Sweet Lies 8
Sejenak mereka saling bertukar pandang.
"Kamu ... kamu dari tadi di sini?" tanya Reygan menyelidik.
Indira menggeleng cepat. "Nggak, baru aja, maaf, ini kemeja buat Mas Rey untuk acara malam ini," ujarnya seraya menyorongkan ke arah Reygan.
Meski Indira mengatakan jika dia baru saja berada di kamar ini, tetapi Reygan tidak yakin jika istrinya itu tidak mendengar apa yang dia bicarakan tadi bersama Sandra.
"Permisi, Mas." Indira berjalan mundur kemudian membalikkan badan, tetapi cepat Reygan meraih tangannya membuat perempuan beralis rapi itu berhenti.
"Tunggu, Indira."
"Ada apa, Mas?"
Reygan menarik napas dalam-dalam.
"Maaf."
"Untuk apa?"
"Aku tahu kamu mendengar semuanya tadi. Maafkan aku untuk itu," jawabnya dengan nada bersalah.
Apa yang dipikirkan Reygan benar. Dia memang mendengar obrolan suaminya itu dengan Sandra. Namun, tentu saja apa yang dia dengar bukan hal yang menarik untuk diperbincangkan karena dirinya sudah mengetahui jika sang suami itu memang memiliki kekasih.
Meski di mata hukum dia lebih berhak untuk memiliki Reygan, tetapi tentu bukan hal yang baik jika tiba-tiba dirinya datang dan merampas kebahagiaan Sandra dan sang suami yang jelas-jelas saling mencintai.
Lagipula Indira merasa tidak layak baginya merasa paling berhak, karena jauh sebelum mereka menikah, Reygan sudah memiliki kekasih dan dirinya hanyalah perempuan yang dicintai adik Reygan dan karena Adrian-lah dia bisa bersama pria bertubuh atletis itu sekarang.
"Indira, kamu mendengar semuanya, kan?"
"Maafkan aku, Mas. Maafkan aku yang tiba-tiba harus berada di sini saat ini. Maafkan aku yang membuat Mas jadi serba salah karena harus menyembunyikan masalah ini kepada Mbak Sandra. Eum, maaf, saya mendengar Mas memanggil nama Sandra, jadi saya pikir itu nama perempuan yang Mas cintai."
Reygan memijit pelipisnya lalu membuang napas perlahan.
"Mas nggak perlu khawatir, aku bisa menyimpan apa pun yang seharusnya aku simpan. Mas juga nggak perlu merasa harus menjaga perasaanku. Aku tahu dan sadar karena posisiku saat ini memang sama sekali jauh dari apa yang diinginkan," papar Indira. "Percayalah, Mas. Aku paham dengan perasaan Mas Rey, dan aku juga akan sangat terluka jika ada di posisi Mbak Sandra," imbuhnya seraya menarik kedua sudut bibirnya.
"Jadi, sekarang, jangan pernah ragu untuk menceritakan apa pun padaku tentang Mbak Sandra. Dengan senang hati aku akan mendengar."
Reygan menyipitkan mata menelisik paras perempuan yang kini menjadi istrinya.
"Maksudmu?"
"Kita bersahabat ya, Mas. Untuk sementara waktu, karena biar untuk yang berikutnya aku yang akan memikirkan seperti apa hubungan ini nantinya. Mas nggak usah khawatir soal reaksi Papa dan Mama, aku yang akan menjelaskan."
Bibir Indira perlahan melebar, dia lalu mengulurkan tangan mengajak Reygan bersalaman.
"Sahabat?" tuturnya menatap sang suami.
Reygan ikut tersenyum lalu melakukan hal yang sama. Mereka saling berjabat tangan.
"Mungkin ini hal konyol yang pernah aku lakukan, Indira, tapi sepertinya dengan hal ini aku bisa memecahkan semua pelik hubungan aku, kamu dan Sandra."
Wajah Indira terlihat berseri. Setidaknya dia merasa sudah bisa memecahkan pria es batu di depannya.
"Kalau begitu, buruan Mas ganti baju. Mama sudah menunggu di bawah."
Baru saja Indira hendak mengayun langkah, kembali Reygan memanggilnya.
"Kamu mau ke mana?"
"Keluar kamar, Mas. Kenapa? Apa kemejanya mau diganti?"
Reygan menggeleng.
"Sejak kapan kamu tahu aku tidak terlalu suka minuman manis?"
Kening Indira berkerut, tangannya lalu menyelipkan rambut ke belakang telinga.
"Maaf, tadi pagi minuman hangat itu kamu yang buat?"
"Iya, Mas. Apa sudah cocok takarannya?" tanyanya ragu.
"Iya, pas dan itu yang aku ingin tahu, apa seseorang memberitahumu?"
"Bik Minah bilang kalau Mas nggak suka manis dan Bik Minah juga yang mengajari."
Reygan mengangguk paham.
"Lalu ... ini? Kamu tahu dari mana kalau aku suka kemeja warna biru gelap?"
Indira tersenyum tipis, dia bahkan sama sekali tidak tahu jika warna yang dia pilihkan adalah warna kesukaan suaminya.
"Kalau untuk itu, aku nggak tahu, Mas. Maaf, hanya kebetulan saja sepertinya."
Pria yang mengenakan kaus polo shirt putih itu mengedikkan bahu kalau mengangguk.
"Terus sekarang kamu mau ke mana?"
"Eum ... ganti pakaian di kamar mandi. Apa Mas Rey mau ke kamar mandi dulu atau ...."
Reygan menepuk dahinya menyadari jika pertanyaannya barusan adalah hal yang sangat tidak penting.
"Oh nggak! Silakan kamu pakai dulu kamar mandinya." Reygan memberi isyarat agar Indira segera ke kamar mandi.
"Makasih, Mas. Permisi."
Reygan mengangguk menatap punggung sang istri yang menjauh. Bibirnya tertarik samar. Satu masalah sudah bisa dicairkan meski mungkin tidak semudah yang dia bayangkan, tetapi ada satu hal yang membuat Reygan lega yaitu kini dirinya tidak perlu khawatir jika Indira tahu bahwa dia sudah memiliki kekasih.
**
Sengaja Reygan mengajak Indira menjauh dari kedua orang tuanya dan beberapa orang yang diundang makan malam di restoran itu. Selain agar bisa banyak tahu tentang Indira, dia juga tak ingin banyak ditanya oleh mamanya dan tentu saja teman dari kedua orang tuanya.
"Kita duduk di sini aja, kamu nggak keberatan, kan?" tanya Reygan saat berada di gazebo yang berada di dalam komplek restoran tersebut. Gazebo yang memang dibuat lebih privat dan terletak agak jauh dari para tamu yang memilih konsep keluarga.
Indira mengedarkan pandangan, pencahayaan yang temaram dan di bagian sudut ada taman yang di sampingnya ada dua pemain biola tengah menunjukkan atraksinya.
"Indira?" Suara Reygan membuatnya menoleh ke samping.
"Iya, Mas?"
Reygan tersenyum.
"Kamu nggak apa-apa, kan kalau aku ajak ke sini?" tanyanya mengulang.
"Oh, nggak apa-apa, Mas. Maaf, aku tadi cuma terkagum-kagum dengan suasananya."
"It's oke! Yuk duduk!"
Menarik napas dalam-dalam, Indira duduk berhadapan dengan Reygan. Tak lama datang pelayan mengantarkan pesanan Reygan untuk mereka berdua. Tadi sebelum mereka sampai di gazebo, Reygan sudah pesan minuman dan makanan untuk mereka berdua.
"Kita makan dulu aja, karena ada sesuatu yang ingin aku ceritakan."
Mendengar ucapan sang suami, Indira mengangguk kemudian mulai memotong steak yang sudah dipesan tadi. Keduanya terlihat menikmati meski masing-masing masih enggan berkata-kata. Indira sebenarnya tengah berusaha menjauhkan ingatan tentang Adrian. Beberapa waktu lalu dia pernah kencan di tempat ini. Kala itu dia dan Adrian baru saja pulang dari kafe milik mereka.
Saat selesai menikmati makan malam, hujan tiba-tiba turun dengan lebatnya seperti enggan berhenti. Mereka berdua terjebak di tempat itu hingga larut malam. Sementara cuaca dingin semakin menusuk tulang, sedangkan waktu itu mereka hanya mengendarai motor dan tentu saja akan basah kuyup jika mereka memaksa untuk pulang.
Mengingat itu, Indira menarik napas dalam-dalam. Begitu banyak memori yang tidak mudah dilupakan di kepalanya.
Kamu nggak suka makanannya?" tegur Reygan. Pria itu tanpa disadari oleh Indira sejak tadi memerhatikan dirinya yang hanya memainkan pisau dan garpu tanpa ada keinginan untuk memasukkan ke mulut.
"Suka. Suka, kok!"
Gegas dia melahap potongan steak sembari tersenyum.
"Mas mau bicara apa? Kita bisa makan sambil diskusi, kan?" tuturnya berharap Reygan tidak bertanya kenapa dia melamun barusan.
Pria yang baru saja meneguk jus delimanya itu mengedikkan bahu.
"Kamu bilang kita sahabat, kan?"
Indira mengangguk.
"Good! Kalau begitu apa saranmu supaya kita bisa memecahkan masalah ini?"
Perempuan yang mengenakan gaun malam panjang berwarna hitam dengan potongan leher V neck itu menghela napasnya.
"Beri aku waktu untuk memikirkan itu, Mas. Tapi jangan khawatir, Mas akan tetap bisa bersanding dengan Mbak Sandra," ungkapnya sambil terus menikmati hidangan wagyu beef steak malam itu.
Reygan menaikkan alisnya. Dari pembawaan Indira yang terlihat santai, dia percaya jika istrinya itu bisa diandalkan.
"Oke! Kalau begitu, kita ganti topik! Kamu suka baca?"
"He emh," sahutnya mengangguk.
"Buku apa yang kamu suka?"
"Buku resep!" jawab Indira seraya memamerkan deretan gigi putihnya.
Jawaban sang istri membuat Reygan ikut tertawa. Rupanya sikap Adrian yang suka bercanda, menular ke perempuan di depannya itu.
"Aku serius, Indira."
"Aku juga serius, Mas! Aku suka masak. Mungkin Adrian pernah cerita. Itulah sebabnya kami berdua membangun kafe kecil yang nantinya Kemi berdua mengharapkan bisa berkembang pesat."
"Kenapa Adrian nggak minta Papa untuk membangun kafe yang besar sekalian?" Reygan memiringkan kepalanya menatap sang istri.
Dia menggeleng. "Adrian yang menolak, Mas. Katanya, dia ingin menunjukkan jika dia pun bisa jadi anak yang dibanggakan."
"Oke, dia memang selalu ingin mandiri."
Sejenak mereka terdiam.
"Lalu, Mas. Ceritakan aku tentang Mbak Sandra. Dia cantik, itu sudah pasti, kan?" Indira menatap suaminya dan senyum manis.
Reygan hanya tersenyum tipis mendengar pertanyaan itu.
"Dia satu-satunya perempuan yang bisa membuat hidupku berwarna," ungkapnya dengan tatapan ke gelas yang isinya sisa separuh.
"Dia cerdas, selalu bisa diajak bicara apa pun dan ... banyak alasan yang bikin aku jatuh cinta padanya." Reygan kembali menarik bibirnya kali ini lebih lebar.
**
Haii ... semoga masih suka yaa ....
Terima kasih sudah berkunjung 💚
Btw yang punya KBM App, di sana udah bab 10 yaa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top