Sweet Lies 31

Indira tersenyum datar, dia merasa risi berada pada situasi seperti ini.

"Eum ... aku udah baca di internet, kok, Mas. Mas udah selesai cari bukunya?" Dia menoleh menatap Reygan yang juga tengah menatapnya.

"Sudah. Kamu?" Tatapan mata pria di sampingnya itu sangat lembut. Andai mata itu milik seseorang yang mencintainya, sudah barang tentu Indira akan menyandarkan kepalanya ke dada bidang milik Reygan.

Namun, Reygan bukan miliknya, dan mata itu sama sekali tidak menerjemahkan perasaan indah dua insan yang baru saja melangsungkan pernikahan. Sekali lagi, Indira harus terus memupuk rasa tahu dirinya sebagai perempuan yang hanya dijaga untuk sebuah janji. Itu saja tidak lebih.

"Nggak ada. Aku rasa semuanya udah pernah aku beli dan ... di internet juga udah banyak." Indira perlahan menggeser tubuh, berharap Reygan tahu dan segera melepaskan tangan dari bahunya.

Sukses! Pria di sampingnya itu mengedikkan bahu lalu melepas tangannya. Dia kemudian mengambil buku di tangan Indira, membuka satu per satu halaman di sana.

"Kamu bisa bikin croissant?"

"Bisa. Di coffe shop udah ada."

"Oh ya?"

"He emh."

"Kalau aku minta kamu bikin buat aku di rumah kamu nggak keberatan, kan?"

Indira tertawa kecil sembari mengangguk.

"Mas suka rasa apa?"

Tersenyum tipis, Reygan kembali mengedikkan bahu.

"Keju, cokelat ... emang apa lagi selain itu?"

Indira mengambil buku dari tangan Reygan. "Udah ke Amerika masa nggak tahu varian isi croissant? Oh iya, di buku ini nggak ada resep croissant, Mas."

Reygan terkekeh geli mendengar ucapan sang istri. Dalam hati dia merasa lega melihat Indira sudah mulai terbiasa dengan kebersamaan mereka. Setidaknya dia bisa sedikit memberi kenyamanan pada hati rapuh Indira.

"Jadi kamu mau bikinin aku croissant isi apa?" Reygan mengekor Indira yang sudah menjauh darinya.

"Daging, keju, cokelat ... mau?"

"Woow! Sepertinya enak!"

Senyum lebar terukir di bibir perempuan bermata indah itu.

"Jadi sekarang kita ke mana?"

"Beli bahan untuk bikin apa yang Mas mau."

"Oke, aku bayar ini dulu ke kasir. Kamu tunggu ya." Dia menunjukkan tas bening berlogo toko buku yang terlihat menggantung berat karena di dalamnya ada beberapa buku tebal.

"Aku bisa sendiri, Mas. Lagian supermarketnya di seberang toko ini," tolaknya.

Reygan menggeleng menahan lengan sang istri yang hendak mengayun langkah.

"No! Nanti kalau kamu hilang gimana?"

Indira tak sanggup menahan tawa mendengar perkataan sang suami.

"Siapa juga yang mau nyulik perempuan hamil, Mas! Nggak usah ngaco deh!"

Pria di depannya itu ikut tertawa, tetapi dia tetap menggeleng.

"Kamu tunggu di sini. Aku nggak lama, kok. Lagian kasirnya lagi sepi. Tunggu ya!" titahnya lalu melangkah menjauh.

Menatap punggung sang suami, ingatannya melayang pada sosok Adrian. Meski berbeda, tetapi ada beberapa postur yang mirip. Jika Reygan bertubuh tinggi, dan berkulit putih, Adrian sedikit lebih pendek dan berkulit sawo matang.

Yang hampir sama adalah cara mereka jalan, dan garis senyum yang dimiliki Reygan. Terlebih jika diperhatikan dari belakang, mereka hampir tak berbeda. Melihat itu, rasa rindunya kembali menyapa.

"Indira?"

Mendengar namanya dipanggil, Indira menengok ke belakang.

"Irene? Kamu ...."

"Kamu sama siapa? Kok bengong aja di sini?" cecar Irene sembari menatap intens sahabatnya dari ujung rambut hingga ujung kaki.

"Aku sama ...."

"Hai! Kamu ...."

"Aku Irene, dan ini Bobi. Eum ... Bobi, ini Indira dan ini suaminya, Reygan." Irene menjabat tangan Reygan dan memperkenalkan pria yang tengah bersamanya.

"Kalian sedang cari buku?" tanya Irene menelisik keduanya.

"Oh udah, kami udah selesai." Reygan tersenyum sembari kembali merangkul tubuh Indira.

Melihat pemandangan itu, sejenak kening Irene berkerut.

"Irene, nanti kita bicara lagi ya. Ini kita mau ke supermarket."

Mengangguk cepat, Irene tersenyum. "Oke, have a good day!"

Keduanya tersenyum, Indira melambaikan tangan dan melangkah meninggalkan sahabatnya yang tengah menatap dengan mata penuh dengan pertanyaan.

**

Reygan baru saja selesai membalas chat dari Sandra. Dia melihat ke jam dinding sudah hampir sore, sementara di pantry tercium aroma butter dan keju serta cokelat leleh yang menggoda.

Pria yang mengenakan kaus polo shirt putih dan celana tiga perempat itu beranjak dari ruang tengah menuju tempat asal aroma sedap tersebut.

Dari tempatnya berdiri, Reygan leluasa menatap perempuan yang tengah sibuk dengan dunianya. Indira terlihat sangat terlihat menarik. Mengenakan apron merah dengan rambut dicepol asal membiarkan rambutnya yang lain tergerai justru menjadi sangat menarik di matanya.

Tanpa disadari, satu sudut bibir Reygan tertarik saat melihat Indira kesulitan dan merasa terganggu dengan rambutnya sementara kedua tangannya tengah mengenakan jumpel untuk mengambil loyang dari oven.

Menarik napas dalam-dalam, Reygan mendekat tanpa disadari oleh Indira. Pria itu lalu membantunya merapikan rambut yang sejak tadi terlihat mengganggu sang istri. Perlakuan Reygan yang tiba-tiba itu membuat Indira terdiam sejenak. Terlebih saat mata mereka bersirobok sepersekian detik.

"Ehem ... makasih, Mas."

Reygan mengangguk dan tersenyum.

"Kamu butuh bantuan?"

"Nggak. Aku bisa sendiri, kok. Sebentar lagi juga selesai."

"Permisi, Mas, aku mau ambil keju."

Menaikkan alisnya, Reygan mundur membiarkan Indira melewatinya. Pria itu tak beranjak, dia justru seolah menikmati kedekatannya dengan sang istri.

"Kamu sudah lama suka baking?" tanyanya kembali mendekat.

"Hu umh. Sudah lama."

"Amazing!"

Tersenyum tipis, Indira menggeleng.

"Apanya yang amazing?"

"Kamu! Selain mengajar bahasa Inggris, menari, kamu juga jago bikin kue. Multi talenta, kan?"

"Nggak juga. Ini kebetulan karena hobi aja, kok. Selebihnya ya begini-begini aja sih," tangkisnya lalu kembali fokus ke oven.

Reygan tersenyum kemudian menatap arlojinya. Dia teringat tadi pagi sang istri mengatakan jika sore akan pergi ke coffe shop miliknya.

"Indira."

"Ya, Mas?"

"Ini sudah hampir jam empat ... kamu bilang tadi kalau sore ini mau ke coffe shop. Tapi ...."

"Nggak apa-apa. Tadi aku udah hubungi Joe untuk menyampaikan event ke yang lainnya."

"Event? Event apa?"

Menyungging senyum, Indira menoleh sejenak kemudian kembali meneruskan melipat puff pastry yang sudah diisi keju. "Sebentar lagi, kan tanggal empat belas, biasalah anak muda pada ngerayain valentine, gitu, kan? Nah untuk awal pekan depan kita buat coffe shop sedemikian rupa untuk event itu. Dari mulai menu, dekorasi sampai apron! Semua serba pink!" terangnya tanpa menoleh.

Reygan yang berdiri di sebelahnya tersenyum. Diam-diam dia sepakat dengan Adrian. Dia tahu kenapa adiknya itu begitu sayang dan mencintai Indira.

Sekilas memang Indira biasa saja. Kalau cantik tentu semua tahu dia memang cantik, tetapi setelah semakin kenal, Reygan mulai menyadari jika istrinya itu istimewa. Indira punya banyak keterampilan dan memiliki pemikiran yang tidak pernah dia duga sebelumnya.

"Well! Jadi kamu membatalkan meeting dengan karyawan karena aku ya?"

Perempuan di sampingnya itu memamerkan dekikan di pipi. Sambil menggeleng dia berkata, "Karyawanku udah cukup cerdas dengan apa pun yang diperintahkan, jadi ... bukan masalah ketika aku nggak di sana."

Lagi-lagi Reygan terkesima dengan pembawaan santai Indira. Meski sebenarnya dia paham jika hati perempuan itu sedang diliputi banyak pikiran.

"Indira."

"Ya?" Kali ini dia menoleh dan tepat menatap mata sang suami.

"Makasih ya."

"Untuk apa?"

"Croissant yang kamu buatkan untukku ini."

Tertawa kecil, Indira mengangguk.

"Ini nggak seberapa dan bukan apa-apa dibanding dengan pengorbanan Mas Rey untukku dan untuk anakku." Indira tersenyum lebar lalu membuka oven saat benda itu berdenting.

**

Cokek jika typo yaaa




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top