Sweet Lies 5

Malam pertama Reygan dan Indira tentu tidak seperti pengantin baru pada umumnya.  Baik Reygan maupun Indira sama-sama terlihat tidak nyaman. Meski begitu, Reygan mencoba bersikap wajar.

"Indira."

"Ya, Mas?"

"Kamu istirahat di ranjang, biar aku yang di sofa. Maaf kalau apa yang terjadi tidak seperti yang seharusnya."

Perempuan yang baru saja keluar dari kamar mandi dan mengenakan piyama hijau lumut itu mengangguk samar.

"Nggak perlu minta maaf, ini semua memang bukan hal mudah yang harus dilalui. Maafkan kalau ternyata semuanya ini membuat Mas Rey tidak nyaman."

Reygan mengedikkan bahu lalu merebahkan tubuhnya di sofa.

"Kamu kapan mulai ngajar lagi?"

"Pekan depan, Mas." Indira kemudian menuju ranjang yang bertabur mawar merah itu.

"Oke, ada waktu banyak untuk istirahat dan menata hatimu."

Mendengar ucapan suaminya, Indira hanya mengangguk samar. Reygan memang tidak serame dan seluwes Adrian, tetapi Indira merasa hal itu wajar karena Reygan anak pertama dan diharapkan bisa tegas dalam bersikap. Itu yang dia rasakan setelah beberapa saat berdekatan dengan pria beralis tebal itu.

"Sekarang sebaiknya kamu istirahat. Sudah malam!" titah Reygan.

"Iya, Mas. Eum ... Mas juga istirahat ya."

Reygan menaikkan alisnya sembari tersenyum.  Suasana kamar kembali hening. Meski ragu, Indira mencoba rileks dan perlahan berbaring di ranjang yang beraroma wangi mawar. Ranjang berukuran besar itu benar-benar dihias indah sebagaimana menyambut pasangan pengantin.

Tentu tak hanya ranjang yang berhias cantik. Kamar ini pun begitu indah terkesan romantis dengan lampu temaram.

Indira menarik napas dalam-dalam. Dia lalu menarik selimut mencoba memejamkan mata. Malam kian beranjak naik, entah berapa waktu yang dia habiskan untuk mencoba terlelap tetap saja sia-sia. Tetap saja matanya seolah enggan diajak kompromi. Hingga akhirnya Indira sadar bahwa Reygan sudah tidak berada di sofa tempatnya beristirahat.

Perempuan berambut sepunggung itu bangkit mencoba mencari di sekeliling ruangan dengan matanya, tetapi tak ada. Menarik napas dalam-dalam, Indira menggeleng cepat.

'Seharusnya memang aku yang tidak berada di sini. Seharusnya Mas Reygan memang tidak bersamaku.' Indira membatin.

**

"Jadi gimana kabar calon istri Adrian sekarang, Rey?"

Reygan memijit pelipisnya.

"Baik."

"Baik?"

"Iya, baik. Maksudnya dia udah bisa menerima meski awalnya dia sangat shock."

Terdengar helaan napas lega di seberang.

"Syukurlah. Semoga kelak dia mendapatkan jodoh yang bisa menggantikan posisi Adrian."

Pria yang mengenakan piyama biru gelap itu tak menjawab. Dia hanya mengangguk meskipun kekasihnya di seberang sana tidak tahu.

"Jadi kamu balik lusa?"

"Iya. Semoga kamu nggak rindu." Reygan mencoba mengalihkan perasaannya yang tak keruan.

Tawa Sandra terdengar renyah. Tawa yang selalu membuat hidupnya berwarna. Tawa yang selalu mengalihkan ketegangan saat harus berhadapan dengan setumpuk pekerjaan.

Sandra adalah mahasiswa Indonesia yang tengah menyelesaikan tugas akhir dan akan segera wisuda. Dia kenal perempuan itu saat mereka berkumpul pada acara hari kemerdekaan Republik Indonesia di kedutaan. Sandra tinggal bersama omanya yang sudah lama tinggal di Amerika dan sudah menjadi warga tetap di negara Paman Sam itu.

Waktu itu rekan kerja Reygan yang bernama Dito yang kebetulan adalah sepupu Sandra mengenalkan keduanya. Selanjutnya mereka sering bertemu di beberapa acara yang melibatkan warga Indonesia di sana.

Pembawaan Sandra yang cerdas dan riang menjadi sangat istimewa di mata Reygan. Dari sana mulai ada ketertarikan di hati keduanya sehingga Reygan, pria yang kaku itu akhirnya bisa mengungkapkan perasaannya pada Sandra.

"Kalau aku rindu ... emang bener sih! Aku rindu sama orang yang kaku, yang sudah diajak ngakak, aku rindu sama orang yang pelit bicara ... pokoknya kalau dia balik dia harus mau aku ajak nonton, harus mau aku ajak jalan-jalan!"

Reygan terkekeh. Meski sudah hampir setahun menjalin kasih dengan Sandra, dia memang selalu menolak jika kekasihnya itu mengajak ke bioskop atau sekadar menonton teater.

Bagi Reygan, semua itu terasa menghabiskan waktu dan tidak ada manfaatnya. Dia lebih suka mengajak Sandra ke toko buku atau perpustakaan atau ke museum yang semua itu bagi Reygan bisa memperluas wawasan.

"Kenapa ketawa? Nggak mau? Atau mau ngeledekin aja?"

"Nggak, kok! Oke, oke. Aku janji kita akan menghabiskan waktu ke mana pun yang kamu mau!"

"Serius?" Suara riang terdengar dari Sandra.

"Serius! Emang kapan aku nggak serius?"

"Janji, Rey?"

"Iya, aku janji!"

"Yes! Kalau begitu buruan balik! Karena lusa malam, omaku ulang tahun! Dan Papa juga Mama  hari ini sampai. Mereka berdua sengaja datang untuk merayakan ulang tahun Oma! Nanti rencananya setelah hadir di pesta Oma, kita nonton film ya. Ada film bagus yang udah aku tulis di list tontonan wajib bulan ini!" Sandra bicara tanpa jeda. Dari nada yang terdengar, dia sangat antusias memberitahukan apa yang sudah menjadi keinginannya.

"Sekalian biar kamu kenal sama Oma juga Mama papaku, Rey. Kamu serius sama hubungan kita, kan?"

Kali ini Reygan bergeming seperti batu. Pertanyaan Sandra membuatnya dilema. Andai perempuan di seberang itu bertanya sebelum apa yang sudah terjadi hari ini, mungkin dengan rasa percaya diri dia akan menjawab jika benar dia serius.

Namun, apa yang terjadi saat ini tentu akan menyulitkan baginya untuk mengungkapkan apa yang ada di hatinya.

"Rey? Kamu masih di sana? Kamu dengar apa yang aku bicarakan, kan?"

"Iya, Sandra. Aku ... aku dengar. Jadi gimana?"

"Tuh, kan! Kamu mulai lagi deh! Ngeselin!"

"Sori, sori ... iya. Aku pasti nemuin dan kenalan sama Mama juga papamu. Pasti!" Jawabnya gugup.

Sandra menghela napas lega. "Aku senang dengarnya. Oke, kalau begitu ... sampai ketemu lusa ya. Love you, Rey. Bye!"

"Love you more. Bye."

Obrolan berakhir, Reygan membuang napas perlahan. Dia kemudian duduk bersandar di teras menatap aneka tanaman anggrek koleksi sang mama.

"Kenapa kamu harus pergi dan mempercayakan dia padaku, padahal kamu tahu aku punya Sandra," gumamnya seraya kembali membuang napas.

"Reygan." Suara berat Antoni membuat pria itu menoleh.

"Eh, Papa. Belum tidur, Pa?" Dia mencoba tersenyum.

"Papa baru selesai ngecek laporan keuangan perusahaan. Kamu sendiri kenapa di sini?" Pria paruh baya itu duduk di samping putranya.

Reygan tak menjawab, karena menurutnya sang papa pasti bisa merasakan apa yang bisa rasakan. Berat baginya untuk bersikap wajar pada Indira. Selain itu dia juga merasa iba dengan apa yang harus dijalani perempuan itu.

Bungkamnya Reygan cukup menjadi jawaban bagi pria itu. Antoni sangat memahami perasaan putranya. Meski demikian, Antoni tak hendak menegur tindakan putranya untuk tidak berada di kamar malam ini. Karena bagi pria paruh baya itu, kesediaan Reygan untuk tidak menolak dan  menjalankan pesan terakhir Adrian adalah hal yang sangat dia syukuri.

"Kamu tadi menelepon seseorang?"

Reygan menoleh sejenak lalu mengangguk.

"Reygan pernah cerita soal teman dekat perempuan Reygan, kan?"

Antoni mengangguk. "Sandra maksudmu?"

Menarik napas dalam-dalam, putranya itu mengangguk.

"Ya, Pa."

"Kamu mencintainya?"

Putranya itu kembali mengangguk meski samar.

"Lalu?" Antoni memindai Reygan.

"Entahlah, Pa. Reygan rasa ini semua jadi begitu pelik."

Pria paruh baya itu mengambil napas panjang.

"Maafkan Papa, Rey. Kalau kamu sulit untuk mengatakan yang sebenarnya kepada teman dekatmu itu, eum, maksud Papa Sandra, kamu bisa mengandalkan Papa." Antoni menepuk pelan bahu sang putra.

"Nggak perlu, Pa. Biar pelan-pelan Reygan selesaikan semuanya, tapi ...."

"Tapi apa?"

"Papa izinkan Reygan untuk menyelesaikan semuanya dengan cara Reygan."

**

Sampai di bab ini boleh minta komentarnya, Teman? Suka atau nggak nih? Diteruskan apa cut?

Komen yukk 😘🙏

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top