19. Misi penyelamatan
Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata
100 meter utara Garis Demarkasi Militer, Korean Demilitrized Zone
Garis Demarkasi Militer, batas terluar perbatasan antara Korea Utara dan Korea Selatan, garis berupa pagar kawat itu melintang di Zona Demiliterisasi, zona yang menjadi area bebas aktivitas militer itu, malah menjadi ladang baku tembak antara dua negara yang tengah berkonflik ini. Sejuknya angin musim semi yang seharusnya membelai kawasan padang rumput itu, berganti dengan angin menusuk nan mencekam. Temaram sinar sang rembulan yang menjadi satu-satunya sumber penerangan malam itu, membuat suasana semakin mencekam.
Derap perlahan penuh kesiagaan terdengar samar, kala sepatu kokoh para pasukan penyelamat itu menapaki tanah berumput desa Pamunjom, desa terluar Korea Selatan yang berbatasan langsung dengan Korea Utara. Berdiri paling depan, sang Kapten yang mengomandoi pasukan dari dua negara macan Asia itu, mengedarkan safir birunya diantara kegelapan malam, berbekal sinar temaram sang purnama dan senter kecil yang dibawa salah satu anggotanya, Kapten Namikaze Naruto, Sang Rubah Emas Jepang mulai mengintai area yang akan ia susuri.
"Seratus meter menuju garis Utara demarkasi militer." Suara serak pria bersurai pirang itu bergema pelan, dan seketika para prajurit di belakangnya bersiaga. "Kalian tetap disini." Sang kapten memberikan instruksi, namun hal ini justru membuat para anggotanya tampak gusar.
"Kapten?" Sai, pria berpangkat letnan, sekaligus sahabat Naruto, yang berdiri di belakangnya buka suara memperingatkan. Bukankah mereka akan masuk ke dalam wilayah Korea Utara bersama-sama? Namun sang pemimpin malah ingin mengambil resiko sendirian.
"Tak ada penjagaan sama sekali di garis demarkasi." Naruto masih menajamkan pandangannya di sekitar padang rumput itu, sambil menanggapi peringatan dari Sai, sesekali ia mengacungkan senapan H&K G-3 di tangannya, bersiaga atas ancaman yang kapan saja bisa terjadi. "Aku akan menerobos masuk dari Garis Demarkasi untuk memastikan penjagaan mereka. Kalian tetap bersiaga disini."
"Kapten!!" Sai kini berdiri di hadapan Naruto, menghadang sang kapten, isyarat bahwa dia bersedia menggantikan Naruto melaksanakan rencana tersebut.
Bibir merah kecokelatan Naruto tersenyum tipis, tangan tannya menepuk pundak sahabat kecilnya yang berkulit pucat itu. "Letnan Shimura Sai, Pastikan keselamatan tim matahari selama aku mengintai."
"Siap laksanakan, Kapten." Sai memasang pose hormat, Naruto memanggil dengan pangkat di depan nama lengkapnya, perintah sebagai seorang pimpinan yang tak bisa Sai tolak, sekalipun nalurinya sebagai seorang sahabat berontak.
...
Tiga jam, bukanlah waktu yang sebentar, keringat dingin sudah membasahi wajah para prajurit dua negara macan Asia ini. Mereka bersiaga di depan pagar kawan dengan senapan di tangan yang teracung. Sungguh bukan keselamatan mereka yang kini tengah menjadi beban pikiran mereka.
Keberadaan pimpinan mereka, Kapten mereka yang masuk sendirian ke dalam sarang musuh, hal itu yang membuat para abdi negara ini merasa gusar. Hal ini sungguh bertolak belakang dengan jiwa solidaritas mereka. Membiarkan seorang teman, terlebih lagi pimpinanmu masuk kedalam perangkap musuh sendirian, bukanlah sikap terpuji bagi seorang prajurit.
Tapi tidak bagi Naruto, putera bungsu Purnawirawan Jenderal JSDF jauh lebih memilih menukarkan keselamatannya, demi membuka jalan bagi para anggotanya. Ia berdiri tegap, di depan markas musuh, Kapten Namikaze Naruto mengedarkan safir birunya yang bercahaya di antara kegelapan, memeriksa tiap jengkal dinding beton yang berada di hadapannya.
Bibir merah kecokelatannya tersenyum tipis, sebuah batu dengan ukuran sedang ia raih sembari berjongkok, lalu dengan santainya ia lempar batu itu ke salah satu arah yang telah ia prediksi.
Pluk
Batu itu terjatuh menyentuh tanah, Naruto tersenyum simpul. Ini bukan seperti yang ia perkirakan, ranjau yang ia curigai tak menimbulkan reaksi apapun. Namun hal itu tak sepenuhnya menjadi spekulasi sang Kapten. Ia berbalik arah, satu kakinya baru akan melangkah, namun otaknya bekerja lebih cepat.
DUAAARRRRR
Sesuai prediksi Naruto, ranjau bukan hanya satu, lebih dari dua puluh ranjau meledak ketika ia berbalik. Namun Naruto bukanlah sembarang Jietai, ia adalah pasukan terpilih PBB yang mengemban pendidikan militer taraf internasional. Jangankan abu panas berserta api ledakan itu, bahkan puing dari ranjau jebakan tentara Korea Utara itu sama sekali tak melukainya. Ranjau-ranjau itu memang dipersiapkan untuk prajurit yang lalai dan cepat merasa puas. Tapi tidak bagi Naruto, ledakan ranjau itu, masih kalah cepat dari gerakannya menuju tong sampah terdekat yang kini menjadi tamengnya.
"Khe...." Naruto mengusap hidungnya yang terkotori debu hasil ledakan. "Itu belum seberapa, ttebayo.."
...
"Kapten!!!"
Naruto yang tengah merayap di bawah pagar kawat itu mendongak, ia menerima uluran tangan Sai yang menawarkan bantuan padanya. "Apa yang terjadi?" Tanya Sai, seraya menarik tangannya yang digenggam oleh Naruto yang telah berhasil berdiri.
"Pergerakkan kita bocor. Kembali ke markas." Perintah Naruto seraya mengusap kasar wajah berdebunya. "Ranjau dengan frekuensi ledak lamban, namun dengan daya ledak dahsyat telah dipersiapkan untuk menyambut kita di sana." Tambahnya sembari menunjuk ke arah markas perbatasan Korea Utara. "Seluruh pos penjagaan telah dikosongkan untuk menjebak kita. Kita tak bisa bergerak untuk beberapa malam ini.
...
"Dia sudah datang?"
Seorang prajurit mengangguk, menanggapi pertanyaan orang yang berdiri di hadapannya.
Ruangan itu tak begitu terang, namun juga tak bisa dikatakan gelap, hanya satu bola lampu yang menyinari ruang dengan luas sepuluh kali sepuluh meter itu, sebuah ruang rapat di dalam markas militer.
"Jietai pengacau itu akhirnya turun tangan." Pria itu berujar seraya tersenyum simpul setelah mendapat sebuah jawaban berupa anggukkan dari bawahannya.
"Kapten Kim. Kita perlu melakukan serangan balik?" Bawahan lain yang berpangkat lebih rendah berdiri memberikan sebuah saran, namun ditolak mentah-mentah oleh sang Kapten dengan gelengan serta senyum simpul penuh makna. Kim Joong Hyuk, kapten Angkatan Darat Korea Utara, musuh bebuyutan Naruto, mereka terlibat baku tembak satu lawan satu saat PBB mengirim bala bantuan untuk mengatasi konflik di Korea tiga tahun lalu.
Joong Hyuk tersenyum tipis, sarat makna disertai dendam, tangan di sisi tubuhnya mengepal tinju kuat penuh dendam, lalu terangkat menyentuh pipi kanannya. Sebuah goresan luka panjang. Luka akibat belati milik Kapten Pasukan Perdamaian PBB, seorang jietai. Seorang Jietai yang memergokinya di luar waktu penyerangan.
Seorang Jietai yang memergokinya saat ia berusaha menikmati tubuh warga sipil Korea Utara yang berusaha kabur menuju Korea Selatan. Kapten Namikaze Naruto, nama itu masih terpatri jelas di ingatan Joong Hyuk.
"Korea Utara menerima persyaratan gencatan senjata yang diputuskan PBB, dan semua itu karena kecerobohan anda Kapten Kim Joong Hyuk."
"Kapten Kim Joong Hyuk, disanksi tunda pangkat selama sepuluh tahun."
Joong Hyuk mengusap kasar bekas luka yang ditimbulkan Naruto, Korea Utara kalah sebelum berperang tiga tahun lalu. Pertikaian Naruto dan dirinya berakhir di mahkamah militer internasional, kebusukan Joong Hyuk dibongkar oleh Naruto. Tanpa perlu berperang negaranya harus tunduk pada Amerika Serikat, dan berakhir dengan keterpurukan karir militernya, sebagai hukuman dari negaranya sendiri.
"Biarkan Rubah busuk itu mengatur strategi. Kali ini aku akan membuatnya menyesal telah mencampuri urusan negara orang."
...
"Menyusup?"
Naruto mengangguk tanpa keraguan sebagai jawaban dari pertanyaan Sai. Bibir merah kecokelatannya mengukir senyum penuh kemenangan, lalu tubuh tegap itu berbalik dari hadapan para pasukan yang ia komandoi, beralih pada sebuah peta digital yang terpampang di hadapannya kini.
"Ini adalah sketsa markas Korea Utara sebelumnya." Wajah tan Naruto mengarah pada Sai, meminta sebuah pembenaran, dan dijawab dengan anggukkan oleh Sai. Sementara tangannya ia pergunakan untuk menunjuk peta digital itu.
"Mengapa aku mengutus salah satu dari kalian untuk menyusup?" Tubuh Naruto berbalik menghadap pada peserta rapat.
"Anda membutuhkan rekaman rute terbaru markas mereka?"
Naruto tersenyum simpul, jawaban dari salah satu tentara Korea Selatan itu sesuai dengan isi kepalanya. "Mereka mengubah rute, dan tata letak markas, kita tak bisa hanya menerka-nerka, salah satu dari kita harus masuk dan merekam secara detil kondisi medan yang akan kita hadapi. Kenapa kita perlu penguasaan medan yang sangat matang? Bukankah kita tak punya banyak waktu memikirkan strategi B saat penyerangan?"
"Karena ini misi penyelamatan, sebisa mungkin kita harus menghindari baku tembak."
Naruto tersenyum puas, seorang Jietai memahami maksud dari rencananya tersebut.
"Kita memerlukan dua orang penyusup. Jadi siapa diantara kalian yang memiliki nyali besar?" Hening tidak ada satu jawaban pun dari anggota timnya. Dahi Naruto berkerut, ia tidak yakin bahwa pasukan yang ia pilih selama ini, hanya berisikan para pengecut.
"Baiklah jika tidak ada yang bersedia aku sendirilah yang akan menjadi mata-mata." Ujar Naruto dengan kilatan kemarahan di matanya.
"Letnan Shimura Sai siap mendampingi!" Sahutan lantang Sai kian membuat para prajurit dua negara itu. Naruto adalah pimpinan tertinggi dari misi ini, sementara Sai adalah wakilnya. Haruskah mereka memasang wajah santai saat dua orang tertinggi dari misi ini yang turun tangan sebagai pengintai.
Oh ayolah, mereka tentu tidak lupa apa yang baru saja Naruto contohkan tadi malam, ia seorang diri menyusup kedalam markas musuh, dan hanya Sai satu-satunya prajurit yang menawarkan kesediaannya untuk menggantikan sang kapten. Nyali lemah membuat para prajurit itu menunduk.
"Saya bersedia Kapten." Chojuro, Jietai berpangkat Sersan itu berdiri mengajukan diri, ia masih punya nyali, harga diri sebagai pria, dan kebanggaan warga Jepang yang terkenal akan semangat bekerja keras.
"Baiklah, satu lagi harus dari Korea Selatan untuk mendampingi Chojuro." Naruto tersenyum puas, ternyata ia tak salah memilih pasukan.
Suasana kembali hening, tak ada satupun yang buka suara, cukup beberapa detik bagi Naruto untuk diam menunggu kesadaran para tentara anggota timnya ini. Pandangan netra birunya kini mulai menyusuri tiap wajah anggota tim untuk meminta jawaban atas tawarannya.
"Tidak ada yang besedia?" Tanya Naruto dingin.
"Saya bersedia Kapten." Choi Nam Gil, sersan dari Korea Selatan berkulit eksotis itu berdiri menawarkan diri. Ia tak mau harga diri negaranya di injak oleh para prajuritnya sendiri. Setidaknya ia tak ingin dicap sebagai lelaki tak bernyali oleh sang pimpinan tim yang merupakan prajurit dari negeri tetangga.
"Akan ada bus pengangkut bahan makanan dari sebelah barat Demiliterized Zone menyamarlah menjadi koki dan menyusup ke dalam markas mereka, melalui dapur, pasang mikro camera pada beberapa titik, temukan di mana posisi para sandra disekap, kabari kami melalui radio komunikasi supermini yang kalian pegang. Mikro Camera yang kalian bawa sudah terkoneksi dengan sistem jaringan di Seoul dan hasil rekaman kalian akan ku terima melalui note book di markas ini, semakin kalian bergerak cepat, kamu akan semakin cepat masuk k edalam markas mereka." Ujar Naruto memberi arahan, ia tak mau misi ini tertunda lagi, ia tidak mau berlama-lama di tempat ini lagi. Ada hati yang menunggunya di seberang semenanjung Korea sana.
...
Sudah dua hari sejak keberangkatan Naruto ke Demiliterized Zone Korea. Hinata sama sekali belum berkomunikasi dengan suaminya, rasa khawatir yang sangat dalam menyelimuti perasaannya. Ia sadar dengan kondisi keberadaan suaminya sekarang, tentu akan sangat sulit menggunakan ponsel untuk memberi kabar padanya.
Menunggu, hanya itu yang dapat dilakukan Hinata sekarang.
Hinata menyusuri kamar yang di persiapkan untuk sepasang buah hatinya, seminggu yang lalu dia dan suaminya mempersiapkan kamar ini sebelum Naruto berangkat untuk misinya.
Kamar yang didominasi warna biru yang berupa lukisan langit sebagai latarnya dan warna kuning pada lukisan bunga matahari. Terdapat dua box bayi disana, yang berwarna biru untuk putranya dan yang berwarna kuning untuk putrinya.
Lemari dan laci-laci yang dicat putih pada kamar bayi itu di tempeli stiker berbentuk bunga matahari, semua ini diikerjakan oleh suaminya, dan dia hanya membatu hal-hal kecil seperti menepel stiker, suaminya akan mengamuk jika dia melakukan pekerjaan berat dengan perutnya yang sangat besar itu.
"Akh....!!!" Rintihan lirih keluar dari bibir mungil Hinata akibat tendangan aktif dari dua janin yang berusia delapan bulan di dalam rahimnya. Ia segera menududukkan diri perlahan pada sofa nyaman yang terdapat di kamar bayi tersebut.
"Kalian bermain apa di dalam...? Kenapa sampai menendang Kaa-chan begitu keras, hm...?" Hinata berbicara seolah-olah akan dijawab oleh janinnya, dielusnya perlahan perutnya yang semakin membesar itu, sebagai respon dari gerakan aktif kedua buah hatinya tersebut.
"Apa kalian merindukan Tou-chan, nak?" Bayi-bayinya seolah mengerti dengan pertanyaannya dan memberikan jawaban berupa tendangan.
"Kaa-chan anggap jawabannya iya." Hinata kembali terkikik dengan kelakuannya sekarang. Semenjak suaminya pergi dia lebih sering menghabiskan waktu berbicara pada janinnya untuk mengusir kesepiannya.
Semua itu untuk mengusir rasa sepinya, ia lebih memilih tinggal sendirian di Penthhousenya dari pada tinggal di kediaman Namikaze atau Hyuuga, yang jauh dari jantung kota Tokyo.
Tiba-tiba terlintas sebuah ide untuk mengunjungi kediaman Uchiha yang teletak satu lantai di bawah kediamannya. Sudah hampir sebulan Hinata tidak pernah melihat Sakura di kelas senam hamil Konoha Hospital dan saat bertanya pada Sasuke, pria bermuka datar itu hanya akan menjawab bahwa Sakura sedang istirahat.
Jika dia mendatangi Penthhouse milik Uchiha itu siang hari seperti ini pasti Sakura sedang berada di rumah sendirian, setidaknya dia bisa ngobrol lebih leluasa dengan Sakura. Hinata merasa sungkan jika harus berkunjung ke penthhouse Uchiha itu jika sedang ada Sasuke dan tanpa didampingi Naruto.
"Bolt, Hima, ayo kita kunjungi Sakura Ba-san dan saudara kalian di bawah...." Dengan perlahan dan agak kesulitan karena kandungannya yang semakin besar Hinata bangkit dari posisi duduknya disofa yang nyaman.
...
Berkali-kali menekan bel penthhouse milik pasangan Uchiha ini Hinata tak kunjung mendapat jawaban sang pemilik. Sampai kedatangan sang kakak ipar yang hari ini memang sengaja akan berkunjung ke penthhousenya.
"Hinata aku sangat khawatir saat kau tidak membuka pintu, untung Bibi di sebelah apartement mu memberitahu kau ada disini...." Ujar Sara sambil menyeka keringat di keningnya. Ia sampai harus turun melalui tangga darurat karena lift yang terlalu lama, ibu muda itu merasa panik karena tak mendapati sang adik ipar di kediamannya.
"Ne, Sara-nee, apa kau tahu kemana Sakura-chan pergi? Hampir sebulan aku tidak melihatnya di kelas senam hamil, dan beberapa minggu ini aku tak pernah melihatnya bersama Sasuke-san sebenarnya apa yang terjadi pada Sakura-chan? Sara-nee apa dia dan bayinya baik-baik saja?" Hinata melayangkan rentetan pertanyaan pada Sara dengan tatapan penuh ke khawatiran pada sahabat merah mudanya itu.
"Kami tidak tahu tentang keberadaan Sakura, Hinata. Bayinya meninggal di dalam kandungan karena tidak berkembang akibat miom yang di deritanya. Fugaku Tou-san marah besar dan menganggapnya tidak bisa menjaga kandungannya dengan baik. Sakura di minta meninggalkan Sasuke, karena terlalu sering didesak maka Sakura akhirnya pergi meninggalkan apartment, dan sampai saat ini kami tidak tahu keberadaannya dimana." Jelas Sara dengan wajah bersalah, bagaimanapun tak seharusnya dia menceritakan hal ini pada Hinata.
"Kenapa tidak ada yang memberitahuku tentang hal ini? Kenapa? Aku adalah sahabat yang jahat, karena beberapa minggu ini terlalu memikirkan keberangkatan Naruto-kun, sampai-sampai tidak memperhatikan Sakura-chan lagi..." Air mata Hinata mulai turun, isakan demi isakan keluar dari bibir mungilnya. Telapak tangannya menutupi wajahnya yang sudah memerah akibat tangisnya.
Sara gelagapan melihat adik iparnya menangis, karena sesuai dengan perintah ibunya dan adiknya, Hinata tidak boleh terlalu stress atau tertekan karena itu bisa mempengaruhi kesehatan Hinata dan bayi-bayi yang dikandungnya.
"Hinata-chan sudah jangan menangis lagi, kau tidak kasihan pada bayi-bayimu, ayolah Hinata-chan berhentilah menangis, Naruto menyuruh kami untuk merahasiakan ini semua darimu agar kau tidak terlalu banyak pikiran mengingat kondisi kesehatanmu yang sempat turun." Bujuk Sara sambil membelai surai indigo Hinata.
"Ada apa ini kenapa menangis di depan pintuku?" Suara bungsu Uchiha itu menghentikan isak tangis Hinata.
"Sakura-chan!!!" Ucap Hinata semangat saat melihat sahabat merah mudanya itu berada dalam rangkulan suaminya.
"Sebaiknya kalian masuk dulu dan lanjutkan drama kalian di dalam rumah." Perintah Sasuke sambil menekan angka kombinasi yang menjadi akses membuka apartemnentnya.
...
Sakura saat ini menangis sambil berpelukan pada Hinata, ternyata selama ini dia kabur dan bersembunyi di Hatake Mansion kediaman Shizune dan suaminya Hatake Kakashi.
"Kenapa Kami-sama begitu jahat padaku Hinata? Dengan susah payah aku bisa hamil, tapi kenapa Kami-sama mengambil bayiku begitu saja...." Sakura mengadukan semua kesedihannya pada Hinata. Air mata tak dapat terbendung lagi dari emeraldnya, buah hati yang telah lama ia tunggu-tunggu kini harus pergi meninggalkannya, bahkan sebelum menghembuskan nafas di dunia.
Tak banyak hal yang bisa dilakukan oleh Hinata, ia juga seorang calon ibu, ia tahu perasaan seperti apa yang dirasakan seorang wanita saat merasakan tendangan dari dalam perutnya. Sebuah kehidupan bergantung pada tubuhnya, dan saat harapan memeluk dan melihat wajah amat berharga itu pupus seketika, makan setiap kata tak akan bermakna lagi.
Hinata tahu, apapun yang ia ucapkan tak akan mampu melipur duka lara Sakura. Hanya sebuah pelukan, pelukan hangat tulus dari seorang sahabat yang mampu meredam Isak tangis wanita musim semi itu. Hinata membiarkan wanita yang pernah menjadi cinta pertama suaminya itu menangis diatas bahunya, melepas semua perih yang ia tahan selama ini.
...
Sasuke menutup pintu besarnya saat Hinata dan Sara sudah meninggalkan penthhouse miliknya, ia berjalan menghampiri istrinya yang masih menangis. Duduk tepat disamping istrinya yang sedang duduk disofa empuk berwarna cream.
"Mau sampai kapan menangis terus? Kau tak perlu dengarkan ucapan tua bangka itu, sampai matipun kau tidak akan ku lepas." Bisik Sasuke tepat di telinga Sakura.
"Tapi aku merasa seperti istri yang tidak berguna karena tidak bisa memberikanmu seorang anak, bahkan dengan proses inseminasipun kita masih tidak bisa memiliki anak." Ucap Sakura di sela-sela tangisnya.
"Kita tidak perlu inseminasi lagi." Bisik Sasuke pelan. "Bukankah jahitan bekas operasimu sudah kering, dan miom-miommu sudah diangkat?"
Sakura mengangguk lemah. "Tapi kita masih harus mengulang lagi tahapan inseminasinya Sasuke-kun."
"Aku masih bisa menghamilimu tanpa proses inseminasi. Kau meragukanku, Sakura?" Darah Sakura seketika berdesir saat mendengar penuturan suaminya, dan seketika Sakura merasakan tubuhnya melayang karena suaminya mengangkat tubuh mungilnya.
"Jika dengan inseminasi gagal, kita akan lebih berusaha lagi dengan cara alami." Sasuke menyeringai sambil membawa istrinya kedalam kamar.
...
Hinata dan Sara sekarang sudah berada di penthhouse milik Naruto, ia sedang asik membaca informasi kehamilan melalui tablet yang ada di tangannya, sementara Sara sibuk memenggonta ganti saluran televisi layar datar menggunakan remote control ditangannya.
"Onee-chan bukan maksudku mengusirmu, tapi ini sudah sore, lebih baik kau pulang kerumah saja, nanti Fugaku Ji-san akan memarahimu jika terlalu lama disini." Hinata sedikit heran dengan kakak iparnya ini yang betah berlama lama di penthhousenya dengan meninggalkan anaknya bersama ibu mertuanya.
"Aku malas pulang ke Uchiha Mansion, Hinata. Apalagi saat ini Itachi-kun sedang rapat pemegang saham di Hokaido. Jujur, aku tidak tahan mendengar sindiran-sindiran Fugaku Tou-san. Aku selalu saja salah dimatanya, tidak bisa mengurus suami dan anak dengan baik lah, sering keluyuran lah, padahal kau tahu sendiri 'kan menemui keluargaku saja aku di larang habis-habisan." Sara akhirnya mengeluarkan isi hatinya tentang perilaku buruk ayah mertuanya.
Hinata tersenyum lembut sambil mengusap pelan perut besarnya. "Apa kau tidak merngkhawatirkan Tobi, Onee-chan?"
"Dia sedang bersama Baa-sannya, Mikoto Kaa-san sangat senang jika diminta mengurus Tobi." Jawab Sara santai.
"Ya sudah kalau begitu aku pergi mandi dulu ya Onee-san." Hinata bangkit dengan perlahan dari posisi duduknya, lalu berjalan perlahan menuju kekamar mandi dengan satu tangan ia gunakan untuk menopang pinggangnya yang terasa sakit akibat ukuran perutnya yang kian membesar.
Tiba-tiba pintu penthhouse itu terbuka paksa karena kode keamanannya di retas. Sosok Fugaku mucu, di belakangnya sudah ada Mikoto yang sedang menggendong Tobi.
"Disini kau rupanya, hah!!! Menantu tidak tahu diri!!!! Suami sedang pergi jauh, kau malah asyik berleha-leha di rumah adikmu ini!!!" Kometar Fugaku dengan pedasnya sambil melipat tangannya di depan dadanya.
"Aku disini menemani Hinata, Tou-san. Dia tinggal sendiri di aparterment ini. Aku sedang menunggu Kaa-chan dalam perjalanan kesini. Bisakah aku meminta waktu sedikit saja?" Untuk pertama kali selama tiga tahun pernikahannya Sara membantah mertuanya.
"Kau tidak usah lagi pulang ke Mansion Uchiha!!!!!" Ucap Fugaku ketus.
Seperti tersambar pertir Sara mendengar ucapan Fugaku. "Kau tidak bisa memisahkan aku dan Itachi-kun begitu saja. Kau terikat perjanjian dengan Tou-chanku atas pernikahan ini." Protes Sara, walaupun dia dan Itachi dinikahkan karena perjodohan tapi Sara sangat mencintai Itachi.
"Mikoto ayo ktia pulang, jangan biarkan Tobi bertemu dengan ibunya yang tidak becus ini!!!" Ucap Fugaku kasar sambil meninggalkan Sara.
"Tou-san kau tidak bisa seenaknya menjauhkan aku dan anakku!!!!" Sara berdiri, mengejar Fugaku, mencoba mengambil Tobi dari gendongan Mikoto, Mikoto yang mengerti dengan keadaan Sara, dengan senang hati menyerahkan Tobi pada ibu kandungnya tapi-
PLAKKKK.
Fugaku dengan tanpa belas kasihan menampar istrinya yang lembut itu. Mikoto jatuh tersungkur sambil memegang pipinya yang memar.
"Kau istri yang tak tahu diri!!!" Baru saja Fugaku akan menampar Mikoto lagi, tangan yang akan ia gunakan untuk menampar Mikoto dipegang oleh tangan mungil putih milik Hinata.
"Kita bisa bicarakan baik-baik Fugaku Ji-san...." Ucap Hinata lembut tapi tegas, ia benar-benar tidak bisa melihat wanita disiksa oleh pria di hadapannya.
"Kau tau apa, hah?!!!" Fugaku menghentakkan tangan Hinata, hingga wanita hamil ini kehilangan keseimbangan, jika saja Kushina tidak berada di belakangnya untuk menyangga tubuh Hinata yang hampir saja terhempas ke belakang.
"Apa yang kau lakukan dengan menantu, dan putriku, Fugaku." Minato yang baru saja datang bersama Kushina tidak tinggal diam melihat seorang pria yang hampir mencelakai tiga wanita.
"Kau bahkan tidak mampu mendidik putri dan menantumu dengan baik, Minato!!!" Ketus Fugaku.
"Kau ingin memisahkan Itachi dengan Sara begitu tahu saham Sara di Namikaze TV aku bekukan jika dia melakukan pengalihan kepemilikan? Kurasa bahkan Itachi pun tak berharap saham istrinya jatuh ketangannya. Kau lah yang ingin menguasai saham Sara? apa Uchiha Corp masih kurang untukmu?" Ucapan Minato itu menjadi pukulan telak bagi Fugaku.
"Aku masih menganggapmu besan Fugaku, pulanglah dan obati istrimu, Sara dan Tobi akan menemani Hinata sampai Naruto atau Itachi pulang."
Fugaku akhirnya meninggalkan penthhouse Hinata dengan wajah penuh kebencian. Walau bagaimanapun ancaman Minato tidak bisa diremehkan. Awalnya niatan Fugaku untuk menjodohkan Sara dan Itachi adalah untuk mengembalikan nama baik Uchiha setelah Sasuke sempat bergabung dengan pemberontak, setelah menjadikan Puteri dari Jenderal besar JSDF sebagai menantunya terbukti Klan Uchiha kembali terpandang di mata masyarakat Jepang.
Tidak puas dengan itu, saat Minato sudah tidak lagi menjabat sebagai pimpinan tertinggi militer Jepang, ia melihat Sara menantunya berpeluang memiliki separuh dari Namikaze TV yang maju pesat dikelola Minato setelah pensiun dini. Hal ini dikarenakan Naruto, putera yang seharusnya memiliki hak waris atas Namikaze TV, malah memilih jalan seperti ayahnya menjadi seorang tentara yang tak akan punya waktu untuk mengelola bisnis keluarga.
Tapi perkiraan Fugaku salah, Minato membagikan semua saham pada perusahaannya secara adil pada anak-anaknya, bahkan dia tidak memiliki saham sedikitpun di perusahaan yang dikembangkannya. Saat ini dia bahkan hanya menjalankan perusahaan dengan mengelola 50% saham milik Naruto yang masih berstatus sebagai tentara, sedang Sara mengurus sendiri 50% sahamnya.
Sadar akan rencana Fugaku yang ingin menguasai saham Sara, Minato membuat surat pernyataan berstempel bahwa bila Sara melakukan pengalihan atas sahamnya makan semua saham Namikaze TV akan diatasnamakan pada Naruto. Itulah yang membuat Fugaku selalu melarang Sara menemui keluarganya.
"Kau temani Hinata saja dulu sampai suamimu pulang dari Hokaido dan menjemputmu." Ujar Minato sambil mengusak sayang rambut merah putrinya warisan sang istri tercinta.
Kushina yang baru saja melihat putri, menantu dan cucu-cucunya yang hampir celaka, seketika langsung merentangkan tangannya untuk memeluk Sara dan Hinata.
"Kaa-chan tidak akan biarkan hal buruk terjadi pada kalian." Lirih Kushina sambil ngecup rambut Hinata dan Sara bergantian.
...
Hinata tersenyum kecil sambil memandangi Tobi dan Sara yang sedang bercanda di sofa kamarnya, jam sudah menunjukan pukul sembilan malam tapi mata Hinata belum juga terpejam ketika melihat tingkah laku Tobi yang sedang bermain di pangkuan ibunya.
Aku akan bermain-main dengan anak-anakku seperti itu ketika mereka lahir....' Batin Hinata sambil mengusap pelan perut buncitnya. Tiba-tiba lamunan Hinata terpecahkan oleh suara yang berasal dari ponsel pintarnya.
Hinata memperhatikan baik-baik nomor yang tertera pada ponselnya, nomor yang dianggapnya asing.
Dengan ragu-ragu Hinata menerima panggilan itu.
"Moshi-moshi, siapa ini?" Tanya Hinata begitu telpon tersambung.
'Kau kejam sekali Hime baru dua hari ku tinggalkan kau sudah melupakan suamimu ini.' Jawab Naruto dari ujung telepon dengan suara manja yang di buat-buat.
"Naruto-kun?" Tanya Hinata tidak percaya.
Kau pikir siapa lagi yang akan memanggilmu Hime, Namikaze Hinata?, atau memang sekarang ada orang lain yang memanggilmu Hime selain diriku.' Rajuk Naruto.
"Gomenasai Naruto-kun kau menggunakan nomor asing aku jadi tidak bisa mengenalinya." Jawab Hinata halus, dalam hatinya ia sangat bahagia ketika mendengarkan lagi suara belahan jiwanya.
"Naruto-kun sehat 'kan? Apa Naruto-kun makan dengan baik disana? Bagaimana dengan misinya? Apa para sandera sudah dibebaskan?" Tanya Hinata panjang lebar dengan nada khawatir.
'Banyak sekali pertanyaanmu, sayang. Aku jadi bingung menjawabnya. Baiklah yang pertama, aku sehat dan baik-baik saja disini, yang kedua aku makan dengan sangat baik disini, dan yang ketiga..., kami belum bisa membebaskan para sandera. Kemarin malam kami sudah bergerak menuju markas mereka Hime, kau tahu sayang? Mereka sudah menyiapkan jebakan untuk kami, ditambah jumlah kami yang kalah jauh, sepertinya mereka sudah sadar dengan kedatangan kami. Tapi jangan khawatir kami sudah menyusun strategi baru.'
Jantung Hinata berdegup kencang mendengar cerita dari suaminya, itu berarti misi mereka tidak berjalan lancar.
"Naruto-kun berhati-hatilah, kami menantimu disini...." Ucap Hinata lirih, hanya kalimat singkat itulah yang dapat keluar dari bibir mungilnya, hatinya sudah di penuhi ketakutan mengenai nasib suaminya.
'Siap laksanakan nyonya besar. Ne, Hime, kau sudah bertanya banyak padaku, sekarang giliranku bertanya.'
"Naruto-kun ingin bertanya apa?" Tanya Hinata lembut
'Apa kau merindukan ku Hime?'
"Sangat Naruto-kun, aku benar-benar merindukan mu Anata..." Jawab Hinata lirih air mata mulai mebasahi pipi gembulnya yang kemerahan. "Bagaimana bisa aku mengingkari hatiku yang begitu bergantung pada hatimu..." Sambung Hinata dengan suara yang mulai terisak.
'Yokatta, tetap rindukan aku, sayang. Karena Aku juga sangat merindukanmu Hime.' Suara Naruto yang sedari tadi cerita menjadi parau.
"Anata, ada apa?" Tanya Hinata Khawatir.
'Kami akan menyusup lagi malam ini Hime, doakan kami, semoga malam ini kami bisa menyelamatkan para sandera itu.' Entah kenapa Naruto merasakan kegelisahan yang hebat malam ini, firasatnya mengatakan malam ini akan terjadi sesuatu.
"Anata, berjuanglah kami semua menunggumu disini...." Isakan halus mulai keluar dari bibir mungil Hinata.
'Hinata, aku mencintaimu, jagalah anak-anak kita dengan baik.'
"Naruto-kun kenapa tiba-tiba bicara seperti itu?" Hinata bertambah khawatir.
'Tak apa, aku hanya takut akan berada lama disini, tidurlah Hime, sudah malam tak baik untukmu dan anak-anak kita, Sai juga ingin memakai telepon untuk menghubungi Ino, sudah dulu ya.'
"Oyasuminasai Anata." Dengan berat hati Hinata menuruti perintah Naruto untuk mengakhiri pembicaraan.
'Oyasuminasai Hime.' Jawab Naruto lembut lalu mengakhiri pembicaraanya.
...
"Kau kenapa Kapten?" Tanya Sai sambil menepuk bahu Naruto, sebenarnya tujuan utamanya adalah menggunakan telepon yang kabelnya baru saja diganti ini untuk menghubungi keluarganya di Tokyo. Namun berakhir dengan duduk bersama sang ketua yang kini tengah termangu menatap langit.
"Setelah ini langsung berkumpul di aula, aku akan memberi arahan lagi sebelum kita pergi menyusup pukul satu nanti." Perintah Naruto sambil berlalu, tapi sebelum dia meninggalkan pos itu Naruto berbalik dan berkata-
"Sai, apapun yang terjadi padaku, bawa aku langsung ke Tokyo." Ujar Naruto sambil menepuk bahu Sai kemudian berlalu.
"Dia itu bicara apa?" Gumam Sai sambil mengangkat kedua bahunya.
...
"Aku sudah mendapat kabar dari Chojuro dan Nam Gil yang sedang menjadi mata-mata, mereka menyekap para sandera di aula pertemuan, saat ini mereka sudah membius beberapa tentara Korea Utara. Aku bagi kalian menjadi tiga tim untuk menyusup ke markas mereka, aku, Sai dan Yoon Sung akan menyusup melalui gerbang utama, sisanya akan ku bagi untuk menyusup di gerbang selatan, timur dan barat." Lugas tepat dan cepat rapat koordinasi malam itu tak memakan waktu lama, para tentara itu bergerak cepat mengambil senjata dan pakaian pelindung mereka. Lalu berlari berbondong-bondong keluar dari markas demi menyelesaikan misi. Memenuhi takdir mereka sebagai pelindung perdamaian.
...
Gelap gulita, hanya cahaya temaram sang rembulan lah yang menjadi satu-satunya sumber penerangan saat ini. Kurang dari empat puluh prajurit dengan serangan hijau yang sewarna dengan ilalang yang mereka susuri, mengendap membelah ilalang menjadi jalan setapak, menuju garis terluar yang menjadi pusat konflik dua negeri ginseng yang berseteru ini.
Garis demarkasi yang memisahkan dua negara yang berasal dari satu bangsa ini berada di hadapan mereka. Tim matahari yang dikomandani oleh kapten Namikaze Naruto kian dekat dengan tujuannya.
Nafas berat berhembus dari hidung mancung sang kapten, ia tatap penuh curiga pada pagar kawat yang memisahkan Korea Utara dan Selatan itu. "Sai tetap berada disini, bersama timmu. Tunggu aba-aba dari tim Yoon Sung yang akan mengantarkan sandera."
"Siap laksanakan kapten." Jawab Sai yang diikuti oleh para prajurit yang berada dibawah komandonya.
Naruto memecah tim matahari menjadi tiga kelompok yang masing-masing beranggotakan delapan orang bersama ketua kelompok.
"Kita masuk ke dalam. Yoon Seung, kau dan timmu akan menyusul masuk, setelah Darui memberikan aba-aba. Tetap berada di pos terluar dan pastikan tentara Korea Utara lengah. Saat kami berhasil membawa sandera keluar dari markas, secara estafet kawal mereka menuju garis demarkasi. Dan Sai, kau bersama timmu bertugas menyambut dan memastikan keselamatan para sandera hingga ke markas pamunjom. Kalian mengerti?"
"Siap mengerti Kapten!!!" Para prajurit itu berteriak serentak menjawab pertanyaan sang pimpinan. Mereka telah siap mengemban tugas yang menyangkut nyawa banyak orang.
...
Empat belas orang, prajurit yang Naruto pilih untuk menyeberang perbatasan Korea Utara dan Selatan lebih dahulu. Sementara sepuluh orang lagi prajurit dibawah komando Sai diperintahkan Naruto untuk berjaga di garis demarkasi wilayah Korea Selatan, tim yang Naruto pilih untuk melanjutkan evakuasi dari tim kedua yang akan Naruto tinggalkan di pos terluar markas Korea Utara. Dan empat belas lainnya yang dipimpin oleh Yoon Sung berjalan di belakang rombongan mereka, menunggu instruksi untuk masuk kedalam markas musuh.
"Darui, kau tetap disini, beri kabar pada tim Joon Seung untuk segera menuju markas musuh." Perintah Naruto pada Jietai berkulit gelap itu.
Sersan bernama Darui itu menggangguk patuh, tangannya terarah pada benda yang tertempel di telinganya. Sebuah super microphone yang terhubung pada rekannya yang tengah menyusul.
"Lapor, anak Kitsune disini ganti." Darui mencoba menghubungi Joon Sung sementara Naruto sudah berjalan bersama tiga belas orang anggotanya memasuki markas.
"Lapor, Gumiho menerima ganti." Yoon Sung menerima pesan dari Darui.
"Lapor Kapten Kitsune masuk dalam sarang harimau, ganti. Gumiho masuk, ganti."
"Siap laksanakan Gumiho masuk sarang harimau, ganti."
...
"Pecah menjadi tiga, lima orang kecoh kearah barat, temui Chojuro di pos barat. Lima orang ke arah timur, temui Nam Gil disana. Mereka menyekap para sandera di tiga ruangan. Tiga orang ikut denganku, kita ke aula utama."
Dor
Dor
Suara letusan peluru bergema ketika Naruto baru saja memberikan instruksi, tanpa aba-aba tim itu langsung perpencar sesuai arahan. Keberadaan mereka sudah tercium orang tuan rumah. Dan para tentara Korea Utara itu tak akan tinggal diam.
"Berpencar!" Tiga belas prajurit yang berada di bawah komando Naruto berpencar sesuai instruksi sang kapten. Keberadaan mereka telah telah terdeteksi oleh pihak musuh. Naruto mengantisipasi hal ini, maka dari itu dia memecah kelompok menjadi tiga.
Baku tembak tak terhindarkan, Naruto bersama tiga orang bawahannya masih pada tujuan yang sama seperti awal. Aula utama markas Korea Utara, di tempat ini lah menurut prajurit yang ia tugaskan untuk menyusup, terdapat paling banyak sandera, dan mereka semua anak-anak.
BRUKKKK
DORRRRRR
Suara letusan pistol, tubuh manusia yang menghantam lantai mendominasi markas itu dengan nuansa cokelat itu. Naruto bersama timnya berhasil memporak-porandakan markas besar negara komunis itu.
Sementara di ruang pengintai, beberapa tentara dari Korea Utara hanya menonton aksi Naruto dan timnya yang memporak porandakan markas mereka. "Kapten Kim, para Jietai itu berhasil membebaskan sandera di gudang timur dan barat." Seorang tentara melaporkan pada atasannya atas apa yang mereka tonton dari layar pengintai yang terhubung ke tiap sisi markas.
"Aku bisa melihatnya." Jawab sang kapten dingin.
"Mereka memporak-porandakan markas dan melepaskan tawanan perang, kita masih perlu diam kapten?" Seorang tentara lagi menanyakan kembali sikap sang pimpinan.
"Biarkan mereka keluar dari markas dan melintasi garis demarkasi."
"Kapten Kim?" Para sersan itu menyanksikan keputusan sang kapten.
"Kalian pikir aku sebodoh itu?" Kim Joong Hyuk, kapten angkatan darat Korea Utara itu tersenyum simpul penuh arti. "Bawa sebanyak mungkin pasukan ke garis demarkasi selatan, bersembunyi dan serang mereka saat memasuki wilayah Korea Selatan. Mereka akan kesulitan melakukan penyerangan bila melindungi banyak nyawa."
"Menyerang mereka di Demilitarized Zone, itu melanggar kesepakatan militer, Kapten."
Joong Hyuk tak menggubris peringatan dari bawahannya. Senyum liciknya menjadi. "Bukankah mereka yang ikut campur dalam urusan negara kita...??" Ujarnya pelan namun penuh dengan dendam.
...
"
Berpencar!" Naruto memerintahkan kembali berpencar pada bawahannya yang tinggal tiga orang. Mereka berada di persimpangan sekarang sebuah lorong di dalam ruangan yang terbagi menjadi tiga arah.
"Kapten?" Salah seorang Jietai yang berada di sisi kanan Naruto, memastikan perintah sang kapten.
"Nam- Gil memberi informasi aula utama terdapat tiga pintu dengan arah yang berbeda-beda, berpencar dan temukan masing-masing pintu. Tentara di barat dan timur berhasil membawa sandera menuju pos terluar, misi kita bocor, penjagaan terhadap pergerakan kita diperketat, jangan buang waktu, berpencar!!!!"
Tanpa di dampingi oleh anggota timnya, Naruto menyusuri lorong gelap yang dibingkai dinding cokelat itu. Tangannya masih bersiaga megacungkan senapan, bersiaga bila serangan dari musuh datang tiba-tiba.
BRUKKK
Dalam sekali pukulan dengan ujung senapannya, Naruto berhasil membuat seorang tentara Korea Utara jatuh tersungkur, maksud hati ia ingin memukul tengkuk Naruto yang ia dapati tengah mengendap di dalam markasnya. Namun malang ia sendiri harus ambruk di tangan orang yang ia ingin jatuhkan.
"Anda baik-baik saja, Kapten?" Tanya seorang Jietai yang menyusul di belakang Naruto.
Naruto meregangkan otot tangannya yang baru saja membanting tubuh seseorang, iris birunya memberi isyarat pada anggotanya. Dan tentara itu cukup menunduk malu saat melihat seorang tentara Korea Utara yang terkapar tak berdaya akibat ulah orang yang ia khawatirkan. Jietai itu tersenyum canggung dihadapan Naruto, yang berjalan mendahuluinya seraya menepuk bahunya. "Tak usah mengkhawatirkan ku, berhati-hatilah, mereka ada dimana-mana." Ujar Naruto seraya menarik pelatuk senapannya, bersiaga kalau-kalau ada yang harus ia tembak.
"Dan satu lagi," Naruto mengurungkan langkahnya, ia berbalik menatap Jietai yang tadi ia perintahkan berpencar. "Apapun alasannya, jangan pernah menentang perintah kaptenmu!"
"Siap salah, Kapten!" Jietai itu memasang pose hormat. Ia sudah bersikap tidak profesional, menentang perintah Naruto untuk berpencar. Sebenarnya dia tak sepenuhnya bersalah, Jietai berpangkat sersan itu hanya mengkhawatirkan atasannya.
...
BRUKKKK
BRUKKKK
BRUKKKK
Satu demi satu, tentara Korea Utara yang mencoba menghalangi, ditumbangkan. Mereka mencoba memukul, meninju bahkan menerjang. Namun dengan sigap, Naruto seorang diri berhasil menumbangkan mereka.
'Barat melapor, kapten. Ganti.' Langkah Naruto yang tengah menyusuri lorong menuju aula utama terhenti sejenak, memfokuskan pendengarannya pada mikro earphone yang tertempel di telinganya.
"Kapten Kitsune menerima, ganti." Naruto menerima laporan dari tim yang berpencar ke arah barat markas.
'target sudah di tangan. Ganti.'
Naruto menghela nafas lega saat menerima laporan dari anggota timnya dibagian barat markas. Sandera di barat markas sudah aman.
'Bawa keluar. Ganti. Serahkan pada Gumiho. Ganti.'
Naruto membenarkan letak Microsoft earphone-nya, kepala kuningnya mendongak pada pintu besar di hadapannya. Ia telah sampai, tujuan utamanya aula utama markas Korea Utara, tempat dimana paling banyak sandera dikumpulkan.
Dahi tan Naruto berkerut, gagang pintu pintu besar tampak berbeda dari yang seharusnya. Sebuah yang bisa meledak kapan saja saat knop pintu itu di turunkan.
"Merepotkan," Naruto mendecih kesal, ia berjongkok di hadapan gagang pintu itu, dan mulai mengeluarkan beberapa perlengkapan di balik rompi cokelat anti pelurunya. Kapten Namikaze Naruto yang terkenal dengan kemahirannya menjinakkan bom, kini tengah berhasil.
...
"Yokatta...." Naruto mengucap syukur seraya menyeka keringat di dahinya. Bom di gagang pintu itu telah berhasil ia jinakkan. Tangannya meraih knop pintu itu, namun terhenti saat Micro earphone miliknya menyuarakan informasi.
'Timur melapor, target sudah di tangan, menuju, gumiho, ganti.'
Kembali Naruto menghela nafas lega setelah mendengar laporan yang ia terima, sandera dari dua tempat telah berhasil di selamatkan dan tengah menuju pos terluar."
'Lapor Kapten, Darui disini, target telah sampai di pintu markas, siap menuju markas gumiho.'
Naruto kembali mengurungkan niatnya untuk membuka pintu aula utama, ia kembali menyetel Micro earphone miliknya agar terhubung pada Lee Yoon Seung, sersan muda Korea Selatan dengan julukan Gumiho yang bersiaga di pos terluar markas, dia bersama timnya bertugas untuk mengantarkan para sandera dari yang diantar tim Naruto menuju garis demarkasi, dimana Sai dan timnya bersiaga mengantarkan para sandera hingga ke markas Korea Selatan.
'Gumiho bersiaga, target menuju markasmu'
Naruto kembali bersiaga membuka pintu itu setelah memberi arahan pada Yoon Seung, tangan kekar berototnya dengan mudah membuka pintu besar itu. Hatinya tiba-tiba tersentak saat membuka pintu itu, belasan anak-anak, tertawan dalam ruangan itu dengan ke dua tangan diikat kebelakang, dan yang paling menyedihkan adalah, satu dari belasan anak itu, tubuhnya dipasangi bom waktu.
Rahang Naruto mengeras, tinjunya terkepal kuat, bahkan kata-kata hujatan tak mampu keluar dari mulutnya saat melihat bagaimana abdi negara Korea Utara memperlakukan sandera anak-anak akan tanpa prikemanusian.
"Mereka benar-benar biadab!" Pintu di sisi lain terbuka dan membuat Naruto beralih pandangan. Dua dari tiga anggota timnya berhasil masuk dari pintu lain.
Brakkkk
Suara dobrakan kembali menggema, satu pintu lagi terbuka paksa, nampak satu lagi anggota tim Naruto masuk dari pintu yang berlainan. "Darui bersama tim timur dan barat akan kembali masuk. Kalian bawa anak-anak ini, aku akan fokus pada anak yang dipasangi bom ini." Safir biru Naruto melirik kearah anak perempuan berusia sekitar tiga tahunan yang menatapnya penuh harap.
Anak-anak itu disekap di tempat terpisah dari orang tuanya, raut ketakutan tampak jelas di wajah mereka, terutama balita perempuan yang dipasangi bom waktu itu.
"Mereka benar-benar biadab." Protes Chojuro sambil mengepalkan tangannya.
Naruto menoleh kebelakang, Chojuro, Nam Gil, Darui dan belasan anggota tim matahari yang bertugas di dalam markas telah kembali dari mengantar Sandera pada kelompok Yoon Seung. "Misi kita sudah bocor ke telinga mereka, mereka sengaja memasang bom waktu." Komentar Naruto dengan suara beratnya. Dengan langkah tegapnya Naruto mendekati gadis kecil yang terikat bom waktu itu, ia elus surai coklat gadis kecil yang ternyata berasal dari Jepang tersebut.
"Jangan takut." Ucap Naruto lembut dengan senyuman hangatnya.
Nam Gil menampakkan wajah penuh kekagumannya saat tangan Naruto dengan sarung tangan khususnya mulai memutuskan kabel-kabel pada bom waktu, selama ini ia hanya mendengar dari para rekannya yang pernah melakukan pelatihan di Jepang tentang bagaimana piawainya Naruto menjinakkan bom, dan kali ini dia benar-benar melihat dengan mata kepalanya sendiri
....
Raut tegang sangat tampak dari para sandra juga dari para tentara anggota tim matahari.
Tit tit tit tit.
Suara dari bom waktu itu yang makin lama makin cepat, tiba-tiba terhenti saat Naruto berhasil memutuskan kabel terakhir yang menghentikan pegerakan bom waktu tersebut.
"Kalian pergilah, satu orang menggendong dua anak, di dekapan kalian dan satu di punggung kalian." Perintah Naruto tanpa mengalihkan fokusnya dari bom waktu yang menjadi ancaman bagi mereka.
"Kapten !" Chojuro, Jietai yang merupakan saudara satu negara Naruto enggan meninggalkan sang kapten sendiri bersama gadis kecil dan bom itu. Lebih dari pimpinan misi, Chojuro yang setiap hari bekerja satu markas dengan Naruto, memandang Naruto sebagai sosok pimpinan yang menjunjung tinggi kesetiakawanan dan hal itu kini menjadi prinsip hidupnya.
"Ini perintah misi, Sersan Chojuro. Pikirkan nyawa para sandera yang harus kalian keluarkan, bersama anak ini akan baik-baik saja. Kalian membuang banyak waktu bila hanya berdiri menungguku. Keselamatan anak-anak itu berada di tangan kalian." Naruto tak sedikitpun mengalihkan fokusnya dari rangakaian bom itu. Waktu pada bom itu terus berjalan mundur dan Naruto tak mau membuang waktunya untuk bicara banyak dengan timnya.
"Siap Laksanakan, Kapten!!" Nam Gil buka suara lebih dahulu, ia memang peduli pada namun dirinya tak lupa akan tujuan utama dari misi. Menyelamatkan para sandera.
Nam Gil menggendong seorang anak dan meletakkannya di punggung Chojuro, mau tidak mau Chojuro harus bersedia, ia menggendong satu anak dan meletakkannya di punggung tentara lain.
Para tentara itu telah selesai secara estafet menggendongkan anak-anak itu pada punggung rekan mereka. Beberapa anak yang akan di gendong di depan telah siap berdiri di depan mereka.
"Jangan kembali, Yoon Seung sudah berada di garis demarkasi bersama tim Sai, pastikan keselamatan anak-anak itu. Aku akan keluar bersama anak ini."
"Siap, Laksanakan. Kapten!" Para prajurit itu mengencangkan gendongan mereka dan satu-persatu mulai keluar meninggalkan ruangan itu.
'Kapten, berhati-hatilah...' Pesan Chojuro dalam hati seraya memantapkan langkahnya.
...
Tittittittit
Suara hitungan mundur bom waktu itu kian cepat, hanya tinggal lima detik lagi maka bom waktu itu akan meledak. Balita berusia tiga tahun itu hanya terisak penuh ketakutan, ia bahkan takut untuk melepaskan tangisnya, suara penghitung bom waktu mundur itu membuatnya tak mampu bersuara sama sekali.
Tittttttttt
Suara bom waktu itu kian tak berbeda, satu detik lagi dan bom itu akan meluluhlantahkan tubuhnya bersama balita tak berdosa. Namun bukannya ledakan keras,
"Hueeeeeee...." Tangisan balita itu lepas, dan suara penghitung mundur bom waktu itu berhenti, Naruto berhasil, untuk kesekian kalinya ia telah berhasil menjinakan bom. Ia berhasil walau kali ini membutuhkan waktu lebih cepat, hal itu dikarenakan bom kali ini menempel pada tubuh balita, dan itu membuat Naruto merasa gugup untuk pertama kalinya saat menjinakkan bom.
Naruto menghela nafas lega sejenak, tak butuh waktu lama untuk menenangkan diri, Naruto sadar balita itu jauh lebih syok dan lebih membutuhkan dirinya. "Ssstttt jangan menangis....." Naruto merengkuh lembut tubuh mungil balita itu dan menepuk punggungnya pelan.
Ia tak mau membuang waktu, sesaat setelah balita itu nyaman dalam dekapannya Naruto berdiri. Ia keluar dari ruangan itu menuju garis demarkasi sambil membawa balita yang terlelap dalam buaian gendongannya.
...
Naruto bersama balita perempuan bernama Ha Na berhasil keluar dari markas militer Korea Utara, tanpa halangan berarti. Ia bahkan kini tengah berada di Demilitarized Zone bersama rekan tim bunga matahari yang telah lengkap.
Sai orang pertama yang bisa bernafas lega saat melihat Naruto yang tertinggal sendiri di dalam markas Korea Utara, berlari melompati garis demarkasi sambil menggendong balita yang ia selamatkan. Lebih dari sekedar rekan satu perjuangan, beban moril Sai sebagai sahabat kecil Naruto jauh lebih besar dari pada tentara lainnya.
Naruto mengedarkan pandangannya di sepanjang Padang rumput Demilitarized Zone, ia sangat merasa heran saat timnya dan para sandra bisa keluar dari markas dengan mudah, ternyata dugaaannya benar, insting tentaranya bekerja sangat baik, dari balik pohon mapel ia mendengar suara daun kering yang di pijak. Iris safirnya dan obsidan milik Sai saling beradu meminta kepastian satu sama lain.
Dan benar saja dalam sekejap mereka di kepung oleh puluhan tentara Korea Utara, yang jumlahnya jauh lebih banyak pada jumlah mereka.
"Jatuhkan senjata dan angkat tangan kalian sudah kami kepung." Ancam salah satu tentara Korea Utara sambil menodongkan senapannya ke arah tim matahari dan para sandra yang baru diselamatkan. Senjata Naruto dan timnya pun di lucuti satu persatu.
Prok prok prok.
Suara tepuk tangan pelan itu terdengar dari balik kumpulan tentara Korea Utara yang sedang mengepung mereka.
Sesosok tegap muncul dari balik para Tentara Korea Utara, sosok yang sangat Naruto kenal, kapten pasukan Korea Utara yang ia hancurkan karirnya empat tahun lalu.
"Ternyata rubah emas kembali turun gunung dengan mencampuri urusan negara orang lain lagi, oh bahkan dia membawa banyak para rekan-rekan Jietai-nya." Pandangan penuh kemenangan terpancar dari mata Joon Hyuk, rencananya berhasil, ia membiarkan tim penyelamat itu masuk dan membebaskan sandera.
Namun saat beban para tim penyelamat itu bertambah dengan adanya para sandera yang mereka selamatkan, maka kekuatan mereka semakin melemah dan para tentara Korea Utara memanfaatkannya.
"Lama tak berjumpa kapten Kim." Sapa Naruto dengan basa-basi palsunya.
"Apa mau mu mengacak-ngacak markas kami lagi?" Tanya Joon Hyuk sakratis.
"Lepaskan mereka, berurusanlah dengan ku." Tawar Naruto dengan santai, seketika pandangan para anggota timnya memancarkan ke khawatiran.
"Oh dengan senang hati kami sangat merasa tersanjung jika Rubah Emas Jepang bersedia menjadi tawanan kami untuk ditukarkan dengan pelepasan sanksi militer." Jawab Joon Hyuk dengan senyum iblisnya.
"Pergilah, antar para warga sipil ke Seoul dengan helikopter, Kakashi sensei dan Ki-moon samchon pasti tidak akan tinggal diam." Ujar Naruto dengan menampilkan cengiran lima jarinya. Dia seolah lupa kalau seorang Jietai yang di sandera oleh Tentara Korea Utara akan di siksa tanpa ampun.
Para tentara Korea Utara itu memegang kedua tangan Naruto dan mulai memborgolnya.
"Kapten...!" Suara seperti anak kecil yang hendak menangis keluar dari mulut seorang Sersan yang bernama Suigetsu, Suigetsu adalah salah satu bawahan Naruto di divisi penanggulangan teroris di markas JSDF yang di pilih Naruto ikut dalam misi ini.
"Sui jangan menangis seperti itu kau adalah tentara." Jawab Naruto santai.
Semua anggota tim matahari dan warga sipil berlutut dan mulai menangis saat Naruto akan di bawa kemarkas Korea Utara. Mereka tahu, Naruto lah yang berperan paling penting dalam misi ini.
"Bodoh" Naruto masih sempat tersenyum saat ia akan dibawa oleh para tentara Korea Utara itu, "jangan menangis berdiri dan kembali ke Seoul, laporkan kalau misi kita berhasil, jangan jatuhkan harga diri kalian sebagai tentara, ini perintah!!!"
Baru saja mereka akan berdiri, balita kecil yang tadi ditolong Naruto dari bom waktu itu dengan geram melempar batu kerikil pada Joon Hyuk sang Kapten Korea Utara dan tepat mengenai pelipis.
"DASAR BOCAH TENGIK!!!!" Emosi Joon Hyuk tersulut, tanpa memikirkan bahwa yang akan ia lawan hanya seorang balita kecil ia mengeluarka pistol dari saku celana hijau army-nya.
DOORRRR
DORRRRRR
Teriakan pecah para warga sipil bergema kencang seiring dengan ledakan pistol Joong Hyuk yang membabi buta keseluruh arah. Dan tanpa belas kasihan Joon Hyuk menodongkan langsung pistolnya pada kening balita tak berdosa itu.
Naruto dengan sigap menghentakkan tangan tentara Korea Utara yang memegangi tangannya, dia berlari ke arah gadis keci itu menghentak tangan Joon Hyuk yang menodongkan pistol jarak dekat itu dengan lengannya. Ia berdiri di belakang balita itu menjadikan dirinya tameng sebagai pelindung gadis kecil itu.
Joon Hyuk gelap mata melihat aksi heroik Naruto.
Dorrrrrr
Peluru ia lepaskan, lengan kiri Naruto menjadi sasaran hingga Kapten JSDF itu reflek memutar tubuhnya, tak cukup disitu, Joon Hyuk kembali melepaskan tembakkannya.
Dorrrrrrr
Dendam menguasai akal sehat Joon Hyuk Dada kiri Naruto tertembak, tubuhnya yang limbung ke tanah dan di tangkap dengan cepat oleh Suigetsu. Darah mengalir deras dari dada kiri Naruto, matanya yang memerah menerawang, dan mengeluarkan air mata, bukan karena rasa sakit yang ia derita, tapi karena janjinya pada sang istri untuk kembali hidup-hidup sudah dia ingkari.
"Hinata... Aishiteru."
...
"NARUTO-KUN!!!!!!!!!!!! Hhhhh... hhhhh... hhhhhh....."
Teriakan Hinata dengan nafasnya yang tersengal-sengal membangunkan balita yang merupakan anak kakak iparnya tertidur di sampingnya bersama sang ibu.
Seketika Sara langsung terbangun mendengar teriakan adik iparnya yang disusul dengan tangisan putranya. Setelah menidurkan kembali putranya Sara beranjak dari tempat tidur membantu mendudukan Hinata dari posisi berbaringnya, menggantikan tugas Naruto yang selama ini membantunya duduk dari posisi berbaring.
"Kau kenapa Hinata-chan?" Tanya Sara sambil mengusap lembut rambut adik iparnya itu.
Air mata mulai membasahi pipi pualam Hinata, "aku bermimpi buruk Sara-nee, sangat buruk, aku bermimpi Naruto-kun ditembak di dada kirinya, matanya merah dan mengeluarrkan air mata sambil memandangku sayu, dia memanggil namaku. Onee-chan, dia memanggilku dengan suara pilu yang menyayat hati....." Isakan makin menjadi-jadi keluar dari bibir mungil Hinata.
Sara segera memeluk adik iparnya itu sambil mengusap punggung mungil itu.
"Dia baik-baik saja Hinata, bukankah kau baru saja menelponnya beberapa jam yang lalu?" Ujar Sara menenangkan.
Hinata mengangguk pelan.
"Sekarang tidurlah, besok kau akan periksa kandungan bersama aku dan Kaa-chan kan." Bujuk Sara pada wanita bermata lavender itu.
Sara kemudian membantu Hinata berbaring lagi, dan memastikan bahwa adik iparnya itu tertidur dengan nyenyak.
...
Melihat Joon Hyuk yang hendak menembak gadis kecil itu Sai dengan Sigap mengambil Pistol FN ES 5.7, yang tadi sempat dijatuhkannya ke tanah saat lucuti oleh Tentara Korea Utara.
Dorrrrrrr
Suara dari pistol Sai menembak ke arah tangan yang digunakan Jong Un untuk menembak balita kecil itu terdengar bersamaan dengan tembakan dari Joon Hyuk yang ternyata menembak Naruto yang menjadi tameng gadis kecil itu.
"Kapten!" Teriak anggota Matahari bersamaan.
"Nam Gil kembali ke markas, lepaskan tembakan darurat kelangit hingga terlihat di langit Jepang, Chojuro kau juga ikut ke markas hubungi markas besar JSDF, minta mereka menjemput dengan helikopter, kita akan bawa kapten ke Tokyo SEKARANG." Sambung Sai yang sekarang mengambil alih pasukan setelah Naruto tumbang.
Para tentara Korea Utara segera berlari ketakutan kembali ke markas mereka bersama sang kapten yang tangannya berlumuran darah.
"Jepang tidak akan tinggal diam Joon Hyuk!!!!" Sai berteriak suara paraunya saat para tentara Korea Utara lari tunggang langgang dan melihat teman masa kecil sekaligus kaptennya ditembak tanpa perlawanan. Tapi setidaknya tembakan Sai di tangan Joon Hyuk, bisa membuat peluru yang seharusnya bersarang di jantung Naruto bergeser ke dada kiri atas Naruto.
...
Kesadaran Naruto tidak sepenuhnya lenyap akibat tembakan itu, setidaknya dia masih bisa merasakan tubuhnya di pindahkan ke atas tandu, dan hidungnya dipasangi selang oksigen.
Tomoyo dengan terengah-engah sampai di tempat kejadian dengan masih mengenakan piama yang dilapisi jas putih dokter. Dengan raut panik buka main dokter militer itu langsung berlari membawa tas peralatan dokternya dari markas Korea Selatan menuju ke tempat kejadian.
Ia menutup mulutnya dengan kedua tangan menahan isakan saat tubuh Naruto dipindahkan ke tandu, Tomoyo membuka kancing demi kancing seragam militer loreng kecokelatan milik Naruto, merobek kaos dalam tentaranya, tampak lubang dari luka Naruto mengeluarkan darah dengan deras bahkan leher Naruto dipenuhi darah yang memuncrat dari tembakan itu.
Ditempelkannya stetoskop di dada Naruto. "Pelurunya hampir mengenai jantung, kita perlu membiusnya total untuk mengeluarkan pelurunya, sebaiknya kita ke rumah sakit Seoul."
Tomoyo mengammbil kapas yang sudah dibasahi dengan air mineral dari botol yang di bawanya, saat dia berusaha untuk membersihkan darah dari tubuh Naruto-
PLAAKKKK
Tangannya ditepis kasar oleh Naruto. Air mata tomoyo mengalir saat mendapat penolakan Naruto. Bahkan dalam keadaan sekarat, sekalipun padahal dia hanya ingin mengerjakan kewajibannya.
"To.. To... Kyo." Dengan suara parau yang melemah Naruto merancau. Sai yang masih menghubungi markas besar JSDF dengan earphonenya, segera mendekati Naruto yang terbaring lemah di atas tandu.
Tangan Naruto berusaha menggapai tangan sahabatnya, Sai menggenggam tangan sahabatnya itu dengan berlinang airmata.
"Sai.. ba.. ba... ba.. wa.. a...ku.. ke To...kyo..., Hi... Hi... nata... me...nunggu..." Dengan suara terbata dan lemah Naruto masih mengingat istrinya.
"Tunggu, Naruto, Kakashi sensei segera mengirim helikoper kita kembali ke Tokyo." Sai menjawab dengan memanggil nama Naruto, ia sekarang sudah lupa dengan batasan pangkat diantara mereka, baginya yang sekarang ada di hadapannya adalah Naruto, sahabat kecilnya.
"Letnan..., Kapten bisa mati kehabisan darah jika kita membawanya ke Tokyo, setidaknya kita ke Seoul dulu untuk mengeluarkan pelurunya." Tomoyo bersih keras.
"Ja... ja... jangan bi...bi..bius, Hi...hi... nata...." Suara Naruto terdengar lemah dan menyayat hati, Naruto tidak mau di bius total, ia takut matanya tidak akan pernah terbuka, sebelum dia melihat Hinata.
"Kau dengar, dokter? apa perintah kapten, obat yang bisa menyembuhkannya ada di Tokyo." Komentar Sai dingin dengan tetap memperhatikan nafas Kaptennya yang terputus-putus.
"Aku ikut." Jawab Tomoyo pasti.
To be continued
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top