15. Tugas Negara

Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto

Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata

Japan Self Defense Forces Headquarter
(Markas Besar Angkatan Militer Jepang)

Langit Tokyo masih memperdengarkan ledakan-ledakan kecil, akibat uji coba rudal Korea Utara yang masih berlangsung. Tokyo memang berjarak jaruh dari Korea Utara. Hal ini tentu membuat efek dari ledakan rudal yang di luncurkan oleh Korea Utara tidak terlalu terasa. Tentu berbeda dengan pulau Hokaido yang berada paling utara di Negara Jepang, pulau terbesar kedua di Jepang yang lokasinya berdekatan dengan Korea, tentu mendengarkan ledakan yang lebih besar lagi.

Bagaimana dengan Korea Selatan? Negara yang berbatasan langsung dengan Korea Utara jangan ditanya lagi, mereka bahkan merasakan serpihan rudal yang turun dari langit negara ginseng itu. Memang tidak separah dua bulan lalu, serpihan rudal yang jatuh di negeri ginseng itu sekarang hanya serupa debu, namun suara ledakan rudal Korea Utara sangat terdengar jelas disana.

Naruto's POV

Langit Tokyo bergemuruh lagi, bukan karena tanda-tanda akan hujan, Korea Utara kembali menembakkan rudalnya lagi ke udara, setelah tragedi dua bulan lalu, PBB memberi sanksi militer kepada negara itu dengan memboikot kegiatan ekspor impor negara itu.

Korea Utara selalu punya cara ajaib menjawab tekanan internasional. Setelah dijatuhi sanksi terberat oleh PBB lantaran uji coba senjata nuklir dua bulan lalu, negeri komunis itu menjawab dengan menembakkan enam peluru kendali atau roket ke arah semenanjung Korea setiap harinya sampai sekarang.

Mengingat kejadian dua bulan lalu, aku bisa benar-benar menjadi gila jika saja Hinata sampai terluka parah karena tragedi itu, untung Hinata dan anak-anak kami baik baik saja. Rudal jarak menengah yang di tembakkan Korea Utara itu meledak hebat langit semenanjung Korea, pulau Nami hanya menerima suara ledakanya dan sebagian serpihan sisa ledakan rudal.

Hinata hanya terkena serpihan kecil potongan frame terluar dari rudal itu, walaupun dia sempat shok dan pingsan saat mendengar ledakan sekuat itu, Hinata memang perempuan lembut, jangankan mendengarkan suara rudal, mendengarkan suara petasan pun dia bisa sangat ketakutan.

Aku jadi ingat saat berlibur dari akademi militer, aku mengajaknya ke festival kembang api ya lagi lagi karena Sakura-chan menolak pergi denganku.

Aku dulu memang bodoh. Saat ada kembang api raksasa ditembakkan ke langit dengan suara ledakannya yang sangat besar tiba-tiba langsung bersembunyi di belakang tubuhku karena ketakutan dan dengan bodohnya aku langsung memeluknya dan mengusap rambutnya sambil berkata, 'jangan takut ada aku'.

Seketika dia pingsan dengan wajah memerah, aku bingung saat itu dia pingsan karena terkejut kembang api atau karena ku peluk.

Hinataku yang pemalu... Bahkan pada orang yang ia cintai.

End Naruto's POV

...

Cklekkk

Suara pintu terbuka dari ruangan kapten divisi anti teroris, membuat pandangan Naruto pada langit Tokyo beralih.

"Sensei kenapa tak memanggilku ke ruanganmu?" Tanyanya sambil beralih dari posisi duduknya.

"Duduk lah lagi." Kakashi memilih duduk tepat di depan meja kerja Naruto.

"Ada apa, Sensei?" Naruto menatap atasamnya dengan penuh tanda tanya.

"Bagaimana kandungan istrimu?" Kakasihi berbasa-basi.

"Tak usah berbasa-basi, Sensei." Naruto terkekeh spontan

"Lihat lah ini...." Kakashi menyerahkan amplop cokelat pada Naruto, dan langsung dibuka, hatinya benar-benar terenyuh saat melihat isi amplop yang ternyata sejumlah foto.

"Bukan hanya menembak rudal ke semenanjung Korea, Korea Utara membalas sanksi militer PBB dengan menyandera bus yang melintas di desa Panmujom. Di dalam bus itu terdapat warga Korea Selatan, Jepang, dan Thailand, kau tentu tahu kalau desa Pamunjom adalah Demiliterized Zone yang merupakan batas darat Korea Selatan dan Korea Utara yang sudah di sepakati untuk menjadi tempat wisata untuk mengenang perang saudara Korea, tak ada aktivitas militer disana. Korea Utara melanggar perjanjian itu."

Naruto mulai memandangi foto-foto sandera itu, "Sebenarnya apa maksud Sensei menunjukkan foto-foto ini padaku? Aku sudah bukan utusan PBB lagi."

"PBB sedang membentuk tim untuk misi penyelamatan mereka, dengan melibatkan Korea Selatan dan Jepang. Kapten yang memimpin misi ini haruslah seorang Jietai, aku sudah mengajukan Gaara untuk memimpin misi ini, tapi dewan keamanan PBB menolak. Mereka menginginkan mu, memimpin misi ini, hal tersebut karena kau pernah memimpin misi perdamaian baku tembak di Panmujom empat tahun lalu. PBB tidak bisa menjadikan tentara yang belum menguasai medan memimpin untuk misi kali ini, karena ini menyangkut nyawa banyak warga sipil. Pikirkanlah tak perlu kau jawab sekarang, tapi ku harap tidak terlalu lama. Nyawa banyak orang bergantung pada keputusanmi, Kapten Namikaze."

Kakashi keluar dari ruangan Naruto, meninggalkan tentara bermata sebiru samudra itu sendirian memikirkan ucapan sang jendral yang sekaligus gurunya.

Drrrrttttttt.

Ponsel pintar Naruto bergetar, sedikit menyunggingkan senyumnya saat ia lihat siapa yang menelponnya Hinata No Hime

'Moshi-moshi Anata apa kau sudah makan, sayang?' Suara lembut sang istri bagai alunan melodi indah yang mampu meringankan sakit kepalanya akibat berita yang di sampaikan sang Jenderal.

"Harusnya aku yang bertanya seperti itu, Hime. Ku harap kau tidak lupa makan siang, karena terlalu asik berbelanja baju bayi dengan Kaa-chan, jangan membuat anak-anakku kelaparan."

'Anata..., kau sangat cerewet sekali sekarang.'

"Hei... siapa yang kau dengarkan, hm?"

'Kau Naruto-kun.'

"Siapa yang kau turuti?"

'Namikaze Naruto.'

"Jaga kesehatanmu Hime jangan sampai kesehatanmu memburuk kembali, seperti saat kau hamil tiga bulan, aku khawatir, Hime." Suara Naruto menyendu.

'Baik sayang, ne Anata... nanti sore sepulang dari senam hamil aku boleh pulang bersama Sakura-chan ya.., kami ingin melihat lihat box bayi di dekat stiasiun Adachi.'

"Tidak. Kau akan tetap ku jemput nanti sore, biar ku telpon si Teme, sekarang. Biar dia menjemput Sakura-chan nanti sore, pasti dia membohongi suaminya lagi."

Naruto sangat takut anemia istrinya ini kambuh lagi, sejak sebulan lalu saat kandungan istrinya berusia enam bulan istri bermata lavendernya itu sering sekali diajak sang ibu untuk mulai berbelanja perlengkapan bayi. Belum lagi kegiatan rutinnya mengurus butik yang sudah mulai ramai pembeli semenjak Tokyo Fashion Weekk dua bulan lalu, dan sejak kandungan Hinata menginjak usia lima bulan, dia mengikut kelas senam hamil, yang di adakan di rumah sakit milik sang nenek.

...

...

Prenatal Gym Classes Konoha Hospital

"Ya ampun, Hinata...." Sakura menepuk jidat lebarnya karena kepolosan sahabat berambut indigonya itu. "Kenapa kau jujur pada si baka itu? Kenapa kau tidak bilang di jemput Kushina Ba-san saja? Sekarang si Baka itu pasti sudah menelpon Sasuke-kun dan memberi tahu kalau aku membohonginya."

"Kau membohongi Sasuke-san dengan mengatakan di jumput Mikoto Ba-san?" Hinata mengerjapkan kedua mata bulatnya. Ia tak percaya Sakura bisa dengan mudah membohongi pria sedingin Sasuke. "Aku takut membohongi Naruto-kun lagi, kau ingat saat aku hamil 3 bulan, aku tidak mau kejadian itu terulang lagi..." Sambung Hinata lirih.

"Kau memang istri yang baik Hinata-chan." Sakura menepuk-nepuk pelan puncak kepala Hinata.

"Ne, Sakura-chan, apa kau sudah bicara pada Sasuke-san tentang bayimu?" Tanya Hinata lembut, beberapa hari ini Sakura sering mengeluh kalau janinnya yang berusia enam bulan itu gerakannya sangat pasif.

"Harusnya gerakannya sudah aktif sekarang, Hinata-chan. Aku takut miom-miom itu hidup lagi." Sakura tertunduk mendengar pertanyaan Hinata.

"Sebaikknya kau segera beri tahu suamimu, Sakura-chan..."

Sakura mengangguk pelan menanggapi saran dari Hinata. "Ah ku rasa lebih baik masuk dulu sebentar lagi kelas senamnya dimulai." Sakura menggamit tangah Hinata, dan dua wanita hamil itu berjalan menuju salah satu ruangan di poli maternitas rumah sakit milik klan Senju itu.

.

Dua orang wanita hamil sedang duduk di bangku taman di teras ruang senam hamil Konoha Hospital. Dua calon ibu muda itu baru saja menyelesaikan rutinitas senam hamil mereka.

"Ayo sayang bergerak yang lincah, kau itu laki-laki." Calon ibu muda bersurai sewarna permen kapas ini sedang mengajak bicara janinnya yang berusia enam bulan sambil perlahan mengelus perutnya buncit.

"Kau harus sabar Sakura-chan, terkadang memang gerakannya lembut tapi jika dia sudah bergerak lincah kau akan kualahan seperti saat ini...." Hinata terkikik kecil sambil menepuk pelan perutnya yang seperti hamil delapan bulan padahal janinnya baru berusia tujuh bulan.

Sakura mengarahkan tangannya pada perut Hinata yang ukurannya lebih besar dari perutnya.

"Sugoii, mereka aktif sekali, Hinata-chan...." Sakura terkagum saat meletakan tangan putihnya di perut besar Hinata, gerakan bayi-bayi Hinata sangat lincah.

"Kata Tsunade Baa-chan bayi yang laki-laki yang sangat aktif bergerak, sementara yang perempuan biasanya hanya bergerak lembut...." Jawab Hinata sambil melihat takjub kearah tangan Sakura yang mebelai perutnya.

Sakura tertunduk dan membelai perutnya sendiri "Aku takut Hinata-chan..., aku takut miom-miom itu kembali lagi... ,dan mengganggu perkembangannya."

"Kau sudah periksa?" Tanya Hinata sambil meletakkan telapak tangannya di perut Sakura.

Sakura menggelengkan kepalanya pelan "Aku takut kalau kenyataannya..." Ucapan pesimis Sakura terhenti saat Hinata menggenggam erat tangan Sakura

"Segera periksakan Sakura-chan, kau seorang dokter kandungan. Kau tentu tahu bagaimana resikonya jika kau tidak periksa, kau tidak akan tahu kalau kau tidak periksa, apa suami mu tidak takut?" Tanya Hinata dengan penuh ke khawatiran.

"Dia sangat takut, tapi aku selalu menolak untuk memeriksakannya."

"Kita periksa sekarang Sakura." Suara bariton tiba-tiba mengusik obrolan dua wanita dengan rambut berbeda warna ini.

"Sasuke-kun...?" Ucap Sakura gelagapan saat suaminya ada di hadapannya.

"Ayo kita periksakan sekarang Sakura." Ajakan Sasuke seolah tidak bisa di bantah lagi.

"Tapi Hinata-chan sendirian Naruto belum menjemputnya." Bantah Sakura, dia sangat kawatir dengan sahabatnya yang memiliki rambut sebatas pinggang ini.

"Kau mau ikut kami, Hinata?" Tawar pria berambut raven itu.

Hinata menggeleng pelan "Aku akan menunggu Naruto-kun disini."

.

Hampir lima belas menit Hinata menunggu kedatangan suaminya di bangku taman ini, tapi batang hidung tentara berkulit tan itu belum juga terlihat. Ia melirik ponsel pintarnya yang dilapisi case bermotif mawar putih, sebuah panggilan masuk dari suami tercintanya.

'Hime, kau masih di rumah sakit 'kan? Tetap tunggu aku, sebentar lagi aku sampai, jangan coba-coba naik shinkansen atau bus.' Suara bariton dengan nada protektif itu bicara tanpa jeda, membuatnya tak punya kesempatan untuk menjawab, Hinata kenal benar siapa itu.

"Aku masih setia menunggumu disini, Anata." Jawaban lembut keluar dari bibir mungil wanita berkulit seputih susu itu.

Tak ada jawaban dari suaminya, tentara pirang itu seperti tersentuh dengan jawaban sang istri, ya benar Hinatanya itu tak pernah letih ketikia dia meminta menuggu. Wanita yang akan melahirkan anak-anaknya itu, bahkan tak pernah sediktpun berpaling pada pria lain, selama sembilan tahun mereka tak bertemu.

"Anata, kau mendengarkanku 'kan?" Hinata memastikan kalau suaminya masih di ujung telepon.

'Tunggulah aku Hime, tunggu aku datang.' Jawab Naruto dengan suara bergetar.

.

"Jangan bergerak!" Suara berat nan menyeramkan itu membuat Hinata mengakhiri kegiatanya dengan ponsel pintarnya sembari menunggu sang suami.

"S-s-s-s-si-a-a-apa kau?" Tanya Hinata terbat- bata, dia tidak berani bergerak atau menoleh ke arah orang yang sedang menodongkan pistol ke perut besarnya.

"Kumohon jangan sakiti aku tuan, aku sedang hamil." Ucap Hinata dengan memelas keringat dingin mengucur dari dahi Hinata, nyawanya dan bayi-bayinya sekarang sedang terancam.

Tak ada jawaban dari pria itu, tiba-tiba

"Pffftttttt." Suara menahan tawa itu, "Ini aku Hime... Kau tak kenal dengan suara suami mu ini."

Hinata menoleh, dan melihat suami pirangnya sedang melepaskan micro microphone yang meletkat pada bibirnya, benda super mungil itu lah yang membuat suara suaminya berbeda.

"Ini hanya pistol mainan yang ku temukan di area parkir Hime, yang ini baru pistol sungguhan." Ujar Naruto sambil menunjukkan pistol yang berlapis sarung khusus yang diletakkan di bagian pinggang di balik seragam militernya.

"Kau membuat kami takut Naruto-kun, perutku langsung keram saat kau menodongkan pistol mainan itu." Bulir-bulir air mata mulai turun membasahi pipi gembul yang memerah itu. Hinata menangis sambil memeluk perut buncitnya.

Tentara itu langsung gelapan saat melihat istri mungilnya itu menangis, secepat mungkin dia berpindah ke posisi berlutut di hadapan perut buncit Hinata.

"Gomenasai Hime, Hontou ni gomenasai... Akachan, maafkan Tou-chan,ya sayang." Mata secerah samudera itu menyendu, tadinya dia ingin membalas, keusilan istrinya yang sengaja bersembunyi saat di pulau Nami tapi dia tidak menyangka bahwa pemainannya mengganggu kondisi bayi-bayinya.

Tentara berpangkat Kapten itu sibuk memeluk dan mengelus perut istrinya yang sedang hamil tujuh bulan itu, untuk mengurangi rasa keram di perut sang istri.

Hinata tersenyum lembut memandangi ke khawatiran sang suami.

Cukup lama Naruto tak melakukan aktifitas apapun, ia hanya terus mengusap perut bernyawa itu tanpa sadar sang senja telah menyambut.

"Ayo pulang Naruto-kun...." Ajak Hinata lembut sambil membelai surai pirang suaminya. Pria itu segera berdiri dan menggapai tangan istrinya.

Baru saja Hinata hendak berdiri, tangan kekar suaminya menahan dirinya. "Kaki mu bengkak Hime?" Tanya Naruto khawatir dan duduk di samping istrinya.

"Ini biasa terjadi saat janin dalam rahim mulai membesar, Naruto-kun. Terlebih lagi aku mengandung bayi kembar. kata Baa-chan ini karena janin yang semakin besar akan memberi hambatan pada pembuluh darah sehingga membuat lebih banyak cairan berkumpul di kaki." Hinata menjelaskan sambil mengelus rahang tegas suaminya.

Naruto mendekap istrinya "Terimakasih Hinata, terimakasih karena telah mempertahankan mereka, terimakasih telah bersusah payah menjaga mereka."

"Ayo pulang Naruto-kun nanti semakin gelap." Rengek Hinata manja.

Tanpa persetujuan Hinata, anggota JSDF angkatan darat ini langsung membawa istrinya kedalam gendongannya.

"Kakimu bengkak seperti itu, mana tega ku biarkan berjalan." Mereka menyusuri jalanan taman rumah sakit dengan bermandikan cahaya senja yang berwarna kemerahan.

...

Hari sudah menunjukkan pukul satu pagi. Tapi mata berwarna lavender pucat itu belum juga tertutup oleh kelopak mata sayunya. Ia mencari titik nyaman, mengubah posisi dari miring ke kanan, kekiri, bahkan terlentang. Namun semua itu tidak mampu mengurangi rasa sesak yang diakibatkan aktivitas dari sepasang janin yang berkembang dalam rahimnya.

Mencoba untuk duduk agar rasa begah dan sesak itu berkurang, tapi sia-sia. Ukuran perutnya yang besar itu menghalangi pegerakkannya untuk berpindah keposisi duduk saat sudah terbaring di ranjang seperti sekarang. Biasanya suaminya lah yang membantu hal ini.

Pandangan dari bola mata berwarna lavender itu beralih pada pria berkulit tan yang selama tujuh bulan ini tidur satu ranjang dengannya. Pria yang memimpin divisi anti teroris JSDF itu sedang tertidur pulas dengan wajah bagaikan bayi yang polos. Mana tega Hinata mengusik istrahat berharga sang suami.

Jangan dikira Naruto tidak menyadari gerakan gelisah Hinata saat di ranjang mereka. Naluri tentaranya yang menutut sikap siaga, membuat pergerakkan sekecil apapun dapat dia rasakan sekalipun sedang tertidur lelap. Dari posisi Hinata yang memunggunginya terlihat jelas bahu istrinya turun naik, menandakan wanita bersurai panjang itu kesulitan bernafas. Pria bertubuh tegap bersingut mendekati sang istri, ia lingkarkan tangan kekarnya ke pinggang Hinata hingga telapak tangannya mencapai perut besar milik sang istri.

"Kau sesak nafas Hime, kenapa tak membangunkan ku?" Bisiknya tepat di telinga putih Hinata.

Merasakan ada yang membelai kandungannya dan sedang berbisik tepat di telinganya Hinata langsung membalikkan tubuhnya, berhadapan dengan suaminya yang sedang bertelanjang dada.

"Tidurlah..., Naruto-kun besok pagi akan apel 'kan?" Tangan putih selembut sutra itu membelai rahang tegas berlapis kulit tan yang dihiasi dengan tiga guratan.

"Bagaimana aku bisa tidur nyenyak, Hime? Jika istriku sedang berjuang sendiri menenangkan anak-anakku..." Naruto mengecupi dahi istrinya yang tertutup poni rata, kemudian dengan perlahan dia papah Hinata ke posisi duduk, dengan bertopang beberapa bantal yang disusunnya sedemikian rupa.

"Aishiteru Naruto-kun.." Hinata menyandarkan kepalanya di bahu tegap sang suami.

Tangan Naruto membalas, dengan lembut menyusuri permukaan perut buncit istrinya untuk mengurangi rasa sakit pada perut buncit itu akibat tendangan tendangan kecil nan lincah bayi kembar mereka "Hei, Akachan.. tidurlah jangan ajak Kaa-chan kalian bermain tengah malam..."

Seolah mengerti ucapan sang ayah, pergerakkan brutal janin dari dalam rahim Hinata, perlahan berubah menjadi gerakan lembut, mata sewarna lavender itu perlahan tetutup, menikmati gerakan lembut yang menyusuri tiap inci permukaan kulit perutnya.

...

Naruto' POV
Aku tersenyum kecil melihat istriku yang sedang tertidur lelap dalam rangkulan ku, keadaannya sekarang begitu lemah, karena sepasang anakku sedang berkembang di dalam rahimnya. Aku mengingat kembali tentang perkataan Kakashi sensei tadi pagi. Aneh dulu sebelum hidup bersama Hinata, aku sendirilah yang menawarkan diri ikut dalam setiap misi yang akan dilaksanakan dewan keamanan PBB.

Aku seolah menantang nyawaku sendiri di medan perang dalam setiap pertempuran. Rasa takut akan kematian seolah sudah sirna pada diriku. Hanya 'BERHASIL' satu kata yang selalu menjadi tujuan dalam setiap misiku. Nyawaku ini seperti sudah tidak kupedulikan lagi.

Tak jarang Kaa-chan menangis saat melihatku pulang ke rumah megah kami hanya untuk singgah tak lebih dari dua hari. karena sebelum masa istirahatku selesai aku sendirilah yang menghadap Jenderal Besar JSDF untuk minta diikutsertakan dalam pasukan PBB di negara konflik.

Bukan aku tidak menyayangi wanita yang melahirkanku, tapi keberadaan Tou-chan yang selalu melindungi dan berada di sampingnya dimasa pensiunnya dari kemiliteran, membuatku sangat tenang meninggalkan Kaa-chan.

Tapi sekarang ada Hinata yang sedang berjuang untuk kehidupan anak-anakku yang harus ku lindungi, Hinata yang begitu membutuhkan ku Hinata yang selalu ingin kulindungi. Aku tak mampu memilih sekarang, Hinata dan Dunia Militer adalah hal yang sama penting untukku. Melindungi perdamaian dunia sama saja dengan melindungi kehidupan Hinata dan anak-anakku kelak.

End Naruto's POV

.

Setelah membenahi posisi tidur istrinya, ia singkap sedikit pakaian atasan yang di kenakan Hinata, perut putih itu sekarang tampak lebih besar dari sebelumnya disertai guratan urat yang memerah.

Sebuah kecupan kecil tepat di pusar yang sedikit menonjol dan berwarna kemerahan ia hadiahnya disusul usapnya perut yang membesar itu. "Bolt, tolong jaga Kaa-chan dan Hima, ya... Jika Tou-chan tidak bisa bersama kalian lagi." Untuk pertama kali Naruto memanggil sepasang janin itu dengan nama yang sudah ia dan Hinata siapkan.

...

...

2 Hari kemudian...

Japan Self-Defense Forces Headquarter
(Markas Besar Angkatan Militer Jepang)

"Lapor kapten." Seorang prajurit masuk kedalam ruangan Naruto sambil memasang sikap hormat.

Naruto mengalihkan pandangannya dari layar monitor, menoleh pada prajurit itu dan mengangguk, mengizinkan prajurit itu mengambil istirahat di tempaf sambil menurunkan tangannya di pelipis sebagai penghormatan

"Ada apa?" Sambil mengetuk pulpennya di meja.

"Anda di panggil Jenderal ke lapangan utama sekarang." Salah satu prajurit yang berada dibawah divisi yang pimpinanya menyampaikan pesan dari Jenderal besar pimpinan militer Jepang.

.

Naruto berjalan menghapiri Jenderal Hatake yang saat ini sedang berdiri di podium khusus. Mengawasi delapan puluh orang prajurit yang sedang latihan menembak. Mereka adalah prajurit yang dipilih untuk menjadi tim penyelamatan sandera di perbatasan Korea yang rencananya akan dipimpin oleh Naruto. Itupun jika Naruto bersedia.

Naruto memberi sikap hormat saat menghadap Kakashi. "Hormat Jenderal."

"Istirahat Kapten." Balas Kakashi.

Cukup lama dua orang yang berstatus guru dan murid atau Jenderal dan Kapten ini berdiri di salah satu sudut lapangan dalam kedaan diam.

"Sai berhasil meyakinkan Ino, bahwa dia kali ini harus ikut bergabung dengan dewan keamanan PBB dalam misi ini." Kakashi memecahkan keheningan.

"Izin bicara Jenderal." Naruto mengangkat tangannya, memasang posisi hormat.

"Diizinkan." Jawab Kakashi sambil mengangguk.

"Istri saya sedang hamil besar, Jenderal. Dia punya penyakit yang sudah dia idap sejak lahir, kondisinya tak memungkinkan untuk ku tinggalkan."

"Kau lihat mereka, Kapten? Apa kau pikir diantara mereka tidak ada yang memiliki istri yang sedang hamil besar." Kakashi menunjuk para prajurit yang sedang berlatih menembak. Pandangannya tak berpaling dari pasukan yang sedang ia awasi.

"Maaf Jenderal tapi, Aku sudah enam tahun diutus JSDF menjadi pasukan dewan keamanan PBB."

"Pikirkanlah lagi baik-baik." Kali ini Kakashi mengalihkan pandangannya pada Naruto yang malah menatap lurus kearah para prajurit yang tengah berlatih. "Minggu depan Ketua Dewan Keaman PBB dan para petinggi dari Korea Selatan akan tiba di Tokyo untuk menandatangi kesepakatan pembentukan tim penyelamat." Kakashi menarik nafas berat. "Aku harap kau hadir dengan seragam tentara PBB mu, sebagai Kapten Rubah Emas yang ditakuti dunia."

"Jika aku menolak?"

"Maka teriakanmu saat akan mendaftar tes akademi militer, bahwa kau akan menjadi Jenderal Besar Seperti Ayahmu dengan usahamu sendiri. Hanya omong besar belaka." Kakashi langsung meninggalkan Naruto sendirian di tempat itu.

To be Continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top