5. Keysa Lagi Gawat(?)
"Nggak ada apa-apa," jawab Aksa sekenanya, nyaris bosan saking seringnya mendengar pertanyaan yang sama.
Orang-orang kenapa, sih? Biasanya juga menganggap Aksa invisible, memasukkannya dalam kotak orang yang tidak perlu diajak bicara jika tidak perlu. Lantas sekarang, kenapa jadi banyak orang yang mau menghabiskan waktu berbasa-basi dengannya?
Sepagian ini saja, sudah hampir lima orang menghampiri, hanya untuk menanyakan pertanyaan yang sama.
"Lo deket sama Keysa?" atau, "Sejak kapan kenal Keysa?" ada juga yang, "Kok bisa orang kayak lo kenal Keysa?" Begitu. Ya intinya, semua orang yang mendadak mau mengobrol dengan Aksa, tidak lebih dan kurang selalu berkaitan dengan Keysa.
Maksud Aksa, apa urusannya sama mereka begitu, loh? Mau Aksa dekat dengan Keysa, kek, atau dekat dengan Rea, dengan Miss Jana juga, tidak ada hubungannya dengan mereka, kan?
"Yang dikepoin tuh Keysa, fyi, bukan lo," kata Endra pada suatu siang, saat Aksa bertanya. Saat itu, Aksa sudah mulai gerah dengan berbagai pertanyaan tentang Keysa yang selalu ditujukan padanya.
Ah, benar juga. Untuk apa orang-orang peduli dengan manusia macam Aksa? Sudah pasti yang membuat penasaran itu Keysa, bukannya Aksa. Tapi tetap saja, apa urusannya sama mereka, gitu? Keysa-nya saja santai saat berhubungan dengan Aksa-kalau sekali bertemu sudah bisa dianggap hubungan-tempo hari.
"Konsekuensi dikenal banyak orang," terang Endra lagi, saat Aksa bertanya tempo hari. Aksa ingat hanya mencibir, masih tidak terima dengan jawaban Endra.
Ternyata berat, ya, punya nama di mata banyak orang. Apa yang harusnya menjadi privasi malah dikulik sampai habis, menjadi konsumsi publik. Aksa jadi ngeri. Kalau sampai dirinya dikenal banyak orang nanti, bisa jadi dia tidak mampu bertahan hidup barang sehari. Tidak sanggup dengan rongrongan penasaran publik. Atau mungkin mengubur diri sampai inti bumi?
Mikir apa, sih, maki Aksa dalam hati. Lucu sekali. Apanya yang dikenal publik? Dirinya jelas-jelas tidak punya kualifikasi untuk menjadi public figure. Berdiri di depan kelas saja kakinya sudah gemetaran seperti jeli, apalagi dipaksa berhadapan dengan lebih banyak orang? Janganlah mikir kejauhan. Tolong tetap pada batas kehaluan yang wajar, Aksa. Paham?
Sepertinya Endra menangkap kekesalan Aksa, karena laki-laki berjambul itu mendadak menampar punggung Aksa keras-keras sembari terkekeh geli. "Lagian, lo kenapa jadi nyinyir nggak jelas tiap kali ditanyain Keysa?" tanya Endra, saat Aksa nyaris mencekiknya. "Naksir, ya?"
"Ha ha ha," Aksa tertawa datar, pada pernyataan tidak masuk akal Endra, "lucu." Jadi teman pelawaknya Cak Lontong saja sana.
Eh, Aksa lupa. Endra kan kekurangan otak. Kurang pas kalau bersanding dengan Cak Lontong yang kebanyakan guyonannya harus pakai otak.
"Tuh, lihat." Endra menuding wajah Aksa dengan telunjuk, masih mempertahankan seringai gelinya. "Tiba-tiba sensi."
Ya karena pertanyaan Endra tidak mendasar, jelas dong Aksa kesal. Ya kan? Lagian, mana mungkin segampang itu Aksa menyukai seseorang? Yang baru dia temui pula. Kan mustahil. Memangnya ini novel, yang sekali bertemu langsung jatuh cinta? Yang realistis, dong.
Tuh kan, marah lagi.
Tidak ada cinta pada pandangan pertama di dunia ini. Begitu prinsip Aksa. Yang ada hanya nafsu sesaat yang diatasnamakan cinta pandangan pertama. Seperti saat dirinya hilang fokus karena Keysa pada pertemuan pertama dulu.
Kenapa malah diingat lagi! Memalukan! Lupakan saja hal menjijikkan seperti itu. Mari kembali berpikir cerdas.
"Karena risi aja ditanyain terus," jelas Aksa sembari menatap Endra bosan.
Tangan kanan Aksa yang memegang garpu, menusuk batagor di piring Endra, memakan tiga potong langsung dalam sekali suap. Salah sendiri sibuk dengan ponsel. Sudah tahu Aksa tidak pernah bisa tahan melihat makanan nganggur.
"Batagor gue jangan dimakan juga, dong!" protes Endra, menjauhkan piringnya dari jangkauan Aksa. "Heran, itu mulut apa vacum cleaner, sih, semuanya disedot."
Aksa tidak peduli, sibuk mengunyah kentang rebus dan bakso ikan di mulutnya dengan senang. Makanya, jangan Keysa-Keysa terus yang dibahas. Memangnya hidup Aksa hanya di lingkaran kecil itu saja, hanya karena beberapa hari yang lalu dia makan berdua dengan idola kampus?
Aksa tidak sekuper itu.
Berhubungan dengan Keysa sekali saja sudah begitu mengganggu keseharian Aksa. Dia tidak yakin bisa betah jika harus dipaksa akrab lebih jauh lagi.
Yah, meski tidak mungkin juga dia bisa bertegur sapa lagi dengan Keysa. Keysa, dengan dirinya? Hahaha. Harus menunggu keajaiban dunia kedelapan muncul.
Yah, Aksa tidak keberatan, sih, tidak lagi bersinggungan dengan Keysa. Kehidupan kampusnya bisa setenang biasanya.
Sekali. Dua kali. Tiga kali. Entah sudah berapa kali Keysa mengedipkan mata seperti orang bodoh. Pikirannya sedang tidak berada di tempat sekarang. Melayang, entah berjalan-jalan ke mana perginya.
Masalahnya, Keysa benar-benar tidak bisa memikirkan apa pun. Kosong. Semua kepintaran yang dia banggakan sejak dulu mendadak tidak berguna.
"Gimana tadi?" tanya Keysa yang masih linglung karena terkejut. Dia baru saja kembali dari ruangan Bu Sutra, mengumpulkan bundel esainya untuk direvisi. Tapi, setibanya dia di ruang HIMA, semuanya sudah begini.
Anis, sebagai sekretaris inti yang mencacatat hasil rapat hari ini mengangkat suara. "Lo dapet bagian bikin soal, dibagi empat sama Iqbal, Lana, sama Eka. Lo kan itungan masih anget banget, nih, di sini. Jadi sekalian jadi pengalaman gitu."
Bercanda, ya? Ini Keysa belum satu tahun menginjakkan kaki di kampus. Mata kuliah pun masih sebatas teori-teori yang kalau ibarat tangga, baru mulai merangkak dari basement. Bagaimana mungkin dia yang masih se-newbie ini langsung dibantai dengan membuat soal yang dia sendiri tidak bisa membayangkan seperti apa bentuknya?
Dan masalah yang paling menyebalkan adalah, mereka seenaknya saja ketuk palu tanpa menanyakan kesanggupan Keysa. Kalau sudah begini kan dia yang dirugikan.
"Lo bisa kan, Key?" si kurang ajar Kevin ikut berbicara, mengeluarkan nada bicara yang tidak ingin dibantah.
Dengan senyum kecut, Keysa mengangguk patah-patah. "Berapa lama waktu bikinnya?" Keysa pasrah, mendudukkan diri yang mendadak pening pada lantai di sebelah Eka.
"Satu minggu, ya," Iqbal yang menjawab. "Nanti kasih ke gue buat disatuin, baru minta persetujuan Kevin."
Tamat sudah. Keysa merasa dunianya runtuh karena keputusan seenak jidat dari rekan HIMA-nya. Padahal niat awal Keysa, dia ingin menjadi humas, mencari sponsor. Atau promotor, gitu. Kan lebih cocok dengan dirinya. Alih-alih diminta duduk di balik buku-buku tebal yang belum pernah dia pelajari.
"Ada contoh soal buat gue jadiin referensi, gak? Gue belum tahu bentuk soal yang harus dibikin kayak gimana."
Iqbal mengangkat tangan, kembali menarik perhatian Keysa. "Ada di gue!" Iqbal membuka ransel hitamnya, mengeluarkan beberapa bundel kertas dan menyerahkan salah satunya pada Keysa. "Kalau ada kesulitan, tanya gue aja."
"Thanks," balas Keysa singkat.
Ha ha. Nggak, deh. Keysa sudah tahu bagaimana sepak terjang si Casanova bermata sipit itu. Bisa-bisa dia dijadikan salah satu simpanan Iqbal, dan itu jelas enggak Keysa banget!
Begitu bundel dari Iqbal sampai ke tangannya, Keysa hanya membiarkan benda itu tergeletak di lantai. Melihat seberapa tebal benda itu saja sudah membuat Keysa pening. Entah harus berapa malam dia habiskan untuk mempelajarinya.
"Itu udah gue masukin beberapa materi yang jadi fokus soal lo. Tapi tetap gue saranin cari referensi jurnal sama buku-buku lain di perpus."
Keysa hanya mengangguk. Membantu sekali, pikirnya sinis, hanya membolak-balik materi yang diberi Iqbal tanpa minat.
Menit berikutnya mereka sudah bubar, meninggalkan Keysa yang masih tertahan dengan kepala pening dan perut melilit. Mana sebentar lagi masih ada kelas, tapi kepalanya tidak mau diajak berpikir sama sekali. Entah apa jadinya saat di kelas nanti.
Keysa ingin menangis.
Sudah empat hari Keysa habiskan untuk bergumul dengan bertumpuk-tumpuk buku dan jurnal di perpustakaan. Tapi sampai detik ini, tidak ada hasil memuaskan satu pun yang dia dapat. Dan lusa, dia sudah harus menyetorkannya ke Iqbal. Mau berteriak saja rasanya, saking kesal dan sebal karena otaknya tidak mau diajak bekerja sama.
Keysa tidak pernah merasa dirinya bodoh, tapi dia juga tidak secemerlang itu. Terlebih, materi yang dia baca sekarang benar-benar di luar pemahamannya. Dia butuh bimbingan dosen untuk mengerti istilah-istilah asing yang belum akrab di telinganya.
Ponselnya sudah cukup ikut andil untuk mencari arti dari nama-nama yang membuatnya pusing. Tapi, hal ini malah membuat kecepatan kerjanya menjadi jauh lebih lambat. Karena benar-benar tidak efektif.
Saat melirik jam, Keysa hanya mendesah panjang. Dia harus berhenti berkencan dengan buku-buku tidak masuk akal ini sekarang. Dan mulai berlari-larian setelah keluar dari perpustakaan, menyeberangi gedung, melintasi kantin, sebelum menginjakkan kaki ke gedung di seberang, tempat kelasnya sebentar lagi dimulai. Terima kasih karena perpustakaan letaknya tujuh menit berjalan dari kelasnya.
Sepanjang perjalanan menuju kelas, Keysa terus-menerus menggerutu dalam hati. Menyumpahi Kevin dan Anis sepenuh hati, karena memberikan tugas merepotkan ini padanya. Sepertinya dia harus pulang malam lagi hari ini dan mengurung diri di perpustakaan.
What a beautiful day!
Namun, begitu menjejakkan diri di kantin, langkah Keysa berbelok. Dia mendapati siluet seseorang yang tidak asing di matanya. Yang pasti bukan Nadine ataupun Malfi. Mereka sama tidak bergunanya dengan Keysa sekarang, dan tidak dapat diharapkan untuk membantu.
Keysa mempercepat langkah, menyadari waktu bicaranya tidak banyak, jika tidak ingin terlambat memasuki kelas.
"Aksa!" panggil Keysa nyaring, tidak peduli suaranya bisa menarik banyak perhatian orang-orang.
Keysa baru sadar otaknya selambat itu untuk berpikir. Padahal, di kontaknya ada orang yang sangat bisa membantu masalahnya sekarang. Kenapa tidak terpikirkan dari lama?
Beruntung Aksa menengok saat namanya dipanggil. Balas menatap Keysa penuh tanya.
Begitu sampai di dekat Aksa, Keysa langsung mendudukkan diri di depan laki-laki itu, mengistirahatkan kaki sebentar.
"Bantuin gue, ya?" pinta Keysa langsung, tidak berniat basa-basi. "Sekali ini aja, plis?"
De'javu. Entah kenapa Keysa merasa pernah mengalami momen seperti ini sebelumnya.
Di hadapannya, Aksa mengerutkan kening. "Kayak nggak asing," gumam laki-laki itu, membuat Keysa meringis kecil. Benar juga, dia pernah memaksa Aksa membantunya-memalak, tepatnya-saat pertama kali bertemu. Dan kata-kata yang dia keluarkan, kurang lebih sama.
Aduh, memalukan sekali, ya.
Keysa sudah melemparkan tawa canggung, sembari memainkan anting kanannya asal. "Pas gue malak nomor lo dulu," jelas Keysa, yang membuat Aksa ber 'oh' ria.
Kembali teringat akan tujuannya, Keysa menatap Aksa lamat-lamat. Sengaja tidak memedulikan kernyitan tidak nyaman di wajah laki-laki itu. Tebak Keysa, Aksa tidak biasa dengan interaksi yang terlalu intens.
"Bantuin gue, ya? Soalnya gue gak tahu harus minta tolong ke siapa lagi!" Keysa tidak memaksa. Paling tidak, dia terdengar memohon bantuan, alih-alih memaksa. Kan?
Sebenarnya, selain Aksa, Keysa mengenal beberapa kakak tingkat lain yang bisa dimintai bantuan. Tapi kebanyakan dari mereka sedang sibuk magang, repot dengan tugas sendiri, belum lagi minggu-minggu menjelang UAS. Mereka semua mengatakan tidak bisa membantu Keysa sekarang. Dan Keysa sendiri pun sungkan jika terlalu memaksa.
"Bantu apa?" tanya Aksa singkat. Keysa jadi tidak tahu laki-laki ini berniat membantu atau tidak. Karena ekspresi yang ditunjukkan Aksa terlalu datar. Tidak bisa ditebak.
"Buat soal." Keysa melirik jam tangannya dengan gugup. Dia langsung berdiri, menatap Aksa dengan perasaan bersalah. Dia sudah terlambat dua menit. "Aduh, gue telat kelas. Nanti selesai kelas gue chat, ya."
Tanpa menunggu jawaban Aksa, Keysa langsung berlari keluar kantin.Beginikah rasanya jadi Aksa saat dicegat Keysa tempo hari?
•
•
•
Malah update si unyu munyu Aksa x Keysa dulu, dong, wkwkwk. Yang sudah siap SLBL, soalnya. Vetmia menyusul. Doakan aku bisa fokus❤
Oh iya, bisa tebak gak, kira-kira konflik SLBL itu apa? Ayo tebak, yang bener dapat cinta dari aku, hohoho 😳
Semoga sukaaa 😙😙
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top