kemudian menatap cincin yang masih setia tersemat di jari manis tangan kanannya di bawah rembulan yang bersinar semakin indah yang malah (kembali) menyayat hati. "Kau terlalu indah untuk menjadi nyata, tapi terlalu menyakitkan untuk dianggap sebagi ilusi belaka ... ," gumamnya kembali bersedih atas hari di mana kematian sang istri saat malam indah seperti ini.

Pun Arina tak bisa berbohong jika ia tak ikut bersedih, merasa pedih, dan menahan semua rasa perih. " ... Tidak adil, ya. Padahal aku sudah berada di sampingmu kapan dan di mana saja, tapi sayang sekali kau tidak akan pernah bisa melihatku ... selamanya ...." Sungguh, Arina juga yang menangis.

"Bodohnya kau tak hadir selama konsultasi, walau aku tahu apa yang terjadi, tapi sulit untuk menerima jika pergi saat aku telah jatuh hati ... ," ucap Mori bermonolog ria yang didengar oleh Arina dengan baik.

"Aku tahu," jawab Arina, walau tahu Mori tak bisa mendengarnya ...

... selamanya.

" ... Apa mungkin kita di bawah langit yang sama, walau berbeda dunia?" Mereka bertanya-tanya pada malam indah yang sampai detik ini mengukir kisah romansa mereka, walau sebatas memori yang diputar ulang dalam mimpi indah yang berakhir luka, ketika mereka sama-sama harus menghadapi kenyataan jika mereka telah berpisah.

Ah, bersama dengan cara yang berbeda, ya?

🌙 ·  ·  ·  ──────── · ·  · 🌙
The End
Story By -MsrIrm
🌙 ·  ·  ·  ────────  · ·  · 🌙

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top