Sweet Lies 29


"Maafkan aku kalau apa yang Mas dengar tadi itu membuat kecewa, dan maaf kalau aku belum bisa jujur soal ini kepada ...."

"Aku tahu. Aku tahu kegelisahanmu."

Indira menautkan jemarinya, menyembunyikan wajahnya karena merasa malu dengan Reygan.

"Mas Rey percaya dengan apa yang Mas dengar? Mas Rey nggak ragu dengan apa yang terjadi padaku?" tanyanya mengangkat wajahnya kemudian kembali menunduk.

"Aku percaya, dan aku nggak ragu. Biar bagaimanapun, adikku memang salah dan aku meminta maaf untuk itu."

Ada sembilu terasa menusuk di hatinya. Memang benar Irene, tidak ada yang dia bisa perbuat selain menerima apa pun yang terjadi nanti. Tak mungkin juga Indira menggugurkan kandungannya, karena dia berpikir akan lebih banyak lagi dosa yang dia tumpuk.

"Aku menemukan ini di kamar Adrian, dan kertas itu juga yang membuatku berpikir untuk menunda perpisahan kita." Reygan menyodorkan kertas kepadanya.

Air mata Indira luruh membaca tulisan itu. Dia tahu Adrian sangat merasa bersalah dan sangat menyesali perbuatannya. Namun, sesal memang tidak berguna, bukan? Semua sudah terjadi dan kini dialah yang harus menghadapi sendiri.

"Aku akan menemanimu, Indira. Setidaknya biarkan keluargamu dan keluargaku tidak memiliki kesan buruk pada Adrian."

Alis Indira bertaut mendengar penuturan suaminya.

"Maksudnya, Mas?" Kali ini dia menatap pria yang juga tengah menatapnya.

Reygan tersenyum, dia lalu menarik napas dalam-dalam.

"Nama kamu akan tetap baik, pun demikian nama adikku dan sudah barang tentu nama keluarga kita juga akan baik." Reygan mengembuskan napas perlahan.

"Adrian sepertinya memang benar-benar bisa membaca apa yang akan terjadi, maka dia menginginkan aku menjagamu juga anak yang sedang kamu kandung," imbuhnya.

Indira bergeming, tetapi air mata di pipinya terus menetes. Malu, tentu saja dia merasa malu karena tidak pantas diperlakukan sebaik ini oleh Reygan.

Pria di depannya itu kini menjelma bak pahlawan yang melindungi dari akibat apa yang sudah dia lakukan. Meski Reygan tahu tak semudah itu dilakukan, karena pria itu memiliki Sandra dan sangat mencintai perempuan itu.

"Hilangkan ketakutan itu. Kamu harus fokus pada janin yang ada di rahimmu."

"Tapi, Mas, bagaimana dengan Mbak Sandra? Dia pasti akan sangat terpukul jika tahu kalau ...."

Reygan menggeleng sambil tersenyum.

"Dia perempuan yang sangat bisa diajak berdialog tentang apa pun. Aku tahu dia. Dan aku rasa Sandra akan terbuka dan paham dengan situasi ini."

Indira membasahi tenggorokan, dirinya menjadi semakin tidak memiliki arti apa pun kini di mata Reygan. Bagi Indira, dirinya kini di mata Reygan adalah perempuan kotor yang tidak bisa menjaga kehormatan diri meski adiknyalah yang membuat semua ini terjadi.

"Indira, aku paham kenapa kamu takut, kamu tidak ingin nama baik keluargamu juga keluargaku rusak, kan? Lebih dari itu, kamu juga takut mengecewakan Pakde juga budemu, kan?"

"Tapi nggak begini caranya, Mas. Kalau begini ... Mas Rey yang harus menanggung apa yang seharusnya bukan tanggungan Mas Rey. Aku nggak apa-apa, Mas.  Aku sudah siap dengan apa pun yang nantinya terjadi. Jadi jangan korbankan mimpi Mas Rey dengan Mbak Sandra karena kondisiku."

Reygan kembali tersenyum. Dia menatap lekat wajah cantik perempuan di depannya itu sehingga membuat Indira kikuk.

"Aku sudah menjelaskan semuanya tadi soal ini, kan? Mulai hari ini, jangan pernah berpikir macam-macam dulu. Kesehatan dan calon anak di rahimmu adalah prioritas utama saat ini. Sekali lagi, aku tahu sekarang kenapa Adrian berpesan seperti itu padaku."

Indira mengatupkan bibir, dia seperti telah kehilangan kata-kata untuk menjawab ucapan sang suami. Meski mungkin rasa bersalah itu kini dia rasakan pada Reygan, tetapi setidaknya untuk saat ini bisa bernapas lega karena ada seseorang yang bersedia menemani dan melindunginya dan calon bayinya.

"Sekarang kamu istirahat. Aku dengar tadi dokter bilang kandunganmu baik-baik saja, kan?"

"Iya, Mas."

"Syukurlah." Reygan mengembuskan napas lega. "Kamu mau makan apa?"

Indira mengernyitkan dahinya menatap sang suami.

"Makan? Aku ...."

"Orang hamil konon terkadang ada makanan yang dia inginkan. Kamu mau apa?"

Memamerkan dekikan di pipi, Indira menggeleng cepat. Baru beberapa waktu lalu pria di depannya itu mengetahui kondisinya, tetapi dengan cepat dia paham seperti apa kebiasaan ibu hamil pada umumnya.

"Aku nggak pengin apa-apa, Mas."

"Serius?"

Dia mengangguk.

"Mas."

"Ya?" Reygan menoleh saat hendak bangkit dari duduk.

"Mas yakin dengan keputusan tadi?"

Tersenyum tipis, Reygan justru mendekati Indira, dia menghenyakkan tubuh tepat di samping sang istri.

"Kamu masih nggak percaya?"

Tak berjarak dengan sang suami seperti ini, kembali dia merasa desir halus yang beberapa waktu lalu dirasakan saat mereka tengah berada di Yogyakarta.

"Bukan begitu, aku cuma nggak merasa pantas untuk ...."

"Aku membatalkan terbang sore nanti." Reygan menunjukkan ponselnya. Di sana jelas jika dia telah membatalkan keberangkatannya.

Hal itu semakin membuat Indira merasa semakin bersalah.

"Kamu nggak perlu merasa bersalah atau apa pun. Satu hal yang kamu harus tahu, anak Adrian itu juga anakku, jadi biarkan dia bahagia di sana dan merasakan jika ada seorang pria yang kelak bisa dipanggil papa."

**

Hasim tentu saja menyambut bahagia kabar kembalinya Reygan. Itu berarti tidak ada yang perlu dikhawatirkan pada pernikahan keponakannya. Meski pada awalnya baik dia dan Marini merasa ragu, tetapi Reygan terlihat bersungguh-sungguh untuk mencoba menjalani kehidupan rumah tangga yang sebagaimana mestinya dengan Indira.

"Saya bersyukur jika kamu punya niat baik ini. Tapi apa kamu benar-benar sudah yakin dengan keputusan ini, Reygan?" Hasim mencoba kembali meyakini dirinya.

"Benar, Pakde. Saya akan berusaha untuk menjalani pernikahan ini sebagaimana mestinya."

"Indira memang bukan anak kandung kami, tapi kami akan sangat ikut terluka jika dia merasa terluka. Jadi kami minta kamu tidak mempermainkan hatinya, karena sudah cukup kesedihan yang dia tanggung yang kami yakin kamu tahu."

Reygan mengangguk. Di kepalanya saat ini hanya bagaimana menjaga nama baik kedua keluarga dan tentu saja menjaga mental Indira yang rapuh jika saja tidak ada yang melindunginya. Nama baik Indira pun dipertaruhkan, jika dia harus hamil tanpa suami. Sebagai pendidik tentu akan banyak mata yang mengarah ke dia dengan kondisi yang sebenarnya.

"Pakde dan Bude jangan khawatir, saya akan berusaha untuk itu," tuturnya yakin.

Indira yang duduk di sebelah Reygan hanya diam mendengarkan pernyataan suaminya. Dia sadar, keputusan Reygan untuk tidak meneruskan rencana mereka di awal dan tidak kembali ke Amerika tentu tidak menjadi masalahnya selesai.

Indira paham akan ada hal lain yang muncul karena keputusan ini, dan hal itu belum mereka perbincangkan lagi.

"Setidaknya biarkan aku melindungimu dan keluarga kita. Jika nanti di tengah jalan ada hal yang di luar perkiraan ... biar namaku yang jelek, bukan kamu."

Demikian Reygan berucap saat Indira bertanya apa yang akan dilakukan jika semuanya tidak seperti yang diperkirakan.

Indira hanya menarik napas dalam-dalam saat Hasim dan Marini tersenyum memberi selamat padanya atas keputusan yang menurut mereka sangat baik itu.

Satu masalah sudah dilewati. Tentu akan lebih mudah Reygan bicara ke orang tuanya soal ini, karena sejak awal Antoni tidak sepakat dengan perceraian mereka.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top