Sweet Lies 39
Indira menatap Hasim, mungkin saat ini memang saran itu baik, tetapi semuanya tergantung pada bagaimana nanti sikap keluarga Antoni. Karena sebelumnya Indira sudah mengungkapkan tentang apa yang terjadi pada hubungan dia, Reygan dan Sandra.
"Setidaknya meski Reygan tidak mendampingimu selayaknya suami, dia ada untuk melengkapi status anak itu di mata orang." Hasil menatap keponakannya, "kamu paham, kan?"
Indira mengangguk. Kilasan dosa yang dia lakukan dalam semalam sudah menjadikan dirinya sebagai perempuan buruk di mata siapa pun. Meski ada keluarga yang melindungi dan suami, tetap saja perasaan malu itu terlalu kuat untuk disingkirkan.
"Kalau kamu nggak bersedia mengatakan hal ini pada Reygan, biar Pakde aja yang bicara."
"Nggak usah, Pakde. Biar nanti Indira aja yang menyampaikan ini ke Mas Rey," cegahnya.
"Oke, kamu segera sampaikan padanya, nanti biar Pakde yang bicara ke keluarga Antoni."
Indira mengangguk pelan. Sejenak ruangan itu senyap. Terlihat paras Hasim dan Marini memendam rasa kecewa dan itu sangat dipahami oleh Indira.
"Pakde."
"Ada apa?"
"Boleh Indira minta sesuatu?"
"Katakan!"
Menarik napas dalam-dalam, dia menoleh ke Marini yang sejak tadi bungkam. Indira Menatap penuh penyesalan kepada perempuan berwajah teduh itu lalu kembali menatap ke Hasim. Perlahan dia mengutarakan keinginannya untuk menepi menjauh untuk menenangkan diri hingga anak dalam kandungannya lahir.
"Akan banyak pertanyaan jika nanti perut Indira terlihat membesar sementara pernikahan baru saja sebulan berjalan. Indira nggak mau Pakde kembali dibebani oleh beragam pertanyaan dari tetangga atau pun rekan kerja yang mengetahui tentang Indira."
"Lalu?"
Indira menarik napas dalam-dalam.
"Untuk sementara waktu, apa boleh Indira tinggal di rumah Griya Mutiara, Pakde?"
Hasim menatap sang istri. Rumah di sana itu memang milik Indira. Rumah itu memang beberapa waktu lalu memang sudah selesai direnovasi, hanya tinggal mengisi beberapa perabotan dapur saja yang belum maksimal.
"Kenapa di sana? Pakde ada villa di tempat lain, kenapa di sana?"
Indira tersenyum tipis. "Di sana dekat dengan coffe shop Indira, Pakde, dan tetangga di sana juga sangat menjaga privasi, jadi ... Indira rasa di sana adalah tempat yang baik untuk Indira."
"Lalu bagaimana aktivitas mengajarmu? Bukannya kamu harus tetap mengajar?"sela Marini.
"Untuk mengajar, Indira sudah berencana untuk mengundurkan diri, kalau coffe shop ... tentu saja akan terus Indira pantau, Bude."
Marini mengangguk paham. Perempuan paruh baya itu mengusap air matanya lalu menarik bibirnya sedikit lebar.
"Kami tahu apa yang kamu rasa saat ini, Indira. Meski yang pernah kamu lakukan itu salah, bahkan sangat salah, tetapi bukan alasan untuk tidak menyambut cucu kami." Marini mengusap lengan keponakannya dengan penuh rasa sayang. "Iya, kan, Pa?" tanyanya kemudian menoleh ke sang suami.
Hasim mengangguk. "Baiklah, Indira. Kapan kamu akan menempati rumah itu?"
Mata Indira membeliak tak percaya mendengar keinginannya dikabulkan oleh Hasim. "Itu rumahmu, dan kebetulan sekarang renovasinya juga sudah selesai, jadi boleh saja kalau kamu mau tinggal di sana."
"Terima kasih, Pakde. Eum ... secepatnya. Secepatnya Indira akan tinggal di sana. Mungkin satu atau dua hari ini, Pakde."
Hasim mengangguk, sembari mengatakan jika perabot dapur akan segera dilengkapi besok.
**
Sore itu Reygan pulang lebih awal dari biasanya. Sebelum pulang sengaja dia mampir untuk membeli aneka buah dan lainnya untuk Indira. Beberapa waktu lalu, istrinya itu membuatkan salad buah yang sangat cocok di lidahnya, dan hari ini dia akan meminta agar Indira kembali membuat makanan cold appetizer itu.
Setelah berbicara dan diskusi panjang lebar dengan kedua orang tuanya, akhirnya didapat kesepakatan bahwa dirinya akan tetap menjadi suami Indira hingga bayi yang dikandungnya lahir. Setelah itu terjadi, Reygan bebas menentukan hidupnya.
Entah kenapa dia lebih merasa lebih lega saat keputusan disetujui oleh kedua orang tuanya, terlebih menurut sang papa barusan, Hasim pun meminta agar dirinya bisa menemani Indira hingga bayi dalam kandungannya lahir kelak.
[Sayang, papaku mau ketemu kamu lagi. Kapan kamu bisa ke rumah?]
Satu pesan masuk memudarkan wajah Reygan yang tadinya berseri-seri. Dia membiarkan pesan Sandra. Dipacunya mobil lebih kencang. Sepertinya malam ini dia harus banyak ngobrol dengan Indira untuk meyakinkan jika dia akan membersamainya hingga saatnya Indira melahirkan.
Tepat pukul lima sore, Reygan tiba. Melihat mobil Indira terparkir di garasi, membuat bibirnya tertarik singkat. Gegas pria itu membuka bagasi dan mengambil satu kantong plastik besar berisi aneka buah.
Keningnya berkerut karena jika hari-hari kemarin, istrinya selalu menyambut kedatangannya saat dia tiba. Akan tetapi, sore ini tak dilihatnya Indira, bahkan di dapur pun tidak ada tanda-tanda dia ada di sana.
Namun, saat Reygan melihat ke arah kamar Indira, diamenarik napas lega melihat pintu kamar istrinya terbuka sedikit. Setelah meletakkan barang belanjaan, dia melangkah menuju kamar sang istri.
Matanya menyipit melihat Indira tengah memasukkan pakaiannya ke dalam koper. Tak menunggu Indira sadar jika dirinya sudah datang, dia membuka lebar pintu kamar itu.
"Indira," panggilnya.
Perempuan yang dipanggil rupanya tak sadar jika suaminya sudah datang dan mengawasi gerak-geriknya.
"Mas Rey? Mas udah datang? Mas dari tadi di situ?" cecarnya sembari membalikkan badan. "Maaf, aku nggak dengar kalau ...." Dia tak melanjutkan ucapan saat Reygan mendekat, mata pria itu menelisik koper dan beberapa barang milik sang istri yang terlihat akan dikemas ke dalam tas yang lebih kecil.
"Ada apa ini? Kenapa semua bajumu kamu masukkan ke koper? Dan ... kenapa semua barang-barangmu kamu bereskan?" Rentetan pertanyaan dari Reygan membuat Indira menahan napas. Biar bagaimanapun saat ini posisinya adalah seorang istri dari pria itu meski ada sebuah catatan yang tak tertulis.
"Eum ... aku ... aku sudah bicara ke Pakde kalau ...."
Pria yang mengenakan kemeja putih dengan lengan dilipat hingga siku itu mengangkat tangan memberi isyarat agar Indira tidak meneruskan kalimatnya. "Kita harus bicara," tuturnya tegas sembari melonggarkan dasinya. "Kita ke ruang tengah sekarang," sambungnya lalu memutar badan melangkah ke ruang tengah seperti yang dia inginkan.
Indira tampak melangkah pelan mengikuti suaminya. Tak lama mereka berdua duduk berseberangan. Mata Reygan menelisik paras sang istri yang terlihat berusaha menyembunyikan wajahnya.
"Katakan, ada apa! Apa yang terjadi padamu?"
Indira menggeleng cepat. "Nggak ada apa-apa, Mas."
"Nggak ada apa-apa, tapi kenapa kamu membereskan semua barang-barangmu?" timpalnya cepat.
Indira tak menyahut. Bukan seperti ini yang dia inginkan, tadinya dia ingin Reygan dan dirinya duduk bersama dan mengatakan hal yang sebenarnya bahwa dia akan pergi menjauh dari kehidupan pria itu agar Reygan tidak merasa terpaksa bertahan karena iba.
Dia juga tidak ingin nama baik keluarga Antoni tercemar karena kondisinya. Terlebih pada Reygan yang tentu saja keluarga Sandra jika tahu hal yang sesungguhnya, sudah pasti tidak akan pernah terima.
"Dengar aku! Aku sudah bicara pada Papa kalau aku akan tetap menjadi suamimu. Aku akan menemanimu selama masa kehamilan seperti yang pernah aku bicarakan padamu. Jadi ...." Pria itu menggantung kalimatnya. "Kamu nggak akan pergi ke mana-mana. Kamu tetap di sini. Di rumah kita!"
"Tapi, Mas ... aku nggak bisa," tolaknya.
"Kenapa? Kenapa nggak bisa?" tanya Reygan menatap intens istrinya. "Kamu istriku, kan? Meski ada hal-hal yang kita sama-sama tahu bahwa ada catatan dari itu semua. Tapi saat ini kamu istriku, Indira."
"Tapi aku nggak bisa selamanya menyembunyikan kondisiku, Mas. Aku hamil dan perut ini akan semakin besar. Kamu mau keluargamu dan nama baikmu digunjing oleh tetangga dan rekan kerja? Bagaimana papamu nanti jika ditanya soal kehamilan yang sama sekali jauh dari usia pernikahan kita? Aku nggak mau semua menanggung malu atas apa yang sudah aku lakukan, Mas!" Indira kali ini memberanikan diri untuk tegas pada pilihannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top