20. Belahan Jiwa
Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata
Kushina terbangun ketika meraba sisi kanan tempat tidurnya, merasakan suaminya tidak berada di tempat tempat tidurnya, ia beranjak turun dari ranjang ukuran king sizenya, mencari keberadaan suaminya. Ia mencari sumber suara samar-samar, yang bisa dia pastikan suara suaminya yang sedang menelpon.
Kushina's POV
"Tidak, jangan dibawa Tokyo Hospital, bawa ke Konoha Hospital saja." Suara itu, suara Minato-kun, sedang menelpon siapa, dan siapa yang akan dibawa ke rumah sakit, apa mungkin...? Tidak...tidak mungkin itu Naruto...
End Kushina's POV
.
"Siapa yang akan dibawa ke rumah sakit Minato-kun?" Suara menuntut dari Kushina membuat Minato dengan gelagapan langsung memutuskan sambungannya dengan Jenderal Besar JSDF yang merupakan mantan anak didiknya di akademi militer Shokasonjuku.
"Tidak, itu telpon dari reporter yang meliput kerusuhan di Okinawa, salah satu rekannya ada yang tertembak." Bohong Minato dengan keringat bercucuran dari keningnya.
"Ck... kau pikir sudah berapa lama aku hidup denganmu, aku sangat hafal, keningmu akan berkeringat hebat saat berbohong." Ucap Kushina sambil memicingkan matanya, dengan tangan di lipat di depan dadanya.
Minato mengusap wajahnya kasar, ia mencoba menyusun kata-kata yang tepat agar Kushina tidak lepas kendali.
...
Konoha Hospital
Langkah panik Kushina dan Minato, memecah keheningan koridor rumah sakit, yang suananya teramat sangat sunyi mengingat waktu masih menunjukkan pukul lima pagi.
"Aku akan menghajar Kakashi, karena membiarkan putraku sampai tertembak...!!!" Racau Khusina dengan mengepalkan tangannya.
Pasangan suami istri paruh baya ini menuju atap gedung tertinggi di rumah sakit milik keluarga mereka menggunakan lift, menunggu helikopter JSDF mendarat di atap gedung ini, membawa putra mereka yang saat ini meregang nyawa karena menjalankan tugas sebagai prajurit.
.
Kushina meraung-raung dalam pelukan suaminya saat melihat tubuh putranya bersimbah darah di bawa dengan tandu turun dari helikopter.
"Bawa langsung ke emergency!" Perintah Minato dengan tatapan pilu melihat nafas putranya yang berhembus pendek.
.
Kushina ikut mendorong brankar yang menjadi tempat tubuh tegap Naruto terbaring lemah, tangannya menggenggam erat tangan kanan Naruto, yang sewarna dengan tangan suaminya.
Disisi lain ada Tomoyo yang ikut mendorong brankar dengan alasan dia adalah dokter militer yang harus memantau keadaan Naruto.
Air mata pilu membasahi wajah putih Kushina, bukan karena hanya karena melihat kondisi memprihatinkan putranya, tapi karena usaha sang anak yang masih mempertahankan kesadarannya dan terus memanggil nama istrinya.
"Kaa...chan...Hi...na... Hi...na... ta." Racau Naruto lemah mata birunya mulai berubah kemerahan dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya.
"Sabar nak, Tou-chan sedang menelpon ke apartement-mu." Suara Kushina lirih karena isak tangisnya.
Seolah menutup telinganya akan racauan Naruto tentang istrinya, Tomoyo menggenggam tangan Naruto dan menempelkan di pipi putihnya, dengan kekuatan tersisa Naruto mencoba menarik tangannya dari genggaman Tomoyo.
Kushina yang dari tadi risih dengan keberadaan dokter yang penampilannnya mirip dengan menantunya ini segera memperingatkan. "Maaf dokter ku kira kau tahu bahwa luka putraku berada di sebelah kiri tubuhnya, tak seharusnya kau menambah rasa sakitnya dengan menarik tangan kirinya."
Dengan perasaan tersinggung Tomoyo, melepaskan genggamannya pada Naruto.
'Sebenarnya untuk apa dia ikut kesini, sudah banyak dokter di rumah sakit ini, dia sudah tidak dibutuhkan disini.' Batin Kushina.
Tiba-tiba Kushina tersadar dari pikirannya sendiri, saat dokter militer itu mengeluarkan kalimat yang memuakkan baginya.
"Maaf Kaa-san, sebaiknya anda tunggu di luar aku akan ikut masuk, karena ini tanggung jawabku sebagai dokter militer." Ucap Tomoyo dengan percaya dirinya, kemudian dokter militer itu ikut masuk ke ruang darurat menyusul brankar yang membawa tubuh Naruto yang telah masuk lebih dahulu.
"Apa-apaan dia memanggilku Kaa-san." Gumam Kushina kesal.
...
Jari-jemari Minato kali berulang mengutak-atik ponsel pintar mencoba menghubungi putri sulungnya yang saat ini menginap di apartement putranya.
"Angkat Sara cepat..." Oceh Minato dengan gusar, berulang kali dia mencoba menelpon putrinya itu tapi tetap tidak diangkat.
'Moshi-moshi Tou-chan-,' Baru saja Sara menjawab panggilan sang ayah dari ponsel pintarnya.
"Sara kau menjauhlah dari Hinata sekarang, ada yang ingin Tou-chan bicarakan sekarang."
Mendengar nada serius dari ayahnya Sara segera beranjak dari tempat tidurnya sambil melirik adik iparnya yang tidur dengan kening berkerut.
.
Hinata terbangun dari tidurnya ia lirik jam dinding yang tergantung di kamarnya sudah menjadi kebiasaanya sejak ibunya meninggal untuk terbangun pukul 5 pagi untuk menyiapkan kebutuhan ayah dan kakak laki lakinya, terlebih lagi semenjak dia menjadi istri seorang tentara.
Melihat sang kakak ipar tidak ada di sebelahnya ia putuskan untuk berusaha sendiri bangun dari posisi berbaringnya.
Akhirnya dengan susah payah dan usaha yang sangat berat Hinata berhasil mendudukan dirinya. Dengan perlahan sambil memengangi perut besar berisi buah hatinya ia berdiri menuju pintu kamarnya.
"Nee-chan kenapa menelpon di balkon?" Ucap Hinata pelan saat melihat kakak iparnya yang berdiri di balkon dengan ponsel yang di tempelkan di telinga dan berbicara dengan berbisik.
Hinata mendekati balkon tempat Sara berdiri, air mata turun ke pipi pualamnya saat mendengar setiap perkataan Sara dengan suara paraunya yang menjadi tanggapan atas informasi yang sampaikan orang yang berada di ujung telepon yang sangat ia yakini adalah ayah mertuanya.
"Baiklah Tou-chan aku dan Hinata akan rumah sakit sekarang." Ucap Sara sambil menahan tangis dengan meletakan telapak tangannya di bibir mungilnya
[...]
"Iya aku akan bicara dengan Hinata pelan-pelan." Sara berkata sambil menghapus air matanya dengan suara bergetar "Luka tembak Naruto tidak parah 'kan, Tou-chan?"
[...]
Mendengar jawaban sang ayah dari ujung telepon Sara kembali mengalirkan air matanya. Ia memutuskan panggilan pada ponselnya dan berbalik menuju kamar.
Sara benar-benar terkejut saat ia berbalik, adik iparnya yang sedang hamil delapan bulan itu, sudah berdiri di belakangnya. Dengan air mata berlinang.
"Katakan Nee-chan apa yang terjadi pada suamiku?" Tanya Hinata dengan suara terisak dan bergetar, bahkan perutnya mulai terasa keram sekarang.
...
"Hinata pelankan langkahmu, perhatikan perutmu." Sara yang sedang menggendong Tobi, memperingatkan Hinata yang setengah berlari di koridor rumah sakit.
Hinata tidak peduli, peringatan kakak iparnya tidak diindahkan sama sekali walaupun perut buncitnya sekarang terasa keram.
'Sayang kita harus cepat, Tou-chan sedang membutuhkan kita, Kaa-chan mohon kalian harus kuat, ya.' Batin Hinata sambil mengusap perutnya, ia mencoba menenangkan sepasang janin yang berada di dalam perutnya.
.
"Hinata..." Panggil Kushina yang sekarang berada di depan pintu ruang emergency .
"Kaa-chan , Naruto-kun...?" Tanya Hinata dengan suara bergetar. Air mata tidak berhenti membasahi pipinya, Kushina yang tidak tahan melihat menantunya ini menangis, segera menarik Hinata dan memeluknya.
Kushina mulai mengelus pelan punggung Hinata, menantunya itu sekarang menenggelam wajah putihnya pada pundak Kushina "Masuklah Hinata, Naruto dari tadi memanggil namamu."
Hinata melepaskan pelukan pada ibu mertuanya dan masuk kedalam ruangan tempat suaminya sedang meregang nyawa.
.
"Kumohon Kapten kau harus dibius total untuk mengeluarkan pelurunya, peluru itu bersarang di dekat jantungmu kau pasti tidak akan tahan jika menggunakan bius lokal." Tomoyo dengan air mata berlinang meminta Naruto dibius total.
Reaksi Naruto akan tetap sama, dia akan menepis tiap gerakan tangan Tomoyo yang akan menyentuhnya dengan sisa-sisa tenaganya. Naruto tidak mau dibius total, ia takut matanya tidak akan terbuka lagi sebelum melihat Hinata, sebisa mungkin dia akan mempertahankan kesadarannya semampunya.
Sementara Tomoyo, dokter militer ini terus menangis, bukan hanya karena Naruto yang enggan di bius total, tapi juga karena penolakan-penolakan Naruto, bahkan untuk membuka pakaian dan membersihkan tubuhnya yang dilumuri darah Naruto lebih memilih seorang perawat pria untuk mengerjakannya, dan menepis tangan Tomoyo.
Di tengah-tengah kepanikan manusia, yang berada di ruang emergency, tiba-tiba pintu ruang emergency itu terbuka dan menampakan seorang wanita hamil yang berjalan pelan mendekati brankar tempat suaminya terbaring lemah.
"Maaf yang tidak berkepentingan di larang masuk." Cecar Tomoyo congkak, hanya dengan mendengarkan suara pintu terbuka tanpa memperhatikan siapa yang disebutnya tidak berkepentingan itu.
Wajar saja, karena matanya sibuk memperhatikan Naruto yang sedang merintih kesakitan dan selalu menepis tangannya setiap dia akan menyuntikkan bius.
Langkah Hinata terhenti saat mendengar ucapan ketus Tomoyo. Hinata memperhatikan bagaimana cara Tomoyo berpenampilan sama seperti dirinya, bukan hanya itu, pandangan Hinata juga terarah pada tangan Tomoyo yang selalu ditepis lemah oleh suaminya.
"Siapa yang kau sebut tidak berkepentingan, nona?" Suara lain yang sangat Tomoyo kenal, membuatnya mengalihkan pandangannya ke arah pintu.
Dari balik tempat Hinata berdiri, Tsunade muncul, dia dan Jiraiya baru saja mendarat setelah kembali dari Yokohama dengan jet pribadi mereka setelah semalam menghadiri lauching novel Jiraiya yang terbaru.
Nyali Tomoyo seketika menciut ketika melihat dua orang yang berdiri di pintu ruang emergency.
Ia perhatikan Hinata dari ujung kaki sampai ujung kepala, rambut indigo panjang Hinata lengkap dengan poni ratanya yang selama ini dia tiru. Kulit putih Hinata dan pipi gembul yang kemerahan yang menyerupai miliknya. Serta mata sewarna permata lavender milik Hinata yang tidak dia miliki.
Hinata, designer muda yang sedang melejit namanya dan beberapa bulan lau mendapatkan penghargaan the best designer di ajang Tokyo fashion week, ajang bagi para designer bertaraf internasional.
Dan pandangan Tomoyo berhenti pada perut besar Hinata, ya perut yang ia yakini sedang mengandung benih Naruto. Dari ukuran perut yang lebih besar dari perut wanita hamil pada umumnya sebagai seorang dokter ia yakin bahwa perut itu tidak hanya berisi satu janin.
Tomoyo membungkuk sopan, terlebih lagi di hadapannya ada Dokter ternama di Asia Timur yang menjadi guru besar fakultas kedokteran di Tōkyō Daigaku, universitas yang menghasilkan dokter-dokter terbaik se antero Asia. Sebagai dokter Tomoyo tentu tau siapa Tsunade.
"Aku yang akan melakukan operasi disini, dia cucuku nona." Pengakuan Tsunade ini membuat Tomoyo terkejut. "Hinata dekatilah suamimu, ku dengar dari Kushina dia terus memanggil namamu." ujar Tsunade lembut sambil mengusap lengan Hinata.
Tsunade benarb-enar salut dengan usaha Hinata kali ini yang mencoba kuat, sehingga penyakitnya tidak kambuh, padahal dengan berita besar yang baru dia dengar, kemungkinan hemoglobin Hinata turun drastis sangat besar. Tapi sekarang yang dia lihat Hinata sehat-sehat saja, mungkin karena cintanya yang besar, untuk menyemangati suaminya yang sedang berjuang untuk hidup.
Tangan Naruto terulur mencoba menggapai Hinata yang berjalan mendekat kearahnya, Hinata mempercepat langkahnya agar segera bisa menggapai suaminya.
Tomoyo menyingkir memberikan posisinya agar Hinata bisa lebih dekat dengan suaminya.
Begitu tangan mereka saling berpautan kembali, Hinata menggenggam erat tangan suaminya, dan ia tempekan ke pipi mulusnya, tangannya yang lain membelai lembut goresan tanda lahir yang menghiasi wajah tan suaminya.
Senyuman tipis terukir dari bibir Naruto yang pucat pasih diatara rintihan kesakitannya.
"Dia tidak mau dibius total padahal peluru bersarang di dekat jantungnya, bahkan peluru itu masih berada di dadanya, jika tidak segera diangkat lukanya bisa menyebar ke jantung." Bisik Tomoyo di telinga Hinata.
Hinata menatap sendu luka suaminya. Tangannya yang sedari tadi mengelus pipi Naruto, sekarang berpindah ke kepala Naruto dan menyusuri surai pirang itu.
"Naruto-kun mau di bius, ya... Demi anak-anak kita." Tangan Hinata yang lain yang sedari tadi menggenggam tangan Naruto, membawa tangan tan itu menyentuh perut besarnya.
Naruto berusaha berbicara dengan sisa-sisa tenaganya, dan Hinata mendekatkan telinganya tepat di depan bibir Naruto agar bisa mendengar suara lemah suaminya.
"A...a...ku... takut... ti...tidak... bi..bi...bisa mel...lihat...mu... lagi." Air mata yang di bendung Hinata sejak memasuki ruangan ini tidak bisa lagi dibendung saat mendengar ucapan lirih terbata bata dari bibir yang biasa mengecupi bibirnya itu.
Hinata menampikkan senyuman manisnya di tengah air mata yang mengalir. Dia teringat sebuah adegan film yang pernah dia tonton dengan Naruto saat dirinya masih duduk di Senior High School. Film tentang tentara yang harus dioperasi di tengah hutan, padahal tidak tersedia obat bius.
"Gomen..., bisa tolong ambilkan kursi yang bisa diatur posisi tinggi rendahnya." Pinta Hinata pelan pada salah satu perawat yang ada di ruangan ini.
Tomoyo dan Tsunade menatap Hinata dengan penasaran, sebenarnya apa yang akan dilakukan Hinata.
...
Tak butuh waktu lama, apa yang Hinata ingikan sekarang sudah ada, kursi itu di poisikannya tepat di bagian atas kepala Naruto yang berbaring, Hinata duduk di kursi itu dan menundukkan wajahnya berhadapan langsung dengan wajah Naruto dengan posisi seperti ini.
Kursi tersebut sudah dia atur, sehingga saat mendekatkan wajahnya dengan wajah suaminya ia tak perlu membungkuk sehingga tidak menyebabkan perut besarnya yang berisi sang buah hati menjadi tertekan.
"Saat aku mencium Naruto-kun kalian bisa mengangkat pelurunya." Ujar Hinata tanpa malu-malu, biasanya jika sudah menyangkut hal-hal pribadi dengan suaminya dia pasti akan sangat malu.
Naruto yang masih bisa mendengar jelas perkataan istrinya, tersenyum miring, dia masih sempat berfikir mesum tentang istrinya, walaupun dalam keadaan sekarat seperti ini. Sementara para perawat di ruangan ini wajahnya sudah memerah, Tsunade hanya tersenyum kecil, sedangkan Tomoyo dia tersenyum miris.
Hinata tidak terlalu ambil pusing dengan senyuman suaminya itu, dia langsung mengamit tangan kanan Naruto, menggenggamnya erat, dan mendekatkan wajahnya dengan wajah suaminya, hingga jarak tidak adalagi jarak antara bibir mereka, dengan cepat Hinata mengecup dengan kuat bibir suaminya.
Sesuatu yang biasa dilakukan suaminya, ya selama ini Narutolah yang memulai ciuman antara mereka.
Tapi hari ini demi keselamatan suaminya ia buang rasa malu-malunya.
Naruto membalas ciuman Hinata dengan mengecup dalam bibir peachnya, kecupan yang lembut dan dalam, tenaga Naruto yang tidak sebesar biasanya membuat lumatannya tidak menyebabkan Hinata sesak nafas.
Saat ini Hinatalah yang mengendalikan permainan, ia kecup bibir suaminya pelan, pelan tapi dalam, agar mereka dapat mengecap kemanisan bibir masing-masing, karena ciuman ini akan berlangsung lama, yaitu selama proses operasi.
Maka Hinata mengatur agar ciuman ini agar memilki jedah pendek untuk mengambil nafas tanpa harus berhenti.
Saat pasangan ini hanyut dalam peraduan bibir mereka yang semakin dalam para tim medis memulai usahanya untuk membedah dada Naruto dan mengangkat pelurunya.
Saat pisau operasi mulai membelah dada Naruto, Hinata mulai memperdalam ciumanya sambil menggenggam tangan suaminya itu, agar rasa sakit yang di dera Naruto tidak terlalu hebat.
Terlebih saat dada Naruto dicungkil untuk mengeluarkan peluru, ciuman mereka semakin dalam, bahkan semua itu bisa dilihat jelas oleh para tim medis.
.
Tsunade berhasil mengeluarkan peluru dari dada cucunya, setelah menyeka keringat, ia bersiap untuk menjahit luka Naruto, tapi sebelumnya ia melirik cucunya itu, yang begitu menikmati ciumanya sampai-sampai tidak merasakan sama sekali saat dadanya di belah, bahkan di cungkil.
Saat ini ciuman Naruto dan Hinata sudah tidak sedalam saat peluru itu hendak di keluarkan, hanya ciuman-ciuman lembut yang mengiringi proses penjahitan luka bekas tembak Naruto.
.
Hinata tersenyum, ia menyeka bibir Naruto yang basah karena salivanya, dan tangan Naruto terulur untuk menyeka bibir istrinya yang berada tepat diatas wajahnya. Ia tersenyum, atau bahkan menyeringai puas, saat ciuman itu selesai, itu ciuman terpanas dan terlama yang pernah mereka lakukan.
Pandangan Naruto mulai sayu, ia mulai merasa mengantuk, karena kejaidan beberapa jam lalu yang ia alami, dan juga karena pengaruh obat penghilang rasa nyeri yang memiliki efek mengantuk yang disuntikkan Tsunade ke infus yang tertancap di tangan Naruto.
Tentu saja efek obat ini tidak membuat orang hilang kesadaran penuh seperti di bius total.
Setelah ini dia akan melakukan transfusi darah, karena Naruto banyak kehilangan darah selama perjalanan menuju Tokyo dan proses operasi tadi.
.
Hinata mengusap surai pirang suaminya sebelum dia hendak keluar ruangan emergency untuk menemui keluarganya diluar. Saat akan menggapai pintu tiba- tiba.
"Akhhhhhhh." Hinata merintih keras saat keram pada perutnya yang dia tahan sedari sampai di rumah sakit ini menjadi hebat, sambil melingkarkan tangan di perut besarnya, dan sebelum tubuhnya limbung ke lantai, Tsunade yang baru memebersihkan tanyannya dengan sigap menopang tubuh cucu menantunya ini.
"Bawakan kursi roda, cepat, dan sediakan brankar satu lagi!" Teriak Tsunade pada petugas medis yang tersisa di ruangan ini. Mata Tsunade membulat saat melihat darah segar mulai mengalir di paha Hinata, Tsunade salah, Hinata tidak dalam keadaan baik-baik saja sejak tadi, dia hanya menahan rasa sakitnya.
"Kita akan melakukan transfusi darah untuk dua orang." Perintah Tsunade pada tim medisnya.
.
Tsunade keluar dari ruang emergency dengan mata menyusuri tiap orang yang menunggu Naruto dan Hinata di kursi tunggu ruangan itu, ia bisa melihat bagaimana menantunya mengamuk dan hampir menonjok Kakashi yang baru datang bersama istrinya, jika tidak di peluk oleh putranya.
Kushina lagi-lagi mengambing hitamkan Kakashi atas kejadian ini, dengan berteriak 'apa tidak ada lagi orang yang bisa kau kirim selain putraku'.
Lalu suaminya yang hampir tertidur di kursi tunggu, juga cucu perempuannya yang sedang mendiamkan anaknya yang berusia balita karena menangis terus. Ada juga Sai yang datang bersama istri dan anaknya.
Tapi ada satu yang kurang, keluarga besannya dari klan Hyuuga tak satupun muncul, padahal mereka sudah di hubungi Minato sejak Naruto sampai di Tokyo, apalagi sekarang sudah menunjukan pukul tujuh pagi
Semua orang yang sibuk dengan urusan masing-masingnya itu, seketika mengerubungi Tsunade dengan tatapan cemas.
"Bagaimana keadaan Naruto Okaa-san?" Tanya Kushina dengan raut panik.
"Dia perlu donor darah." Jawab Tsunade, matanya masih menyusuri sekitarnya, kalau-kalau ada keluarga Hyuuga yang datang.
"Tunggu apa lagi, cepat ambil darahku Okaa-san." Tawar Kushina sambil mengulurkan lengannya, memang diantara keluarga Namikaze, Kushina lah yang darahnya paling cocok dengan Naruto.
"Bukan hanya Naruto, tapi Hinata juga butuh pendonor, dia pingsan setelah peluru dari dada Naruto dikeluarkan." Jawab Tsunade dengan pandangan yang masih mencari keberadaan keluarga Hyuuga.
"Itu mereka...!" Tsunade segera keluar dari kerumunan dan menghampiri tiga orang Hyuuga yang baru datang. Hiashi, Neji, dan Hanabi.
...
Tomoyo menatap sendu Hinata yang terkulai lemas, tangannya tertancap selang-selang yang menghubungkan ke infus, dan satu kantong darah yang didonorkan adik perempuannya, Hanabi.
"Kalian benar-benar beruntung punya Kaa-san yang seperti malaikat." Ucap Tomoyo lembut sambil mengusap lembut perut Hinata.
Beberapa jam yang lalu Tomoyo, baru saja mendengarkan kisah cinta Naruto dan Hinata dari Sara, dia sempat meneteskan air mata mendengar perjuangan Hinata untuk diakui, bahkan sampai menikah dengan Naruto.
Tomoyo tidak pernah menyangka bahwa sebelum menyandang status sebagai nyonya Namikaze, Hinata pernah di usir, dan tidak dianggap oleh Naruto. Bahkan perempuan itu rela mengorbankan nyawanya untuk melindungi Naruto, jika dipikir-pikir penorbanannya tidak ada apa-apa dibanding Hinata.
Sudah sepantasnya Hinata sekarang berada disamping Naruto tanpa adanya pengganggu yaitu dirinya.
Tomoyo mengalihkan pandangannya pada tempat tidur di sebelah Hinata, disana ada Naruto yang juga terbaring lemah sedang menerima darah yang didonorkan Kushina, ibunya.
"Kau benar Karena, Nona Hinata benar-benar hebat, hanya dia yang pantas menjadi satu-satunya istrimu, aku menyerah kapten." Ujar Tomoyo sambil tertawa kecil, tangannya menghapusi air mata yang mulai keluar dari kelopaknya.
Tomoyo mendekati Naruto yang sedang tertidur pulas, "sebelum aku pergi aku boleh mengecup pipi mu kapten...? Aku berjanji tidak akan mengganggumu lagi." Tomoyo dengan secepat kilat mengecup pipi kanan Naruto, sebelum berlari meninggalkan ruangan itu.
Ia akan kembali ke Korea Selatan bersama helikopter pemerintah Korea Selatan yang menjemputnya.
...
To Be Continued
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top