Sweet Lies 20


Julia tersenyum lebar melihat menantunya menghampiri. Meski semua rencana tidak seperti yang diinginkan, tetapi dia bahagia tetap bisa mewujudkan janji pada almarhum Mama dan papa Indira.

"Maaf, Ma, bikin repot Mama. Pagi tadi Indira keburu jadi nggak sempat nge-charge ponselnya."

"Nggak apa-apa, Sayang. Ayo masuk!" ajak Julia.

Mengangguk, menantunya itu masuk mobil.

"Setelah makan siang, kita belanja bulanan ya. Oh iya, sebenarnya Papa itu punya kejutan buat kamu sama Reygan." Julia membuka pembicaraan saat mobil sudah berjalan. "Tapi karena Rey harus balik ke Amerika, jadi tertunda."

Indira tersenyum, sambil menoleh dia bertanya, "Kejutan apa, Ma?"

"Nanti kamu akan tahu. Sekarang kita makan siang dulu."

Tak lama mobil yang dikemudikan Pak Jaja itu berhenti di sebuah restoran yang menyediakan aneka hidangan laut. Menurut Julia restoran ini adalah juga salah satu dari restoran favorit Reygan.

"Dia paling suka sama kepiting saus asam manis, tapi hampir semua makanan di sini dia suka," jelasnya. "Ayo kita masuk, Dira!"

Indira melangkah mengikuti mertuanya. Mereka berdua duduk di tempat yang sudah dipesan sebelumnya. Di sebuah saung yang dekat dengan kolam pemancingan dan taman dengan anek flora. Indira tampak menikmati pemandangan di sekelilingnya.

"Kamu mau pesan apa, Dira?" Julia menyodorkan daftar menu padanya.

"Kerang bumbu bumbu saus Padang aja, Ma."

"Minumnya?"

"Orange jus."

Julia tersenyum kemudian dia sendiri memesan gurame bakar dan minuman yang sama dengan menantunya.

Menarik napas dalam-dalam, perempuan paruh baya itu tersenyum.

"Pemandangan yang indah, kan?"

"Iya, Ma."

"Meski tetap saja lebih indah di Abyagiri. Kamu suka di sana?"

"Suka, Ma. Di sana udaranya benar-benar segar," sahutnya.

Mertuanya itu mengangguk.

"Indira."

"Iya, Ma?"

"Kamu bahagia?"

"Bahagia? Tentu, Ma."

Jawaban Indira sepertinya tidak membuat Julia lega.

"Maksud Mama, apa kamu bahagia menikah dengan Reygan? Karena Mama tahu seperti perasaanmu terhadap Adrian dan begitu juga sebaliknya."

Indira menarik napas dalam-dalam. Mungkin ini saatnya dia untuk bicara jujur mengungkapkan apa yang menjadi uneg-unegnya selama ini.

"Ma, kalau ditanya apa Indira bahagia, jawabnya tentu bahagia. Itu karena Mama, Papa juga keluarga Indira selalu bisa memberikan kebahagiaan, tapi ...." Kalimatnya tergantung saat pelayan datang.

"Selamat menikmati," tutur pria yang menggunakan apron berwarna putih itu sopan.

Setelah mengucapkan terima kasih, dan pelayan itu pergi, Julia mengajak Indira untuk menikmati hidangan makan siang.

"Nanti kita lanjut, sekarang kita makan siang dulu. Oke?"

"Baik, Ma."

Mereka terlihat sangat menikmati hidangan yang dihidangkan. Sesekali tampak Julia dan Indira tertawa kecil bersama. Keduanya sangat akrab sehingga tidak tampak jika mereka adalah mertua dan menantu.

"Jadi ... apa yang mau kamu katakan tadi, Indira?" tanya mertuanya saat mereka selesai makan.

Indira mengaduk minuman di depannya lalu meneguk hingga tandas.

"Maaf kalau pertanyaan Indira dirasa kurang baik, tapi, apa Mama pernah tanyakan soal  kebahagiaan ke Mas Rey?"

"Maksudnya?"

Perempuan berkulit putih itu tersenyum.

"Maksudnya, setelah mengikuti apa yang diinginkan oleh Adrian, apa pernah Mama bertanya ke Mas Rey seperti yang Mama tanyakan ke Indira tadi?"

"Soal bahagia maksudnya?"

Indira mengangguk.

"Karena nggak adil buat Mas Rey kalau hanya Indira yang ditanya, Ma," imbuhnya.

Julia mengangguk sambil tersenyum. Dia tahu sebenarnya apa yang akan dijawab oleh putranya jika ditanya seperti itu. Karena Julia paham bahwa putranya sudah memiliki kekasih dan hal itu sudah lama disampaikan oleh Reygan padanya.

Namun, bagi Julia, kelak Reygan akan bisa mengerti, menerima dan bahagia dengan keputusan yang telah dibuat atas permintaan almarhum adiknya.

"Indira, jujur soal itu Mama belum menanyakan ke suamimu, tapi Mama tahu siapa anak Mama dan seperti apa sifatnya, jadi ... Mama percaya dia bahagia."

"Kenapa kamu tanyakan itu, Dira? Apa dia pernah bicara yang membuatmu tersinggung?"

Indira tersenyum tipis sembari menggeleng.

"Nggak, Ma. Mas Reygan baik dan nggak pernah mengatakan hal yang membuat tersinggung."

"Lalu, kenapa kamu tanyakan itu, Cantik?"

Indira tersenyum, sulit baginya untuk mengatakan hal yang sudah dia susun sebelumnya. Bukan karena perasaan nyaman yang mulai hadir saat bersama Reygan, tetapi lebih kepada menjaga perasaan Julia.

Mama mertuanya itu terlihat sangat berharap agar dia dan Reygan bisa menerima satu sama lain, dan pada akhirnya nanti bisa saling mencintai, tetapi benar apa yang diucapkan suaminya pagi tadi saat dia tak sengaja mendengar obrolan Julia dan Reygan.

Mungkin saat ini dia hanya terbawa perasaan hingga tumbuh rasa nyaman. Mungkin saat ini hanya itu, dan bukan cinta meski ada debar berbeda kala berdua dengan suaminya.

Julia tersenyum menatap Indira yang bungkam dan belum menjawab pertanyaannya.

"Indira, Mama tahu kamu dan Reygan masih dalam masa mengenal satu sama lain. Percaya deh, lambat laun semuanya akan bisa kalian terima dan pahami."

Julia menarik napas dalam-dalam.

"Mama tahu seperti apa cinta Adrian padamu, dan Mama rasa itu juga jadi alasan kenapa dia meninggalkan pesan seperti itu."

Keduanya kini saling diam. Selalu saja ada perih saat nama Adrian disebut. Pria itu memang telah pergi, tetapi hatinya masih sepenuhnya tertanam di palung hati Indira paling dalam.

"Ya sudah, sekarang kita belanja yuk! Kamu bilang tadi nggak ada kelas lagi, kan?"

"Iya, Ma."

"Oke, kita ke supermarket sekarang!"

**

Menyusuri lorong supermarket, Indira dan Julia berpencar. Mertua Indira itu mencari kebutuhan sayur dan lauk sementara Indira lebih ke bagian perlengkapan lainnya.

Mendorong trolly, Indira melangkah ke bagian sabun dan semacamnya, mengambil perlengkapan mandi dan mencuci yang biasa digunakan oleh asisten rumah tangga keluarga Antoni, dia lalu kebagian tisu.

Perempuan bertubuh langsing itu mengerutkan dahinya saat melewati rak yang menyediakan pembalut.

"Oh iya, aku ... aku sudah sebulan ini belum mens!   Aku baru ingat!" gumamnya mengayun langkah mendekat ke salah satu merek pembalut yang biasa dia gunakan.

Tiba-tiba wajahnya terlihat murung. Bayangan kejadian yang sama sekali di luar kendalinya itu kembali melintas. Peristiwa yang terjadi begitu saja di saat hujan saat selesai acara ulang tahun temannya adalah sesuatu yang sebenarnya ingin dia hapus dari memori.

Namun, saat sadar jika sudah sebulan lebih dia tidak datang bulan, pikiran Indira kembali berkecamuk.

'Apa kejadian itu ....'

Indira menggeleng dan mengatupkan bibirnya erat.

"Nggak mungkin! Nggak! Semuanya baik-baik saja!" tuturnya bermonolog.

Dia lalu mengambil pembalut itu dan memasukkan ke trolly. Meski dia mencoba mengajak otaknya untuk berpikir positif, tetapi sepertinya memorinya justru mengajak dia untuk kembali memutar kejadian malam itu.

Malam saat dia dan Adrian harus kehujanan sementara rumah Indira masih jauh, hingga akhirnya Adrian memutuskan untuk menginap di sebuah penginapan setelah sebelumnya dia membeli baju untuk Indira dan dirinya sendiri.

Indira mulai gelisah. Kesedihan dan semua masalahnya belakangan ini membuat dia melupakan siklus menstruasi. Menurut beberapa pengalaman yang dia dengar, bahwa stress memiliki pengaruh pada siklus menstruasi.

'Semoga apa yang aku pikirkan ini nggak terjadi, dan semoga datang bulanku terlambat itu karena aku stress aja. Nggak ini nggak boleh terjadi.'

"Indira? Kok bengong?" Suara Julia membuatnya terkejut.

"Eh, Mama. Sudah selesai belanja sayurannya?"

Julia menyipitkan mata menelisik paras menantunya.

"Sudah, kamu kenapa? Kok murung?"

"Eum ... nggak apa-apa, Ma. Indira nggak apa-apa. Kita ke kasir sekarang, Ma?"

Mertuanya itu mengangguk. Mereka berjalan bersama menuju kasir.

**

Colek aja kalau ada typo yaa

Fyi, di KBM App udh bab 30 ya. Kalo mau cepat kuy ke sana aja😘

Terima kasih sudah berkunjung 💚

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top