1. Laki-Laki Canggung dan Perempuan Asing

"Ayolah, Kak. Aku bela-belain makan malu buat nyamper ke sini, loh."

Andai ada rumus berteriak di depan umum tanpa harus menarik perhatian, Aksa akan sangat, sungguh-sungguh bersyukur atasnya. Dalam kamus hidupnya, tidak ada istilah menjadi pusat perhatian di mana pun. Cukupkan dengan presentasi di depan kelas. Itu saja tak jarang masih membuatnya gagap tanpa ampun, tertelan gugup. Lalu, apa yang harus dia hadapi sekarang?

Sepertinya hari ini dia sedang tidak hoki, atau malah benar-benar buntung, harus terjebak pada situasi aneh yang tidak bisa dideskripsikan?

"Maaf, Mbak, saya buru-buru." Aksa tersenyum canggung, membungkuk kecil dengan gerakan sekaku bambu. Kedua tangannya bergerak gelisah memelintir tali tas yang menjuntai di kanan-kiri pinggangnya. "Sebentar lagi dosen saya masuk."

Namun seolah tidak menangkap keengganan Aksa—atau memang sengaja tak peduli, perempuan tidak dikenal itu menghadang laju Aksa dan seolah tak tahu malu, menodongkan ponsel begitu saja. "Makanya, biar cepet, kasih nomornya, ya? Habis itu Kakak bisa jalan ke kelas. Sama-sama senang deh kita."

Jarak yang semakin terkikis membuat Aksa sadar tidak sadar jadi kehilangan fokus. Pada aroma manis dan segar yang memasuki indra penciumannya. Aksa tidak tahu mendeskripsikan perpaduan aroma tersebut seperti apa. Samar-samar ada aroma jeruk, juga mint? Dan sedikit campuran kayu manis, jika dia sedang tidak lagi sok tahu.

Perempuan ini, dari penampilan, Aksa memberi nilai 85. Ah, tidak-tidak, seharusnya 90. Lihat saja rambut cokelat ikal yang sedikit melebihi bahu itu. Sekali melihat saja Aksa tahu helai-helai itu selembut kapas dan berkilauan seperti bintang. Tingginya mungkin di atas 160, melihat posisi berdirinya yang tidak kurang dari telinga Aksa. Dia sedikit kurus untuk ukuran tubuhnya, tercetak jelas dari kemeja putih pas badan yang melekat di sana. Meski begitu, lekuk tubuh perempuan ini tidak bisa di ....

Aksa mengutuki otaknya yang sekotor selokan. Dasar gila! Hampir saja dirinya menyandang gelar mesum gara-gara memandangi tubuh perempuan tanpa kedip. Bisa-bisa bukan gelar S.E. yang dia dapatkan, tapi S.mk—Sarjana Mesum Kawakan. Aksara Keanu Rafisqy, S.mk. Mati saja, Aksa. Siap-siap dicoret dari Kartu Keluarga sama Bapak.

Oke, mari lupakan yang tadi, karena poin terpentingnya belum Aksa sebutkan. Yang paling menonjol dari perempuan ini adalah wajah lonjongnya yang kecil tapi sangat pas dengan badannya. Dengan kening sempit diukiri alis tebal yang tersangkut rapi. Bulu matanya panjang dan lentik, menaungi sepasang mata bulat cemerlang yang memabukkan. Andai tidak menahan diri, Aksa mungkin sudah terhanyut dalam tatapan memikat di balik netra cokelat gelap tersebut.

"Kak? Halooo, masih di sini, kan?" Jari-jari lentik yang melambai di depan matanya membuat Aksa kembali pada akal sehatnya.

Duh, Gusti, sadar! Dia benar-benar tidak ada waktu untuk meneruskan omong kosong ini. Perempuan ini sudah hampir lima menit menghentikan perjalanan Aksa. Bisa-bisa dia benar-benar tidak sempat masuk kelas, kalau lelucon masih berlanjut.

"Jadi gimana? Mau kasih nomornya, 'kan?"

"Mbak, saya bener-bener mohon maaf. Waktu saya sudah mepet banget ini. Mbak boleh minggir sebentar? Saya mau lewat."

Ya, sudah jelas, kata-kata itu hanya lewat di kepala Aksa. Mana mungkin kan, seorang Aksa mengatakannya. Terlalu ... segan(?) juga tidak ada keberanian mengatakannya.

Aksa sudah hampir merengek karena perempuan ini tidak kunjung pergi. Kenapa, sih, harus dia yang menjadi target ketidakjelasan ini? Ini di lorong kelas, loh. Dan mereka mulai menarik perhatian orang-orang, karena perempuan ini semakin menempel pada Aksa.

Bisa gila!

Aksa menarik napas panjang. Tangannya saling menggenggam erat, berusaha memberi kekuatan pada diri sendiri. "Mbak, saya beneran ha—"

Ucapan Aksa terpotong karena terkejut saat si perempuan aneh mendadak mendesakkan diri ke arah Aksa. Benar-benar nyaris menempel, hanya menyisakan ruang setipis kain. Ditambah lagi kedua tangan menangkup lengan kanan Aksa rapat-rapat.

Aksa mati kutu. Dia tidak terbiasa dengan kedekatan yang terlalu seperti ini. Seolah pasokan oksigen disedot habis dari sekitaran Aksa.

Tatapan-tatapan mata penasaran sudah berhasil mengisap habis darah dari wajah Aksa. Belum lagi sebuah badan asing nyaris menempel di badannya sendiri. Bernapas yang biasa dilakukan manusia secara otomatis saja mendadak tidak bisa Aksa lakukan dengan benar. Lelucon todong-menodong nomor ponsel ini membuat otaknya mengalami gangguan.

"Bantu gue kali ini aja, plis." Mendadak cara bicara perempuan itu berubah dan terdengar mendesak, nyaris memaksa malah. "Gue gak akan apa-apain nomor lo, kok. Gue simpen, terus chat sekali, udah. Habis itu bener-bener selesai. Gue gak akan ganggu lo lagi."

Daripada itu, posisi mereka sekarang mengundang tatapan tanya orang-orang. Aksa mulai benar-benar-benar sangat tidak nyaman dengan situasi sekarang. Aksa jadi gugup karena semakin banyak mata yang mengawasi. Harus pergi dari panggung dadakan ini secepatnya atau dia benar-benar akan mati berdiri.

Ada banyak pertimbangan yang lewat di batok kepala Aksa. Matanya melirik kecil pada ponsel di depannya. Dia hanya harus memberi nomornya, 'kan? Setelah itu, andai perempuan ini mengganggu, Aksa cukup mengabaikannya. Tapi memangnya masuk akal? Ini nomor HP, loh. Deretan angka yang bisa dibilang cukup privasi untuk Aksa. Mana bisa dia memberikannya cuma-cuma? Pada orang asing pula.

Ah, Ya Tuhan. Aksa tidak tahu lagi. Tangannya meraih ponsel hitam perempuan tersebut, mengetikkan sederet angka yang sudah dia hapal di luar kepala. Entah apa yang terjadi nanti, biar Aksa pikirkan belakangan. Kelasnya lebih penting sekarang.

"Sudah kan, Mbak?" tanya Aksa sembari mengangsurkan ponsel, tidak lagi menyembunyikan kekesalannya. Meski tetap saja tidak ada keberanian memarahi terang-terangan. Tapi seharusnya ekspresi yang dia tampilkan cukup mewakili, andai perempuan ini peka.

"Namanya siapa, Kak?" Dan ternyata dia tidak peka. Aksa mendesah dalam hati, berusaha mengendalikan ekspresinya yang entah terlihat seperti apa sekarang.

"S.mk," jawab Aksa asal, buru-buru menyingkir dari sana sebelum jalannya dihadang lagi. Mumpung perempuan itu sedang fokus dengan ponselnya.

Di tengah langkahnya yang semakin menjauh, samar-samar Aksa mendengar teriakan, "Makasih, Kak. Nanti aku chat, ya," yang begitu riang.

Tidak butuh!

Gila saja! Acara tidak jelas tadi menghabiskan nyaris sepuluh menitnya. Seharusnya Aksa sudah sampai kelas sejak lima menit yang lalu, dan mendapatkan bangku paling strategis untuk merenung—bangku belakang dan pojok, dekat jendela.

Ah, hari ini memang bukan hari baik Aksa.

Seingat Aksa, dia tidak ada melakukan dosa besar belakangan ini. Dia hanya menipu temannya sedikit, mengatakan belum dapat kiriman uang supaya ditraktir. Atau kemarin, saat belanja di warung Pak Toyo, Aksa dapat kembalian lebih, tapi memilih diam.

Yang seperti itu kan sudah biasa, kan? Terus, kenapa Tuhan memberi azab yang aneh seperti tadi? Kan tidak adil.

"Lo otw dari Mekah, ya?" Endra sudah duduk anteng di kursinya, saat Aksa baru memasuki kelas. Laki-laki blasteran Jakarta Tangerang—begitu Endra menyebut diri sendiri—itu memindahkan tas ke kursinya sendiri, memberi satu kursi kosong untuk Aksa. "Untung gue sempet ambil spot favorit kita."

Aksa mendekat, mendudukkan diri dengan desahan panjang. "Dicegat ondel-ondel tadi," lapornya, berusaha mengurai benang kusut yang mendadak memenuhi kepala.

"Memangnya UKM teater ada acara? Perasaan Rea gak ada latihan apa-apa tuh belakangan."

Sudahlah. Aksa malas menjelaskan.

"Gimana? Dapet, kan." Keysa menggoyang-goyangkan ponsel pipihnya dengan bangga. "Makanya, jangan remehin gue, dong."

"Sinting!" Salah seorang temannya yang memiliki rambut merah kecokelatan sedagu—Nadine—tertawa sembari menggeleng-geleng takjub. "Gak habis pikir. Lo rela mempermalukan diri kayak tadi cuma gara-gara gak mau traktir kita?"

Keysa ikut tertawa canggung. Bagaimana pun, perasaan malu karena tiba-tiba menghadang, meminta, sampai memaksa mendapatkan nomor laki-laki tidak dikenal tadi masih tersisa. "Ya lo pada kalau makan suka gak tahu adat. Mending gue malu-maluin kayak tadi daripada jatah sebulan gue ludes buat kalian."

"Btw, nama cowok itu siapa?" Kali ini Malfi, perempuan berjilbab dengan kacamata tanpa lensa membingkai wajahnya yang bertanya. "Gak asal kasih nomor, kan? Coba lo chat, Key."

"SMK?" Keysa mengedikkan bahu tak yakin, dengan tangan kiri menggaruk telinga. Tangan kanannya mengetuk-ngetuk di atas ponsel dengan serius. "Kata dia sih gitu, pas gue tanya tadi."

"Itu inisial?"

Keysa juga tidak tahu. Tolong, deh. Dia sudah cukup malu dengan menghadang laki-laki tidak dikenal tiba-tiba. Mendapatkan nomor seharusnya sudah cukup, kan. Dia tidak bisa menerima sensasi malu lebih dari ini, kalau sampai diminta mengejar namanya juga.

Ingatkan Keysa untuk tidak ikut-ikutan permainan apa pun yang ditawarkan Nadine setelah ini. Karena ular tangga semalamlah yang membawa Keysa pada situasi memalukan tadi. Duh, malunya. Ingin menenggelamkan diri sampai ke inti bumi, rasanya.

Omong-omong soal si SMK ini, Keysa masih merasa tidak enak. Dia tadi belum sempat meminta maaf karena mengganggu. Belum lagi, laki-laki itu sepertinya sedang terburu-buru. Mau ke kelas kan, ya, dia bilangnya? Kalau laki-laki itu benar-benar terlambat bagaimana, ya? Keysa harus meminta maaf nanti.

"SMK, ya? Semok kali maksudnya?" Duh, mulut Nadine ini harus sering-sering dicuci. Terlalu banyak kata-kata kotor keluar dari bibir mungilnya itu. Mendengrnya saja sudah membuat kepala Keysa pening.

Malfi yang duduk di seberang Nadine langsung memukul kecil paha perempuan itu. "Mulutnya, ya. Kan bisa jadi Semangka, atau apa gitu."

Tuhan, Keysa semakin pusing mendengar obrolan kedua temannya. "Kalian pikir ada orang tua namain anaknya Semok atau Semangka? Yang bener aja!"

"Ya salah sendiri, kasih nama kok SMK, kan jadi nebak-nebak."

Nadine sih enak ngomongnya. Keysa ini, loh, yang nyaris mati saking malunya. Diapresiasi sedikit, kek. Sudah bagus dia berinisiatif meminta nama. Jadi, sudahlah. Jangan menambah daftar memalukan milik Keysa.

"Gimana, Key? Udah chat?"

Keysa memandang ruang obrolan kosong di ponselnya penuh pertimbangan. Di pojok kiri atas, terpasang foto makanan kucing merek Royal Canin dengan latar putih sebagai display picture. Orang macam apa yang memasang foto seperti ini untuk DP?

"Nanti aja, deh. Dia tadi bilang mau kelas." Keysa memasukkan ponselnya ke dalam tas. "Gak enak kalau gue ganggu lagi."

"Eh, kelas?" Entah kenapa respons Malfi membuat Keysa mendadak teringat satu hal.

"Kita telat, anjir!" teriak Nadine tiba-tiba, sudah menjinjing tasnya dan melangkah cepat. "Bego! Mati kalian kalau sampai Pak Bento udah masuk."

Dan begitulah, hari absurd Keysa saat itu semakin lengkap denganberlarian di lorong kelas bersama kedua temannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top