Sweet Lies 3

"Kami tetap akan menjadikan Indira menantu kami. Kami tahu mungkin ini terlalu terburu-buru, tetapi tidak ada keputusan yang salah untuk kebaikan Indira, Pak Hasim," tutur Antoni.

Marini dan suaminya bertukar pandang. Mereka tidak menyangka hal ini akan terjadi. Tentu saja mereka bahagia meski tidak tahu apakah Indira menerima atau tidak.

Marini menarik napas dalam-dalam, dia menatap Hasim lalu beralih ke Reygan.

"Apa benar ini keputusan Nak Reygan?" tanyanya hati-hati.

Marini tahu Reygan berbeda dengan Adrian, dan bukan tidak mungkin menurutnya Reygan sudah memiliki kekasih.

"Maaf ya, Nak Rey, kami hanya tak ingin membuat luka batin Indira semakin dalam. Jika ini bukan keinginan Mak Reygan, sebaiknya tidak perlu dipaksakan," imbuhnya.

Reygan mengusap tengkuknya. Pertanyaan Marini tentu akan sangat panjang jika dia jawab, dan tentu akan panjang bunga penyelesaiannya.

"Sebenarnya sebelum saya kembali ke Indonesia, adik saya berpesan untuk menjaga Indira jika dia tidak bisa lagi menjaganya," ungkap pria berkulit bersih itu. "Waktu itu sama sekali saya tidak berpikir jika dia memang benar-benar akan pergi."

"Jadi Adrian sudah mengatakan hal itu kepadamu?" Hasim menimpali.

"Iya, Pakde."

Mereka semua yang berada di ruangan itu terdiam. Tentu saja mereka pun tidak pernah menyangka jika ternyata Adrian sudah merasa tidak bisa membersamai Indira.

"Kalau begitu yang terjadi, biar saya yang bicara ke Indira," ujar Marini menatap satu per satu tamunya. "Tapi sampai sekarang Indira masih tidak mau makan dan berkata apa pun. Hanya sesekali saja dia mau minum," terangnya dengan wajah resah.

"Apa saya boleh menemui Indira, Bu Marini?" tanya Julia sopan. "Jujur saya sangat khawatir padanya."

"Boleh, Bu. Silakan. Semoga dengan Bu Julia, dia mau bicara. Mari, Bu, ikut saya," ajaknya seraya bangkit dari duduk.

Mereka melangkah menuju kamar Indira. Perlahan Marini membuka pintu lalu memberi isyarat agar Julia masuk.

Mama dari Reygan itu melihat Indira dengan tatapan sendu. Indira tengah duduk bersandar dengan tangan memegang foto Adrian.

Perempuan yang sejak kecil harus ditinggal selamanya oleh kedua orang tuanya itu terlihat kehilangan semangat hidup.

Benar kata Marini saat mereka melangkah ke kamar ini. Indira benar-benar terlihat terpukul oleh apa yang terjadi. Tidak ada sapa riangnya seperti biasa saat menyambut kedatangannya. Tak ada senyum manisnya saat melihat dia datang.

"Indira sayang, ini ada Mama Julia mau ketemu kamu, Nak." Marini perlahan mengusap puncak kepala keponakannya.

Bude dari Indira itu mempersilakan Julia untuk duduk di bibir ranjang.

"Saya tinggal ya, Bu. Biar Ibu bisa bicara nyaman dengan Indira," tuturnya seraya tersenyum.

Julia menarik napas dalam-dalam menatap Indira. "Sayang." Pelan Julia meraih tangan Indira.

"Mama," tuturnya lirih dengan air mata mengalir.

"Indira." Dia memeluk erat perempuan berkulit putih itu.

"Bude bilang kamu belum makan dari kemarin?"

Indira tak menjawab, dia lalu mengurai pelukan.

"Kamu makan ya, Sayang. Nanti kalau sakit gimana? Mama nggak mau kamu sakit, Indira."

"Indira pengin ketemu Adrian, Ma. Adrian janji nggak ninggalin Indira." Suaranya terdengar serak.

"Istighfar, Indira. Kamu nggak boleh begitu, apanyang terjadi, itu semua sudah digariskan Tuhan."

"Kamu tahu, nggak ada yang paling sedih selain seorang ibu saat kehilangan anaknya, dan Mama sangat terpukul saat tahu apa yang menimpa Adrian. Tapi Mama sadar, bahwa air mata sebanyak apa pun, penyesalan sebesar apa pun tidak bisa mengembalikan dia ke tengah-tengah kita, Sayang."

Senyap.

"Sayang, kamu makan ya. Mama nggak mau kamu sakit."

Tak ada reaksi dari Indira, Julia menarik napas dalam-dalam. Kali ini dia menatap figura yang ada di tangan keponakan Marini itu. Hati Julia mencelos mengetahui betapa sangat kehilangannya perempuan yang seharusnya hari ini menikah dengan Adrian itu.

"Dengar, Sayang. Adrian selama ini tidak pernah mau melihat kamu bersedih, kan? Dia juga paling tertib mengingatkanmu untuk tidak telat makan, kan?"

Perempuan berhidung mancung itu mengangguk pelan.

"Jadi sekarang, kamu harus bisa melakukan apa yang tidak disukai oleh Adrian. Kalau kamu sayang padanya, lakukan apa yang biasa kamu lakukan saat Adrian masih ada."

Bibir Indira perlahan tertarik, samar tetapi pasti dia mengangguk.

"Iya, Ma. Indira akan melakukan apa yang biasa dilakukan Adrian."

Helaan napas lega keluar dari bibir Julia.

"Syukurlah. Mama lega sekarang, karena Mama yakin Adrian di sana sudah bahagia, dan dia juga pasti menginginkan kami juga bahagia."

Sementara itu di luar kamar, terlihat Marini dan suaminya serta Reygan juga Antoni sedang terlibat obrolan serius. Seperti yang sudah diutarakan sejak awal jika Antoni meminta agar Indira tetap menjadi menantunya dengan menjadi istri bagi kakak mendiang Adrian.

"Karena menurut saya, secara tidak langsung apa yang dikatakan Adrian pada Reygan adalah sebuah permintaan terakhirnya, meski ksaat itu tentu saja tidak ada terbesit pikiran bapa pun di kepala Reygan, Pak Hasim," ujar Antoni.

"Iya, saya paham itu, Pak. Kita tunggu saja jawaban dari Indira. Semoga apa pun keputusannya itu adalah yang terbaik untuk kita semua," jelas Pakde Indira.

**

"Kalau kamu senyum begini, kamu makin terlihat cantik, Indira," puji Julia setelah Indira selesai makan dan membersihkan diri.

"Kamu harus bahagia, Nak," tutur perempuan paruh baya itu.

"Makasih, Ma. Meski masih sedih, tapi Indira senang saat tahu kalau banyak yang sayang sama Indira," ujarnya.

Julia tersenyum. Dia melangkah mendekati perempuan yang tengah duduk di depan cermin. Di mata Julia, Indira adalah tipe perempuan sederhana yang memiliki sifat santun dan tentu saja cantik.

"Indira."

"Iya, Ma?"

"Mama mau bicara sedikit serius. Apa kamu bisa kita bicara sekarang?"

Indira menoleh menatap Julia. "Bicara apa, Ma?"

Julia menarik napas dalam-dalam lalu mengusap pipi Indira.

"Kamu pasti tahu Reygan, kan? Meski belum pernah bertemu sebelumnya?"

Indira sejenak diam lalu mengangguk pelan. Meski tidak begitu mengenal dekat Reygan karena pria itu setelah lulus sekolah menengah atas langsung melanjutkan sekolah ke luar negeri. Dia hanya tahu dari cerita Adrian. Karena setiap dia bertandang ke rumah keluarga Erlangga, kakak dari Adrian itu sama sekali tidak pernah menunjukkan batang hidungnya.

"Mas Rey memang begitu, Indira. Dia lebih suka bergaul dengan buku dan laptopnya, tapi dia baik kok! Baik banget malah," ujar Adrian kala itu. "Kamu pasti senang kalau ngobrol dengan dia, ya, meski mungkin pada awalnya garing," imbuhnya seraya tertawa kecil.

Mengingat itu Indira mengangguk. Dia memang hanya tahu Reygan Erlangga dari foto-foto keluarga mereka yan terpampang di ruang tamu saja.

Julia kemudian bercerita tentang pesan yang disampaikan Adrian beberapa hari sebelum kepergiannya. Pesan yang mengisyaratkan agar Reygan menjaga Indira jika dia tidak bisa menjaganya.

Mendengar penuturan Julia, Indira bergeming. Sepertinya Adrian memang sudah mempersiapkan semua itu. Dia seperti tahu jika ada hal yang membuat dirinya dan Indira tidak bisa bersatu, tetapi dia sendiri tidak tahu apa.

Karena pesan yang sama juga pernah diucapkan oleh Adrian kepadanya. Bahkan di pesan pun Adrian selalu mengatakan hal yang tak jauh berbeda dengan pesan yang disambut kepada Reygan.

Akan tetapi, waktu itu sama seperti Reygan, dia tidak pernah menganggap serius apanyang dikatakan Adrian, hingga hari ini semuanya seperti terjawab.

"Jadi dia juga pernah mengatakan hal yang sama kepadamu?" Julia menatap perempuan yang lagi-lagi matanya berkaca-kaca.

Indira mengangguk pelan lalu menyerahkan ponselnya yang berisi pesan Adrian untuk dibaca oleh Julia.

**





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top