Sweet Lies 17


Reygan melipat kembali kertas yang terselip di tumpukan buku yang ada di meja kamar Adrian. Besok dia harus kembali ke Amerika untuk menyelesaikan urusan pekerjaan yang tinggal sedikit lagi selesai. Malam ini sedianya dia ingin berpamitan meski hanya dengan kamar Adrian.

Akan tetapi, coretan di kertas itu membuat hatinya kacau. Ada penyesalan atas apa yang sudah dilakukan sang adik, tetapi tentu hal itu gak bisa mengubah apa pun. Reygan tak menampik terkadang memang Adrian agak susah dinasehati. Meski pada dasarnya dia anak yang baik. Hanya saja dia tidak menyangka kalau dia pernah melakukan hal yang seharusnya tidak dilakukan.

Pria yang mengenakan piyama cokelat tua itu melangkah ke ranjang. Lagi-lagi dia mencoba berpikir bahwa tidak ada hal yang tidak diinginkan nantinya pada Indira.

"Adrian," gumamnya sambil mengembuskan napas perlahan. "Kenapa kamu tidak jujur sebelumnya jika yang terjadi seperti ini? Kenapa kamu nggak berkata jujur setidaknya padaku soal ini?" Kembali dia bergumam.

"Aku sangat mencintainya, Mas. Jaga dia ya. Aku tahu cuma Mas yang bisa mengerti, dan aku cuma percaya padamu, Mas! Mas harus janji!" Perkataan sang adik terngiang kembali.

Reygan memijit pelipisnya menyadari ternyata masalahnya tidak hanya sebatas menikahi Indira, tetapi lebih kepada menjaganya dari hal yang mungkin saja terjadi karena apa yang telah diperbuat oleh adiknya.

'Tapi selama aku bersama dia ... tidak ada yang aneh. Indira pun baik-baik saja. Sama sekali tidak ada indikasi jika dia sedang mengandung,' pikirnya.

Kembali pria itu membuka kertas tulisan tangan sang adik.

'Aku mungkin sudah memberimu dosa, maafkan aku. Maafkan aku karena tidak bisa menahan diri hingga akhirnya semua itu terjadi, tapi aku berjanji akan menepati janji untuk menjagamu sampai akhir hidupku. Meski jika nantinya aku tidak bisa melanjutkan janji ini, aku akan memberi seseorang yang bisa menggantikan aku untuk menjagamu. Aku janji, Indira.'

Reygan membuang napas kasar, kegelisahan semakin melanda. Satu sisi permasalahannya belum selesai, dan kini tanpa dia duga ada masalah lain yang masih jadi tanda tanya.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Apa aku tanyakan masalah ini ke Indira?" tuturnya pelan, tetapi kemudian dia menggeleng. "Nggak! Nggak mungkin aku tanya soal ini. Dia begitu tertutup dan jika sampai aku bertanya itu pasti akan membuat terpukul dan malu."

'Tapi kalau aku tidak tanyakan, bagaimana aku bisa tahu tentang kondisinya? Atau mungkin kejadian itu tidak membuat efek apa pun padanya.' kali ini dia berdiskusi dengan hatinya. Reygan berharap kesalahan yang dilakukan adiknya dengan Indira tidak menimbulkan kejadian baru yang tentu akan menambah pelik permasalahan ini.

Lelah berpikir, pria itu menuju ranjang lalu merebahkan tubuhnya di sana. Malam ini sebenarnya dia ingin menghabiskan waktu mengobrol dengan sang istri, sembari mencari jalan keluar agar mereka bisa kembali berjalan masing-masing. meski ada terbesit di hatinya untuk tetap membersamai Indira meski terlihat seperti pria yang egois karena tidak ingin melepas salah satunya.

Akan tetapi, tulisan tangan Adrian semakin membuat dirinya seolah berdiri di ujung tanduk.

"Mas Rey ... Mas masih di dalam? Maaf, lemon tea hangatnya mau diletakkan di mana, Mas?" Suara Indira mengejutkannya.

Gegas kembali dia melipat kertas yang dia temukan tadi ke kantong piyamanya.

"Eum ... di kamar aja. Aku ke kamar sebentar lagi!"

"Baik, Mas."

Tak ada lagi suara, pria itu menghela napas lega. Lalu beranjak dari tempat tidur.

"Adrian. Besok aku balik ke Amerika." Reygan terdiam sejenak. "Semoga apa yang telah kamu lakukan diampuni oleh Tuhan dan ... semoga apa yang kamu takutkan itu tidak terjadi pada Indira. Lalu soal Indira ... aku nggak tahu apakah semuanya bisa berjalan seperti keinginanmu. Maaf jika semua jauh dari apa yang kamu inginkan. Selamat malam, Adrian. Kami selalu mencintaimu."

Dia lalu melangkah ke pintu memutar kenop kemudian pergi meninggalkan kamar sang adik dengan pikiran yang semakin gelisah.

**

Indira berusaha memejamkan mata membuang gelisah. Tadi selepas makan malam, Reygan mengatakan jika ada yang ingin dia bicarakan. Meski begitu dia sudah tahu apa yang akan diungkapkan oleh suaminya.

Tentu saja soal status pernikahan mereka. Entah kenapa seperti ada yang diremas di hati saat mengingat kebersamaan yang singkat saat mereka berlibur ke Yogyakarta beberapa hari yang lalu.

Perhatian dan tatapan hangat Reygan membuat dia tak bisa mengingkari jika ada rasa nyaman bersamanya. Namun, dirinya sadar jika semua yang terjadi hanya karena dirinya terbawa suasana. Tak ingin memori di Yogyakarta terus menari di kepala, dia menarik selimut lebih ke atas dan kembali mencoba untuk tidur.

"Indira? Kamu sudah tidur?" Suara Reygan terdengar tepat saat pintu kamar kembali ditutup.

Terdengar langkah Reygan mendekat ke ranjang, segera Indira membuka mata dan bangkit dari rebah. Merapikan rambut dan pakaian, dia tersenyum pada sang suami.

"Belum, Mas. Bukannya tadi Mas bilang mau bicara?"

Pria itu mengangguk, lalu duduk di bibir ranjang sementara Indira sedikit menggeser tubuhnya.

"Indira." Reygan menoleh memindai paras sang istri.

"Ya, Mas?" 

"Apa rencana kamu setelah ini?"

"Maksudnya?"

Ingin rasanya Reygan menyerahkan kertas itu pada sang istri, tetapi cepat dia menggeleng seolah menolak apa yang muncul di pikirannya.

"Kenapa, Mas?"

"Nggak apa-apa. Aku hanya ingin tahu apa memang kita harus berhenti di sini? Apa kamu siap menjawab dengan orang tuaku?"

Indira tersenyum tipis kemudian mengangguk.

"Tentu saja aku siap, Mas. Nanti setelah Mas berangkat, aku akan bicarakan itu kepada kedua orang tua Mas."

Reygan tampak bimbang. Dia bahkan merasa apa yang dilakukan adiknya membuat Indira sangat menderita.

"Indira."

"Ya, Mas?"

"Apa ada hal yang kamu sembunyikan?"

Indira menyipitkan mata menatap sang suami. Dengan menggeleng dia menjawab, "Nggak, Mas. Nggak ada yang kusembunyikan. Eum ... maksud Mas apa ya?"

"Nggak apa-apa. Sudah malam, sebaiknya kamu tidur. Aku besok berangkat pagi-pagi sekali ke bandara." Reygan melihat ke arah pergelangan tangan lalu bangkit.

Indira mengangguk. Lagi-lagi hatinya terasa ngilu. Entah kenapa, meski dia tahu tak mungkin terus berharap, tetapi perasaan nyaman bersama Reygan terasa mulai tumbuh.

"Oh iya, kamu besok ikut antar ke bandara, kan?"

Dia mengangguk samar. Ada hangat terasa di pelupuknya yang tiba-tiba menggenang dan hampir tumpah. Andai semua yang terjadi ini mimpi, ingin rasanya dia segera bangun agar bisa berlari sekuat mungkin menghindari semua situasi rumit yang dihadapi saat ini.

Reygan mengurungkan niatnya untuk melangkah ke sofa saat melihat ada genangan di mata sang istri. Biar bagaimanapun dia tahu semua yang terjadi amat berat bagi Indira. Mungkin saja Indira merasa luka karena ditinggal Adrian tidak begitu bakal jika saja adiknya itu tidak melakukan hal yang tidak seharusnya waktu itu.

"Kamu nangis?" Lembut Reygan bertanya sembari kembali duduk. "Aku tahu ini semua sulit bagimu," imbuhnya kali ini mencoba menenangkan Indira dengan mengusap air matanya.

Indira kembali menggeser tubuhnya, mencoba membuat jarak sembari mengusap air mata. Dia lalu tersenyum.

"Maafkan aku, Mas. Aku janji ini nggak akan lama. Aku janji begitu Mas berada di sana, aku akan segera bicara soal ini ke Mama juga Papa."

Reygan menggeleng.

"Ini bukan salahmu, Indira." Dia lalu menarik napas dalam-dalam. 'Meski kepergian Adrian adalah takdir Tuhan, tetapi kesedihan ini terasa berlipat itu karena adikku,' batinnya.

**

Nah loh, apa yang terjadi pada Indira nantinya? Stay tune terus.

Terima kasih sudah berkunjung 💚

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top