4. Markas Keysa

Omong kosong! Iya, 'kan? Sejak pertama bertemu Keysa, dua kata itulah yang berkeliaran mengelilingi kepala Aksa. Nyaris membuat sinting malah.

Benar-benar omong kosong.

Coba jelaskan, bagian mananya dari Keysa yang menunjukkan perempuan itu jadi tidak punya muka di depan Aksa? Nol besar! Yang ada malah Aksa yang canggung sendiri seperti orang bodoh di hadapan Keysa. Ditambah penampilannya yang Aksa yakini seribu persen sudah seperti orang-orangan sawah dipakaikan kemeja. Menyedihkan. Kontras sekali dengan Keysa yang ... begitulah. Aksa tidak ingin menjadi laki-laki mesum tidak punya otak seperti tempo hari.

"HIMA?" tanya Aksa, mengedik pada pakaian yang menempel pada tubuh Keysa.

Keysa yang sedari tadi asyik menikmati pudingnya mendadak membanting kecil benda tersebut ke lantai, membuat Aksa sedikit terjingkat. Tidak siap pada emosi Keysa yang tiba-tiba. "Lo tahu Kak Kevin gak sih? Ketum HIMA?" Keysa tampak kesal, dari yang Aksa tangkap. "Udah ngabarin rapatnya dadakan, nyuruh dateng pagi-pagi buta-habis subuh, lo bayangin-dan harus pake seragam ini. Cuma rapat, loh, iya kalau pergi ke tempat sponsor, survei lapangan gitu, gue masih paham. Lah, rapat doang, orang-orangnya juga anak HIMA, ngapain suruh pake ini, sih?"

Aksa hanya diam, mengamati berbagai ekspresi yang bergantian muncul dari wajah Keysa. Sebal, marah, gemas, bersungut-sungut. Iri rasanya melihat Keysa bisa menampilkan berbagai ekspresi tersebut, di saat dirinya hanya punya otot wajah kaku.

"Kenapa? Gue pasti kayak gembel, ya?" tanya Keysa, sembari menarik-narik bajunya sebal.

Spontan, Aksa menggeleng dengan mulut menggembung, masih dipenuhi bakso. Beruntung baksonya masih bisa dimakan, meski Aksa tidak akan menyentuh kuahnya.

Cantik, kok, batin laki-laki itu, sembari menyeruput es susu milonya. Menghalau pedas yang masih menyengat lidah.

Aksa tidak bohong. Nyatanya, Keysa memang masih secantik kemarin. Rambut ikalnya yang diikat asal dengan sebuah bolpoin seperti ini saja masih membuat mata Aksa silau. Di balik seragam merah-hitam kebangsaan HIMA pun, pesona Keysa tetap tidak tenggelam. Aksa jadi bertanya-tanya, kalau yang begini saja dianggap gembel, yang cantik seperti apa, dong? Mungkin sanggup membuat Aksa buta, saking silaunya?

"Serius?" tanya Keysa, mengeluarkan ponsel dan menatap pantulan dirinya di layar. "Hari ini gue cuma pake BB cream, bedak, sama liptint doang. Gue bahkan gak sempet bikin alis gara-gara Kak Kevin bego."

Sedangkan di depan, Aksa hanya melongo dengan tatapan kosong. Tadi ... Keysa menyebutkan apa, ya? Kenapa terdengarnya di telinga Aksa seperti bahasa antah-berantah yang sangat sulit dimengerti telinga?

Sedikit meringis, Aksa menjawab, "Jujur, gue gak paham."

Detik berikutnya, Keysa sudah tertawa lepas dengan tangan mengusap hidung. Entahlah, dia tampak begitu senang, padahal beberapa detik lalu masih mencak-mencak kesal. "Lo tuh tipikal cowok kebanyakan, ya. Suka roaming kalo diajak ngobrol soal make up."

"Karena nggak pake begituan," jawab Aksa lugas.

Kealpaan orang-orang di sekitar mereka membuat Aksa mulai mendapatkan kepercayaandirinya. Meski masih tersisa sedikit kecanggungan, paling tidak dia sudah bisa berbicara lancar. Tidak seperti di kantin tadi. "Oh iya, ceweknya temen gue ada yang ngikutin video-video lo di Youtube gitu. Memang sering upload di sana, ya?"

Rona senang di wajah Keysa mendadak berubah jadi binar-binar antusias. Serius! Aksa benar-benar melihat binar tersebut dari mata Keysa. Astaga, perempuan ini gampang sekali diubah mood­-nya, ya. Dan Aksa selalu suka mengamati perubahan-perubahan cepat tersebut.

"Serius temen lo tahu gue? Wah, nggak nyangka." Dengan jumlah followers sebesar itu? Bukannya sudah jelas? Aneh malah kalau tidak ada orang yang tahu Keysa. Walau Aksa memang tahunya karena Endra. "Gue main Youtube tuh karena suka make up dari SMP. Pikir gue, daripada pengetahuan gue nganggur ya dipake iseng-iseng aja bikin video. Ternyata malah banyak yang nonton."

Aksa tidak menangkap nada sombong dari suara Keysa. Memang murni karena menjelaskan kalau dia secinta itu dengan make up. Dan sepertinya, apresiasi dari penonton videonyalah yang membuat Keysa semakin aktif meng-upload berbagai tutorial dan tips kecantikan-begitu yang dikatakan Endra-di channel Youtube-nya.

Tapi daripada itu, Aksa baru sadar satu hal. Dia terjebak di ruangan tertutup berdua dengan Keysa. Astaga, apa kata Ibu nanti? Jangan-jangan Bapak akan mengusirnya dari rumah begitu tahu Aksa berduaan dengan lawan jenis seperti ini?

Demi Tuhan, Aksa, mikir apa, sih?

Biar Aksa jelaskan. Markas rahasia yang Keysa maksud adalah sebuah ruangan tersembunyi di balik tangga menuju lantai dua gedung akuntansi. Dilihat dari luar, ruangan ini hanyalah dinding kayu yang tidak memiliki ruangan apa pun di dalamnya. Padahal kalau mau mendorong dinding tersebut sedikit saja, akan terlihat akses kecil menuju ruangan di bawah tangga.

Untuk ukuran ruangan tidak terpakai, terlebih di bawah tangga, markas Keysa ini terbilang luas. Mungkin sekitar satu setengah lebih luas dari kamar kos Aksa. Muat untuk tujuh orang tanpa berdesak-desakkan.

"Lo pendiem, ya, kalau ngobrol langsung gini," ucap Keysa, tanpa indikasi merendahkan atau apa pun. Sekadar berbicara, diikuti senyum tipis malah. "Padahal di chat semalem lo sampai ngomelin gue," tutup Keysa, diikuti tawa kecil.

Apa Keysa tidak berpikir aneh-aneh, ya, hanya berduaan di ruangan tertutup ini dengan Aksa? Di depannya saja Aksa sudah nyaris keringat dingin, mendadak kegugupannya menyerang kembali.

Ada keheningan beberapa menit yang membuat Aksa semakin canggung tak tertolong. Sedangkan Keysa, tetap asyik menyendok puding labunya yang nyaris habis. Ini serius Keysa tidak merasa gugup?

"Btw, kok lo cepet banget KKN-nya?" tanya Keysa tiba-tiba, sembari meletakkan wadah kosong bekas puding. Tangannya beralih meraih botol minum yang sedari tadi dibiarkan di lantai. "Gue pernah bilang kakak gue seangkatan sama lo, kan? Dia aja baru kelar magang. Itu pun masih mandek di laporan."

"Gue magang udah di semester kemarin, sih. Niatnya pengen semester 3. Tapi pas itu lagi sibuk-sibuknya persiapan lomba sama angkatan '16 ke Lombok, jadilah diundur semester 4," Aksa menjelaskan, sembari mengingat-ingat kegiatannya setahun belakangan. "Terus ambil semester pendek di liburan semester 3 sama 4. Tahu-tahu SKS udah cukup buat daftar KKN."

Keysa ganti melongo di depan Aksa. Sedotan masih menggantung di depan bibirnya, dengan jempol dan telunjuk yang menjepit. "Itu kepala lo nggak pengen meledak gitu? Padet banget, Ya Tuhan."

Untuk pertama kalinya, Aksa tertawa pada reaksi Keysa. Untuknya, ekspresi melongo Keysa, dengan bibir yang terbuka itu menggemaskan. Apalagi ditambah sedotan yang berhenti canggung di depan bibir.

"Memang dari awal narget lulus 3,5 tahun. Kalau bisa 3 tahun malah syukur."

"Gila, sih!" Keysa masih terheran-heran. Kepalanya menggeleng takjub, sebelum menenggak minumannya. "Kalau gue jadi lo, nih, ya, udah botak mungkin kepala gue."

"Namanya target dari zaman SMA," jawab Aksa, seolah hal itu sudah wajar.

Orang pintar macam Aksa itu mana tahu rasanya mereka yang kapasitas otaknya pas-pasan. Mau memasang target pun ujungnya sama saja. Lulus 4 tahun itu sudah syukur sekali.

"Masalahnya, lo harusnya seangkatan sama gue, Aksa. Dan lo udah mau lulus, di saat gue masih nyandang titel maba." Keysa menarik napas panjang, saking semangatnya saat berbicara, mungkin(?) "Gue berasa jadi mahasiswa gagal," lanjut Keysa yang malah jadi curhat.

Keysa itu lucu, ya? Raut wajahnya yang sangat ekspresif. Tangannya yang tidak bisa berhenti bergerak. Entah saat dirinya senang, atau kesal, atau antusias. Melihatnya saja jadi menularkan semangat pada Aksa.

"Nggak gitu kok, Key." Aksa mati-matian menahan kekehan geli karena keaktifan Keysa. Bisa-bisa dia ikutan tertular menjadi manusia hiperaktif, kalau memang bisa. "Emang gue yang kebut. Teman-teman sekelas aja sering ngomel, katanya gue terlalu fokus kuliah. Nyuruh rasain pacaran sesekali, gitu."

"Gue sejuta persen setuju sama temen-temen lo."

Dan well, sekali lagi. Obrolan yang mengalir begitu saja seperti menyapu bersih kecanggungan yang semula masih kental menyelimuti Aksa. Bisa dikatakan, Keysa ini jenis orang yang gampang membuat orang nyaman. Sekali mengobrol saja, dia bisa menarik semua kegilaan yang selama ini dipendam orang lain.

Sedikit lucu sebenarnya. Terutama untuk Aksa. Bagaimana seorang asing bisa lebih mudah akrab, dibanding mereka yang mengalirkan darah sama dengan dirinya?

"Sini lo berdua!" seru Keysa kalap, saat mendapati kedua temannya tengah asyik mengobrol di kantin Fakultas Ilmu Politik dengan seorang laki-laki. "Bagus ya, gue ajak makan bareng, bilangnya mau kelompokan PKM. Kelompokan menelin abang gue, maksud kalian?"

Andai bukan di tempat umum, Keysa mungkin sudah menjambak Nadine dan Malfi, atau melemparkan mereka ke tengah jalan. Sebagai ganti melampiaskan kekesalan, dia memiting kedua temannya dengan penuh nafsu. "Bilang apa ke gue, ha? Bilang apa?"

Baik Nadine maupun Malfi sudah menepuk-nepuk lengan Keysa dengan keras. Pitingan perempuan itu memang tidak main-main. Seperti semua tenaga dikumpulkan pada persendian siku, dan digunakan mencekik Nadine dan Malfi sekuat tenaga.

"Le-pas dulu, Key. Gabisa napas!"

"S-susah ngomong, bego!"

"Gak gue lepas sebelum ngaku salah!" Keysa masih keras kepala, malah tambah merapatkan pitingannya.

Mengerti tabiat sang adik dan teman-temannya, Alec-Kakak Keysa-hanya mendesah kecil, memilih mengabaikannya. Tangannya mulai membuka print out power point yang sebentar lagi harus dia presentasikan. Mengurusi Keysa hanyalah membuang-buang waktu.

"Iya-iya, ampun! Nggak lagi-lagi!" seru Nadine, yang sepertinya mulai kesal. Tenaganya mendadak menjadi sebrutal banteng di arena matador. Memaksa tangan Keysa terlepas, lantas menampiknya jauh-jauh begitu terbebas. "Sinting, gorila kok dibiarin keliaran di kampus, sih!"

Puas memberi pelajaran pada Nadine dan Malfie, Keysa mendudukkan diri di samping Alec, sembari menjulurkan lidah puas pada kedua temannya.

"Siapa, ini?" goda Keysa, mencolek dagu Alec tengil, yang langsung dibalas dengan tatapan masam. "Tumben banget Jumat-Jumat ngampus, jam segini pula. Biasanya juga masih jadi mayat di kasur."

Melihat bahu kakaknya yang nganggur, Keysa jadi spontan saja menyandarkan kepala ke sana. Semua salah Kevin, yang memaksa Keysa pagi-pagi buta sudah harus berkeliaran di kampus. Mana semalam dia nyaris tidak tidur, karena asyik berbalas pesan dengan dengan Aksa.

Bukan apa-apa, sih. Keysa hanya senang saja mendapat teman baru yang bisa satu frekuensi saat mengobrol.

Alec berdecak, "Sanaan!" gerutu laki-laki itu, sembari mengedikkan bahu, membuat kepala Keysa terguncang-guncang. "Gue lagi belajar buat presentasi."

"Dih, galak." Keysa malah semakin mendusalkan wajah ke ceruk leher Alec, mencari posisi yang lebih nyaman. Sepertinya dia mau pulang saja setelah ini. Menjemput tidur yang semalam dia ajak berkelahi. "Gak ganggu juga."

Desahan napas panjang dari mulut Alec mengundang senyum kemenangan milik Keysa. Siapa suruh menghubungi Keysa, kan, kalau tidak ingin diganggu. Padahal perempuan itu tadi berniat mengumpulkan makalah dan langsung pulang, andai Alec tidak menyuruh datang.

"Ya dua Mak Lampir nyasar di fakultas gue. Pawangnya kudu dipanggil, lah."

Keysa mencibir. Memangnya dia emaknya Nadine dan Malfi? Amit-amit, ya, punya anak seperti mereka.

"Jangan ngalihin topik pembicaraan dulu, dong." Keysa sedikit menengadah, mengernyit aneh kepada Nadine. Apanya yang dialihkan, kalau mereka saja belum ngobrol?

"Apa? Mau dipeluk tangan gue lagi?" Pertanyaan Keysa dibalas cebikan kesal.

"Itu loh, yang barusan, gimana?"

Keysa langsung terang-terangan menunjukkan wajah sensi. Cih, Keysa paham akal bulus Nadine dan Malfi. Entah ide siapa, mereka hanya ingin melihat Keysa dengan Aksa berduaan. Lantas menyebarkan gosipnya ke mana-mana, agar suasana ramai.

Yah, meski yang bisa melakukan itu semua adalah Nadine, sih.

"Berisik!" sinis Keysa, nyaris gatal menubrukkan diri ke arah Nadine. "Nggak usah tanya-tanya, ya, kalau diajak ketemu bareng aja enggak mau."

Alec yang sedari tadi tidak peduli mendongakkan kepala, menatap aneh pada tiga sahabat yang sudah rusuh di sekitarnya.

"Kita kan mau kasih ruang khusus kalian berdua," jawab Nadine, yang langsung disambut anggukan oleh Malfi. "Seinget gue dia lumayan, kan, nggak malu-maluin dijadiin gandengan."

"Siapa?" Suara Alec lebih dulu menginterupsi, saat Keysa berniat menjawab Nadine. "Ngomongin siapa?"

Detik selanjutnya, Keysa langsung membisu. Dih, Nadine suka nggak pakai otak! Sudah tahu ada Alec di sini, bisa-bisanya bahas cowok. Keysa yang kena getahnya ini, sih.

"Bukan siapa-siapa," jawab Keysa beberapa detik setelahnya. Dia buru-buru menegakkan badan, mencangklong tas, lantas berdiri.

"Gue cabut duluan, ya," kata Keysa cepat-cepat, sengaja menghindari Alec. "Nitip peliharaan gue, Kak." Keysa menunjuk Nadine dan Malfi bergantian. "Kasih aja tulang sisa makanan lo, pasti mereka terima."

Keysa langsung melangkah pergi, sengaja tidak mengintip ke arah Alec. Tidak juga memberi waktu kakak laki-lakinya itu membuka suara. "Duluan, ya!"

Masalahnya, dia itu Alec. Alexander Dimar Gaskara. Bisa mati kalau kakaknya itu mencium bau laki-laki lain mendekati Keysa. Heran juga, di usia Keysa yang hampir kepala dua, Alec masih seprotektif itu menjaganya. Benar-benar langsung memberi tatapan laser pada siapa pun yang berani mendekati Keysa. Kan seram kalau Aksa kena damprat Alec.

Oh, benar-benar tidak bagus!

Ini panjang, loh, wkwkwk, kurang lebih 2000-an kata. pencapaian buatku (meski aslinya buanyak yang harus dipangkas). Tapi nanti aja. Target sekarang adalah SLBL tamat dulu~

See you soon, Guys

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top