Sweet Lies 16
Indira lalu melangkah ke pantry untuk membuat minuman hangat. Dia melihat ada bubur instan di dekat kompor.
"Mas Rey mau buat bubur tadi?" tanyanya sembari berjalan mendekati sofa.
"Iya, tapi aku nggak kuat. Kepalaku sakit."
"Aku buatin. Mas istirahat aja aja." Dia kemudian kembali ke pantry.
Tidak memakan waktu lama untuk membuat bubur instan. Secangkir minuman hangat dan bubur telah siap. Dengan wajah cerah, Indira meletakkan nampan di atas meja.
"Mas duduk dulu yang bener. Ini ada lemon hangat buat Mas." Dia menyodorkan minuman buatannya.
Tersenyum samar, Reygan mengangguk.
"Thanks, Indira."
"Mau aku suapin?" tawar sang istri menatap dengan mata indahnya.
"Nggak apa-apa?" Reygan balik bertanya.
"Apanya yang nggak apa-apa? Seharusnya aku yang tanya apa Mas keberatan kalau aku suapin?"
Bibir pria beraroma maskulin itu melebar. "Kenapa harus keberatan. Bukannya kamu istriku dan aku suamimu?"
Hampir saja jantung Indira melompat dari tempatnya mendengar penuturan Reygan. Mengapa pria di depannya itu begitu mudah berkelakar soal hubungan mereka sementara keadaan yang terjadi sungguh jauh dari apa yang diharapkan?
"Kenapa diam? Memang begitu yang terjadi sebenarnya, kan?"
Tak menjawab, Indira hanya menarik napas dalam-dalam. Dia lalu mengaduk bubur itu dan menyendokkan untuk Reygan.
"Makan yang banyak, biar cepat sembuh!" titahnya menyodorkan sendok ke bibir Reygan.
Pria itu tak menolak, dengan mata yang terus memindai Indira, dia terlihat menikmati setiap suapan yang diberikan oleh istrinya. Sementara Indira justru berusaha mati-matian untuk bersikap biasa meski dadanya berdegup kencang karena tahu jika tatapan mata sang suami seolah enggan beranjak dari wajahnya.
"Mas harus segera sehat, supaya besok kita bisa pulang."
Reygan diam, dia seperti enggan menanggapi ucapan Indira. Berada di tempat seperti ini berdua saja menimbulkan perasaan lain yang mulai hadir di hatinya.
"Indira."
"Ya?"
"Kamu nggak makan?"
"Nggak."
"Kenapa?"
"Nggak apa-apa. Masih kenyang aja."
"Nggak mau makan bubur bareng aku?"
Perempuan berhidung mancung itu tersenyum tipis. Satu hal lagi yang dia tahu dari suaminya adalah sedikit pemaksa dalam bentuk berbeda.
"Bubur ini untukmu, Mas. Aku nanti bisa makan sesukaku di kafetaria."
Reygan menaikkan alisnya.
"Makanan kesukaan kamu apa?" tanyanya sambil terus menerima suapan dari sang istri.
"Aku menyukai semua makanan. Nggak ada yang spesifik."
"Kalau malam ini apa yang kamu mau?"
"Maksudnya?" Indira mengerutkan dahi.
"Eh, maksudnya malam ini kamu mau makan apa?"
"Kenapa emang?"
"Biar aku pesankan langsung aja. Jadi kamu nggak perlu ke kafetaria dan makan malam sendiri di sana."
"Kenapa? Aku nggak apa-apa kok meski harus makan sendirian, Mas."
Reygan memajukan badannya sehingga sangat dekat dengan Indira. "Mungkin kamu nggak apa-apa, tapi aku yang khawatir," tuturnya dengan suara pelan.
Indira menegang, karena jarak mereka yang sangat dekat, sehingga terasa hangat embusan napas Reygan di pipinya.
"Kamu tahu, Indira ... terlepas dari penyebab pernikahan kita terjadi, aku merasa harus melindungimu," imbuhnya masih dengan posisi tak berjarak.
Perlahan tangan Reygan membingkai wajah sang istri. Sejenak mereka saling tatap hingga akhirnya Indira menjauh seraya merapikan rambutnya.
"Maaf. Eum ... aku rasa aku sudah cukup kenyang," tutur Reygan yang kembali menyadarkan tubuhnya ke sofa. "Makasih, ya."
Tak bersuara, Indira bangkit membawa nampan yang berisi mangkuk ke dapur. Di sana dia memejamkan mata seraya menyentuh dadanya sambil bergumam, "Nggak! Aku nggak boleh terbawa suasana. Nggak boleh!"
**
Indira tertawa kecil melihat Reygan mengenakan blangkon - adalah penutup atau ikat kepala lelaki dalam tradisi busana adat Jawa-. Sementara Reygan seperti menikmati tawa riang yang baru saja dia lihat selama mereka bersama.
"Kamu mau beli apa? Sejak tadi aku lihat kamu cuma beli buat Bude, Pakde, Mama juga Papa. Lalu untuk kamu mana?" tanya Reygan heran.
Indira tertawa kecil.
"Sengaja, aku lebih suka keperluanku aku beli yang terakhir. Bukan apa-apa, hanya aku merasa lebih bebas kalau mendahulukan orang lain dibanding aku," paparnya sembari mencoba memakai topi lebar di depannya.
Melihat pemandangan di depannya, Reygan sejenak terkesima.
"Kamu cantik pakai topi itu," puji suaminya spontan.
Penuturan Reygan membuat pipinya merona. Tak ingin terlalu lama hanyut dalam pujian sang suami, Indira meletakkan topi lebar itu kembali di tempatnya. Namun, tangan Reygan menahan yang sontak membuatnya menoleh.
"Pakai aja lagi," tuturnya seraya memberi isyarat dengan dagu.
"Tapi aku nggak butuh topi."
"Tapi kamu cocok pakai topi itu. Ambil, pakai lagi!"
Tak ingin berdebat, dia mengikuti perintah sang suami. Reygan tersenyum tipis melihat istrinya kembali mengenakan topi lebar itu.
"Kamu mau ambil baju yang mana?" Reygan seakan ingin membuat Indira gembira di hari terakhir mereka berlibur.
"Mas mau pilihkan baju untukku?" Dia mendongak menatap suaminya.
"Boleh, eum ... kita ke sebelah sana. Sepertinya ada banyak pilihan!" ajaknya meraih tangan Indira lalu melangkah ke deretan baju untuk perempuan.
Sejenak dia terkejut dengan genggaman tangan Reygan, tetapi lagi-lagi dia berusaha untuk membuang jauh-jauh perasaan hangat yang muncul.
"Sepertinya kamu bagus pakai baju ini. Cobain deh!"
Reygan menoleh menunjukkan baju sebatas lutut berwarna lilac. Baju yang terkesan sederhana tetapi sangat indah dengan model yang sedikit mengekspose bahu serta dipermanis dengan pita senada di pinggang.
Kening Indira berkerut menatap harga yang tercantum di sana. Dia sejenak diam kemudian menoleh ke suaminya.
"Kenapa? Kamu nggak suka?"
"Eum, yang lain aja, Mas. Ini mahal banget."
Reygan terkekeh geli kemudian menggeleng.
"Aku yang memilihkan baju itu untukmu, berapa pun harganya bukan masalah. Coba deh! Aku pikir itu sangat cocok untukmu!" Dia menyorongkan baju itu ke sang istri. "Kemarikan topinya, tunjukkan padaku kalau kamu sudah mencoba baju itu!"
Mengangguk, Indira melangkah ke kamar pas. Kedua sudut bibirnya tertarik saat baju pilihan Reygan masuk membungkus tubuhnya.
Ada bahagia yang tak terucap ketika dirinya merasa sang suami memilih pakaian untuknya. Sejenak Indira menatap dirinya pada pantulan cermin. Baju yang dia kenakan memang terlihat sederhana, tetapi sangat indah.
"Indira? Udah selesai nyobain bajunya? Kamu udah pakai bajunya?"
Mata Indira membeliak mendengar suara Reygan.
"Cocok nggak?" tanyanya saat keluar dari kamar pas.
Pria berkaus polo shirt putih itu memindai dari kaki hingga kepala lalu tersenyum. Dia merasa kecantikan khas Indonesia begitu kuat melekat pada sang istri. Bukan hanya kecantikan wajah, tetapi juga hati. Lalu apakah dia tega menyakiti perasaan Indira? Kembali Reygan merasa berada di persimpangan jalan yang rumit.
Meninggalkan Indira itu berarti dia pasti akan kehilangan perempuan berhati baik, sementara jika dia memutuskan hubungan dengan Sandra, itu berarti dia mengingkari janji dan tentu saja mengecewakan perempuan yang lebih dulu memikat hatinya.
"Mas Rey? Mas? Kenapa malah bengong? Nggak cocok ya?"
Reygan menggeleng cepat. "Cocok, kok! Pilihanku selalu cocok!"
"Mbak! Saya ambil yang ini." Dia menoleh ke pramuniaga yang berdiri tak jauh dari mereka.
"Baik, Pak. Ada lagi?" tanya perempuan berseragam warna merah itu sopan.
"Kamu mau pilih pakaian lagi atau ...."
"Nggak. Itu udah cukup. Eum ... Mas nggak carikan baju untuk Mbak Sandra?"
"Nggak usah, di sana aja nanti."
Indira mengangguk sembari tersenyum.
**
Tak ingin sang istri kembali diserang oleh phobia-nya, Reygan memutuskan untuk pulang dengan menggunakan kereta api. Meski Indira meyakinkan jika dia tidak apa-apa, tetapi Reygan tetap pada pendiriannya.
"Aku nggak mau lihat kamu ketakutan seperti waktu itu, Indira."
"Tapi akan mamakan waktu lama kalau kita naik kereta, Mas."
"Tergantung kereta apa yang kita tumpangi. Udah, aku udah beli tiketnya. Ayo sekarang kita ke stasiun."
Reygan mengambil barang belanjaan yang ada di tangan sang istri. "Aku yang bawa. Sini!"
Percuma menolak, dia tak akan menang jika berargumen dengan pria bercambang di depannya itu. Menatap sang suami dari belakang, ada rasa nyaman bersamanya meski dia harus siap-siap kehilangan. Sementara Reygan seolah tidak merasa jika dia telah membuat nyaman sang istri dengan semua yang dia lakukan.
"Indira. Ayo, taksi online sudah nunggu. Kenapa malah melamun?"
Tangan sang suami yang merengkuh bahunya membuat Indira kembali harus mengatur degup jantung yang memompa lebih cepat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top