Sweet Lies 37


Reygan tertegun mendengar ucapan Indira. Dia tidak menyangka jika perempuan di depannya itu mengambil langkah cepat, bahkan tanpa berbicara terlebih dahulu dengannya.

"Maaf, Mas, tapi aku ngga bisa terus berpura-pura. Aku nggak mau mengorbankan dirimu. Biar bagaimanapun Mas berhak bahagia dan begitu juga dengan Mbak Sandra. Kalian sudah sudah banyak berkorban untukku, dan ... sekarang Mas sudah nggak perlu lagi bersikap di depan keluarga kita seolah kita benar-benar sepasang suami istri," paparnya masih berdiri di depan pintu kamar.

"Tadi Mama bilang telepon berkali-kali, tapi Mas nggak angkat, aku juga tadi coba telepon jug nggak diangkat, eum ... Mas sibuk?"

Reygan memijit pelipisnya, lalu menatap Indira. "Nggak, aku tadi ... aku tadi ...."

"Kenapa, Mas?"

Reygan menggeleng. "Nggak apa-apa."

"Lalu bagaimana reaksi Mama?"

"Mama terkejut, tapi aku sudah ungkapkan semuanya, dan ...."

"Dan?"

"Dan aku meminta agar Mama membebaskan Mas Reygan dengan apa pun pilihannya."

Pria itu terdiam. Jika boleh jujur ada sudut hati yang keberatan jika Indira mengungkapkan semua ke orang tuanya. Entahlah, dirinya merasa Indira mulai memasuki pikirannya belakangan ini.

"Mas?"

"Eh iya? Oh iya, terima kasih lemon hangatnya."

Indira mengangguk sembari tersenyum. "Mas mau aku bikinin lagi atau mau langsung istirahat?"

"Oh nggak usah. Aku mau istirahat aja,  capek banget!"

"Ya udah, selamat malam. Selamat istirahat, Mas."

Ketika dia hendak kembali menutup pintu, Reygan menahannya.

"Indira."

"Ya?"

"Bude Pakde gimana? Apa mereka sudah tahu?"

"Belum," ujarnya seraya menggeleng. "Nggak apa-apa, Mas. Aku akan hadapi apa pun nanti. Sekarang Mas istirahat aja ya. Semuanya akan baik-baik saja. Trust me!" Kembali dia meraih kenop pintu.

"Tunggu, Indira!"

"Kenapa?"

"Maaf kalau tadi aku nggak angkat teleponmu, maaf juga kamu jadi bingung jawab pertanyaan Mama."

Seulas senyum manis tercetak di bibir Indira.

"It's oke, nggak apa-apa. Kamu pasti lagi sibuk tadi ya? Sebab orang kantor juga nggak tahu Mas sedang di mana."

Reygan mengusap tengkuknya. Dia kembali meminta maaf.

"Tadi pagi Sandra tiba di sini, sekarang dia sudah nggak di Amerika lagi. Dan aku ...."

Indira mencoba menahan rasa perih yang tiba-tiba menyelinap. Dia melebarkan bibir sembari berkata, "Dan Mas menemaninya sepanjang hari ini? Kenapa Mas nggak bilang ke aku? Kalau Mas bilang, Mama nggak mungkin berkali-kali menelepon."

Reygan menatap tepat pada manik indah istrinya. Perempuan yang tengah hamil itu adalah istri sahnya, dan dia adalah orang yang paling berhak dan bertanggung jawab atas bahagia dan sedihnya. Meskipun dalam konteks saat ini antara dia dan Indira harus benar-benar menjaga jarak, tetapi bukan berarti dia bisa semena-mena dan menganggap Indira tidak ada.

Menganggap Indira tidak ada. Inilah yang dia lakukan hari ini. Hari ini? Mungkin hari-hari kemarin juga dia sudah mengabaikan perempuan yang memiliki dekikan di pipi itu. Namun, tidak pernah sedikit pun Indira protes dengan apa yang sudah dia lakukan.

Rasa bersalah tak jarang muncul, tetapi bukankah Indira datang belakangan karena sesuatu hal yang sama sekali di luar rencana? Akan tetapi, bukankah tetap saja apa yang sudah dia lakukan tetap saja tidak adil bagi istrinya?

"Mas? Kok malah melamun?" Kibasan tangan Indira membuat Reygan kembali menarik napas dalam-dalam. "Sudah malam, sebaiknya Mas istirahat."

"Iya. Kamu juga ya."

Seraya tersenyum, Indira menutup pintu perlahan. Ada yang rasa di hati seperti tercubit manakala dirinya tahu apa terjadi sepanjang hari tadi. Reygan tidak salah, karena memang pria itu bukan kekasihnya atau bukan pria yang mencintainya, dia berhak menentukan pilihan di mana dia merasa bahagia.

Setelah mengunci pintu, dia melangkah ke ranjang lalu merebahkan tubuh di sana. Indira meraih ponsel, mencari nama Popy. Entah kenapa, dia merasa memang harus menjauh dari Reygan dan keluarganya setidaknya untuk saat ini.

[Popy, pekan depan rasanya memang aku harus ngikutin saranmu.]

Tak ada balasan dari rekannya, karena memang malam sudah cukup larut, tetapi setidaknya dia merasa lega karena sudah memiliki rencana untuknya dan untuk bayinya.

**

Aroma kopi dan butter menguar dari dapur, Reygan tersenyum tipis melihat Indira yang terlihat sibuk di sana. Masih mengenakan baju rumahan, istrinya itu tampak begitu menawan dengan rambut yang dicepol asal.

"Pagi, Indira. Neni ke mana? Kok kamu sendirian?" tanyanya saat berada tepat di belakang sang istri.

"Hai, pagi. Mas bikin kaget aja, muncul tiba-tiba gitu." Indira menoleh kalau kembali sibuk membuat sandwich.

Reygan tak menjawab, matanya seperti enggan berpaling ke arah lain. Dia terus memindai gerak gerik lincah Indira.

"Neni hari ini nggak masuk, anaknya sakit," terangnya sembari memutar tubuhnya menghadap Reygan.

"Ups, maaf, Mas," ujarnya ketika hampir saja gelas yang berisi lemon hangat tumpah di kemeja sang suami.

"Nggak apa-apa, aku yang salah karena terlalu dekat di belakangmu." Reygan mengambil gelas minuman yang selalu disediakan sang istri itu, meski demikian, matanya seperti terpasung sehingga tidak sedikit pun berhenti menatap Indira.

Ditatap sedemikian rupa oleh Reygan, membuatnya gugup.

"Ehem, Mas minum di ruang makan ya. Ini sandwich juga udah selesai, aku letakkan di ...."

"Ssttt." Reygan menempelkan jari telunjuk di bibir sang istri. Dengan mata dan suara lembut dia berkata, "Aku bisa bawa sendiri sandwich itu ke meja makan, kamu nggak perlu capek-capek seperti ini, Indira. Kamu juga harus sarapan, kan?"

Tertegun, Indira tak bisa bereaksi apa pun. Matanya perlahan bergerak membalas tatapan sang suami. Ada banyak pertanyaan saat dia menatap mata itu. Mata yang merasa kasihan atas apa yang menimpanya, bukan rasa cinta seperti seharusnya seorang suami pada istrinya.

Namun, di sisi lain kelembutan yang dia rasakan telah diam-diam menjadikan Indira merasa nyaman walaupun dia merasa takut akan hal itu.  Takut jika rasa yang dia punya akan semakin berakar, takut karena menyadari jika semua yang dia alami ini hanya akan menyakiti hatinya karena jelas Reygan bukan miliknya.

"Aku mohon, Indira ... aku hargai apa yang sudah kamu lakukan padaku sebagai seorang istri, tapi kumohon, hentikan itu semua karena ... karena aku khawatir semakin kamu seperti ini, semakin aku nggak bisa ngelepasin kamu." Reygan membuat jarak sembari mengusap tengkuknya.

Indira menahan napas saat mendengar ungkapan dari pria di depannya.

"Satu hal yang kusesali adalah kenapa Adrian bertemu kamu lebih dulu. Andai saja itu tidak terjadi, sudah pasti keadaan tidak serumit ini."

Reygan tersenyum getir. Dia yakin saat ini istrinya itu tengah berpikir keras atas apa yang baru saja dia dengar, tetapi mungkin dengan begitu Indira mengerti apa yang sedang bergejolak di hatinya belakangan ini. Memang ternyata tidak semudah itu melepaskan Indira, sama halnya dengan sulitnya melupakan janji pada Sandra.

"Indira."

Tak menyahut, Indira mengangkat wajahnya yah terlihat pias.

"Aku nggak tahu apa nanti kata Mama juga Papa, tapi kumohon apa pun yang mungkin jadi keputusanmu ... silakan, tapi jangan menghilang dariku."

Hening, tak ada suara di antara mereka berdua. Indira masih berada di tempatnya berdiri pun demikian dengan Reygan. Hingga ponsel milik Reygan berdering yang akhirnya menyudahi kebisuan mereka.

"Sori, aku harus ke rumah Mama sekarang," ujarnya saat selesai menikmati telepon singkat.
"Maafkan soal yang tadi. Lupakan aja apa yang sudah kamu dengar. Nggak penting!" imbuhnya. "Kamu nggak ke sekolah hari ini?"

"Iya. Agak siang terus pulangnya aku ke rumah Bude, aku mau ceritakan soal ...."

"Well, lakukan apa yang menurutmu benar. Aku pergi dulu. Makasih minumannya."

Reygan melangkah cepat meninggalkan Indira yang diam mematung menatap pria itu hingga terdengar suara mobil menjauh meninggalkan kediaman mereka.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top