Salah Paham

Aku meratapi nasib malangku di perjalanan pulang seraya berjalan kaki. Tentu saja soal Devon yang mengajakku ke pesta penyambutan. Tapi tiba-tiba, di tengah jalan aku mendengar suara yang sudah nggak asing lagi menyerukan namaku.

"Juni!"

Aku betul-betul langsung menoleh dengan sangat cepat sampai-sampai tulang leherku kayaknya bunyi.

Juna ada di belakangku, menghentikan sepedanya.

Aku terperangah selama beberapa detik, memgagumi penampilan 'ngampus'nya yang ternyata lumayan rapi. Beda banget image-nya sama kalau dia sedang santai di rumah. Kaus kebesaran, celana pendek, dan sandal swallow.

Walaupun tetap aja dia keren dalam dua versi itu, rapi dan non-rapi.

"Juna?" ucapku kaget.

"Hei! Baru pulang?" kami bertanya bersamaan. Menyadari kekompakan kami, kami tertawa berbarengan pula. Juna lalu turun dan berjalan menyusulku sambil menuntun sepedanya.

"Abis dari kampus, hari ini cuma satu kelas, jadi pulangnya cepet. Tadi mampir ke toko olahraga dulu mau liat-liat raket. Yang lama udah nggak enak gara-gara kelamaan dipake. Padahal itu kesayanganku." cerocos Juna sambil menghela napas muram.

Ternyata dia lumayan doyan ngobrol.

"Kelamaan? Emang kamu main bulutangkis berapa jam sehari?" tanyaku heran. Juna lagi-lagi memunculkan senyumnya yang menawan, tapi entah kenapa senyum itu nggak mencapai matanya.

"Beberapa hari lagi bakal ada lomba bulutangkis antar kampus tingkat provinsi. Aku dipilih jadi wakil kampus. Mesti banyak latihan."

"Oh, wow." ujarku, "Selamet ya udah kepilih!"

"Nanti aja selametinnya kalo udah menang. Hehe." dia nyengir.

"Tapi aku nggak liat kamu bawa raket... katanya dari toko?" tanyaku.

Cowok itu terdiam sejenak.

"Rasanya nggak sanggup pake raket lain, yang lama peninggalan ayah." Juna lalu meringis, "Mellow banget, nggak sih?"

Aku mengangkat bahu.

"Keluarga, guru, sama temen-temen kamu pasti udah mercayain kamu buat bawa nama kampus. Menurutku sih kamu harus cari yang baru."

"Gitu, ya?"

"Dan yang lama bisa kamu jadiin kenang-kenangan. Pajang di kamar. Saksi bisu perjuangan kamu." aku memberi ide.

Juna menatapku selama beberapa saat, lalu tertawa renyah. "Kita jadi kayak ngomongin foto mantan pacar ya? Kenang-kenangan. Pajang di kamar. Saksi bisu perjuangan dapetin dia..."

"Eh... iyakah?" aku terbahak.

Juna ikutan terbahak hingga matanya berair, "Cari yang baru, pula... pas banget!"

Kami ketawa barengan!

Sumpah ini kayak di drama-drama!

"Kasian banget ya aku, cuma pernah pacaran sama raket..." Juna menghapus air mata akibat kebanyakan ketawa sambil menggumam kepada dirinya sendiri, setengah bercanda.

Aku melongo.

"Bentar. Kamu belom pernah pacaran?" tanyaku nggak bisa menahan diri.

Juna menggeleng, "Nope. Belom pernah."

Aku melotot menatapnya dan berseru dengan nada sarat ketidakpercayaan, "Boong banget..."

Aku bisa melihat telinga dan tengkuknya perlahan berubah memerah, "Boong gimana, sih. Emangnya pernah liat aku bawa cewek ke rumah?"

Kan gue nggak segitunya nguntit lo! teriakku malu dalam hati.

"Emangnya kerjaan aku mata-matain kamu sampe tau soal kamu pernah bawa cewek ke rumah apa enggak?" aku menyuarakan protesku dengan versi sedikit diperhalus.

Telinganya semakin memerah, lalu dia membalas, "Kamu sendiri, emang punya cowok?!"

Pipiku memanas karena malu, "Enggak sih... ya tapi nggak usah ngegas gitu dong nanyanya... sesama jomblo juga!"

Kami berdua sama-sama terdiam.

"Oh." suara roda sepeda yang berputar sedikit meningkahi gumaman cowok itu, "Berarti am—"

Persis saat itu, sebuah truk besar lewat dengan berisik di samping kami. Aku hanya bisa melihat Juna menggumamkan sesuatu dengan senyuman kecil yang terkulum di bibirnya.

Aku menggeleng-geleng. Cuma perasaanku.

Kemudian topik beralih ke pertandingan Juna. Kami kembali membicarakan seputar raket tuanya ketika cowok itu mengungkapkan, "Lagian belum ada duit. Nanti deh, nabung sekalian siapin mental dulu."

Aku mengangguk paham. Kemudian seakan teringat sesuatu, Juna menyeletuk.

"Oh ya... gimana rasanya jadi kakak kelas di tahun terakhir SMA?"

Ini dia pertanyaan yang paling menyebalkan sedunia.

"Harus siap-siap mental buat UAS." desahku, "...sekaligus buat dateng acara penyambutan anak baru SMA Bakti. Cuma... gitu lah."

"'Gitu lah' gimana?"

Aku menoleh menatapnya berapi-api, "Konyol banget konsepnya. Mesti dateng berpasangan dengan lawan jenis. Yang belum kebagian pasangan bisa dateng sama keluarga atau kenalan di luar sekolah..."

Juna bengong sejenak, kemudian mengernyit, "Yang bener? Aneh banget. Kapan acaranya?"

"Seminggu lagi, hari Sabtu."

Juna merengut, "Padahal tadinya aku mau ngajak kamu sekeluarga ke vila nyokap di Puncak buat barbeque-an..."

Seandainya adegan ini digambarkan di komik, aku pasti lagi gigit saputangan keras-keras sekarang.

"Serius? Kalo gitu mendingan ke vila ibu kamu!"

"Bercanda." Juna nyengir jahil yang kuhadiahi tatapan jengkel, "Aku juga mesti nemenin nyokap, akhir minggu ini ada acara. Dia guru di sekolah itu. Pasti bakal bosen parah..."

"Oh..."

Kami lagi-lagi terdiam lama, sampai kemudian Juna memecah kesunyian, "Udah punya pasangan buat ke acara itu?"

"Belum." sahutku singkat.

Tapi yang ngajuin proposal udah ada! batinku pahit.

"Sayang banget, padahal kalo misal kita satu sekolah, aku bakal minta kamu jadi pasanganku." Juna berkata dengan nada mantap, membuat pipiku memanas.

Lalu Juna mendadak berhenti melangkah.

"Mau bonceng? Sekalian mampir beli es krim di warung Bu Nani." cowok itu menawarkan sambil nyengir lebar.

Aku balas tersenyum lebar dan mengangguk cerah.

Oke, kayaknya dalam lima detik aku bakal pingsan bahagia akibat dibonceng Juna.

🏸

Malam harinya, aku sedang selonjoran santai di kasurku sambil ngemil keripik pedas ketika tiba-tiba ponselku berbunyi nyaring.

Aku meneliti layar dan melihat nomor nggak dikenal.

Siapa ya? Apa si Dian pengen nanya PR? Dia bilang nomernya ganti.

"Halo?"

"June! It's me!"

Aku langsung terduduk tegak dari tempat tidurku. Gue lupa si Disaster mau nelpon!

Aku menyahut ogah-ogahan "Oh. Hai."

"Jadi gimana?" terdengar lagi suara ceria Devon di seberang, "I'm waiting, June."

To the point banget nih orang.

"Juni." ralatku.

"Okay-okay. So?"

"Ng... yang mana yang gimana?" tanyaku pura-pura amnesia.

"The party, kamu mau pergi sama aku?"

Tiba-tiba terdengar teriakan menggetarkan telinga dari arah dapur.

"JUNI...! ADA CICAK JATOH KE PENGGORENGAN MAMA! KE SINI BENTAR!" teriak Mama panik.

Mamaku memang takut setengah mati dengan segala sesuatu yang punya kepala bagol. Cicak, tokek, kura-kura, kodok, dan lain-lain.

"Iya, iya!"sahutku pada Mama. Mama emang kebangetan kadang-kadang, suka nggak lihat-lihat situasi dan kondisi.

"Kamu mau, June?" suara Devon terdengar senang.

Hah? Tunggu. Mau apaan? Emang tadi gue ngomong apa?

"JUUUUNI... CEPETAAAN MAMA GELIII!"

"IYA!" sahutku lagi pada Mama.

"Great! Aku jemput jam enam ya. See you at school!" Devon kedengeran happy banget dan menutup telponnya.

"H-halo?!"

Mampus.

DEVON SALAH PAHAM?!

🏡🌼🏡

Cicak yang jatoh ke penggorengan itu gimana coba? :(

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top