Sweet Lies 23
Indira resah menatap kalender, dia teringat saran dari Irene untuk membeli alat tes kehamilan. Jika awalnya dia sama sekali tidak pernah berpikir tentang kondisinya, kini kekhawatiran dan ketakutan perlahan mulai menyelimuti.
Setelah obrolan panjang lebar bersama kedua mertuanya, hingga akhirnya keputusan seperti yang diharapkan, Indira diminta oleh Antoni juga Julia untuk menempati rumah yang disediakan. Rumah yang beberapa waktu lalu dia kunjungi.
Indira tentu saja menolak, karena akan menjadi sangat tidak nyaman dia berada di sana sendirian dengan statusnya nanti. Seorang janda.
"Mama mohon, Indira. Rumah itu milikmu, anggap itu adalah hadiah dari kami untuk menghormati persahabatan kami dengan almarhum kedua orang tuamu. Mama ingin kamu nyaman, seperti yang diinginkan Adrian."
"Mama, Papa, maafkan Indira, ini bukan karena saya tidak menghormati apa yang ditawarkan Mama juga Papa, tapi ... Indira benar-benar tidak bisa, Ma. Indira mohon, biarkan semua berjalan seperti biasa. Mama juga Papa nggak perlu khawatir, Indira yakin almarhum kedua orang tua Indira sudah sangat bahagia dengan semua kebaikan Mama juga Papa."
Penolakan halus Indira, akhirnya tidak bisa ditawar lagi oleh kedua orang tua Reygan. Meski mereka sudah berusaha memberikan kenyamanan pada anak dari sahabat mereka, tetapi kenyamanan yang dipilih Indira tidak seperti kenyamanan yang mereka pikirkan.
Indira menyerahkan semua dokumen untuk kelengkapan perceraian dia dengan Reygan. Dia pun sudah berdialog dengan Bude juga pakdenya untuk masalah itu.
Sama halnya seperti kedua orang tua Reygan, Bude dan pakdenya pun awalnya mencoba mencegah apa yang jadi niatan Indira. Namun, pemaparan keponakannya yang dirasa sangat benar dan masuk akal akhirnya mereka pun menyetujui apa yang diinginkan Indira.
Kini Indira kembali memilih tinggal dengan Pakde dan budenya. Meski tentu harus menghadapi omongan beberapa tetangga yang selalu ingin tahu.
"Indira," panggil budenya sembari membuka pintu kamar yang memang dia biarkan terbuka sedikit.
"Iya, Bude?"
Kening Marini berkerut melihat keponakannya berdiri di depan kalender.
"Kamu ngapain berdiri di situ, Indira?"
"Oh, nggak, Bude. Eum ... cuma mau lihat jadwal libur sekolah. Kebetulan kita sama anak-anak ada jadwal outbond," tuturnya beralasan.
Marini mengangguk. "Boleh Bude masuk?"
"Boleh, Bude."
Perempuan paruh baya itu tersenyum lalu mendekati Indira.
"Bude cantik banget, mau ke mana?" Matanya menelisik Marini dari ujung rambut hingga kaki.
Dipuji sang keponakan, Marini tertawa kecil.
"Kamu ini kalau muji paling pinter!"
"Emang iya, kok, Bude cantik. Ini masih bisa dibilang pagi, Bude udah pakai gaun. Mau ke mana, Bude?"
"Bude sama Pakde mau ke acara nikahan putri sahabat pakdemu sampai sore nanti. Kamu hari ini nggak ada rencana keluar?"
Indira menggeleng. Hari Minggu ini mau dia habiskan untuk kembali mengatur perencanaan untuk konsep coffe shop miliknya.
"Indira nggak ke mana-mana, Bude."
"Ya udah, tadi Bude sudah masak buat makan siangmu. Kari kepiting, kamu suka, kan?"
Mata indahnya membulat. Bude seperti tahu apa yang dia inginkan.
"Suka banget! Pokoknya masakan Bude nggak ada tandingannya!"
Marini mengusap pipi keponakannya dengan lembut.
"Ya sudah, Bude sama Pakde pergi dulu ya. Hati-hati di rumah, Sayang."
"Iya, Bude."
**
Menarik napas dalam-dalam, Indira menutup pintu rumah setelah melepas kepergian Bude dan pakdenya. Dia lalu melangkah ke dapur, untuk mengambil buah potong yang biasa disediakan Marini setiap hari. Sudah ada nanas, pepaya, juga melon tersedia di wadah di dalam kulkas.
Dia bersyukur memiliki keluarga yang selalu melindungi dan mendukung apa pun keputusannya meski mungkin terkadang membuat mereka harus berusaha memaklumi. Pakde Hasim adalah seorang pebisnis di bidang agrikultur.
Sudah ada beberapa restoran dan resort juga hotel yang bekerja sama dengan perusahaannya. Pernah suatu kali dia ditawari oleh pakdenya untuk mengelola bisnisnya di daerah lain, tetapi dia menolak karena merasa tidak memiliki kemampuan di bidang itu.
Indira membawa satu mangkuk berisi buah potong ke ruang tengah. Seperti apa yang dikatakan Antoni, dia tidak perlu resah dengan apa yang sudah dia putuskan. Berkas perceraian dirinya dengan Reygan akan diurus seperti yang diinginkan olehnya.
Karena menurut Antoni, apa yang sudah terjadi adalah tanggung jawab mereka karena biar bagaimanapun pernikahan yang Reygan dan Indira langsungkan beberapa waktu lalu adalah inisiatif dari mereka meski atas dasar pesan dari Adrian.
Mengambil remote, dia menyalakan televisi. Tak ada yang menarik hatinya, tetapi setidaknya pagi itu dia mencoba membunuh sepi dengan tontonan di layar kaca itu.
Satu pesan masuk terlihat saat ponselnya bergetar. Mata Indira menyipit melihat nama si pengirim pesan. Mas Reygan, demikian terbaca di ponselnya.
Sejak Reygan bertolak ke Amerika, pria itu hanya satu kali mengirim pesan, dan pernah juga menelepon karena memberi kabar jika dia sudah sampai di Negeri Paman Sam tersebut.
[Indira, Papa sudah telepon dan sudah menyampaikan apa yang kamu janjikan padaku untuk menyelesaikan apa yang jadi pikiranku.]
Tak membalas, Indira hanya tersenyum membaca pesan itu.
[Terima kasih sudah menepati janji secepat ini.]
Perempuan yang menguncir rambutnya itu masih tersenyum.
[Kamu sudah tandatangani semua dokumennya?]
Indira mengatupkan bibirnya, dia kemudian mulai mengetik.
[Papa belum mengirimkan apa pun ke aku yang menyangkut dokumen, Mas, tapi begitu ada yang harus ditandatangani, aku segera selesaikan. Aku janji.]
Terlihat Reygan sedang mengetik, setelah Indira menunggu lama, tidak ada pesan yang terkirim.
[Mas Rey sehat, kan?]
[Iya, aku sehat. Kamu?]
[Sama. Sehat juga. Ya udah ya, Mas. Jaga kesehatan. Salam buat Mbak Sandra.]
Indira menyudahi chating mereka. Dia kemudian kembali menatap layar kaca, meski ucapan Irene kembali terngiang.
Sementara Reygan memijit pelipisnya menyadari jika ada yang mulai tidak beres pada perasaannya.
"Maaf, Indira, aku nggak bisa pernah menyampaikan salammu padanya."
"Nggak, nggak! Aku nggak boleh menyakiti Sandra, tapi jika tidak menyakiti Sandra, maka aku akan menyakiti Indira," keluhnya sembari menghenyakkan tubuh di sofa.
"Tapi Indira sepertinya baik-baik saja," gumamnya.
Reygan kembali mencoba mengirim pesan kepada Indira.
[Indira, kamu baik-baik saja, kan?]
Lama Reygan menunggu jawaban dari istrinya, tetapi perempuan itu terlihat tidak sedang online dan itu membuatnya resah.
**
"Papa yakin dan benar-benar setuju dengan apa yang diinginkan Indira, Pa?" Julia kembali mengingatkan suaminya.
Antoni mengedikkan bahu sembari menatap map merah berisi berkas-berkas yang harus ditandatangani Reygan dan Indira.
"Sebenarnya apa yang Mama pikir itu sama dengan yang Papa pikirkan, tapi kita bisa apa? Mereka sudah sama-sama dewasa dan berhak menentukan pilihan mereka sendiri."
Julia menarik napas dalam-dalam teringat pesan Adrian yang akhirnya akan berantakan.
"Lalu bagaimana dengan pesan Adrian, Pa?"
Antoni menggeleng.
"Adrian itu hanya berpikir sepihak. Dia hanya sebagai perencana, tetapi Tuhan yang paling berhak mengeksekusi, kan? Jadi ... kita bisa apa, Ma?"
Julia meraih map dari meja. Dia kembali menarik napas dalam-dalam.
"Apa nggak lebih baik kita kembali bertanya pada keduanya soal ini, Pa? Mama pengin mereka kembali bersatu dan bisa saling jatuh cinta."
Antoni menatap lelah ke istrinya.
"Mama, ini yang mereka mau, dan jika mereka hendak melanjutkan maka berkas ini harus mereka tandatangani, dan jika tidak ... mereka juga bisa membiarkan surat ini bersih tanpa ada tandatangan mereka."
**
Matahari sudah tinggi, tampak Indira keluar dari rumah. Perempuan itu terlihat cantik dengan mengenakan celana panjang cokelat dan blouse berwarna hitam. Rambut indahnya dibiarkan tergerai.
Setelah mengunci rumah dan pagar, dia meluncur meninggalkan rumah. Setelah merenung cukup lama tadi akhirnya Indira memutuskan untuk mengikuti saran Irene untuk membeli alat tes kehamilan di apotek.
"Kamu harus menuntaskan semua keraguan dan pertanyaan di kepalamu, Indira!" Demikian Irene menyarankan.
**
Jadi gimana nih?
Terima kasih sudah meramaikan kisah ini.
Salam hangat 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top