Sweet Lies 24
Disempurnakan Cinta juga Usai open PO yaa
Yuk yang pengin kekep sila hubungi nomor telepon di banner ya. Terima kasih.
Sepanjang perjalanan ke apotek, pikiran Indira tak menentu. Jika nanti terbukti benar apa yang dia khawatirkan, tentu akan Bude dan pakdenya akan sangat terpukul dengan apa yang sudah dia perbuat.
Selain itu tentu saja dirinya akan banyak dicibir karena hamil di luar nikah dan tak memiliki suami. Belum lagi profesinya sebagai seorang pendidik, tentu akan membuat malu nama sekolah tempat dia mengajar.
"Kalau lagi di jalan, jangan ngelamun, Mbak!" seru seseorang yang hampir saja tertabrak olehnya.
"Oh, iya. Maaf, Mas."
Dia memang tidak ngebut saat mengendarai motornya, tetapi pikirannya memang sedang melayang pada bagaimana nasibnya jika apa yang dia takutkan terjadi.
Menghela napas, Indira akhirnya tiba di depan apotek. Dibuangnya pikiran yang sejak tadi menggayut, biar bagaimanapun dia memang salah, dan jika benar dia hamil, itu artinya dirinya harus menerima konsekuensi dari kesalahan yang dia perbuat bersama Adrian.
Indira masuk dan membeli testpack setelah membayar dia gegas meninggalkan apotek. Hatinya bertalu karena segera ingin sampai di rumah dan mengetahui apa hasilnya nanti.
Sesampainya di rumah, dia segera menuju kamar mandi. Debar jantungnya semakin cepat saat alat tersebut mulai bekerja. Air mata Indira meleleh begitu saja melihat dua garis merah tampak sangat jelas di sana.
"Nggak, nggak boleh! Ini pasti nggak bener! Ini pasti salah, aku pasti salah lihat!" pekiknya sembari mundur dan bersandar di tembok.
Tubuhnya melunglai kemudian jatuh terduduk. Air mata Indira terus mengalir, kedua bibirnya tampak dia gigit sekuat-kuatnya seolah menahan emosi yang menggeliat.
'Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku katakan kepada Bude juga Pakde? Lalu ... apa nanti keluarga Adrian bisa dan mau menerima anak ini? Anak yang berkembang di rahimku, anak dari Andrian? Apa yang ada di pikiran mereka?' Batin Indira berkecamuk berbagai pertanyaan.
'Lalu ... bagaimana dengan pekerjaanku sebagai seorang guru? Apa kata kepala sekolah dan semua teman-teman jika mereka tahu? Lalu? Bagaimana para wali murid jika mengetahui guru dari anak mereka seorang perempuan yang tidak bisa menjaga kehormatannya?'
Indira merasa dadanya diimpit beban berat yang dia tak mampu menghalau, sehingga dirinya berteriak sekuat tenaga dan menumpahkan segala rasa sedih, kecewa, serta amarah.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Apa?" pekiknya sembari mengepalkan tangan menahan perih luka di batin.
Salah, dia melakukan kesalahan besar dengan membiarkan kejadian malam itu terjadi begitu saja. Membiarkan dosa menjadi indah karena diselimuti oleh cinta dan asmara. Kini dirinya berada di titik terendah bagi seorang perempuan. Siapa pun tak akan suka berada pada posisinya.
"Kenapa kamu ada? Kenapa kamu harus hadir saat dia harus pergi? Kenapa!" tuturnya lirih dengan air mata yang tak berhenti mengalir.
Samar dari dalam, dia mendengar ponsel yang dia letakkan di meja makan berbunyi. Cepat dia beringsut keluar dari kamar mandi.
"Halo, Irene."
"Ra? Are you oke? Kamu kenapa?" Irene merasa Indira sedang tidak baik-baik saja. Hal itu terbaca dari getar suaranya.
"Nggak, Ren. Aku nggak baik-baik aja. Aku mau mati aja!" jawabnya semakin terisak.
"Ra! Kamu bicara apa sih? Cerita ke aku, kamu kenapa?"
Indira menarik napas dalam-dalam, lalu mengusap pipinya yang basah.
"I'm pregnant, Ren!" Tangisnya pecah. "Aku hamil dan aku sendirian! Aku menyesal, Irene! Aku mau mati aja! Aku sudah bikin malu Bude, Pakde dan ... aku malu pada Mas Reygan!" pekiknya histeris.
"Indira, stop! Aku ke rumahmu sekarang! Please, tenangkan dirimu!"
Obrolan berakhir, Indira duduk di ruang makan, matanya sendu menatap tudung saji yang menutup hidangan yang sengaja disiapkan oleh Marini untuk dirinya.
Sedemikian rupa baiknya Bude dan pakdenya, dan kini mereka berdua harus menerima aib yang disebabkan oleh keponakan mereka. Keponakan yang sejak kecil mereka asuh dan besarkan dengan penuh kasih hingga saat ini.
Mengingat semua itu, hati Indira semakin hancur. Luka yang kini ada, bukan hanya membuat perasaannya patah, tetapi juga membuat rapuh jiwanya. Dia merasa sudah bukan lagi keponakan yang pantas untuk disayangi, karena telah mencoreng nama keluarga Hasim.
Belum lagi bagaimana jika pihak sekolah tempat dia bekerja tahu akan hal ini? Mereka pasti akan sangat malu dan nama sekolah internasional yang disandang sekolah tersebut juga akan tercoreng.
Penyesalan yang tentu saja selalu hadir di akhir, dan sama sekali tidak bisa diputar untuk memperbaiki keadaan.
Kebimbangan yang paling menyesakkan yang kini dia rasakan adalah bagaimana cara menceritakan hal yang kini dia alami kepada Pakde juga budenya. Air mata Indira kembali menganak sungai, bahkan jika air matanya habis pun tidak bisa mengubah keadaan.
Ketukan di pagar dan suara Irene membuatnya bangkit dari duduk. Dia lalu berjalan lesu membukakan pintu dan pagar untuk sahabatnya itu.
"Masuk, Ren!" titahnya dengan mata sembab.
Mereka berdua duduk di sofa yang terletak di ruang tamu. Irene memeluk sahabatnya, dia membiarkan Indira menumpahkan semua kekesalan, penyesalan, dan kekecewaan yang ada di hatinya.
"Aku nggak tahu harus bagaimana, Irene. Aku udah nggak bisa berpikir apa pun! Aku merasa sangat berdosa! Berdosa pada Tuhan, berdoa pada Bude, Pakde, dan ... orang tua Adrian," sesalnya dengan suara tertahan sembari mengurai pelukan.
"Aku paham, Ra. Aku bisa ngerti apa yang kamu rasakan." Irene mengusap punggung Indira. "Tapi tolong, jangan bilang hal seperti tadi. Ucapan seperti itu hanya akan semakin membuat rumit masalah, Ra. Kamu bisa melewati ini, ada aku! Aku akan ada kapan pun kamu butuh teman!"
Indira me mengusap kembali pipinya, menarik napas dalam-dalam, dia menatap Irene.
"Thank you, Ren, tapi gimana. Aku bicara ke Bude, Ren? Dan Pakde ... dia pasti akan sangat murka, lalu ... anak ini, anak ini, kan cucu mereka, tapi apa mereka mau terima dan mau percaya kalau apa yang aku ceritakan itu benar? Lalu jika tidak ... apa yang akan terjadi padaku, Ren! Apa?" Kembali Indira menangisi, kali ini terdengar semakin pilu.
Irene tak bisa berbuat banyak, baginya saat ini Indira hanya butuh teman agar dia merasa tidak sendiri. Irene khawatir jika sahabatnya itu sendiri, maka bukan tidak mungkin akan melakukan hal-hal yang bisa membahayakan dirinya seperti yang dia dengar di telepon tadi.
"Indira, kamu sekarang tenang dulu. Kita nggak bakal bisa berpikir kalau kamu terus-menerus seperti ini. Kamu nggak bisa terus menyalahkan diri sendiri. Aku tahu kamu merasa bersalah dan menyesal, tapi semua yang kamu rasakan itu nggak akan pernah bisa mengurai masalah buang kamu alami, Ra. Dengarkan, aku! Ini semua pasti ada jalan keluarnya, kamu nggak sendirian, Ra. Ada aku, ada Tuhan yang maha mengampuni, dan ada dia! Calon anakmu dan almarhum Adrian. Jadi kamu harus kuat!"
Ucapan Irene kembali membuat Indira sesenggukan. Jika boleh menukar raga, maka dia akan meminta pada Tuhan agar Adrian kembali dan meminta agar Tuhan mengambilnya saja. Dengan begitu, dia tidak akan merasa manusia paling bersalah di bumi.
"Kamu tahu? Kematian bukan jawaban dari masalah yang ada. Justru kematian adalah awal dari ujian yang akan dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan. Kamu siap menjawab pertanyaan Tuhan atas apa yang kamu lakukan?"
Irene menatap sahabatnya. Tampak jelas luka di mata Indira. Dia pun merasa tak akan sanggup jika berada di posisi Indira.
"Kamu harus yakin kamu bisa melewati ini, Ra. Kamu harus yakin ada kebahagiaan yang sedang menunggu di depan sana untukmu dan untuknya," tuturnya lagi sembari mengusap perut Indira yang masih rata.
"Sekarang ... kamu tenang. Aku bantu memikirkan hal pertama apa yang harus kamu lakukan." Dia menyodorkan tisu ke Indira. "Janji kamu akan kuat?"
"Iya, Ren. Aku harus kuat seperti yang kamu bilang. Karena ... dia anak Andrian dan aku."
Irene menghela napas lega, meski belum yakin dengan jawaban Indira, tetapi setidaknya sahabatnya itu terlihat lebih tenang sekarang.
**
Double update ya
Terima kasih 🙏💜
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top