Sweet Lies 34


Popy mengusap lengan Indira. Mendengar cerita rekannya, dia ikut larut dalam kesedihan. Apa yang menimpa Indira bagi Popy bukan hal yang bisa dilalui dengan baik-baik saja. Andai Indira tidak hamil, mungkin semua ini tidaklah rumit, tetapi benih yang semakin berkembang itu juga tidak salah. Perbuatan Adrian dan Indira-lah yang salah.

Namun, sekarang sudah bukan lagi waktu yang tepat untuk mencari siapa yang salah. Sekarang waktunya untuk menatap ke depan dan melangkah dengan yakin. Bukan merenung dan meneteskan air mata.

"Indira, aku setuju dengan apa yang akan kamu lakukan. Bicara! Bicarakan segera kondisimu pada mereka. Meski mungkin mereka hancur, tapi setidaknya kamu jujur dan bertanggung jawab atas apa yang telah kamu perbuat di masa lampau."

Indira mengangguk samar. Siap tidak siap, dia memang harus mengatakan ini semua.

"Popy."

"Ya?"

"Mungkin setelah aku mengungkapkan semuanya nanti ... aku akan berhenti mengajar. Aku nggak mau lembaga ini hancur karena aku."

Menarik napas dalam-dalam, Popy mengangguk.

"Untuk apa pun keputusanmu. Aku mendukung."

Kedua sudut bibir Indira tertarik. Meski kegundahan hatinya belum usai, tetapi dirinya bersyukur memiliki teman baik yang bisa memahami apa pun kondisinya.

"Indira."

"Ya?"

"Kalau kamu butuh healing ... aku tahu tempat yang nyaman. Kebetulan aku kenal sama yang punya."

Menaikkan kedua alisnya, Indira tersenyum jenaka.

"Healing?" Dia bertanya sembari tertawa kecil. "Satu masalah aja belum selesai, udah healing aja!"

Tawa Popy berderai mendengar penuturan rekannya.

"Ya kali aja setelah semuanya selesai kamu butuh itu, nanti aku telepon sepupuku deh!"

"Sepupu?"

"Iya. Sepupu punya beberapa resort, mungkin kamu tertarik. Kebetulan sebentar lagi libur sekolah, kan? Nanti kita jalan bareng!" Popy terlihat antusias.

Penjelasan Popy sedikit membuatnya bisa berpikir apa yang akan dia lakukan setelah semuanya diungkap.

"Ide kamu bagus! Boleh juga, tapi ...."

"Tapi apa?"

"Itu artinya aku harus segera mengatakan ini semua."

"Sure! Kamu harus segera bicara ke mereka!"

Indira mengangguk yakin. Dia menarik napas lega setelah mendapatkan dukungan dari rekannya.

"Ponsel kamu bunyi tuh!"

Mama Julia memanggil. Sejenak dia menatap Popy.

"Terima, Ra! Aku mau ke kelas ya. Anak-anak udah waktunya pulang!" Perempuan berambut sebahu itu melenggang meninggalkan Indira di ruangan itu sendiri.

"Halo, Ma?"

"Halo, Indira. Kamu tahu Reygan di mana?"

Keningnya berkerut mendengar pertanyaan sang mertua.

"Mas Reygan di kantor, Ma. Kenapa?"

"Oh, di kantor ya? Eum ... tadi dia bilang mau ke kantor?"

Indira mencoba mengingat, dan seingatnya memang Reygan tidak mengatakan jika dia hendak ke kantor lagi tadi. Meski begitu sang suami tadi tampak terburu-buru.

"Indira?"

"Eh, iya, Ma. Tadi Mas Rey nggak bilang mau ke kantor sih, tapi sepertinya dia terburu-buru, Ma."

"Reygan terburu-buru?"

"Iya, Ma."

"Apa dia sedang ditunggu klien ya?" Julia mencoba menebak.

"Mungkin, Ma. Bisa jadi begitu. Mama sudah coba telepon ke ponselnya?"

"Nggak diangkat. Ya udah gini aja, kalau nanti bisa mampir ke rumah pulang kantor, kalian mampir ya. Kalau nggak bisa, kabari aja, biar sopir yang nganterin buah-buahan ke rumah."

Indira menarik napas dalam-dalam. Mertuanya itu benar-benar antusias menyambut kehadiran cucunya. Meski benar yang dia kandung adalah cucunya, tetapi anak ini bukan anak Reygan, tetapi anak almarhum Adrian.

Keraguan kembali menyelinap, tetapi Indira sudah mengambil keputusan untuk menyampaikan apa yang selama ini dia simpan.

"Indira? Kamu masih di sana, kan?"

"Eh, iya, Ma. Iya. Nanti Indira kabari ya, Ma."

"Iya, Sayang. Kamu harus banyak makan buah-buahan supaya anak kalian sehat dan cerdas!"

"Iya, Ma."

"Ya sudah, selamat beraktivitas ya, Sayang. Bye."

"Makasih, Ma. Bye."

**

Reygan tersenyum melihat betapa Sandra merindukan makanan Indonesia. Meski ada beberapa yang dijual di sana, tetapi tetap saja tidak ada yang bisa mengalahkan ketika makan di negara asalnya.

Seperti pagi itu saat mendarat, dia langsung meminta Reygan untuk membawanya ke rumah makan yang menyediakan menu pecel. Perempuan yang mengenakan blazer hitam itu tersipu ketika sadar pria di sampingnya tengah menatap.

"Aku terlihat rakus ya?" tanyanya sembari mengusap bibir dengan tisu.

"Nggak, kok!"

"Tapi matamu berkata sebaliknya, Reygan!" ujarnya seraya mencebik.

Reygan terkekeh geli kemudian mengusap puncak kepala Sandra. Perempuan di sampingnya itu begitu tulus dan sangat percaya padanya. Lalu apakah dia tega menyakiti Sandra? Sementara di sisi lain, Indira pun memiliki hati yang serupa meski berbeda kondisi, tetapi keduanya sama-sama memiliki hati yang tulus.

Kini justru dirinyalah yang merasa jadi pengecut. Karena sampai saat ini dia belum bisa memutuskan apa yang harus dilakukan dengan pernikahan serta hubungannya dengan Sandra.

"Habis ini aku mau pulang dulu ya. Eum ... kamu mau ke kantor?" Sandra memindai Reygan.

Pria yang memakai jas hitam itu mengangguk, meski pikirannya berkelana.

"Rey?" Sandra mengibaskan tangannya di depan wajah Reygan.

"Ya?"

"Ada yang sedang kamu pikirkan?" selidiknya sembari memiringkan tubuhnya menghadap Reygan.

Pria itu menggeleng. "Nggak ada. Eum ... ayo aku antar kamu pulang!"

Senyum Sandra melebar, sambil menarik napas dalam-dalam dia mengangguk lalu beranjak dari duduk.

"Sore nanti kamu jadi ke rumah, kan? Mama udah siapin makan malam spesial katanya."

Reygan hanya mengangguk menanggapi.

**

Langit kelabu senja itu. Kilat dan Guntur seperti berlomba memamerkan dirinya di cakrawala. Indira mematung di balik jendela coffe shop-nya. Pesan Julia untuk mampir  ke rumahnya sudah disanggupi, tetapi sepertinya alam kurang bersahabat. Ada rasa was-was jika harus berkendara di tengah cuaca seperti ini, terlebih hari sudah menjelang malam.

Pengunjung tidak begitu ramai, tetapi Indira bersyukur event Valentine yang sebentar lagi digelar sudah seratus persen siap. Tuhan memang selalu adil dalam memberikan porsi kesedihan dan kebahagiaan dalam hidup hamba-Nya.

Setidaknya Indira bisa sedikit bernapas lega karena dengan kesibukannya segala pelik permasalahan bisa sejenak dia letakkan, saat melihat geliat usahanya yang mulai lancar. Meskipun di sisi lain Tuhan memberikan masalah yang tidak ringan.

Satu pesan masuk dari Reygan.

[Kamu di mana, Indira? Mama barusan telepon katanya kamu janji mau ke rumah?]

[Di coffe shop. Iya, ini  aku baru mau berangkat.]

[Aku nggak bisa nemanin kamu ya. Maaf.]

Bibirnya tertarik membaca balasan pesan dari sang suami.

[Sejak kapan Mas jadi bodyguard-ku? Tenang aja, aku bisa sendiri. Feel free!]

Tak ada lagi balasan dari Reygan. Menarik napasnya, dia lalu bangkit dan berkemas menuju ke kediaman mertuanya meski was-was karena rinai mulai menyapa bumi.

"Indira?" terdengar sapa seseorang yang membuat langkahnya terhenti. "Kita ketemu lagi, kan?"

"Taufan?" Terlihat keterkejutan di wajahnya. Indira sedikit mundur membiarkan pria berambut gondrong itu mendekat. "Kamu sejak kapan ada di kota ini?"

Pria bermanik hitam itu menaikkan alisnya.

"Kamu sejak dulu selalu begini." Indira kembali berujar.

"Begini gimana?"

"Tiba-tiba hilang, terus tiba-tiba muncul!"

Tawanya berderai mendengar penuturan Indira.

"Silakan duduk. Selamat datang di coffe shop kami," tuturnya seraya mengulas senyum.

Melihat tampilan Taufan yang masih santai dengan rambut gondrongnya membuat bibir Indira tertarik lebar.

"Coffe shop kami?" Pria berkaus hitam dengan celana denim itu menyapu setiap sudut ruangan dengan matanya. "Seriusan ini punyamu?" Dia lalu duduk di kursi yang tak jauh dari tempatnya berdiri.

Menyungging senyum, Indira kembali mengangguk. "Kenapa? Kamu nggak percaya?"

"Bukan begitu, aku percaya, tapi apa yang membawaku mampir ke sini? Padahal aku nggak tahu kalau ternyata tempat ini milikmu."

Kembali mengulas senyum, dia lalu memanggil karyawannya dan mengatakan agar Taufan segera dilayani.

"Kamu mau pergi?"

Indira mengangguk.

"Maaf ya. Aku sebenarnya pengin bicara banyak sama kamu, tapi aku ada janji. Jadi nikmati pelayanan di tempat kami ya," pamitnya.

"Oke! Eum ... kita bisa ketemu lagi di sini, kan?"

Perempuan berambut sepunggung itu mengangguk sambil tersenyum. "Sure!"

"Nomor telepon?" Taufan memberi isyarat dengan ibu jari dan kelingking.

"Aku nggak hapal nomor teleponku, tapi besok sore aku ada di sini."

"Oke! See you!" Taufan menggerakkan kepalanya seraya menaikkan alisnya.

"Bye!" tutur Indira sembari melangkah menjauh.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top