Sweet Lies 30

Mentari bersinar hangat pagi itu setelah semalam hujan. Bunga dan tanaman lainnya di halaman terlihat segar menyambut pagi. Indira baru saja selesai membuat makaroni schotel pesanan sang suami. Karena hari Minggu, tentu Indira lebih leluasa membuat makanan yang diinginkan suaminya.

Setelah kedua keluarga mereka bisa memaklumi alasan Reygan untuk membatalkan perceraian, Indira mencoba memberikan afirmasi positif pada dirinya sendiri. Dia berusaha untuk mengabaikan perasaan takut jika suatu saat Sandra datang dan membawa Reygan kembali.

Semuanya sudah dia pertimbangkan, setidaknya pada akhirnya nanti baik mertua atau pun keluarganya cepat atau lambat akan tahu jika anak yang dia lahirkan kelak adalah anak Adrian bukan anak Reygan.

"Indira."

"Ya, Mas?"

"Aku harap kamu bisa memahami kenapa aku temani kamu hingga anak itu lahir ya."

"Iya, Mas. Aku paham."

"Sandra sudah bisa memahami dan dia tidak masalah dengan apa yang sedang kita jalani ini."

Indira mengerutkan keningnya mendengar penuturan Reygan. Sandra sudah tahu dan memahami kondisinya? Sungguh kali ini Indira merasa telah menjadi beban pada hubungan Reygan dan perempuan yang dikasihi suaminya itu.

"Mas sudah cerita semuanya?"

Reygan mengangguk, meski saat dia bercerita Sandra histeris dan tidak terima pada awalnya. Lagipula mana ada perempuan yang rela menyerahkan separuh hatinya menikah dengan perempuan lain dan sedang hamil meski anak yang dikandung bukan anaknya.

Akan tetapi, penjelasan Reygan yang detail serta membeberkan alasan yang sangat masuk akal, membuat perempuan itu setuju dengan apa yang sedang dilakukan kekasihnya.

"Tapi kamu harus berjanji untuk tidak melakukan hal yang seharusnya dilakukan seorang suami pada istrinya, Rey! Karena aku nggak akan pernah rela jika itu terjadi!" Demikian pesan Sandra kala mereka video call dua hari setelah Reygan memberi penjelasan kepada keluarganya.

"Aku minta maaf kalau apa yang kulakukan ini tidak seperti yang diinginkan Adrian, tapi ...."

"Aku tahu, Mas. Aku sangat paham. Mas nggak perlu merasa bersalah, karena dalam hal ini akulah yang harus meminta maaf dan berterima kasih," potong Indira.

"Kalau Mas nanti telepon Mbak Sandra, sampaikan salam maaf dan terima kasihku untuknya, dan sampaikan juga kalau aku nggak akan merusak hubungan kalian," sambungnya seraya mengulas senyum.

Reygan mengangguk. "Dia paham soal itu, kamu nggak perlu khawatir. Sekarang kita fokus kepada bayi yang ada di rahimmu. Dia harus tumbuh sehat dan bahagia. Jadi jangan sedih lagi ya."

Indira menarik napas dalam-dalam mengingat obrolannya semalam. Dia sama sekali tidak pernah membayangkan jika hidupnya akan seperti ini.

Tentu saja tidak seorang pun yang mau menerima takdir seperti yang tengah dia jalani, tetapi demikianlah hidup, tidak ada siapa pun yang bisa tahu rencana Tuhan, karena semuanya ada pada genggaman. Tidak ada takdir yang buruk, takdir buruk itu hanya pada cara pandang manusia, karena sesungguhnya Tuhan tidak pernah memberikan hal buruk bagi hamba-Nya.

"Indira? Kamu melamun?" Suara berat Reygan terdengar di sampingnya.

Dia menggeleng sembari menoleh menatap sang suami yang baru saja selesai berolahraga dengan peralatan gym-nya. Reygan terlihat segar meski titik-titik keringat terlihat di sebagian lengan dan dahinya.

"Ngelamunin apa? Heum?" tanyanya kali ini dengan suara lembut.

"Nggak ngelamun, kok. Oh iya, ini lemon hangat, udah siap." Dia menyodorkan gelas ke arah sang suami.

"Thank you!" Reygan menarik kursi dan duduk di atasnya lalu meneguk habis lemon hangat buatan Indira. "Kamu mau ke mana siang ini? Ada jadwal?" tanyanya setelah gelas diletakkan ke meja.

"Nggak ada, Mas. Aku nggak ke mana-mana."

"Coffe shop-mu? Kamu nggak ke sana?"

Indira menggeleng. "Sore nanti baru aku ke sana."

"Kenapa, Mas?" tanyanya menelisik.

"Nggak, aku mau ajak kamu jalan. Kamu mau?"

Indira tersenyum, tentu saja dia tidak akan menolak, karena mungkin dengan ini dia bisa lebih dekat dan menghilangkan rasa canggung dengan sang suami. Bukan karena dia ingin menghadirkan Reygan di hatinya, tetapi lebih ingin membuat dirinya tidak merasa sepi.

"Mas mau ngajak jalan ke mana?"

"Ke mal, terus ke toko buku. Ada buku yang mau aku aku beli. Kamu nggak apa-apa aku ajak jalan?"

Sambil menggeleng, dia menjawab, "Jam berapa kita berangkat?"

"Jam sepuluh? Gimana?"

Dia mengangguk. "Mas mau sarapan dulu atau mandi?" Indira menatap sang suami.

"Eum ... aroma keju dari makaroni schotel buatanmu udah membuat penghuni perutku meronta. Jadi ... aku mau sarapan dulu!"

Indira memamerkan dekikan di pipi, dia mengangguk lalu melangkah ke dapur dan mengeluarkan sarapan pesanan Reygan.

"Selamat makan, Mas."

"Kamu nggak ikutan?" Reygan menatapnya.

Dia mengangguk kemudian duduk dan ikut menikmati makan pagi bersama sang suami. Ini kali pertama mereka makan bersama dalam situasi yang hangat, dan hampir tak ada kecanggungan pada Reygan, meski tidak pada Indira. Perempuan itu masih harus berusaha untuk bersikap wajar jika berdua saja dengan sang suami.

**

Indira memisahkan diri dari Reygan, saat mereka berada di toko buku. Perempuan itu memilih ke bagian buku aneka resep hidangan yang mungkin bisa dijadikan referensi di coffe shop-nya. Sementara sang suami asyik memilih buku bisnis manajemen.

Tak jauh dari Indira berdiri, ada sepasang suami istri yang tengah memilih buku yang berhubungan dengan kehamilan. Tampak si istri tengah hamil muda. Perutnya terlihat sedikit membuncit. Sesekali sang suami mengusap perut istrinya sembari menatap penuh cinta.

Menyaksikan pemandangan itu, Indira menarik napas dalam-dalam kemudian tersenyum tipis. Bohong jika dia tak menginginkan diperlakukan hal seperti itu. Namun, tentu saja hal yang demikian tidak mungkin terjadi padanya meski ada Reygan. Bahkan berharap pun dirinya tidak berani.

"Ehem!" Deheman Reygan hampir membuatnya terlonjak. Dia menoleh dan cepat menyungging senyum agar tak terlihat jika dia tengah melamun.

"Melamun lagi? Dari pagi sampai siang ini berapa kali kamu melamun?" tanyanya menatap hangat.

"Oh ... eum, nggak. Aku nggak melamun," elaknya.

Pria berkaus hitam di depannya itu tertawa kecil.

"Orang kalau nggak ngelamun, nggak akan kaget hanya karena mendengar suara deheman, Indira," tuturnya menatap geli pada sang istri.

Indira menarik bibirnya singkat kemudian kembali menatap rak buku di depannya. Reygan menaikkan alisnya, pria itu menatap ke arah yang dipandang Indira tadi. Satu sudut bibirnya terangkat, pria itu paham apa yang dipikirkan istrinya.

Dia juga mengerti bagaimana kondisi psikologis pada ibu hamil. Konon dari artikel yang dia baca di internet, secara umum kondisi psikologis ibu hamil terkadang mudah berubah. Bisa jadi dia tiba-tiba bersedih, dan terkadang dengan cepat berubah gembira. Se-moody itu kondisi ibu hamil, terlebih jika kehamilan itu adalah kehamilan yang pertama.

Menarik napas dalam-dalam, dia menoleh ke Indira yang tengah menatap buku resep western yang dipegangnya.

"Kamu nggak mau cari buku-buku yang berhubungan dengan kehamilan?" tanyanya sembari merengkuh bahu Indira. "Atau kamu sudah baca-baca di internet?"

Jika tadi dia terkejut mendengar suara Reygan yang tiba-tiba, kini dia kembali dikejutkan dengan tangan pria itu yang berada di bahunya.

**

Masih membuka buat siapa saja yang mau baca cerita lamaku dg lengkap di tele berbayar ya. Yuk wa aku dulu 082142608908

Terima kasih sudah mampir 😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top