Sweet Lies 18

Indira mengusap air matanya, kalau tersenyum tipis. Dia menoleh ke meja di dekat sofa.

"Mas lemon hangatnya diminum dulu, nanti keburu dingin malah gak enak," tuturnya.

"Oh iya. Aku pasti minum nanti. Kamu sebaiknya istirahat ya. Jangan nangis lagi. Udah malam di sini nggak ada orang jual balon," godanya mencoba menghibur Indira.

Perempuan yang matanya masih berkaca-kaca itu tak urung tersenyum mendengar celoteh suaminya.

"Good night, Indira."

"Good night, Mas."

Reygan kembali beranjak dari tempat tidur menuju sofa tempat dia merebahkan diri hingga esok pagi.

**

Bangun lebih pagi dari biasanya, Indira sudah menyiapkan sarapan pagi untuk suami dan mertuanya. Ada salad sayur dan buah tak lupa sandwich dan lemon hangat tersedia di meja. Sementara tanpa diketahui oleh Indira, Reygan berdiri sejak tadi mengawasinya dari ruang keluarga.

Ada banyak hal sebenarnya yang ingin dia tanyakan kepada sang istri, tetapi berbagai alasan juga berkecamuk di kepalanya. Biar bagaimanapun Indira adalah perempuan yang harus dijaga perasaannya. Terlebih jika pertanyaan itu mengangkut hal yang pribadi seperti yang dia baca di coretan Adrian.

Pria itu menoleh ke sampingnya saat bahunya disentuh oleh Julia. Perempuan paruh baya itu tersenyum lalu menatap ke arah yang sama dengan sang putra.

"Dia cantik, kan? Mama rasa nggak ada alasan kamu untuk menolak pesan adikmu lagi."

Reygan mengembuskan napas perlahan. Dirinya tidak menampik apa yang dikatakan mamanya. Indira memang cantik, secara fisik tidak ada yang kurang darinya. Semampai, mata indah dengan alis melengkung rapi, senyum yang selalu memunculkan dekikan di pipi, dan selalu berkata lemah lembut adalah paket lengkap yang tentu saja disukai pria.

Akan tetapi, tidak dengan jiwanya. Reygan tahu seperti apa hancur hati istrinya ketika tahu pria yang bisa cinta harus pergi untuk selamanya. Sementara ada hal yang harus dia tutupi dan mungkin dia sendiri tidak tahu kapan akan mengungkapkan hal yang sesungguhnya terjadi.

"Bagaimana bulan madunya? Kalian sudah bisa saling menerima, kan?" Julia menatap putranya intens.

"Beberapa hari di sana ... kalian bisa saling dekat, kan? Mama sangat berharap kalian jatuh cinta satu sama lain nantinya. Mungkin saat ini belum, Mama bisa mengerti itu. Karena memang kalian bukan pasangan yang dekat sebelumnya, tetapi kamu harus percaya, Rey. Kalau cinta itu bisa tumbuh dengan sendirinya tanpa kita duga!'

Reygan tak menjawab, dia hanya tersenyum lalu duduk di sofa yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Jatuh cinta dengan sendirinya tanpa kita duga. Mungkin menurut orang lain seperti itu, tetapi tentu saja dengan tingkat kesulitan dan masalah yang berbeda.

Reygan yakin baik orang tuanya atau pun bude pakde Indira pun tidak tahu perkara yang tengah melingkupi keponakannya itu.

Julia menatap Reygan yang lalu mengikuti sang putra dan duduk dengan kening mengernyit.

"Mama lagi tanya dari tadi kamu nggak jawab, Rey?" Mamanya memiringkan kepala mencoba mencari jawaban dari sang putra. Akan tetapi, dia hanya melihat wajah murung dari si empunya.

"Rey? Ah ... iya. Mama tahu, kamu pasti bimbang karena mau meninggalkan istrimu, kan?" tebak Julia dengan senyum lebar.

"Mama."

Perempuan yang memiliki tahi lalat di bawah bibir itu tertawa kecil. Dia lalu mengusap lengan putranya.

"Kenapa? Bukannya itu hal yang lumrah bagi sepasang pengantin baru jika diharuskan berpisah?"

"Ma."

"Kamu mau bilang jika kamu sama sekali tidak terpesona pada istrimu? Begitu?"

"Mama, Mama pasti tahu gimana Reygan. Jatuh cinta itu tidak sesimpel yang mama ucapkan tadi, Ma. Butuh waktu yang panjang untuk merasakan cinta. Butuh perkenalan yang tidak sebentar untuk akhirnya menyadari jika sudah jatuh cinta. Nggak sesimpel itu, Mama," sanggahnya.

Bibir Julia masih tertarik lebar. Dia lalu menepuk bahu Reygan.

"Mama tahu, Rey, tapi Mama rasa tidak butuh waktu lama untuk kagum pada Indira hingga akhirnya mengakui jika cinta itu padanya."

Reygan mengedikkan bahu.

"Sudahlah, Ma. Setiap orang pasti ada jodohnya masing-masing.

"Maksud kamu?"

Reygan membiarkan mamanya berpikir. Dia ingin supaya sang mama tahu jika perasaan itu tidak bisa datang dan pergi dengan cepat. Butuh waktu dan begitu juga dengan jodoh. Dia ingin setidaknya sang mama bisa memahami jika memang dia dan Indira tidak berjodoh maka ada baiknya pernikahan mereka itu dibatalkan.

Kakak dari Adrian itu berpikir hal seperti ini karena Indira pasti akan kesulitan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi padanya. Namun, jika pada akhirnya nanti dia dan Indira sudah tak lagi menjadi suami istri, bagaimana dengan pesan dan permohonan adiknya?

Menelaah semua yang dia alami belakangan ini, Reygan merasa penat. Penat memikirkan sampai kapan rahasia Adrian yang dia simpan.

"Reygan! Kenapa malah melamun? Kamu belum jawab. Jelaskan ke mama apa maksud dari ucapanmu tadi!" desak Julia.

"Mama pasti tahu sifat masing-masing anak-anak Mama, kan?"

Julia mengangguk dengan paras penuh tanya.

"Reygan berbeda dengan Adrian, Mama tahu itu. Reygan paham apa yang jadi beban Reygan saat ini. Reygan juga paham apa yang harus Reygan emban dengan menikahi Indira. Tapi rasanya sulit bagi Rey untuk memulai jatuh cinta padanya, Ma."

"Maksudnya?"

"Maaf, Ma. Sepertinya untuk kebahagiaan Indira ada baiknya semua yang sedang kita jalani ini ... dikaji lagi."

"Dikaji lagi?"

Putranya itu mengangguk.

"Pernah Mama bertanya pada Indira apakah dia bahagia dengan keputusan ini? Apa dia bahagia seperti apa yang diinginkan Adrian?"

"Reygan!" Julia menarik napas dalam-dalam. Matanya menelisik sang putra. "Kamu tahu seperti apa sejarah semua ini? Kamu tahu bagaimana keluarga Indira menolong bisnis papamu, dan kamu tahu juga, kan? Bagaimana akhirnya kami sepakat menjodohkan Adrian dengan Indira?"

Reygan mengusap wajahnya lalu mengangguk.

"Jika sekarang Adrian pergi dan meninggalkan pesan padamu, itu artinya harus dijalankan. Andai adikmu bisa memilih, pasti dia akan memilih tinggal di dunia ini dan hidup bahagia bersama Indira! Tapi dia tidak bisa memilih, Rey! Dan sekarang kamu yang menggantikan karena kami sudah berjanji pada almarhum Mama dan papanya untuk menjadikan putrinya bagian dari keluarga ini!" papar Julia panjang lebar.

"Mama, Rey tahu. Reygan tahu semua sejarah itu. Tapi please! Jangan paksa Reygan untuk bisa jatuh cinta dalam hitungan hari." Pria yang sudah berkemeja rapi dan siap berangkat itu terlihat frustrasi. Berulangkali dia terlihat menarik napas panjang.

"Sudah! Kamu harus ke bandara, kan? Mama nggak mau kita terus berdebat soal ini lagi! Sebaiknya kamu sarapan sekarang!" Julia bangkit melangkah ke ruang makan.

Sementara Reygan mengembuskan napas dari mulutnya lalu memijit pelipis. Pikirannya semakin kacau. Ada tiga sisi berbeda yang kini mengganggu nuraninya.

Satu sisi, dia membenarkan apa yang diucapkan sang mama, tetapi di sisi lain kondisi Indira yang tentu harus diberikan ruang untuk mengungkapkan apa yang dia tanggung saat ini, sementara dia pun tidak mungkin meninggalkan begitu saja Sandra dengan  penjelasan yang sebenarnya terjadi.

"Mas Rey."

Reygan terkejut mendengar suara Indira. Perempuan itu telah berdiri di belakangnya. Melihat mata beningnya berkaca-kaca, Reygan membasahi kerongkongannya.

"Saya tahu soal perasaan. Saya juga sangat paham dengan apa yang Mas pikir. Jangan khawatir, Mas. Semuanya akan baik-baik saja."

"Indira kamu ... bukan begitu maksudku." Entah kenapa hati Reygan terasa sakit melihat air mata istrinya, dan entah kenapa tiba-tiba menyeruak sesal di hatinya.

"Sebaiknya Mas sarapan. Bukannya Mas harus berangkat segera?"

"Indira."

"Permisi, Mas." Perempuan yang mengenakan terusan berwarna putih dengan corak bunga-bunga kuning itu melangkah pergi.

"Indira, kita perlu bicara. Tunggu!" Reygan mengikuti langkah istrinya. "Tunggu Indira."

Perempuan itu berhenti memutar badan menghadap sang suami.

"Apa yang harus dibicarakan lagi, Mas? Nggak ada. Aku sudah bilang Mas nggak perlu merasa harus menjaga perasaanku. Aku paham posisiku. Oh iya, maaf ya. Aku nggak bisa nganterin Mas ke bandara. Ada urusan di sekolah yang harus aku handle. Mama sudah aku kasi tahu, dan beliau bisa memaklumi. Selamat jalan, Mas. Hati-hati ya. Salam buat Mbak Sandra."

Tanpa menunggu jawaban dari Reygan, dia mempercepat langkah menjauh.

"


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top