Sweet Lies 7


"Indira?" Suara Julia menghentikan langkahnya. Perlahan Indira membalikkan badan. Mertua perempuannya menatap menantunya itu dengan kening mengernyit.

"Mama?" balasnya dengan senyum samar. "Eum ... maaf, Indira barusan nganterin minuman untuk Mas Rey."

"Rey? Reygan di dalam?"

"Iya, Ma."

"Jadi dia pagi-pagi langsung ke ruang kerja?"

"Nggak, Ma. Eum, itu tadi Mas Rey ...." Indira menghentikan kalimatnya. Dia kesulitan untuk menjelaskan apa yang terjadi. Hingga Reygan muncul di pintu.

"Mama?" sapanya dengan mata masih merah dan rambut berantakan.

"Kamu tidur di sini?" selidik Julia.

"Nggak, Ma. Rey ...."

"Jangan bohong, Rey! Mama tahu seperti apa anak Mama," potongnya. "Indira, benar semalam suamimu nggak tidur di kamar?" Kali ini Julia memindainya.

"Mama, Reygan ketiduran semalam. Jadi tadi malam Rey banyak ngobrol bareng Papa, terus akhirnya ketiduran di sofa," timpal Reygan.

Mendengar jawaban suamiya, Indira mengangguk sembari tersenyum menatap Julia. Akan tetapi, perempuan yang mengenakan blazer berwarna cokelat itu menunjukkan wajah tidak percaya.

"Kamu yakin kalau kamu ketiduran?"

Pria berkulit bersih itu tak menjawab dan hanya menarik napas dalam-dalam sembari menyugar rambutnya.

"Mama bisa tanya ke Papa soal kebenarannya, Rey."

"Mama, sepertinya Mas Rey memang ketiduran. Indira rasa Mas Rey memang kelelahan, Ma," selanya mencoba menyudahi sedikit perdebatan antara Mama dan anak pagi itu.

Julia menarik napas panjang lalu mengangguk. Dia menatap menantunya dengan wajah semringah.

"Kamu kata Bik Minah sejak pagi sudah di dapur?" Julia mengulurkan tangan menyentuh bahu Indira.

"Iya, Ma," jawabnya seraya tersenyum.

"Kamu itu sudah jadi bagian dari keluarga ini, Sayang. Jadi kamu nggak perlu ikut sibuk di dapur atau di mana pun. Urusan dapur ada Bik Minah, urusan taman ada Pak Joyo, kalau yang bagian bersih-bersih kebetulan memang hari ini nggak masuk, jadi sementara diganti sama Bik Minah, kamu nggak perlu ikut sibuk ya," jelasnya panjang lebar.

"Nggak sibuk, kok, Ma. Indira cuma nyiapin minuman untuk Mas Reygan," ungkapnya ragu karena menurutnya pria di sampingnya itu akan berpikir jika dia berusaha untuk memposisikan diri seperti status yang kini disandang. Meski hal itu benar adanya, tetapi Indira tahu jika Reygan memiliki kekasih.

Julia tersenyum bijak, dia kemudian menatap Reygan yang sejak tadi berdiri diam.

"Kamu itu sekarang sudah beristri dan sebagaimana mestinya seorang pria beristri ya sudah seharusnya tidur di kamar menemani istrinya. Bukan malah ketiduran di ruang kerja begitu."

"Iya, Ma. Sori," tuturnya. "Maaf Indira, aku semalam beneran ketiduran," ucapnya menoleh ke sang istri.

"Iya, Mas. Nggak apa-apa, aku paham, kok."

"Makasih."

Reygan menatap mamanya.

"Tuh, Ma, Indira aja mau maafin, dan nggak curiga kayak Mama gitu," keluhnya dengan wajah lelah.

Julia tersenyum singkat lalu mengangguk.

"Sekali lagi Mama tahu kamu melakukan hal seperti ini, Mama larang kamu untuk kembali ke Amerika!"

"Mama? Iya, Rey nggak gitu lagi. Janji. Lagian besok, kan Reygan harus kembali, Ma."

Julia menggeleng tegas. "Untuk pekerjaan di sana Mama sudah bilang ke Papa supaya Pak Niko yang menggantikan. Lagi pula sudah hampir kelar, kan?"

Reygan menyipitkan matanya.

"Mama? Tapi itu, kan Rey yang membuka kerjasama dengan perusahaan properti di sana, Ma. Kenapa sekarang malah diserahkan ke Pak Niko?"

Julia menatap putranya. Tak dipungkiri, Reygan memang punya andil besar dalam mengembangkan bisnis papanya, Sakha satunya melebarkan sayap ke Negeri Paman Sam itu. Sambil kuliah, dia mencari informasi dan melebarkan wawasan dan gak lelah mencoba agar perusahaan properti papanya bisa masuk ke pasar di negara tersebut.

"Mama tahu, sangat tahu kemampuan dan loyalitas kamu dengan perusahaan Papa, tapi kali ini rasanya sudah waktunya kamu untuk tidak lagi jauh dari Mama juga Papa dan tentu saja istrimu, Reygan."

Reygan memejamkan mata lalu memijit pelipisnya.

"Ma, Reygan di sana sisa tiga bulan lagi, Ma. Dan itu nggak lama. Setelah semuanya selesai, Reygan janji nggak jauh-jauh lagi dari Mama. Please, Ma."

Pria yang masih mengenakan piyama itu menoleh ke Indira. "Kamu nggak keberatan, kan, Indira?"

"Nggak, Mas. Aku nggak keberatan," jawabnya.

"Ma?" Wajah Reygan menatap sang Mama dengan penuh harap.

Julia melipat kedua tangannya di dada sembari menarik napas dalam-dalam.

"Tiga bulan."

"Iya, Ma. Tiga bulan."

"Oke, tapi Mama punya syarat."

"Syarat apa, Ma?"

"Kamu nggak boleh kembali besok, karena Mama sudah berencana membelikan tiket bulan madu untuk kalian!"

"Mama?" Kali ini mata Reygan membulat. Sementara Indira hanya bisa menunduk dalam diam.

"Kenapa? Salah?"

"Nggak salah , Ma. Tapi ...."

"Sudah, sudah! Papa sudah lapar ini, ayo kita semua sarapan. Nanti telat ke kantor!" Antoni menyudahi perdebatan keduanya.

"Ma, Mama bilang tadi mau ke yayasan Bu Heni pagi ini, jadi, kan?" imbuh Antoni.

"Jadi, Pa."

"Ayo sarapan! Indira, ayo kita makan pagi sama-sama!" ajak Antoni.

Julia menoleh ke menantunya, sambil tersenyum dia menggamit lengan Indira.

"Kita sarapan bareng," ajaknya. "Rey, sana kamu mandi dulu!"

Reygan menghela napas dalam-dalam lalu mengangguk. Dia lalu kembali masuk ke ruang kerja sang papa. Matanya menatap cangkir di atas meja. Melangkah pelan, dia kembali ke sofa.

Teringat ucapan Indira jika perempuan itu  membuatkan minuman itu untuknya. Perlahan dia menyesap minuman yang sudah hampir dingin itu. Reygan memang selalu suka dengan racikan jahe dan teh hangat di pagi hari, dan menurutnya, Indira sangat tahu seperti apa takaran gula yang dia sukai.

"Indira itu kalau masak atau meracik sesuatu itu enak loh, Mas!" Suara Andrian kembali terngiang.

"Kamu benar, Adrian! Setidaknya ini pertama kali aku mencoba racikan minuman dari Indira, dan memang enak!" gumamnya kembali meneguk hingga tandas minuman itu.

**

"What? Kamu nggak jadi berangkat besok?" Suara Sandra terdengar kecewa sekaligus kesal.

Reygan mau tidak mau harus menuruti permintaan kedua orang tuanya untuk tetap tinggal hingga satu pekan. Karena Julia ingin ada kedekatan di antara putranya dan Indira. Terlebih setelah tahu jika sebenarnya Reygan menghindar dari Indira pada malam pengantin mereka.

"Sori, Sandra. Sori banget. Ada beberapa urusan perusahaan di sini yang Papa minta aku selesaikan." Reygan menarik napas dalam-dalam berusaha keras agar kekasihnya tidak banyak bertanya.

Reygan menatap langit yang gelap seperti hatinya. Pria itu memilih menelepon sang kekasih bdi balkon kamarnya.

"Tapi kenapa kamu nggak bisa kasi kepastian kapan bisa balik ke sini, Rey? Setidaknya aku bisa kabarkan ke papa juga mamaku soal kamu!" Suara Sandra kali ini terdengar bergetar. "Padahal aku sudah senang banget kamu bisa datang ke acara Oma dan bakal ketemu sama Papa Mama," ungkapnya lirih.

"Maaf, Sandra. Maaf banget, please jangan sedih ya. Aku akan usahakan secepat mungkin untuk menyelesaikan urusan di sini dan segera kembali ke sana, oke?"

Sandra bergeming.

"Sandra?"

"Apa aku bisa menolak, Rey? Sementara aku sama sekali nggak punya pilihan lain selain menunggu."

Reygan kembali menarik napas dalam-dalam. Dia tahu seperti apa yang dirasakan Sandra. Dia pun sejujurnya merasakan sakit itu, meski dirinya tidak menutup mata pada Indira istrinya.

"Oke, makasih ya. Makasih sudah bisa mengerti kondisiku. Sudah dulu ya. Salam sama Oma juga kedua orang tuamu."

"Oke, bye! Love you, Rey."

"Love you too."

Reygan membuang napas dari mulutnya. Dia lalu membalikkan badan hendak masuk rumah, tetapi dia menahan langkah melihat Indira yang berdiri membawakan kemeja yang hendak dikenakan suaminya untuk acara makan malam di sebuah restoran.

***

Terima kasih sudah mampir.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top