Sweet Lies 41

Haii, untuk menghibur teman2, aku masih lanjut ya. Selamat membaca, semoga suka.

**

Indira mencoba menguasai diri agar tidak larut dalam suasana. Dia menarik napas dalam-dalam kemudian perlahan membuat jarak.

"Aku mau ke kamar. Selamat istirahat, Mas Rey," tuturnya sembari bangkit kemudian mengayun langkah menjauh.

Reygan membiarkan istrinya menuju kamar. Dia hanya bisa memijit pelipis menyadari jika dia sudah mulai terbawa perasaan.

Di kamar, Indira menyandarkan tubuh di bahu ranjang. Terkadang memang tidak bisa dipungkiri jika terkadang muncul desir yang menggelitik di hatinya saat hanya berdua saja dengan suaminya. Terlebih jika mereka hampir tak berjarak seperti tadi.

Dia kemudian menatap jam dinding, malam semakin merangkak, tak ingin terlambat bangun, dia cepat membaringkan tubuhnya dan mencoba memejamkan mata.

Sementara Reygan memilih beristirahat di sofa. Setelah mengetahui rencana Indira, dia merasa nyaman saat bisa lebih leluasa mengawasi  sang istri dari tempat dia berbaring. Jika dirinya tidur di kamar, Reygan khawatir jika Indira enggan membangunkannya ketika hendak pergi.

**

Mentari belum muncul, saat Indira membuka pintu kamar. Selesai salat dia sudah siap untuk pergi. Meski begitu, Indira tak melupakan tanggung jawabnya sebagai istri meski mungkin pagi ini adalah hari terakhir melayani Reygan.

Semalam dia tak bisa memejamkan mata hingga pukul tiga, mengingat dirinya akan pergi, Indira memilih memasak sarapan dan menyiapkan menu makan siang untuk suaminya.

Awalnya Indira kaget saat mendapati Reygan tidur di sofa, meski begitu dia sukses mengeksekusi sarapan dan menu makan siang untuk Reygan tentu saja dengan gerakan perlahan.

Dengan sangat pelan dia menyeret koper menuju pintu keluar, tetapi langkahnya berhenti tepat di depan Reygan. Pria yang hampir dua bulan terakhir menemaninya itu tampak nyenyak. Matanya menatap hangat pada sang suami.

Ada keinginan membangunkan dan mengucapkan terima kasih atas semua yang telah dia berikan, tetapi otaknya menolak. Berbagai alasan logis kembali muncul membuat Indira menggeleng cepat.

"Aku pergi, Mas. Ada sarapan untukmu, dan ... salad buah kesukaanmu sudah siap di kulkas. Aku pamit ya," ucapnya lirih.

Tidak mungkin untuknya membangunkan Reygan, karena sudah pasti pria itu akan banyak bertanya tentang banyak hal, sehingga  Indira memilih membiarkan Reygan tidak tahu menahu di mana dia akan tinggal.

Nena datang saat dia keluar rumah, asisten rumah tangganya itu menatap dengan kening mengernyit.

"Mbak Indira? Mbak mau ke mana? Kok ...."

Indira menggeleng memberi isyarat agar Nena mengecilkan volume suaranya.

"Bantu saya masukkan koper ke bagasi, Nen!" titahnya.

"Siap, Mbak!" sahut Nena sigap.

Setelah semua tas masuk mobil, Nena seperti butuh penjelasan lebih.

"Mbak Indira mau pergi sendiri? Apa semalam Mas Reygan nggak pulang? Atau Mbak mau pergi  bareng Mas ...."

"Nena, saya pergi sendiri. Di mei sudah ada saya siapkan sarapan untuk Mas Reygan. Oh iy, untuk menu makan siang saya juga udah siapin, jadi kamu tinggal masak. Kunci kamar saya ada di bufet sebelah televisi," paparnya lalu mengambil napas dalam-dalam.

"Mbak lama perginya?"

Indira tersenyum tipis dia lalu mengedikkan bahu.

"Tolong perhatikan menu makanan yang harus dimakan suami saya ya, Nen. Ingatkan dia untuk selalu sarapan dan makan buah. Ada juga salad kesukaan dia di kulkas. Saya pergi dulu," ucapnya sembari mengusap bahu Nena lalu bergegas masuk mobil meninggalkan tatapan mata tak mengerti dari Nena.

**

Suara air dari wastafel di pantry membangunkan Reygan, pria itu mengusap-usap matanya sembari perlahan bangun dari rebahnya. Menyipitkan mata dia melihat ke arloji, masih pukul enam lebih sepuluh menit.

Seolah teringat sesuatu dia menoleh ke arah pintu kamar sang istri. Masih tertutup rapat. Sementara dari tempatnya dia bisa melihat Nena tengah sibuk dengan pekerjaannya.

"Indira mungkin juga terlambat bangun karena tidur terlalu malam sepertinya," gumam Reygan sembari beringsut dari duduk.

Dia kembali menoleh ke pantry dan mendapati di meja makan ada sudah siap sandwich lengkap dengan minuman lemon dan susu tanpa lemak yang biasa diikmatinya semenjak beristrikan Indira. Mengernyitkan dahi Reygan mengurungkan niat untuk naik ke kamar.

"Nen? Istri saya udah bangun? Eum ... maksud saya, yang menyiapkan ini tadi kamu atau ...."

"Mbak Indira, Mas Rey. Mbak Indira yang menyiapkan sarapan juga menu untuk makan siang," jawab Nena menghadap Reygan.

"Menu makan siang maksudnya?"

"Iya, tadi waktu saya baru saja sampai, Mbak Indira pesan kalau sudah bikin sarapan untuk Mas Rey, Mbak Indira juga sudah membuat salad kesukaan Mas Rey, dan ...."

"Sebentar sebentar!" Reygan mengangkat tangannya, "sekarang di mana istri saya?"

Menyipitkan matanya, Benar menjawab, "Mbak Indira sudah pergi tadi waktu hari masih sedikit gelap."

"What?"

Nena bungkam, dia hanya menatap Reygan yang meninggalkan ruang makan menuju kamar istrinya.

"Please, Indira, kamu harus kasi tahu aku di mana sekarang!" gumamnya saat berada di kamar sang istri sembari mencoba menelepon.

Berkali-kali Reygan menghubungi Indira, tetapi tetap saja tidak ada jawaban dari perempuan itu. Dia terlihat frustrasi saat membuka lemari pakaian. Tidak ada satu helai baju pun ada di sana. Semuanya kosong, dan tidak terlihat pesan apa-apa di kamar itu. Bisu, semuanya seperti ingin menggambarkan perasaan pemilik kamar itu.

**

Popy menarik napas dalam-dalam, memindai paras rekannya yang tampak tidak baik-baik saja itu. Semua hal sudah diceritakan oleh Indira pada Popy, dan alasan kenapa dia harus menepi dan menjauh dari Reygan.

"Lalu sekarang? Jangan bilang kamu menyesal atau bahkan kepikiran suamimu," sindirnya sembari tersenyum tipis.

Popy merasa Indira belum sepenuhnya 'meninggalkan' suaminya itu.

"Kamu mencintainya, kan, Ra?" Indira tak menjawab, dia masih menatap ikan-ikan yang bermain dalam aquarium besar milik Popy.

"Kamu diam, itu artinya memang seperti itu yang sedang kamu rasakan. Hayo ngaku!" Kembali dia mencecar rekannya dengan pertanyaan yang sama.

Indira memalingkan wajahnya ke arah Popy, tersenyum singkat lalu dia menggeleng.

"Jangan terlalu jauh menyimpulkan sikapku, Popy. Aku bahkan tidak berani berpikir tentang apa yang kamu sebutkan tadi," ungkapnya kemudian kembali menatap aquarium.

Menaikkan alisnya, Popy mendekat sembari menyodorkan segelas air mineral kepada Indira.

"Itu artinya memang benar apa yang kupikirkan."

Indira melirik rekannya yang bagi saja menghenyakkan tubuh di sampingnya. "Maksud kamu?"

Kembali Popy menarik napas panjang kemudian menoleh.

"Aku tahu apa yang kamu maksud, tapi kalimat yang kamu ucapkan itu memiliki kesimpulan ganda, Ra," terangnya.

Indira tak menoleh, dia hanya diam mendengarkan penuturan rekannya.

"Nih ya, kata-katamu yang mengatakan kalau kamu bahkan tidak berani berpikir tentang perasaan yang kamu rasakan ke Reygan ... itu tersirat ada cinta yang sulit kamu ungkapkan. Kamu nggak bisa bersembunyi dari perasaan yang ada di hatimu, Ra."

Indira menarik kedua sudut bibirnya.

"Ck!" Indira menoleh dan mengubah posisi duduknya hingga berhadapan dengan Popy.

"Aku sekarang sedang tidak ingin berpikir soal itu, Pop. Aku harus fokus pada anak ini. Dia harus tumbuh menjadi anak yang bahagia."

Popy mengangguk sambil tersenyum. "Tentu saja, Ra. Dia harus dan akan jadi anak yang sangat bahagia."

Mereka berdua lalu tersenyum.

"Jadi, kapan kita berangkat?" Indira memindai Popy. "Sekolah sudah libur, kan?"

"Iya. Kita berangkat besok malam. Kebetulan sepupuku juga mau balik ke Jogja, jadi kita bisa bareng dan kita bisa menginap di resortnya. Gratis!" tutur Popy sembari tertawa riang.

"Eh, nggak bisa gitu, donk, Pop! Yang sepupunya, kan, kamu, aku bukan!"

Popy menggeleng cepat. "Tenang soal itu aku bisa bicara ke dia," tukasnya dengan mata mengerling.

**

Yang mau baca tuntas bisa otw google store yaa.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top