Sweet Lies 27

"Mas Rey?" sapanya saat berada di belakang Reygan.

Pria bercambang tipis itu menoleh, matanya memindai Indira yang baru satu pekan dia tinggal. Ada rasa lega melihat sang istri baik-baik saja. Karena di Amerika dia tidak bisa berhenti memikirkan perempuan yang tengah tersenyum menghadapnya itu.

"Hai, apa kabar? Kamu sehat, kan?" Reygan bangkit mengulurkan tangannya.

Masih dengan tatapan tak percaya, Indira mengangguk sembari menyambut jabat tangan sang suami dengan mencium punggung tangannya.

"Mas kok tahu kalau aku di sini?" tanyanya heran. "Duduk lagi, Mas."

Reygan menganggap, sembari tersenyum dia berkata, "Aku nggak tahu kenapa aku memutuskan ke sini."

Indira menautkan kedua alisnya sambil tersenyum tipis, tetapi kemudian parasnya berubah serius saat melihat koper yang ada di samping Reygan duduk.

"Mas Rey ada apa ya? Apa ada sesuatu yang menghargai Mas balik ke sini? Bukannya Mas bilang tiga bulan baru kembali?" cecarnya masih dengan alis terangkat.

Reygan tertawa kecil.

"Aku baru dari bandara langsung ke sini, kamu nggak mau nawarin aku minum atau apa gitu?"

Paras Indira berubah tersipu menyadari kesalahannya. Segera dia meminta maaf dan meminta pelayan menyuguhkan kopi latte yang diinginkan Reygan.

"Maaf sekali lagi, Mas."

"It's oke. Nggak apa-apa, kok."

Tak menunggu lama kopi pesanan Reygan datang.

"Silakan, Mas."

"Kamu nggak minum?"

"Sudah tadi di ruanganku."

Pria berkemeja putih dengan lengan dilipat hingga siku itu mengangguk lalu menyesap kopinya. Sementara Indira menatap gerak-gerik suaminya, terlihat dia tidak sabar ingin mendengar apa yang akan disampaikan pria itu.

"Papa sama Mama tahu kalau Mas Rey pulang?" tanyanya saat Reygan meletakkan cangkir kembali ke atas meja.

"Nggak tahu. Nggak ada yang tahu."

"Nggak ada yang tahu? Kenapa? Ada apa sebenarnya, Mas? Apa Mbak Sandra juga pulang? Mas mau bikin kejutan buat mereka?" Kembali Indira Indira mencecarnya dengan pertanyaan.

"No!" Reygan mengedikkan bahu sembari menggeleng. "Semua pertanyaanmu barusan aku jawab nggak."

"Lalu?"

"Aku tidak sedang ingin memberi kejutan untuk Mama, Papa. Kamu mereka terkejut itu sudah sewajarnya dan aku tidak pernah berniat untuk itu." Reygan menaikkan satu sudut bibirnya. "Aku merasa ada yang harus aku bicarakan ke kamu lebih banyak. Itu alasan aku kembali secepat ini."

"Soal apa? Bukannya semua dokumen sudah ...."

"Bukan soal itu. Bukan soal proses yang sedang berjalan. Bukan soal itu."

"Lalu?"

"Soal kamu."

Indira menanggapi ucapan Reygan dengan mata membulat.

"Soal aku?"

"Iya."

Menarik napas dalam-dalam, Indira menggeleng. Dia merasa Reygan tengah menebak-nebak perihal dirinya.

"Mas Rey, aku sudah sering bilang, kan? Kalau aku sama sekali tidak keberatan jika harus menempuh jalan ini. Aku nggak mau mengambilnya apa yang bukan hakku meski itu adalah pesan Adrian. Jadi sebenarnya tidak ada lagi yang harus kita bicarakan, Mas."

Reygan menggeleng cepat.

"Aku tahu, tapi aku belum menandatangani surat itu sebelum aku memastikan kamu bahagia dengan keputusanmu sendiri," timpal Reygan dengan menatap lekat ke Indira.

Kembali Indira menautkan alisnya. Apa yang diucapkan pria itu tentu sangat membuatnya terkejut. Masih ingat bagaimana Reygan saat itu begitu menginginkan agar semua rencana itu segera terlaksana. Masih juga tergambar olehnya seperti apa paras dan suara Reygan saat menerima telepon dari Sandra hingga melupakan masakan yang dia minta sendiri waktu itu.

Tentu semua itu menyiratkan bagaimana perasaannya terhadap Sandra, dan itu pula yang menjadi alasan kuat baginya untuk menuntaskan semua rumit drama dalam pernikahan mereka.

"Jujur aku khawatir padamu, Indira," ungkapnya menatap serius. "Meski kamu mengatakan untuk tidak perlu mengkhawatirkanmu, tapi tetap saja aku khawatir."

Reygan menyugar rambut lalu membuang napas perlahan. Mungkin pada awalnya dia merasa tidak perlu khawatir pada istrinya itu, tetapi jika ingat kembali bagaimana isi tulisan tangan Adrian, kekhawatirannya pasti datang. Dia merasa jika Indira sengaja menyembunyikan masalah itu rapat-rapat meski dia tahu sudah pasti hal tersebut pasti membuat perempuan itu terluka.

"Aku membatalkan rencana itu."

Indira mengangkat wajah dan langsung bertemu dengan dengan mata Reygan yang tengah menelisiknya.

"Setidaknya nggak sekarang," sambungnya dengan suara lirih. "Aku merasa bersalah pada Adrian jika mengabaikan pesannya secepat itu. Karena biar bagaimanapun dia adikku dan ...." Reygan menggantung kalimatnya.

"Dan apa, Mas?"

"Nggak apa-apa. Aku khawatir padamu." Dia lalu menarik napas dalam-dalam. 'Aku nggak mungkin bertanya sejauh mana hubunganmu dengan adikku, Indira,' batinnya.

Indira membasahi kerongkongannya. Kalimat yang dia dengar dari bibir sang suami membuat dirinya semakin berada pada kegelisahan. Reygan telah membatalkan untuk menceraikan dirinya, meski tidak dalam waktu dekat. Itu artinya kakak dari almarhum Adrian itu hanya menunda."

"Kenapa harus ditunda, jika nanti akan menjadi semakin rumit, Mas?"

"Rumit?"

Indira mengangguk. Tanpa diketahui oleh Reygan dia mengusap perutnya seperti ingin menceritakan perihal sebenarnya yang dia sembuh. Namun, hatinya melarang. Dia tak ingin orang lain tahu untuk saat ini.

"Mungkin iya. Akan semakin rumit, tapi aku rasa semua akan bisa dipahami oleh Sandra."

"Sampai kapan, Mas? Jujur, sebaiknya jangan mundur dari rencana awal karena semakin lama Mas menunda ... Mas pasti akan semakin terbebani."

Reygan membuang napas kasar, bagaimana mungkin dia menjelaskan jika satu pekan kemarin dia bahkan tidak bisa berhenti memikirkan Indira? Bagaimana mungkin dia menceritakan jika setiap dia sendiri selalu terbayang senyumannya?

"Terserah kamu, Indira, tapi untuk sekarang aku merasa nggak mungkin secepat itu menandatangani surat itu."

Reygan menatap tajam tepat di mata istrinya.

"Lalu aku harus bagaimana?" tanyanya pasrah.

"Kamu nggak harus melakukan apa-apa. Kamu cukup tinggal di rumah kita."

"Rumah kita?"

"Iya, rumah yang Mama tunjukkan kepadamu waktu itu." Reygan tersenyum. "Itu rumahmu. Rumah kita."

Indira merapikan rambutnya, ada rasa ingin mengutarakan hal sesungguhnya kepada pria di depannya itu sekarang, agar nantinya Reygan tidak merasa dibohongi olehnya. Dia juga berpikir jika dia bicara soal kondisinya ke Reygan, mungkin akan lebih mudah dirinya bicara kepada mertuanya dan tentu saja Bude juga pakdenya.

"Dan untuk penjelasan soal ini, biarkan aku yang bicara ke Mama juga Papa ... tentu saja ke Pakde dan budemu."

**

Meski awalnya Hasim merasa keponakannya dipermainkan oleh Reygan, tetapi pada akhirnya dia melepas keputusan itu kembali kepada Indira. Hanya saja dia belum tahu rencana apa yang ada di kepala Reygan saat ini.

Namun, untuk semua alasan yang diberikan oleh Reygan telah membuat Hasim menyetujui keputusan Reygan dan juga Indira.

Seperti yang dikatakan Reygan, mereka berdua menempati rumah baru hadiah dari kedua orang tua Reygan. Meski tinggal serumah, mereka masing-masing menempati kamar yang berbeda.

Akan tetapi, baik Reygan maupun Indira jarang bertemu meski tinggal bersama, karena Reygan selalu pulang larut malam sementara Indira selalu berangkat kerja pagi-pagi sekali.

Kabar kembalinya Reygan bersama Indira, akhirnya sampai juga ke telinga Irene, sahabatnya itu menyambut dengan suka cita, bahkan dia menganjurkan agar Indira menceritakan soal kehamilannya segera kepada Reygan.

"Aku takut, Ren."

"Takut? Kenapa harus takut? Udah sampaikan saja seperti apa kondisimu sebelum dia balik lagi ke Amerika!"

Indira terdiam mendengar kalimat Irene.

"Aku bingung, Ren," ungkapnya. Jelas terdengar nada pesimis dari Indira.

"Bingung kenapa? Kamu ini terlalu over thinking. Apa-apa dibuat bingung. Udah ... suka nggak suka, ini pasti akan terjadi dan semua orang akan tahu, Indira."

Sejenak tidak ada yang bersuara. Indira masih mematung menatap dirinya pada pantulan cermin. Sementara di seberang, Irene pun dia menunggu jawaban dari sahabatnya itu.

"Sekarang suami kamu di rumah?"

Indira menggeleng.

"Dia akan pulang larut malam dan akan berangkat setelah aku tidak di rumah."

"What?"

"Iya. Kami serumah, tapi seperti itu keadaannya."

"Maksudmu ... kalian tidak pernah bicara satu sama lain?"

"Kami serumah baru dua hari, Ren, dan aku sudah menjalankan apa yang seharusnya dijalankan sebagai istri. Menyiapkan sarapan dia meski ada asisten rumah tangga. Aku juga selalu mengganti menyiapkan minuman hangat sebelum dia datang."

"Tapi dia baik padamu, kan?"

"Baik, tapi aku yang khawatir."

"Khawatir kenapa?"

"Aku takut terbawa suasana dan perasaan, Ren."

"Maksud kamu, kamu takut jatuh cinta padanya?"

Indira tak menjawab, tetapi Irene justru paham apa yang dimaksud sahabatnya.

"Dia suamimu, Indira! Suami yang sah di mata hukum juga agama, jadi kenapa harus kamu tahan perasaan itu?"

**

Halo, Teman-teman, Insyaallah aku mau bikin grup tele berbayar, ada yang mau ikut? Nnti di grup itu aku bakal share semua cerita lamaku yang gak selesai di WP kekira ada yang minat? Kalau minat sila hubungi wa aku 082142608908

Terima kasih 🙏💜

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top