Namanya Juna
Hari itu hujan agak deras. Dingin. Aku baru saja pulang dari tempat les sambil memegangi payung melewati jalan kecil menuju rumahku yang becek.
Tiap kali melewati jalan ini, jantungku selalu berdebar.
Oh, bukan karena ada makhluk gaib.
Mungkin karena...
"Baru pulang?"
Suara khas itu mengagetkanku. Aku menoleh dan mendapati teras rumah bercat jingga tua yang baru saja aku lewati sedang dihuni oleh sesosok mahluk...
...ganteng.
Yang aku tahu selama ini cowok itu bernama Juna. Lucu banget, sementara namaku sendiri adalah Juni. Si Juna ini adalah tetanggaku. Bukan tetangga langsung, rumah kami dibatasi dua rumah.
Dia tinggal bersama ibu dan adik laki-lakinya, ayahnya meninggal beberapa tahun yang lalu. Patut diketahui, selama ini baik aku maupun dia sama sekali nggak pernah bertegur sapa. Pokoknya setiap aku melewati rumahnya, aku sering lihat cowok itu sedang duduk-duduk di terasnya. Pagar rumahnya rendah, mungkin cuma setinggi perut orang dewasa, jadi pemandangan ke teras depannya nggak terhalang.
Tapi aku, si cupu dan si socially awkward, seringkali cuma jalan cepat-cepat melewati rumahnya sambil nunduk setiap cowok itu ada, karena nggak tahan kalau sampai adu tatap dengan pemilik sorot mata yang tajam itu.
Malu!
Tapi, kali ini berbeda.
Cowok itu menegurku. Aku tahu dia ngomong denganku, karena sama sekali nggak ada orang di jalan itu selain aku. Tapi dengan retarded-nya aku malah beku cukup lama sebelum akhirnya roda-roda gigi di dalam kepalaku sukses berputar kembali dan mampu memerintahkan pita suaraku untuk mengerahkan kemampuannya dan akhirnya aku sanggup berkata, "Hah?"
Ya ampun.
Bisa kulihat Juna tersenyum kasual sambil mengulang pertanyaannya, "Iya, kamu. Baru pulang?"
Aku ditegor Juna?
Seriusan?
Hah?
"Aku?" ulangku lagi.
Dalam hati, aku rasanya pingin nabok diriku sendiri.
Duh, Juni!
Lagi-lagi kulihat Juna tersenyum, tapi kali ini senyumannya agak dikulum seperti menahan tawa. "Kalo bukan kamu terus siapa? Kucing di sebelah kamu?"
Aku baru sadar ada kucing liar yang lagi mengeong dengan melasnya sambil duduk manis tepat di sebelah kakiku. Kayaknya dia mau nebeng payungku karena kehujanan.
"Iya, baru pulang." jawabku akhirnya, mengindahkan si kucing.
"Oh..."
Juna bangkit dari kursi malasnya dan berjalan ke pinggir teras. Bagian belakang rambut hitamnya agak gepeng akibat bersandar tadi. Tubuhnya yang tinggi dan lumayan atletis terlihat jelas sekarang.
Imut banget, sumpah.
Lagi-lagi, aku juga tahu selama ini dia itu fanatik olahraga—berbanding terbalik dengan aku yang benci olahraga dan memilih duduk tenang sambil membaca novel atau komik, tentu bukan buku pelajaran—karena pernah beberapa kali aku lihat dia bermain bulutangkis bersama temannya, basket, bola, atau jogging di pagi hari. Kadang-kadang dia lewat depan rumahku kalau sedang lari.
Aku juga berhasil tahu kalau dia penggemar berat L'Arc~en~Ciel. Sudah ribuan kali kudengar suara Hyde berkoar-koar dari arah jendela kamarnya tiap lewat rumahnya. Oh, dia juga doyan banget bakso Mang Tulus yang tiap jam tiga sore lewat di komplek rumah kami—
Aku mengerem lamunanku dan melotot ngeri.
Kenapa aku tahu terlalu banyak soal dia? Kenapa aku jadi kayak penguntit?
"Boleh tau kamu dari mana?" tanyanya, menyadarkanku dari bengong berkepanjangan.
"Daritempatles." aku menjawab, kedengaran seperti satu kata alih-alih tiga kata saking groginya.
"Oh." Juna mengangguk. Kemudian dia berjalan menuju ke bawah kanopi terasnya yang tepat di depanku. Tapi kemudian dia terhenti karena terhalang hujan.
"Boleh nebeng payung kamu nggak?" tanyanya bikin jantungku serasa mencelos.
"Hah?!"
Hah heh hoh melulu, Juni! Nggak ada kosakata lain apa?!
"Aku mau ke warung Bu Nani. Boleh?" katanya sambil nyengir dan membuat tanda peace dengan jemarinya. Matanya yang menatapku sedikit terhalang helaian rambut hitamnya yang menurutku sudah perlu dipotong. Mungkin sengaja dipanjangkan karena dia sudah kuliah. Tapi tetap nggak mengurangi kegantengannya.
Di tengah kekacauan kinerja otakku, aku mengangguk. Kucing di sebelah kakiku sontak kabur ketika Juna melangkah ke bawah payungku setelah menutup pagarnya.
Menyadari aku cuma berjarak beberapa sentimeter dari Juna, hatiku bersorak. Aku bersyukur hari ini hujan! Tuhan Maha Besar!
Kami berjalan dalam diam. Cuma terdengar suara rintik air hujan yang menimpa payungku. Saking hehingnya, aku sampai was-was kalau-kalau suara detak jantungku yang kayak bedug malam takbiran ini terdengar oleh Juna.
Lalu, tahu-tahu aku dan Juna sudah tiba di depan warung Bu Nani.
"Makasih ya." ucap Juna padaku, kemudian dia melompat ke bawah kanopi warung supaya nggak kehujanan.
"Ng..." aku menggumam ragu.
"Hm?" Juna mengangkat alisnya.
Sebetulnya aku mau tanya untuk apa nebeng payungku kalau jarak toko Bu Nani dengan rumahnya nggak sampai sepuluh meter. Lagipula apa di rumahnya sama sekali nggak ada payung?
"Ng... nggak." kataku mengurungkan rasa penasaranku, "Duluan, ya."
Juna tiba-tiba berkata, "Aku Juna."
"Udah tau." kataku keceplosan. Juna lagi-lagi mengangkat alisnya, tapi kali ini aku bisa melihat sudut bibirnya sedikit terangkat membentuk senyuman, samar banget, namun berhasil kutangkap. Maka aku buru-buru menambahkan, "Uh... aku Juni."
"Udah tau." balasnya.
Aku tersentak.
"Hah?"
Entah deh sudah berapa kali aku mengucapkan 'hah' di depan Juna. Jangan-jangan habis ini aku cuma bisa menyahut 'hah' setiap ditanya orang.
"Kompleks ini kan sempit. Kamu aja udah tau namaku." katanya seraya tersenyum miring. Lalu dia menambahkan dengan semangat, "Keren ya, nama kita bisa mirip gini!"
Aku tersenyum. Gugup, korslet, dan hati bersalto.
"Baru kali ini, liat kamu senyum." ujar Juna sambil nyengir.
Ya Tuhan, hatiku...
"Baliknya nggak usah nebeng?" tawarku memberanikan diri, tetapi Juna menggeleng sopan.
"Sekalian mau beli payung buat di rumah, yang lama rusak." jawabnya.
Oh, terjawab sudah.
"Oke, kalo gitu. Duluan ya." kataku tersenyum sambil berbalik badan.
"Nggak mau mampir ke rumah?" celetuk Juna luar biasa bikin jantungan.
"Ngerepotin nanti." kataku salah tingkah.
"Santai aja. Kapan-kapan ya!"
"Oke, hehe."
"Sori udah ngerepotin..." Juna lagi-lagi berkata, seolah masih ingin melanjutkan percakapan.
Bukannya ge-er lho.
"Nggak kok." gelengku, "Anytime."
"Hati-hati ya, jalanan licin." Juna nyengir cerah dan melambai.
Dari warung ke rumahku cuma jarak beberapa rumah, tapi dia tetap bilang 'hati-hati'.
Kayaknya malam ini aku bakal mimpi indah. Juna itu tinggi, keren, dan manis. Cowok kuliahan yang sweet-nya kebangetan!
🏡🌼🏡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top