Sweet Lies 21
Indira menyipitkan mata saat menyadari jalan yang mereka lewati bukan jalan ke arah kediaman keluarga Reygan.
"Mama kita mau ke mana?"
Julia tersenyum lebar.
"Mama tadi, kan sudah bilang kalau mau kasi kejutan buatmu."
"Kejutan, Ma?"
"Iya. Sebentar lagi kita sampai, kok! Iya, kan, Pak Jaja?"
Sopir keluarga Antoni itu mengangguk seraya berkata, "Iya, Bu, Mbak. Sebentar lagi sampai."
Indira mengangguk sembari tersenyum. Dia lalu melihat ke luar jendela mencoba mengalihkan pikirannya yang gelisah memikirkan siklus menstruasinya.
Malam itu memang benar-benar membuat dia dan Adrian tenggelam sama dosa. Suasana hujan dan petir juga cuaca yang sangat dingin membuat mereka larut dalam kenikmatan sesaat.
"Kita salah, Adrian," lirih Indira seraya memeluk selimut.
"Maafkan aku. Aku janji ini nggak akan pernah terjadi lagi hingga kita menikah nanti. Aku yang paling salah," tutur Adrian dengan paras menyesal.
"Maafkan aku, Indira," imbuhnya kemudian memeluk erat tubuh perempuan di sampingnya itu.
Indira menarik napas dalam-dalam, saat kenangan itu tersaji di memorinya.
'Tuhan, jika benar aku tengah hamil, apa yang harus aku bilang ke Bude juga Pakde, dan apa reaksi keluarga Adrian jika mereka tahu? Apa mereka percaya jika Adrian pernah melakukan hal itu denganku? Mereka semua pasti akan membenciku.' Indira bermonolog.
'Nggak! Aku nggak hamil, aku hanya stress. Aku nggak mungkin hamil!' Kembali dia membatin.
Andai Adrian ada, tentu dia tidak setakut ini. Lagipula jika Adrian ada, tentu kehamilan ini akan disambut gembira oleh semua. Karena mereka sudah menikah dan tentu dia akan dilimpahi segenap perhatian oleh semuanya.
"Indira." Julia memanggilnya menantunya saat mobil yang mereka tumpangi berhenti di sebuah rumah bercat putih dan berpagar tinggi berwarna hitam.
Tampak seorang perempuan pendek bertubuh sedikit subur yang jika ditaksir berusia tiga puluh tahunan tergopoh-gopoh membuka pagar.
"Indira? Kamu kenapa kok melamun?" Sentuhan tanga. Julia di bahunya membuat Indira sadar jika dia tengah bersama Julia.
"Eh iya, Ma. Nggak kenapa-kenapa, Ma," jawabnya gugup.
"Kita sudah sampai. Ayo turun!" ajak mertuanya.
Tanpa bertanya dia mengangguk dan segera turun dari mobil. Indira mengedarkan pandangan dari tempat dia berdiri. Sebuah rumah yang indah dengan taman yang ditumbuhi rumput bak permadani hijau yang digelar. Terdapat beberapa tanaman suplir dan sansevierra berjajar indah.
"Kamu suka?" Julia mendekat dan menatapnya.
"Suka, Ma. Eum ... tapi ini rumah siapa, Ma?"
Mama mertuanya itu tertawa kecil mendengar pertanyaan menantunya. Dia lalu mengajak Indira masuk. Kembali dia disambut oleh pemandangan lapang di ruang tamu yang langsung terhubung dengan ruang keluarga dan dapur bersih. Ada mini bar juga di sana.
Tampak di dinding ruang tamu foto pernikahan dia dengan Reygan berukuran besar terpampang dibingkai dengan figura kayu yang berukir.
"Ini rumah kamu. Rumah kamu dengan Reygan. Hadiah dari kami!"
Indira terkesima mendengar jawaban Julia. Pernikahan dia dan Reygan masih jelas tidak mungkin terus berjalan, kini mertuanya telah memberi kejutan sebuah rumah lengkap dengan perabotannya sekaligus.
Kebahagiaan demikian terpancar dari paras mertuanya itu, menjadikan dia kembali berpikir untuk mengatakan hal yang sebenarnya terjadi pada pernikahan dia dan Reygan.
"Kamu boleh lihat-lihat seisi rumah ini. Ini rumahmu." Julia tersenyum hangat. "Oh iya, di belakang ada gazebo dan peralatan fitness, jadi biar suamimu nanti nggak kemana-mana lagi kalau mau olahraga!" terangnya dengan mata yang berkilat bahagia.
Indira mengangguk paham.
"Kamu nanti kalau tinggal di sini, ditemani Neni, dia anak Bik Atun. Neni ini sudah berkeluarga, punya anak dua. Iya, Nen?" Julia menoleh pada perempuan berdaster kuning yang baru saja meletakkan dua teh hangat di meja tak jauh dari tempat dia dan Indira berdiri.
"Iya, Bu," sahutnya sopan.
"Tapi dia nggak tinggal di sini, Ra. Karena anaknya masih kecil-kecil. Sore jam lima dia pulang, dan jam lima pagi dia ke sini."
Kembali Indira mengangguk. Semakin keluarga Antoni baik padanya, semakin gelisah pula yang dia rasakan.
Baginya, semua yang dia rasakan kini tentu tidak sebanding dengan kenyataan yang harus dihadapi dan ditelan oleh Reygan. Kakak dari kekasihnya itu sampai saat ini masih bimbang karena menunggu janjinya untuk bicara ke Antoni dan Julia tentang sikap yang dia ambil.
"Indira boleh ke halaman belakang, Ma?"
"Boleh dong. Seperti yang Mama bilang tadi, ini rumahmu, Indira. Kamu bebas mau apa saja." Julia mengambil ponselnya yang berdering dari dalam tas. Papa telepon. Sebentar ya," tuturnya sembari memberi isyarat agar Indira melanjutkan untuk melihat-lihat rumah itu.
Perempuan paruh baya itu menjauh menuju ruang tamu, sementara Indira ke halaman belakang ditemani Neni.
Di halaman belakang tak kalah indah, ada kolam renang dan gazebo serta tanaman yang menghijaukan tempat itu. Tempat khusus gym terletak di sebelah gazebo. Tempat itu sangat teduh.
Indira duduk di bangku yang menghadap ke kolam renang. "Duduk sini yuk!" ajaknya.
"Rumah kamu jauh dari sini, Nen?"
"Lumayan, Mbak," sahutnya tersenyum.
"Lalu setiap hari kamu diantar jemput?"
"Iya, suami yang mengantar dan menjemput saya. Kebetulan suami kerja di toko bangunan yang nggak jauh dari komplek ini."
Indira mengangguk sembari tersenyum.
"Anakmu usia berapa?"
"Anak saya yang besar baru mau masuk TK tahun depan, dan yang kecil baru delapan bulan, Mbak."
"Delapan bulan? Kamu tinggal? Lalu dia sama siapa?" cecarnya.
Perempuan berkulit cokelat itu tersenyum ramah.
"Ada bulek saya. Adik Ibu saya yang jagain, Bu. Kebetulan bulek berjualan di rumah dan nggak punya anak jadi dia yang bantu jaga anak-anak saya," paparnya.
Indira menghela napas panjang. Tuntutan hidup yang sedemikian rupa membuat para perempuan harus ikut banting tulang agar roda ekonomi keluarga bisa terus berjalan.
"Mbak kapan rencana tinggal di sini?"
Indira bergeming. Tinggal di sini? Itu artinya dia akan semakin terikat dengan keluarga Antoni, sementara kondisi yang seharusnya adalah hal rumit yang belum bisa dia ungkap.
"Eum ... entah, Mbak. Saya juga belum bisa memastikan."
"Saya kenal dengan Mas Rey itu sejak ibu saya kerja di rumah beliau. Keluarga Antoni itu sangat baik. Mas Adrian almarhum juga sangat baik dan rendah hati. Saya sangat sedih saat tahu beliau meninggal."
Indira menoleh ke arah Neni, terbaca kesedihan di wajahnya.
"Ibu saya bilang Mas Adrian punya pacar, saya jadi kasihan sama pacarnya."
Mendengar penuturan Neni, Indira tersenyum getir.
"Kata ibu saya, Mas Rey sekarang ke Amerika ya? Mbak nggak ikut?" Pertanyaan Neni sangat polos, tetapi tidak salah untuk sepasang pengantin baru.
"Nggak, Nen." Indira menggeleng. "Mas Rey nggak lama di sana. Nanti juga dia balik. Lagian ... ngurus segala sesuatunya untuk ke sana itu nggak mudah," jelasnya.
Neni mengangguk paham. "Saya mau ke dapur dulu ya, Mbak. Tadi Bu Julia meminta saya untuk memasukkan buah, sayur juga berbagai lauk ke kulkas."
"Iya, Nen. Makasih udah nemenin saya."
Neni mengangguk sopan lalu mundur dan membalikkan badan menuju dapur.
"Gimana? Suka dengan rumahnya?" Suara Julia muncul dari pintu yang menghubungkan ruangan di dalam dengan halaman belakang.
"Suka, Ma," jawabnya sembari menoleh. Mertuanya itu mendekat kemudian menghenyakkan tubuh di samping Indira.
"Pilihan Mama nggak pernah salah memang," ujarnya bangga sambil tertawa kecil.
"Reygan barusan telepon juga tadi, dia bilang telepon kamu nggak bisa."
Indira tersenyum.
"Iya, Ma. Low batt." Indira beralasan, padahal kedua ponselnya sengaja dia silent.
Julia tertawa kecil.
"Dia khawatir sepertinya."
"Khawatir kenapa, Ma?"
"Khawatir kalau terjadi sesuatu padamu. Karena dia bilang ini sudah menjelang sore kenapa kamu nggak bisa dihubungi. Gitu katanya."
Penuturan sang mertua membuat Indira tersenyum tipis. Andai Julia tahu untuk apa Reygan menelepon, pasti beliau gusar atau bahkan enggan menerima telepon dari putranya itu.
Indira tahu jika Reygan hendak bertanya apakah dirinya sudah mengatakan hal yang sesungguhnya kepada kedua orang tuanya. Karena sebelum berangkat tadi, dia kembali meyakinkan suaminya itu jika dia akan sesegera mungkin mengatakan apa yang dia dan Reygan inginkan pada pernikahan ini.
"Oh iya, Indira, tadi waktu kita di restoran ... kamu bilang mau mengatakan sesuatu? Apa itu?" tanya Julia.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top