Sweet Lies 19

Reygan membisu sepanjang perjalanan menuju bandara. Pikirannya dipenuhi kemelut permasalahan yang beruntun dihadapinya. Beberapa panggilan masuk dari rekan kerja dan Sandra dia abaikan. Kali ini hanya tentang Indira yang mengambil semua memorinya.

"Maaf, Mas Rey, kita sudah sampai bandara." Pak Jaja -sopir keluarga Antoni- menoleh ke samping.

"Oh iya, Pak. Eum ... habis ini Pak Jaja langsung pulang atau ...."

"Bu Julia tadi pesan ke saya untuk mampir ke sekolah tempat istri Mas Rey untuk menyampaikan pesan beliau."

Reygan menyipitkan matanya.

"Pesan apa?"

"Bu Julia mau mengajak makan siang di restoran langganan, jadi istri Mas Rey nanti dijemput, begitu katanya."

"Kenapa nggak telepon aja? Emang sekolah tempat istri saya mengajar dekat dari sini? Pak Jaja tahu?" cecarnya.

Pria yang sebagian rambutnya telah memutih itu tersenyum ramah.

"Ponsel Mbak Indira nggak aktif atau sepertinya ketinggalan, Mas. Saya juga kurang tahu. Tempat Mbak Indira mengajar memang nggak jauh dari sin, saya tahu karena pernah mengantar Ibu waktu itu."

Reygan menarik napas dalam-dalam. Ponsel, bicara soal telepon, dia baru ingat jika sampai saat ini dia tidak memiliki nomor istrinya. Pria itu melirik jam tangannya, masih ada waktu sekitar 45 menit untuk persiapan terbang.

"Pak Jaja tahu nomor telepon istri saya?"

Sopir keluarga Antoni itu menoleh dengan paras heran. Bagaimana mungkin seorang suami tidak menyimpan nomor telepon istrinya.

Sadar jika pertanyaannya membuat sang sopir berpikir yang bukan-bukan, Reygan tersenyum sembari menarik napas dalam-dalam.

"Iya, eum ... nomornya barusan ganti dan saya belum sempat menyimpannya, Pak. Apa Pak Jaja punya?"

Pria yang sudah memiliki tiga orang cucu itu mengangguk paham, lalu sejurus kemudian menggeleng.

"Nggak punya, Mas. Maaf."

Reygan membuang napas kasar, dalam hati dia merutuki diri sendiri mengapa dia tidak peduli soal remeh seperti ini. Bagaimana dia bisa berkomunikasi dan tahu kabar sang istri jika tidak memiliki nomor teleponnya?

"Mas Rey? Kalau masih ada waktu, mungkin Mas Rey mau ke sekolah tempat Mbak Indira mengajar? Nggak jauh, kok."

"Nggak jauh ya, Pak?"

"Nggak, Mas. Gimana?"

Tanpa pikir panjang, Reygan mengangguk. "Cepat ya, Pak!"

**

Popy rekan Indira tertawa kecil mendengar cerita Indira soal bulan madunya. Popy juga pengajar di tempat itu. Dia adalah teman yang paling dekat dengan Indira. Dia juga tahu soal Adrian dan paham seperti apa pernikahan yang dibangun rekannya dengan Reygan.

"Aku berharap kalian bisa menjadi keluarga yang sesungguhnya, Ra. Biar bagaimanapun, aku rasa Adrian sudah berpikir juga saat menjatuhkan pilihan ke kakaknya," ujar Popy.

"Kamu nggak seharusnya bersikap seperti itu, karena apa yang terjadi bukan salahmu. Lagipula, sekarang kamulah yang jadi Nyonya Reygan Erlangga! Bukan Sandra yang kamu katakan itu. Jadi berhenti berpikir kamu mundur dari apa yang seharusnya kamu jalani, Ra!"

Indira tersenyum sembari mengedikkan bahu.

"Kalau kamu berada di posisi Sandra, apa kamu masih berpikir seperti itu? Apa kamu pernah merasa apa yang kamu cintai diambil begitu saja? Apa kamu bisa menempatkan diri sebagai istri kalau di mata Mas Reygan tidak ada cinta di sana?"

Popy membisu mendengar pertanyaan rekannya. Indira benar, tentu memberi saran tidak semudah melakukan. Selain itu tentu saja butuh waktu yang tidak sebentar. Akan tetapi, dia merasa Indira pun berhak bahagia setelah rentetan kejadian yang dia alami.

"Tapi kamu berhak bahagia, Ra."

"Sure! Tapi bukan dengan cara merampas kebahagiaan orang lain, Pop."

Popy menarik napas dalam-dalam. Indira memang selalu berpikir bagaimana membuat orang lain bahagia sampai dia lupa jika dirinya pun berhak untuk itu.

"Lalu ... kamu akan melakukan apa untuk kebahagiaanmu?"

Indira menatap rekannya lalu menarik bibirnya singkat. "Aku akan mengikuti kata hati. Biar Tuhan yang mewujudkan."

"Miss Indira, ada tamu yang mau ketemu." Seorang satpam muncul melongok di pintu.

"Tamu?" Indira mengulang dengan mata menatap Popy.

"Siapa, Pak?"  tanya Popy.

"Maaf saya kurang tahu, tapi dia bilang suami Miss Indira."

Penuturan satpam itu membuat Indira mengerutkan dahinya.

"Kamu bilang tadi suamimu berangkat, Ra? Kenapa dia ke sini?"

"Nggak tahu, Pop. Eum ... aku temui dulu ya."

"He emh! Buruan temui!"

**

Indira melangkah ke luar, satpam tadi bilang jika suaminya di gerbang sekolah. Dia melihat Reygan tengah berdiri sesekali melihat ke arah pergelangan tangan seolah diburu waktu. Perempuan yang menguncir rambutnya itu mempercepat langkah menghampiri sang pria itu.

"Mas Rey? Ada apa?"

Reygan menoleh kemudian mengembuskan napas lega.

"Eum ...  nggak apa-apa. Aku cuma mau memastikan kamu baik-baik saja. Setelah apa yang kamu dengar tadi, sebenarnya aku masih ingin bicara lebih banyak denganmu, tapi ...."

"Aku baik-baik saja, Mas. Jangan khawatir. Mas nggak perlu seperti ini. Aku paham dan sangat paham," potongnya seraya memamerkan dekikan di pipi.

'Tapi aku merasakan sebaliknya, Indira. Aku merasakan kamu tidak baik-baik saja. Aku pun merasakan jika keputusanku untuk pergi ini salah,  aku bahkan tidak tahu apa yang harus aku lakukan!' keluh batin Reygan.

"Aku justru khawatir kalau karena Mas ke sini,  nanti bisa ketinggalan pesawat."

Reygan menggeleng. Hatinya menjadi lebih gamang karena semakin dekatnya dia berangkat.

"Gini deh, aku akan menelepon kamu begitu sampai di sana, tapi ... apa aku bisa meminta nomor teleponmu?"

Perempuan itu terlihat mengukir senyum mendengar permintaan suaminya.

"Boleh, Mas. Aku misscall ya."

"Eum ... kata Pak Jaja ponsel kamu nggak aktif? Mama tadi nyoba hubungi kamu."

Indira tersenyum. "Mama menghubungi aku?" Indira merasa bersalah karena hanya memberi satu nomor saja kepada mertuanya.

"Iya," jawab Reygan.

"Itu ponsel satu lagi, Mas. Low batt," jelasnya. "Eum ... nanti deh aku hubungi Mama. Aku misscall Mas Rey ya."

"Kamu tahu nomorku?" Dia menatap heran.

"Mama yang memberiku waktu itu. Maaf, aku nggak berani memulai obrolan, karena ...."

"Karena apa?"

"Aku bukan siapa-siapa."

Reygan membuang napas perlahan. Dia lalu meminta istrinya menelepon.

"Itu nomorku. Eum ... sebaiknya tulisan dengan nama lain. Biar bagaimanapun, Mas harus menjaga perasaan Mbak Sandra."

Reygan mengangkat sisi bibirnya singkat.

"Aku pergi dulu ya. Kamu baik-baik di sini. Kabari aku jangan sungkan!"

Indira mengangguk meski ragu dia mengulurkan tangan lalu mencium punggung tangan suaminya.

"Safe flight, Mas."

"Thanks, Indira."

**

Reygan menarik napas dalam-dalam saat pesawat mulai lepas landas. Hampir saja dia ketinggalan jika Pak Jaja tidak memacu kendaraan dengan cepat. Dia merasa baru kali ini dia merasakan beratnya meninggalkan tanah air. Tak dipungkiri kepergiannya kali ini benar-benar meninggalkan banyak hal yang belum terselesaikan.

Selain meninggalkan problem, dia juga meninggalkan sang istri yang seharusnya tidak dia perlakukan seperti ini. Perempuan yang sedianya bahagia bersanding dengan adiknya, kini dengan cepat berubah menjadi pasangannya.

Seperti teringat sesuatu, Reygan merogoh kantong baju. Kembali dia membaca tulisan tangan Adrian soal hubungan yang tak seharusnya dilakukan dengan Indira.

Reygan lalu mengambil ponsel di kantong celananya. Tiba-tiba saja dia ingat jika Sandra mengirim pesan dan meneleponnya berkali-kali tadi saat di mobil.

[Rey, kamu baik-baik aja, kan? Kenapa kamu nggak angkat teleponku?]

[Kamu bikin aku khawatir tahu nggak!]

[Rey, aku tunggu kamu di bandara! Sampai ada kabar darimu!]

[Rey! Kamu bikin aku kesel tahu nggak!]

[Angkat teleponku, please!]

Rentetan pesan serupa disertai emoji menangis memenuhi pesan Sandra sejak pagi tadi. Reygan hanya tersenyum tipis melihat itu.

"Maaf, Sandra. Maafkan aku," gumamnya.

Reygan kemudian membaca pesan masuk lainnya. Tangannya berhenti pada satu nama yang meneleponnya sebelum dia berangkat tadi. Indira! Pria itu lalu mengetuk foto profi sang istri. Wajah cantik Indira terlihat di sana.

Dari tatanan rambut dan pernak-pernik di kepala, tampak foto yang digunakan adalah foto saat mereka menikah. Hanya saja di profil itu hanya tampak Indira sendiri, tanpa dirinya.

Reygan menarik bibirnya, lalu kembali memasukkan ponsel ke saku. Meregangkan tubuh, dia mencoba se-rileks mungkin. Memori di kepalanya kembali begitu saja memutar kebersamaan dengan Indira tanpa dia berusaha mengingatnya.

Perhatian perempuan itu mampu menyita semestanya saat itu, meski lagi-lagi dia tak bisa berhenti memikirkan Sandra, sehingga melupakan repotnya Indira menyiapkan makanan untuknya.

Senyum manis, suara lembut, aroma tubuhnya tiba-tiba begitu jelas tergambar di matanya. Bahkan bayangan mata Indira yang berkaca-kaca demikian melekat.

"Sial! Kenapa sekarang justru dia yang ada di kepalaku!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top