Sweet Lies 2
"Dia Indira, calon istri adikmu. Kamu tentu tahu ceritanya, kan?"
Reygan menoleh kemudian membalikkan badan menghadap papanya. Sejenak dia berpikir tentang pertanyaan papanya barusan.
"Cerita soal apa, Pa?" tanyanya.
"Mereka sejak kecil sudah Papa tunangkan, dan ternyata tanpa pengaturan mereka sudah dekat dengan sendirinya," jawab Antoni.
Reygan mengangguk sembari menarik napas dalam-dalam.
"Lalu bagaimana kondisi Indira sekarang, Pa? Apa dia ...."
Antoni menggeleng lemah.
"Kasihan Indira, kamu juga tahu seperti apa orang tuanya telah berjasa pada keluarga kita, kan? Dan kamu juga tahu, kan? Kalau Indira itu sudah tidak memiliki orang tua?"
Pria berkaus putih itu bergeming. Tentu saja dia tahu, siapa dan bagaimana Indira. Karena meski saat itu dia masih terlalu kecil untuk memahami kematian sahabat papanya, tetapi jelas dia tahu bagaimana tangis Indira kecil beberapa tahun silam.
"Tadi Mama menelepon Marini, budenya. Dia bilang kalau Indira sama sekali tidak mau makan sampai malam ini. Dia hanya menangis di kamar dan enggan berbicara dengan siapa pun."
Menarik napas dalam-dalam, Reygan paham apa yang dirasakan perempuan itu. Dia kemudian melangkah menuju ranjang.
Otaknya kembali mengingat obrolan chat dia dengan Adrian beberapa waktu lalu. Di sana jelas Adrian seperti memberi signal jika dirinya akan meninggalkan Indira. Secara tidak langsung juga Adrian meminta agar dirinya menjaga Indira. Menjaga yang seperti apa? Entahlah, dia waktu itu tidak menanggapi apamyang diungkapkan oleh sang adik.
"Papa nggak tahu apa yang bisa Papa lakukan untuk Indira. Karena janji untuk menikahkan mereka berdua ternyata harus berhenti di sini." Antoni duduk di sofa yang berada tak jauh dari ranjang.
Reygan merogoh kantong bajunya mengeluarkan ponsel. Dengan wajah muram dia kembali membuka pesan yang dikirim adiknya sebelum dia memastikan untuk pulang.
[Dia perempuan yang sederhana, Mas. Aku senang ternyata pilihan Papa untukku nggak salah.]
[Maaf ya, Mas. Aku nikah dulu, karena takut. Meski kami ditunangkan sejak kecil, aku khawatir Indira berubah pikiran, ha-ha.]
[Susah cari perempuan seperti dia hari gini, Mas! Serius!]
Reygan kemudian kembali memasukkan ponsel ke kantong bajunya.
"Rey."
"Ya, Pa?"
"Papa harap kamu nggak keberatan dan mau menerima usul Papa."
"Usul apa?"
"Papa mohon kamu mau menggantikan posisi adikmu."
"Posisi apa, Pa?"
"Besok, Rey. Besok Papa mohon kamu mau menggantikan adikmu untuk menikah dengan Indira."
Reygan tertegun mendengar ucapan Antoni. Menikah? Tentu dia juga akan menikah, tetapi tidak dengan cara ini dan tidak dengan perempuan bernama Indira. Bagaimana pun Indira adalah calon istri adiknya dan dia pun sudah memiliki pasangan yang dia cintai.
"Papa jangan ngaco, Pa. Usul itu sangat tidak adil buat Rey dan tentu saja buat Indira."
"Tapi Papa sudah nggak punya anak lagi selain kamu, Rey. Papa sudah berjanji pada almarhum orang tuanya untuk menikahkan anaknya dengan anak Papa," papar pria berkemeja hitam itu dengan wajah resah.
Reygan membuang napas perlahan.
"Reygan tahu soal itu, Pa. Tapi Papa nggak bisa maksain itu terjadi, kan, Pa? Belum tentu juga Indira mau menerima keputusan ini, dan yang jelas Rey nggak mau. Reygan sudah punya Sandra. Papa tahu itu."
"Setidaknya tidak dalam waktu yang dekat seperti ini, Pa. Indira juga butuh ruang untuk berpikir."
Antoni mengusap wajahnya. Dia lalu menatap Reygan masih dengan tatapan resah.
"Reygan, sekarang Papa tanyanya, apa yang akan kamu lakukan kalau nyawa dan orang yang kamu sayang diselamatkan oleh seseorang?"
"Papa, please, jangan terus mengulangi cerita hutang nyawa itu lagi. Reygan sudah hapal soal itu, Pa."
"Lagipula, itu adalah kisah Papa, jangan bebani Reygan dengan kisah itu. Reygan rasa orang tua Indira jika tahu ini semua, mereka bahkan paham dan nggak memaksa Reygan untuk menikah dengan anaknya, Pa," ucapnya tegas.
Ada dua sisi terbentang di depan pria itu. Satu sisi adalah permintaan Adrian yang secara tidak langsung kala itu, dan sisi lain dari dirinya yang tak mungkin menerima permintaan Antoni.
"Reygan, Papa tahu ini sulit, tapi setidaknya utang janji Papa sudah selesai jika kamu meluluskan permintaan ini, Nak."
"Papa, tolong jangan meminta hal seperti ini. Papa tahu Reygan sudah punya pilihan sendiri dan nggak mungkin Reygan sakiti hatinya, Pa."
"Rey, maafkan Papa, tapi Papa mohon, ini demi janji Papa dan demi adikmu."
Menyandarkan tubuhnya ke ranjang, Reygan menarik napas dalam-dalam. Lagi-lagi dia teringat pesan Ardian, dan kini adiknya itu benar-benar tidak bisa menjaga Indira. Adrian pergi meninggalkan hal yang sulit untuk diurai.
Ponselnya bergetar, dari deringnya dia tahu siapa yang memanggil.
"Maaf, Pa. Reygan nggak bisa!"
Pria itu lalu bergegas bangkit meninggalkan kamar.
"Halo, Sandra."
**
Indira memeluk figura yang terdapat foto Adrian. Matanya terlihat sembab dengan wajah seputih kapas. Tidak ada senyum yang biasa menghias parasnya. Tatapan matanya pun kosong. Berulangkali Marini membujuknya agar mau makan atau sekadar mengunyah sekerat roti, tetapi sia-sia. Indira tetap bergeming membisu.
"Indira, kamu nggak bisa terus begini, Nak. Kamu bisa sakit." Lembut Marini mengusap puncak kepala Indira. "Adrian tidak akan suka kamu begini."
Masih seperti biasa, Indira tetap membisu. Dia seolah tidak mendengar ucapan budenya. Hal itu tentu membuat Marini semakin gundah. Baginya, Indira sudah dianggap sebagai anak sendiri. Dia dan suaminya harus pasrah menerima takdir Tuhan soal vonis dirinya. Kebahagiaan Indira adalah segalanya, dan kini, keterpurukan yang dialami keponakannya adalah juga pukulan baginya.
Marini bangkit dari duduk melangkah keluar kamar. Di ruang tamu dia melihat sang suami duduk termenung menatap gelas kopi yang masih penuh.
"Pak, Indira masih belum mau makan. Ibu takut dia sakit," tutur perempuan berbaju panjang berwarna hijau itu sembari duduk di sebelah suaminya.
"Indira itu anak baik, tapi Tuhan sepertinya ingin mempersiapkan kejutan yang lebih indah di hidupnya. Sejak kecil ditinggal untuk selamanya oleh kedua orang tuanya, dia bisa menerima pada akhirnya, dan kita bisa menjadi orang tua untuk Indira."
Hasim --pakde Indira-- menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskan perlahan.
"Bapak pikir, setelah begitu indah rencana yang dibuat Pak Erlangga, dia akan memiliki kehidupan yang sempurna bersama Adrian, tetapi nyatanya ... kita masih harus menunggu skenario terbaik yang masih Tuhan simpan untuknya."
Marini mengusap air matanya. Memorinya kembali pada masa kecil keponakannya itu. Saat awal-awal dia menyadari bahwa Mama dan papanya sudah meninggal adalah masa sulit bagi si kecil Indira.
Saat itu hampir setiap malam dia menangis memanggil mamanya, dan setiap malam juga Marini juga Hasim membujuk dan menemaninya hingga terlelap.
"Lalu apa yang bisa kita lakukan sekarang, Pa?"
Hasim menggeleng kemudian melihat arloji.
"Entahlah, tapi jam sembilan nanti Erlangga datang bersama istri dan anaknya Reygan."
"Reygan? Reygan kakak Adrian itu?"
"Iya. Sebaiknya kamu siapkan hidangan untuk menyambut tamu kita nanti!" titahnya disambut anggukan oleh Marini.
**
Sepanjang perjalanan ke rumah Indira, Reygan terlihat gelisah. Permintaan kedua orang tuanya untuk menikahi calon istri adiknya adalah hal berat yang dia pikul setelah kehilangan Adrian.
"Mama senang akhirnya kamu bisa mempertimbangkan permintaan kami, Rey." Julia menoleh ke belakang tempat Reygan duduk.
Hal itu terpaksa dia lakukan. Reygan hanya mencoba wujudkan pesan Adrian yang awalnya dia kira hanya sekadar candaan semata.
Siapa sangka jika pesan itu sarat akan permohonan terakhir adiknya. Selain itu, tentu kini sebagai satu-satunya anak dari keturunan Erlangga yang terikat janji dengan kedua orang tua Indira, mau tidak mau harus berusaha mengikuti walaupun tidak sepenuh hati.
Mungkin untuk sementara dia harus menyimpan rapat hal ini pada Sandra, hingga saatnya dia bisa menjelaskan hal yang sesungguhnya agar kekasihnya itu bisa mengerti.
Entahlah, Reygan sendiri merasa tidak mungkin Sandra bisa menerima apa pun alasannya jika yang terjadi sesungguhnya membuat dia kecewa. Namun, Reygan akan mengajukan apa yang menjadi rencananya kelak jika dia bertemu Sandra saat kembali ke Amerika.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top