Bonus Chapter: Tetangga Atau...

"PACAR KAK JUUNAAA! MAIN YUK!"

Seruan kencang dan malu-maluin itu asalnya datang dari luar pagar rumahku. Sekumpulan bocah tengah bergerombol di dekat pintu pagar sambil cekikikan. Aku membuka daun jendela kamarku di lantai dua dan melongok ke bawah untuk melihat ada apa.

"Bubar, sana! Berisik!"

Si pemilik suara—yang jangkung, keren, dan sekarang rambutnya sudah dipotong—tengah memelototi bocah-bocah itu sambil memarkir motornya. Kemudian, seolah kami berdua terhubung dengan telepati, Juna mendongakkan kepalanya dan melihat ke arahku. Seketika wajah galaknya melunak, sudut bibirnya naik membentuk cengiran keren yang kayaknya sampai kapanpun bakal terus membuat lututku lemas.

Halo. Juna menggerakkan bibirnya tanpa suara, membentuk kata itu padaku.

Aku balas ber-halo ria sambil melambai cerah. Lalu dengan terburu-buru aku keluar dari kamar dan menuruni tangga. Setibanya di pagar, aku disambut ledekan para bocah yang ternyata masih betah di sana.

"Kak! Kak!" salah satu bocah yang bergerombol mengerubungi Juna dan aku yang sedang membuka pintu pagar agar cowok itu bisa masuk, "Kalo nanti punya anak dinamainnya siapa?"

"Jeni!" salah seorang berseru.

"Jono!"

"Ih, jangan!"

Aku dan Juna saling tatap.

Kami sekarang sudah hampir empat bulan menjadi sepasang kekasih. Dan hubungan kami—uhuk—sudah direstui orangtua kami dan kabarnya juga sudah menyebar ke satu kompleks lebih cepat dari koneksi internet provider ponselku. Sesuai dugaan.

Tapi tetap saja aku masih kewalahan menanggapi komentar-komentar tetangga yang bikin malu setiap kali aku dan Juna kepergok jalan berdua. Bu Nani, pemilik warung yang terkenal sebagai Lambe Turah-nya kompleks rumah kami, senantiasa melayangkan pandangan-pandangan jahil dan ledekan memalukan setiap kali melihat kami, si 'pasangan kembar nama'.

"Yailah, gini hari masih aje pacaran! Sono ke penghulu biar halal!"

Biarpun maksud dan tujuannya baik, tetep aja kupingku berasap dengar celetukan sepuluh oktaf dari Bu Nani.

Juga bocah-bocah ini.

Sambil menumpukan sebelah sikunya di atas pagar, Juna menatap bocah-bocah itu dengan ekspresi sombong, "Ya enggak lah! Kita cari nama-nama yang unik. Ada Jena, Jeno, Juno, Jerom, Jejem, Juleha, Julid..."

Bocah-bocah itu terbahak-bahak sementara Juna hanya menyeringai congkak. Aku menahan tawa sambil menarik lengan cowok itu.

"Udah! Sana-sana!" perintahku pada bocah-bocah itu.

Setibanya di dalam, Papa menyambut kami dengan tawa membahana.

"Udah mikirin nama-nama anak aja, Jun. Mau bikin berapa emang?" Papa bertanya nyeleneh sambil mengulurkan tangannya yang disalimi oleh Juna. Cowok itu mendongak kaget.

"Eh, kedengeran, Om?!"

"Iyalah, kedengeran." Mama memotong sementara Juna beralih menyalimi Mamaku, "Itu kayak mau bikin kesebelasan..."

"Mama apaan sih?!" protesku malu. Juna malah tertawa-tawa.

"Aku santai aja kok, Tante." Juna menatapku dengan sorot jahil, "Lagian nunggu Juni lulus SMA."

Aku mematung syok. What—

"Hmm..." Papa duduk kembali di sofa depan televisi sambil menggonta-ganti channel, "Emang kamu semester berapa, Jun?"

"Akhir, Om. Semester ini tinggal selesain sisa SKS sama fokus magang." jawab Juna mantap.

Mama mengangkat alis, "Lho, udah keterima yang di Bromo Steel itu?"

Aku mengernyit heran menatap Mama. Sejak kapan Mama tau—

"Belum, Tante..." Juna menggaruk tengkuknya, tampak salting. "Mudah-mudahan sih mereka liat lampiran beasiswa bulutangkis saya biar jadi bahan pertimbangan, supaya saya ditelepon."

"Biasanya kalo udah masuk intern dan kamu kinerjanya bagus, delapan puluh persen bakal ditawarin posisi full time, tuh Jun." Papa menyeletuk, "Om punya kenalan yang anaknya di sana soalnya. Dulu dia intern juga."

Mama berbinar-binar, "Duh, Juna! Mudah-mudahan ya!"

Ini kenapa topiknya jadi serius begini?

Papa melirikku sambil menaik-turunkan alisnya menyebalkan, "Tuh, Juni. Nunggu apa lagi?"

Aku kebakaran, "Hah?!"

Juna nyengir, "Iya, Juni. Nunggu apa?"

Ini cowok seriusan?!

🏸

Seminggu kemudian

Sunyi. Gelap. Hangat.

Tapi kesunyian dan ketenteraman yang kurasakan itu tiba-tiba dirusak oleh bunyi memekakkan telinga. Ponselku mendadak berbunyi di atas nakas kayu di samping ranjang, sekaligus menimbulkan bunyi getar mengesalkan yang membuatku terbangun dan mengerang.

Pukul 02.30.

Orang waras mana, coba, yang nelpon jam setengah tiga pagi?!

Sambil menggerutu dengan mata yang masih setengah terpejam, aku mengangkat ponselku.

"...halo...?" gumamku mengantuk.

"Aku di bawah jendela kamu."

Aku langsung terduduk tegak. Otakku berusaha memproses kalimat menyeramkan yang barusan diperdengarkan suara seorang cowok di seberang telepon, membuatku menoleh was-was ke arah jendela dan bertanya panik, "Siapa nih?!"

Terdengar desahan letih dari seberang, "Ini aku. Liat caller ID kamu."

Aku menurutinya.

Nama 'Juna' terpampang di layar ponselku.

Aku langsung melompat dari tempat tidur dan membuka daun jendelaku lebar-lebar, melihat cowok itu memang sudah berdiri di bawah jendelaku, tengah mendongak menatapku dengan ponsel di telinga kirinya.

"Juni..." dia masih belum memutuskan sambungan telepon, supaya kami bisa terus bicara pelan-pelan. "...boleh ngobrol bentar?"

Aku masih tercengang selama beberapa saat mendapati cowok itu randomly mengunjungiku pagi-pagi buta. Cuma demi 'ngobrol bentar'.

"Pintu rumah aku berisik kalo dibuka, takutnya Papa Mama kebangun..."

"Aku naik, ya."

Juna menutup teleponnya dan melangkah ke dekat pagar tanaman rambat milik Mama yang memang posisinya di dekat jendelaku. Kemudian cowok itu mulai memanjat.

"J-Juna!" desisku, campuran panik dan ngeri, kalau-kalau kayu pagar tanamannya sudah lapuk dan nggak kuat menyokong berat tubuhnya. Tapi syukurlah ketakutanku nggak terbukti. Juna dengan lihai menyelipkan tubuhnya masuk melalui jendela kamar dan sukses tiba di hadapanku.

Cowok itu mengibas-ngibas celananya yang sedikit terkena debu akibat aksi 'panjat tebing'nya barusan. Dan aku hanya menyaksikan sambil tercengang selama Juna melakukan semua itu.

Juna lalu membuka suara, "Hei."

Aku mengerjap, berusaha memulihkan diri dari keterkejutanku mendapati Juna, cowokku, yang mendadak memanjat masuk ke dalam kamarku jam setengah tiga pagi.

"Hei." balasku otomatis, masih syok.

Cowok itu menggaruk tengkuknya, "Kamu... marah kugangguin tengah malem ya?"

"Nggak." ujarku akhirnya setelah berhasil menguasai diri, "Cuma kaget."

Juna menatap ke sekeliling kamarku yang gelap, seolah tengah berusaha mencari sesuatu untuk dipandang. Selain mataku.

Dia gugup. Nggak biasanya Juna gugup.

"Jun..." keterkejutanku perlahan memudar digantikan perasaan cemas, "... kamu mau ngomongin apa?"

Aku duduk di atas karpet di lantai, lalu menepuk-nepuk tempat di sebelahku. Juna mendudukkan diri dan membaringkan kepalanya di sisi tempat tidurku. Dia menyisiri rambutnya dengan jemari. Pandangannya yang mengarah ke langit-langit kamarku tampak menerawang.

"Proposalku ditolak lagi." ungkapnya.

Jantungku mencelos mendengarnya. Lagi?

Aku menatap Juna bersimpati. Pasalnya, dia sedang gencar mengirimkan proposal ke berbagai perusahaan demi menuntaskan tugas magang dari kampusnya. Setahuku, ini sudah percobaan keenamnya.

"Mungkin memang belum rejeki kamu." senyumku sedih, "Dicoba lagi, Jun. Aku yakin kamu berhasil."

Juna menghela napas berat, "Kalo abis ini aku ditolak lagi, entah deh. Kayaknya aku mau nyerah aja."

"Coba ngomong ke dosen pembimbing kamu. Minta waktu. Pasti beliau ngerti." aku mengusulkan.

"Udah pernah. Dia bilang bisa aja ngasih aku waktu. Cuma waktu wisudaku nanti ke-pending ke tahun depan. Ogah banget lah sampe tahun depan. Aku mesti lulus tahun ini..."

Aku memperhatikan Juna dalam diam. Aku tahu Juna termasuk mahasiswa yang ikut program beasiswa, tapi seingatku dia pernah bilang batas kelulusan jalur beasiswa angkatan dia di kampusnya itu memang tahun depan.

Kenapa sih dia ngebet banget lulus tahun  ini juga?

"Emang kamu mau ke luar negeri apa gimana?" tanyaku setengah bercanda.

"Nggak ke mana-mana."

Aku mengernyit, "Lah terus?"

"Bentar lagi kamu lulus SMA."

"Apa hubungannya?" tanyaku mulai sebal, "Maksud aku emang tahun depan kamu mau ngapain?"

"Sibuk. Nyari kerja. Nabung."

"Buat apa?"

Juna menolehkan kepalanya yang masih terbaring di kasurku hingga menghadapku. Dia menatapku lekat-lekat.

"Buat bikin proposal baru."

Aku hanya mampu balas memandanginya, semakin keheranan.

"Hah?"

Juna tersenyum geli menyaksikan reaksiku, "Nggak berubah ya. Masih suka hah-heh-hoh aja kamu."

"Proposal ap—"

"Pokoknya..." Juna memotong pertanyaanku, dia menegakkan duduknya dan menggeser posisinya hingga tepat berada di hadapanku, "...aku butuh asupan energi buat percobaan ketujuh magangku."

Cowok itu lalu memejamkan kedua matanya dan duduk diam, seolah menunggu.

"Asupan... apa?" tanyaku kebingungan.

Merasa kesal dan tak sabar dengan kelemotanku—kayaknya—Juna membuka matanya dan berdecak.

"Emang ya, nggak bisa kayak di film-film." komentar Juna, tahu-tahu meletakkan satu tangannya di atas tanganku yang berada di atas karpet. Lalu dia mencondongkan tubuhnya hingga wajahnya hanya berjarak beberapa senti dari wajahku.

Aku tidak berani bernapas. Juna bergerak semakin dekat, membuatku memejamkan mata dengan panik.

Tetapi lalu aku merasakan gerakan Juna terhenti.

Aku membuka mata perlahan dan melihat wajah cowok itu sudah berada sangat dekat, dengan ujung hidungnya yang nyaris menyentuh ujung hidungku, dan sepasang matanya yang terpaku pada bibirku.

Kurasakan tangannya yang sedang berada di atas tanganku menegang. Bibirnya terkatup membentuk garis tipis, dan ekspresinya tegang campur tersiksa, seolah tengah berjuang melawan sesuatu.

Kemudian, Juna menjauhkan tubuhnya. Satu tangannya yang tadi berada di atas tanganku kini berpindah ke puncak kepalaku. Dan dia mulai mengacak-acak rambutku tanpa ampun.

"Jangan rambut aku—argh!"

"Lain kali kalo aku minta masuk kamar kamu tengah malem, jangan kasih ya." perintah cowok itu sambil terus mengacaukan rambutku.

"Kenapa emang?"

"Nggak. Nggak tega sama kamu." gumamnya membingungkan.

Sampai sebelum Juna mengatakan itu, aku masih berusaha menenangkan detak jantungku yang menggila karena apa yang tadi coba dilakukan Juna. Tetapi setelah mendengar perkataan itu terlontar dari mulutnya barusan, kekagetan dan rasa maluku perlahan mereda. Akhirnya aku berhasil menyingkirkan tangannya dari kepalaku, tetapi jemariku, entah kenapa, bertahan menggenggam jemarinya.

Aku tahu persis maksud kata-kata Juna.

Aku tahu saat ini dia sedang berjuang mempertahankan prinsipnya.

Dan sejujurnya, saat ini aku nggak bisa merasa lebih bangga lagi terhadap cowok itu.

"Tadi... maaf ya." Juna mengamati tangan-tangan kami yang saling terpaut, kedua alisnya mengernyit, seolah kesal terhadap dirinya sendiri.

"Nggak papa." aku tersenyum lembut, "Makasih udah jadi cowok paling gentleman dan paling bisa dipercaya yang pernah aku kenal. Yah... selain Papa sih, hehe."

Juna menatapku kaget. Namun ekspresinya perlahan mencair. Senyuman hangat terbit di bibirnya.

"Makasih juga udah jadi cewek paling pengertian, paling baik, paling imut, paling gemesin"

Lalu Juna mengacak-acak rambutku lagi, tetapi kali ini aku hanya sanggup pasrah dan tertawa-tawa.

"Kalo aku nggak bisa ngejar wisuda tahun ini, kamu marah nggak?" tanya Juna, ketika akhirnya tawa kami berdua mereda dan kami kembali duduk bersebelahan, menyandar pada tempat tidurku.

Aku menatapnya kebingungan, "Juna, beneran deh. Kamu masih perlu cari tempat magang, jadi jalanin sesuai pace kamu aja. Kenapa juga aku mesti marah?"

"Iya juga sih." dia menyerah.

"Lagian semuanya ada proses. Jadi jangan keburu-buru."

Juna menoleh menatapku. Dia tersenyum, senyuman paling lebar dan paling tulus yang pernah kulihat tersungging di wajahnya.

Maka, aku balas tersenyum cerah.

Tugas, pekerjaan, kehidupan... ya, semuanya butuh proses.

Termasuk hubungan kami yang masih seumur jagung.

Walaupun masa depan nggak ada yang tahu, aku berdoa supaya hubungan kami bakal jauh melebihi umur jagung. Dan aku juga berdoa supaya...

...supaya Juna bisa membuat 'proposal baru'nya.

THE END

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top