02. Hati yang Terabaikan

Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata

Lampu ruang keluarga rumah tradisional keluarga Hyuuga malam itu masih menyala walau jarum jam sudah menunjukan pukul 22:30. Dua gadis dengan rambut panjang dengan warna berbeda  mencolok tengah asik dengan kegiatan mereka masing-masing

Hinata sang kakak sedang sibuk merajut sweeter untuk sang ayah, sedang Hanabi sedang masih mengotak-atik ponsel pintarnya

"Kau kenapa disini, Nii-san?" celetuk Hanabi tanpa basa-basi saat melihat kepala sang kakak menyembul dari pintu geser.

"Harusnya aku yang bertanya pada mu imotouku sayang..., kau mau begadang, hah?! Memangnya tidak sekolah besok? Ku laporkan pada Tou-sama, kalau kau membolos." Ancam Neji sambil melipat tangannya di depan dada.

Hinata yang melihat percek-cokkan antara kakak dan adiknya hanya tersenyum tipis sambil terus merajut.

"Baka Aniki!!! Ini malam minggu! Kau lupa, ya? Kalau hari ini hari sabtu? Bukankah tadi sore kau baru selesai melakukan hair spa, di salon Orochimaru-sama, yang menjadi jadwal rutin akhir pekanmu ?" Tanya Hanabi dengan tatapan menantang.

Wajah Neji langsung memerah, ia benar-benar malu sekarang, semenjak adik bungsunya ini tahu ritualnya setiap sabtu sore, selalu saja hal itu yang dijadikannya sebagai senjata untuk mengalahkan kakak sulungnya sekarang.

"Terserah kau saja." Rajuk Neji dengan wajah memerah sambil berlalu meninggalkan ruang keluarga.


Hanabi tersenyum iblis sebelum ponsel pintarnya bergetar tepat tengah malam, ah... salah tengah malam lewat sepuluh menit.

'Moshi moshi-,' sapaan manis dari sang kekasih d iujung  telepon tiba-tiba terpotong oleh Hanabi.

"Kau terlambat sepuluh menit, Baka!" Kesal Hanabi sambil menahan tangis.

'Gomenna- eh Hana kenapa kau menangis, sayang?'

"Aku merindukanmu Baka, ku pikir kau tak menelpon, hiks...," bulir-bulir airmata mulai menetes dari mata bulan Hanabi.

'Gomenasai Hana, aku terlambat menelpon, tadi aku dihukum oleh Naru-nii, lalu-,' opss Konohamaru keceplosan.

"Naruto-nii ada disana?" Hanabi menoleh ke arah kakak perempuannya yang tengah merajut, benar saja mulut besarnya itu membuat hati sang kakak berdesir begitu nama seseorang yang selalu ia tunggu kabarnya, disebut

"Aku akan menelpon di luar Nee-sama." Hanabi tak enak hati iya tahu ucapannya barusan membuka kembali luka lama kakaknya, ia buka pintu lain di ruang keluarga yang langsung menuju ke taman belakang.

Hinata meletakkan peralatan merajutnya, tertunduk, sedikit kenangan masa lalunya terkuak kembali.

flash back (sebelas tahun lalu)

...

Waktu sudah menunjukkan tengah malam seorang gadis dengan surai indigonya sudah berlabuh ke alam mimpinya dengan sangat tenang.

drrrrttttttt

"Enghhhh," lenguhan kecil keluar dari bibir mungil Hinata saat mendengarkan dering ponselnya yang disertai getaran.

"Eh, nomor siapa ini menelpon malam-malam?" Ujar Hinata saat melihat layar ponselnya.

'Moshi-moshi Hinata, ini aku Naruto, kau masih ingat 'kan?' Sebenarnya tak perlu menyebutkan nama hanya dengan mendengar suaranya saja Hinata sudah tau siapa itu.

Apa lagi bertanya tentang ingatannya, ingatannya tentang sang kakak kelas di Junior High School, kakak kelasnya yang menolongnya saat dia pertama kali menginjakkan kaki di Konoha Junior High School sekolah yang dididirikan oleh lima klan terkuat Jepang, Senju, Uzumaki, Namikaze, Uchiha, dan Hyuuga.

Kakak tingkat yang menolongnya dari bully tiga orang siswa yang belum tahu identitas seorang Hyuuga Hinata.

"Naruto-kun... apa kabar disana? Apa baik saja, apa Naruto-kun sehat saja?" Hinata begitu khawatir dengan keadaan pemuda itu, semenjak mengetahui kalau pemuda yang ia sukai diam-diam itu ternyata lolos masuk Akademi Militer Shokasonjuku.

Ia tahu kehidupan di akademi militer itu sangat sulit, bahkan untuk menelpon keluarga mereka saja, harus di beri jatah, mereka tidak bebas berkomunikasi selama masa pendidikan.

'Aku baik saja Hinata walaupun sedikit capek, ya... kau tahu 'kan bagaimana latihan disini ah sangat berat Hinata, Hinata apa tak apa aku menelpon tengah malam begini apa tidak mengganggu tidurmu?'

"Tak apa, Naruto-kun tak apa," ucap Hinata sembari menghapus lelehan air matanya, hampir tiga bulan ia tidak pernah kontak dengan lagi dengan pemuda pirang ini membuatnya sangat bahagia tatkala mendengar lagi suara riangnya.

'Ne Hinata aku minta maaf jika tiba-tiba telepon ini terputus, setiap malam minggu kami hanya di beri waktu lima belas menit untuk menelpon Hinata, delapan menit sudah kupakai untuk menelpon kerumah, itu lebih efisien untuk berbicara dengan Kaa-chan, Tou-chan, dan Saara-nee, lalu dua menit ku pakai untuk mencoba menelpon Sakura-chan, tapi tak diangkatnya, mungkin dia sudah tidur, seteleh si Teme menelponnya, ah si Teme itu curang dia menelpon Sakura-chan lebih dulu, baru menelepon keluarganya, aku masih punya waktu lima menit, dan aku terpikir ingin menelponmu Hinata, karena hanya nomor phone cell Sakura-chan dan nomor phone cell mu yang ku hafal di luar kepala, hehehe...'

Tak tahukah Naruto kalau hati Hinata sekarang rasanya ngilu seperti diremas, baru saja ia berpikir kalau dirinya adalah orang penting bagi Naruto sampai sampai waktu berharganya rela ia bagi bersama Hinata. Tapi ternyata tidak prioritas pemuda pirang ini hanya pada gadis surai permen kapas itu.

'Tak apa aku tak boleh terdengar sedih, Naruto-kun pasti butuh teman bicara sekarang.' Batin Hinata, Air matanya meleleh lagi, tapi bukan air mata bahagia seperti tadi, ini adalah air mata pilu.

'Oi... Hinata kenapa diam saja, kau tidur?'

"Tidak Naruto-kun, tidak aku hanya, ano.., eto ah lupakan.., bisa ceritakan padaku Naruto-kun menjalani latihan apa saja?" Dan pemuda pirang itu pun mulai berceloteh pada Hinata tentang pengalamannya latihan fisik, menggunakan senjata sampai simulasi perang.

Hari-hari berikutnya sudah menjadi kebiasaan Naruto untuk menelpon Hinata setelah orang tuanya.

...

'Ne, Hinata kau pasti binggung aku tidak menelpon tidak di malam minggu dan menggunakan nomor ponselku 'kan?, tadi Iruka Ji-san datang bersama Tou-chan, dia membawakan yang ku pesan, dattebayo, handphoneku, Iruka Ji-san memang yang terbaik, dattebayo.'

...

'Hinata minggu ini kami dapat izin pulang kerumah. Bagaimana kalau kita jalan-jalan ke Tokyo Disney Land? Aku tadinya mengajak Sakura-chan, tapi dia lebih memilih pergi dengan si Teme.'

...

"Hinata bulan depan kami diperbolehkan lagi pulang ke rumah, dan hari itu adalah hari ulang tahunku, kita akan berjalan-jalan lagi seperti sekarang. Kau mau 'kan Hinata? Dan Hinata boleh 'kan aku meminta kado padamu?" Cengiran lima jari itu mengiringi permintaannya pada gadis yang begitu menyayanginya.

'Dengan senang hati Naruto-kun' ucap batin Hinata, "Memangnya Naruto-kun mau hadiah apa?"

"Syal..., rajutkan aku syal Hinata, yang berwarna merah, semerah rambut Kaa-chan. Kata Kiba rajutanmu sangat halus, dan lembut, kau mau 'kan merajutkannya? Aku selalu rindu Kaa-chan saat di akademi Hinata? Apalagi saat musim dingin rasanya saat memakai syal itu pasti seperti dipeluk Kaa-chan."

"Dengan senang hati Naruto-kun..." Semburat merah itu tercetak nyata dipipi gembul Hinata.

...

Dan begitulah selanjutnya hari demi hari saat ada kesempatan menelpon dan pulang ke Tokyo, selalu ada Hinata dalam prioritasnya, tapi setelah dia mencoba menelepon atau mengajak gadis bersurai permen kapas, yang dia sebut cinta pertamanya. Hal itu terus berlangsung hingga tahun ke tiga Naruto berada di Akademi Militer, dan Hinata di berada di ambang kelulusan Sekolah Kejururannya.

Hinata masih belum tertidur malam itu, walaupun jam dindingnya sudah menunjukan pukul tiga dini hari. Sudah hampir tiga bulan Namikaze Naruto tak pernah lagi menelponnya di setiap tengah malam di malam minggu, ia sangat takut kalau kalau terjadi sesuatu pada pemuda itu.

...

Bukan tanpa alasan Hinata khawatir seperti itu, di tahun ke dua Naruto berada di akademi pernah hampir satu bulan dia tak menghubungi Hinata dan alasannya karena...,

....

'Hinata maaf baru bisa menelepon sekarang kemarin ponsel ku disita Yamato sensei, aku ketahuan, Hinata. Saat sedang mencoba menelepon Sakura-chan pada jam istirahat di WC, sebenarnya Gaara sudah memberikan kode untukku menyembunyikan ponsel, tapi aku tetap saja mencoba menelpon Sakura-chan tapi dia tetap tak mengangkat, bukan cuma ponsel yang disita, aku tidak diperbolehkan menelpon di setiap malam minggu di ruang komunikasi, aku bahkan di hukum merayap di tengah lapangan di malam hari dengan telanjang dada, uhhh, sangat dingin ttebayo.'

''Tak apa Naruto-kun, tak apa, apa ada yang terasa sakit Naruto-kun?, Naruto-kun sudah minum obat? Tubuh Naruto-kun harus di oleskan minyak kayuputih? Nanti kau bisa sakit Naruto-kun...'

Kalau boleh jujur sekarang Hinata ingin menangis pemuda itu, pemuda yang selalu ditunggunya, yang selalu dicintainya rela merasakan sakit demi gadis yang tak pernah mencintainya, dan Hinata apa dia salah jika tetap berada bibelakang Naruto untuk memberikannya perhatian dan semangat

Sebenarnya apa posisinya di hati Naruto? Pemuda itu selalu datang pada Hinata saat gadis yang ia sebut sebagai cinta pertamanya itu mengabaikan cintanya.

Dan saat gadis merah muda itu meladeni sedikit saja tindakan Naruto, pemuda itu akan melupakan Hinata, gadis yang selalu ada di sampingnya saat di terpuruk. Seperti malam ini...,

"Apa malam ini dia akan menelepon, ya ?" Tanya Hinata pada dirinya sendiri, malam minggu kemarin ia menunggui telepon dari pemudanya lagi, tapi hingga fajar menyinsing tak ada satupun kabar yang dia peroleh dari pemuda pirang itu.

Drrrtttttttttt

"Apa ini Naruto-kun?"

'Moshi-moshi Hinata, Hinata maaf aku tak bisa lama menelponmu. Aku hanya akan mengabarkan bahwa aku tidak bisa sering menelponmu seperti dulu. Tiga bulan lalu, Teme kabur dari akademi, dan yang lebih parah dia bergabung dengan pemberontak dan membawa banyak senjata dari gudang persenjataan. Aku tak tahu kenapa dia melakukan itu? Tapi sepertinya ini ada hubungan dengan keluarganya, dan... oh ya... Sakura-chan, Sakura-chan sangat besedih dia bahkan menangis sambil berlutut di kakiku saat dia berkunjung ke akademi bersama Mikoto Baa-san. Dia memintaku untuk membawa kembali Sasuke ke jalan yang benar, ini janji seumur hidupku Hinata, Sasuke sudah seperti saudaraku, dan untuk Sakura-chan apapun akan ku lakukan untuk mengembalikan senyumannya. Aku tidak bisa menelponmu sesering dulu Hinata. Sakura-chan sangat membutuhkan ku, aku akan menelpon dia setiap akhir pekan sekarang setelah menelpon keluargaku, dia sudah mau mengangkat teleponku, Hinata sudah dulu ya aku tak bisa lama-lama aku harus segera menelpon Sakura-chan, sayonara."

Klik

Telepon itu terputus sepihak, tak sepatah katapun yang terucap dari bibir Hinata, Pemudanya itu tak pernah memberikan kesempatan untuknya.

"Sebenarnya apa arti diriku di hidupmu...? Naruto-kun, hiks..."

Satu tetes, dua tetes, air mata mulai merembes dari mata bulannya, nyeri, sungguh hatinya merasa nyeri, saat pemuda itu datang padanya dengan kehampaan, dan pergi saat cinta pertamanya mulai memberikan harapan.

end flashback

...

Krieetttttt

Pintu geser ruang keluarga itu bergeser, Hanabi baru kembali dari menelpon kekasihnya di taman, waktu sudah menunjukan pukul dua dini hari, sebenarnya hanya sepuluh menit dia berteleponan dengan kekasihnya, yang membuatnya lama adalah menunggu kekasihnya kembali ke kamarnya, sembunyi dalam selimut, dan mengirimkan suatu foto dari ponsel kekasihnya yang dimasukan secara ilegal kedalam akademi. Lalu dia mengirimkan ulang foto itu ke ponsel kakak perempuan tersayangnya.

"Nee-sama..."

Hinata mendongakkan kepalanya yang sedari tertunduk air mata mengalir deras dari mata bulannya.

Hanabi mengambil ponsel kakaknya yang terletak dimeja, ia buka sandi yang dipasang kakaknya, tak ada rahasia antara mereka, dipilihnya salah satu aplikasi chat dimana sebuah foto ia kirim melalui aplikasi itu.

"Nee-sama, lihatlah..," Hanabi menunjukkan foto di ponsel kakaknya sambil tersenyum ia hapusi air mata kakanya, menciumi sayang sepasang pipi gembul Hinata yang memerah.

"Nee-sama bisa menyimpannya, kau merindukannya, bukan?" ujar Hanabi sambil mengusap punggung kakaknya yang bergetar, ia keluar dari ruang keluarga itu menuju kekamarnya, kakaknya butuh waktu sendiri
.

Tubuh kekar yang dilapisi kulit tan nan eksotis, rahang tegas dan hidung mancung serta tiga goresan yang menyerupai kumis kucing dengan rambut pirang cepak sewarna kelopak bunga matahari, mata biru shapire bak warna samudra.

Kaos dalaman dan celana loreng coklat muda khas Tentara, menunjukan siapa jati dirinya sekarang, berpose bersidekap lengkap dengan cengiran lima jarinya.

Penampilan baru Naruto yang hampir sembilan tahun tak ia temui, penampilan pemuda itu benar-benar berbeda sekarang, tapi bagi Hinata ada satu hal yang sangat ia rindukan dari pemuda yang foto nya sedang ia tatap lekat-lekat.

"Senyumanmu menyelamatkanku Naruto-kun..."

"Kau berada dimana sekarang, hm?"

"Aku merindukanmu, Naruto-kun."

...

"Kau menelepon kekasihmu semalam, huh?" Suara baritone itu mengganggu konsentrasi Konohamaru yang berada di perpustakaan akademi.

"Aku harus memanggil mu apa disini?" Jawab Konohamaru sakratis, tanpa beralih dari ponsel yang ia lapisi dengan sebuah buku sebagai tameng.

Naruto mengusak kepala rambut adik angkatnya itu.

"Aku pulang ke Tokyo hari ini aku lepas dinas, kau boleh memanggilku seperti biasa, kau bisa lihat ini?" Naruto menunjukkan penampilannya hari ini, kaos ketat berwarna orange yang menampakan jelas otot-otot dan kulit tan nya, celana joger hitam, dan sepatu olah raga.

"Kau memang keren Naru-nii," ujar Konohamaru sembari berdiri yang di balas dengan senyuman sombong Naruto. "Tapi-," sambung Konohamaru, "Kau tak bernyali untuk menemuinya." Skak. Jawaban itu begitu menusuk hati Naruto

Setelah Konohamaru menjauh menjauh darinya, diambilnya sebuah syal merah dari tasnya, dikecup, dipeluk dan dielusnya syal itu.

"Apa aku masih punya kesempatan lagi, hm?"

"Aku merindukanmu..., Hinata."

to be continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top