2. Demam Memerah
Keysa mendadak terserang vertigo. Astaga, adakah teman yang lebih sinting dibanding dua orang yang sedang bersamanya sekarang?
Lihat saja mereka berdua. Tidak sedikit pun berempati pada Keysa, terang-terangan tertawa bahagia di depannya. Rasanya jadi gatal mendepak keduanya keluar dari rumah.
"Gila kalian, yang beneran dikit, dong, kalau kasih hukuman. Bisa mati, nih, gue!"
Bukannya peduli, keduanya malah mengedikkan bahu sembari memakani camilan yang Keysa sediakan. Tidak tahu diri!
"Pilih deh, Key," Nadine membuka stoples lainnya yang berisi keripik kentang. "Saran gue sih traktir kita berdua aja. Jalan paling gampang itu."
"Tapi gue pengen lihat Keysa nodong nomor cowok, dong." Malfi ikut menimpali. Perempuan itu sudah melepaskan jilbabnya semenjak memasuki kamar Keysa. Sekarang tengah asyik berbaring di kasur dengan tangan menggulir layar ponsel. "Kira-kira bakal gimana, ya, responsnya?"
"Seratus persen ditanggepin," balas Nadine, di tengah kesibukan mulutnya menghabiskan keripik kentang. "Secara, ini Keysa kita, loh."
"Rese ah lo berdua!" gerutu Keysa.
Masalahnya, dia sudah punya pengalaman mentraktir Nadine dan Malfi. Dan kejutan, keduanya benar-benar penggila makanan garis keras dengan perut black hole. Bisa menghisap apa saja. Dompet Keysa benar-benar dikuras habis, hanya menyisakan selembar dua puluh ribu. Jadi, Keysa tidak ingin mimpi buruk itu kembali terulang.
Tapi ... mencegat cowok random untuk dipalak nomor. Itu sih bunuh diri namanya. Ah, siapa, sih, yang memberi ide hukuman untuk yang kalah tadi? Kenapa hanya Keysa yang mendapat level kesulitan yang paling tidak masuk akal?
Dan begitulah ceritanya, Keysa terjebak dengan situasi sekarang. Memandang kosong pada layar ponselnya, tidak tahu harus bagaimana.
Ruang obrolan dengan si SMK sudah terbuka di depan mata. Tapi, haruskah Keysa mengirim pesan? Bagaimana kalau dia malah mengganggu laki-laki itu? Tapi kalau tidak meminta maaf, perasaannya jadi tidak tenang.
"Berani bertindak, harus mau tanggung jawab."
Baiklah. Keysa meyakinkan diri sendiri dan mulai mengetikkan pesan.
Keysa: Hei. Gue Keysa, cewek yang tadi minta nomer lo
Keysa: Gue ganggu gak?
Perasaannya mendadak kebat-kebit saat satu centang abu-abu di sebelah kanan pesannya berubah menjadi dua. Dia menggigit kukunya dengan cemas, nyaris melukai kulit jari. Matanya tak lepas dari dua centang abu-abu yang tak kunjung berubah biru.
Entah sudah berapa menit Keysa memandangi ponselnya seperti orang tolol. Rasanya dia belum pernah merasakan euforia sekonyol ini. Hanya karena mengirim pesan pada orang asing kenapa membuatnya panas-dingin begini?
Keysa terpekik kecil saat centang mendadak berubah menjadi biru. Tangannya refleks menutup aplikasi pesan tersebut dan nyaris melempar ponsel di atas kasur. Duh, sinting! Dia kenapa, sih? Gebetan bukan. Orang yang disuka juga bukan. Kenapa reaksinya alay begini?
Keysa geli dengan diri sendiri. Sumpah!
Tak lama kemudian, getar ponsel membuat jantung Keysa semakin tidak karuan. Dia merasa dadanya nyaris meledak, tertelan antipati. Bagaimana kalau laki-laki itu membalas dengan makian kasar? Atau jangan-jangan dia lupa pada Keysa? Pura-pura tidak kenal? Aduh, membayangkan saja sudah sangat memalukan.
Memang seharusnya tidak usah sok-sokan bertanggung jawab. Sekarang menyesal, kan!
Apa lebih baik sekarang dia memblokir nomor laki-laki itu? Lalu menghapusnya dari daftar kontak. Kan dia tidak punya alasan lain untuk menghubungi si SMK-SMK ini. Hukumannya resmi selesai, saat pesan pertamanya dia kirim beberapa menit lalu.
"Bego! Lo ngapain, sih, Key."
Keysa menguatkan hati. Meraih ponsel, lantas pelan-pelan menggeser layar ke bawah, mengintip dari luar. Matanya menyipit setipis mungkin, entah apa tujuannya, dia hanya tidak ingin melihat ponselnya secara telanjang.
SMK(?): Ya?
Keysa tercenung beberapa detik. Mengulang-ulang pesan masuk tersebut dengan berbagai intonasi yang berbeda.
Ini ... dia harus bereaksi bagaimana, ya? Memang lega, sih, ternyata bukan berisi makian atau sumpah-serapah kasar. Tapi kata sesingkat itu juga tidak banyak membantu. Apa dia terganggu dengan pesan Keysa? Atau menunggu penjelasan? Atau malah isyarat yang meminta Keysa menyingkir?
Kan jadi geregetan! Kegugupannya tadi jadi berasa tidak sebanding.
"Nekat aja sekalian."
Keysa: Gue tadi belum sempet minta maaf karena kayaknya lo buru-buru banget. Lo gak telat masuk kelas karena gue cegat, kan? Gue bener-bener minta maaf. Sori banget, itu gara-gara temen-temen sinting gue.
Keysa: Kayaknya lo gak butuh penjelasan, tapi gue tetap mau jelasin biar gak ada salah paham. Jadi, kemarin gue kalah main ular tangga sama temen gue. Dari awal udah bikin perjanjian gitu, siapa aja yang kalah harus kena hukuman. Sialnya, gue yang kena. Dan lo tahu sendirilah apa hukumannya, karena lo yang jadi korban. Sori ya, sekali lagi.
Ah, Keysa tidak tahu. Mau mati rasanya.
Awalnya Aksa berniat mengabaikan pesan yang dikirim perempuan tadi pagi. Toh, perempuan itu sendiri yang mengatakan tidak akan mengganggu Aksa setelah satu chat. Tapi, membaca isi pesan panjangnya membuat Aksa berpikir kembali. Ini sih dia yang dibuat tidak enak kalau tidak membalas pesan yang serius ingin meminta maaf tersebut.
Setelah berpikir sebentar, dia mengetikkan balasan cepat.
Aksa: Sebenernya saya nggak perlu penjelasan. Tapi karena Mbak sudah menjelaskan, saya mau bilang terima kasih. Saya jadi tahu kenapa tengah hari, nggak ada angin, nggak ada hujan, Mbak tiba-tiba cegat saya.
Aksa: Saya memang nggak telat, tapi hampir nggak dapat tempat duduk favorit saya. Jadi, Mbak, yang mau saya ingatkan, jangan sampai karena permainan Mbak dan teman-temannya jadi mengganggu kegiatan orang lain.
Dih, waktu begini saja bisa berbicara panjang, sok-sokan menceramahi pula. Coba kalau bertatapan langsung, paling juga sudah gagap kehilangan kata-kata. Menyedihkan memang, cuma bisa berkoar di balik layar. Keyboard warior, begitu bukan sebutannya?
Aksa memindahkan fokus pada makalah yang baru sampai kata pengantar. Beruntung sekali hari ini tidak ada kerja kelompok. Aksa merasa akan kehabisan tenaga kalau dipaksa berinteraksi dengan orang lain sedikit lagi. Dia perlu mengisi energi dengan mengurung diri di kamar. Seharian ini sudah cukup membuatnya ngos-ngosan.
Getar ponselnya membuat fokus Aksa kembali beralih. Pesan dari perempuan itu lagi, ternyata.
+628123445xxxx: Iya, gue sadar gue salah. Sejujurnya, yang tadi itu malu-maluin banget. Kayaknya kalau ketemu lo lagi, gue gak akan punya muka. Dan gue serius soal permintamaafan tadi, jadi nggak enak beneran karena kelakuan gue tadi nyusahin lo.
+628123445xxxx: Btw, ngomongnya santai aja. Gue jadi canggung kalau lo ngomongnya formal gitu.
Sebenarnya perempuan ini baik, 'kan? Yah, itu, sih, yang Aksa tangkap dari isi pesannya. Paling tidak, si perempuan ... Keysa, maksud Aksa, telihat tulus saat meminta maaf. Walau tidak bisa dimungkiri, kesan pertama tadi pagi masih terasa menyebalkan. Mungkinkah Aksa bisa mengabaikan yang satu itu?
Aksa: It's okay, udah lewat juga.
+628123445xxxx: Eh, nama lo siapa, sih? Masa iya gue manggilnya SMK SMK, gitu.
Aduh, gila! Kenapa, sih, dia tadi harus menjawab S.mk? Harus dijawab apa kalau Keysa menanyakannya?
Aksa: Itu S.mk, btw, bukan SMK.
Malah dijelasin! Hebat banget memang, refleks Aksa.
+628123445xxxx: S.mk? Jangan-jangan bener kata teman gue. Nama lo Semok?
Aksa: What? Aksa, nama gue Aksa!
Kok bisa jadi semok, sih? Namanya sudah bagus-bagus Aksa. Dan orang gila mana yang mau punya nama Semok?
+628123445xxxx: Hahaha. Jadi tadi tuh temen-temen gue nanya nama lo. Karena lo jawabnya SMK, eh S.mk (kenapa ribet banget, ya), mereka malah ngasal nembak jadi Semok lah. Yang semangka juga. Haha, sori ya, temen gue gak ada yang waras memang.
Saat Aksa sedang mengetik balasan, satu pesan Keysa kembali masuk.
+628123445xxxx: ngomong-ngomong, S.mk apaan, sih?
Seketika itu juga, jawaban yang sebelumnya muncul di kepala Aksa mendadak hilang. Dia jadi mati kata. Mau membalas, tidak tahu harus mengetik apa. Ingin mengabaikan, tapi pesannya terlanjur dibaca.
Mending buang saja ponselmu, Aksa!
Aksa: Haha, tolong bilangin ke temennya. Nama gue Aksa, bukan Semangka, apalagi Semok
Aksa: Terus yang soal S.mk itu ... lupain aja. Gue lagi ngaco pas itu.
Dan setelah itu entah bagaimana mereka berdua jadi keterusan berbalas pesan. Ternyata, Keysa lumayan oke. Dia nyambung dijadikan teman mengobrol. Aksa bahkan sudah nyaris sepenuhnya lupa tentang kesan pertama mereka bertemu tadi. Sudah ditenggelamkan dengan keramahan Keysa menanggapi pesan-pesannya.
+628123445xxxx: Btw, gue boleh save nomor lo? Udah gue ganti jadi Aksa, kok, bukan SMK lagi :p
+628123445xxxx: Lo boleh simpen nomer gue juga. Kalau mau aja sih.
Dih, Aksa jadi sadar ternyata dia masih membiarkan nomor Keysa begitu saja, belum menyimpannya. Padahal mereka sudah mengobrol sepanjang itu. Tentu saja Aksa dengan senang hati berbagi nomor dengan Keysa. Toh, perempuan itu menyenangkan untuk dijadikan teman mengobrol.
Aksa: Sure. Selama bukan S.mk atau Semok aja nama kontaknya
Keysa: Hahaha, bukan, kok. Meski gue tergoda namain begitu tadi.
Aksa: Tolong :)
Hebat. Aksa berhasil dibuat lupa dengan makalahnya karena terlalu asyik mengobrol. Laki-laki itu jadi meringis kecil.
Tidak bisa begitu, dong, Aksa. Apa kata Ibu nanti kalau tahu anaknya tidak fokus mengerjakan tugas karena asyik chatting? Bisa-bisa beliau langsung terbang ke Jakarta, menyeret Aksa pulang detik itu juga.
Aksa: Key, gue kerja tugas dulu, ya. Thanks udah nemenin gue ngobrol.
Aksa melemparkan ponsel ke ranjang, sengaja menjauhkan dari jangkauan. Pesan Keysa lumayan berhasil mengganggu konsentrasi Aksa. Dan dia tidak ingin distraksi tersebut berlanjut.
Lagian, sejak kapan dia mengerjakan tugas dengan ponsel berada di dekatnya? Yang ada malah membuatnya gagal fokus. Seperti ke chat Keysa, salah satunya.
Sedangkan berpuluh-puluh meter dari tempat Aksa mulai menekuni pekerjaannya, Keysa malah terlihat sibuk bergulingan di atas ranjang. Menit lalu dia terlentang, sekarang sudah tengkurap, dan menit berikutnya menelusupkan diri di dalam selimut. Untung saja tidak mendadak mendapat ide untuk kayang. Bisa-bisa dia sakit pinggang satu minggu.
Seluruh badannya tidak mau berhenti bergerak. Ini semua gara-gara rasa penasarannya belum terjawab.
"Bego, udah chat lama gitu, bukannya nanya jurusan atau apa, malah ghibahin Nadine. Gak guna emang lo tuh, Nad," gerutu Keysa, mengomeli Nadine yang padahal orangnya tidak ada di tempat.
Bolak-balik mengecek ponsel pun percuma. Tidak ada balasan dari Aksa. Sepertinya laki-laki itu jenis manusia rajin yang tidak bisa diganggu saat mengerjakan tugas. Keysa mendesah panjang. Membuka ruang obrolan dengan Aksa, lantas mengetik cepat.
Keysa: Kalau nggak keberatan, besok mau makan bareng, gak? Gue traktir, sebagai permintaan maaf.
Keysa tahu dia terlalu nekat. Tapi tanggung kalau begini saja. Lagi pula, perkenalan mereka juga sebenarnya hasil dari kenekatan Keysa, kan? Jadi seharusnya yang satu ini tidak menjadi masalah.
Iya, 'kan? Tolong katakan iya.
•
°
•
aku heran, kenapa nulis cerita ini, ya :(
semoga bucinnya enggak keterlauan, wkwkwkwk :(
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top