Sweet Lies 14
Reygan melebarkan bibirnya mendengar tawaran dari Indira. Perempuan di depannya itu menatap dengan mata membulat penuh semangat. Istrinya itu sama sekali tidak terlihat terbebani oleh kondisi yang sedang mereka alami saat ini. Meski terkadang matanya terlihat mendung dan itu sangat bisa dimaklumi olehnya.
"Boleh!"
"Good! Aku masakin dulu." Dia mengacungkan jempol lalu bergegas menuju pintu.
"Indira kamu mau ke mana?"
"Kebawah beli mie instan dan perlengkapan lainnya yang dibutuhkan."
Reygan menggeleng. Dia kemudian menelepon staf resort memesan segala keperluan untuk dimasak.
"Sudah, kamu nggak perlu ke mana-mana. Tunggu di sini aja. Sebentar lagi staf resort datang." Reygan tersenyum sembari memberi isyarat agar sang istri duduk.
"Makasih, Mas."
"Makasih untuk apa?" Mata sang suami memindai lembut.
"Makasih untuk apa aja," jawabnya seraya tersenyum.
Reygan mengangguk. "Seharusnya aku yang harus berterima kasih karena kamu sudah bisa mengerti."
Sejenak ruangan itu sunyi. Baik Reygan atau Indira sama-sama membisu. Jika Reygan merasa bersalah karena telah membuat Indira harus mengerti posisinya, sementara Indira berusaha mengatur dan menjaga perasaannya agar tetap berada di tempatnya. Dia khawatir dengan seringnya mereka berdua dia rasa yang ada di dalam dirinya perlahan berubah.
Tak lama terdengar ketukan, gegas Indira bangkit.
"Itu pasti pesanan sudah datang," tebaknya.
Dia melangkah membuka pintu, dan benar, pesanan Reygan sudah datang. Setelah mengucapkan terima kasih, Indira menuju pantry. Menyalakan kompor dan kemudian mulai memasak. Sementara dari tempatnya duduk, Reygan mengawasi gerak-gerik sigap sang istri.
Ada rasa hangat menjalar menyaksikan Indira dari jauh. Perempuan yang masih mengenakan baju sport itu tampak begitu menawan. Sesekali tampak Indira mengusap dahinya yang berkeringat dan pemandangan itu justru di mata Reygan membuat Indira sangat mengagumkan.
"Mas Rey mau cabe berapa?" tanyanya menatap sang suami yang tanpa dia ketahui sejak tadi menikmati aktivitasnya dari jauh.
"Mas Rey?" panggilnya.
"Iya? Kenapa?"
Memamerkan dekikan di pipi, Indira kembali mengulangi pertanyaannya.
"Mas mau cabe berapa?"
"Terserah. Berapa aja yang penting jangan terlalu pedas," sahutnya.
"Oke!"
Reygan tersenyum menyadari dia sudah diam-diam mulai kagum pada perempuan itu, tetapi tentu saja hanya sebatas kagum karena ada hati yang begitu mencintainya di tempat yang jauh yang tentu saja harus dia jaga. Pria yang memiliki cambang tipis itu menarik napas dalam-dalam.
'Apa aku sudah benar? Apa aku tidak terlihat egois dengan menjaga hati Sandra sementara istriku Indira kubiarkan menata hatinya agar bisa mengerti dengan apa yang sesungguhnya terjadi?' Reygan bermonolog.
Sejauh ini memang Indira seolah membuka pintu lebar-lebar untuk hubungannya dengan Sandra, tetapi dia belum pernah bertanya tentang apa yang dia mau. Karena selama ini Indira selalu menginginkan agar Reygan bisa memilih di mana dia bisa bahagia.
Reygan berpikir mungkin ada baiknya saat ini dia tanyakan soal itu ke istrinya. Dia akan bertanya apa yang Indira inginkan. Dengan begitu, mungkin dirinya bisa membuat Indira merasa terbantu dan dia bisa sedikit bernapas lega karena tidak terlihat terlalu egois.
Pria itu perlahan bangkit menuju pantry. Aroma mie instan sudah menguat pertanda sebentar lagi hidangan siap dinikmati. Indira masih sibuk memotong sayuran hingga tak menyadari Reygan sudah berada di belakangnya.
"Perlu bantuan?" Suara Reygan sontak membuat Indira terkejut sehingga pisaunya terjatuh dan hampir mengenai kakinya.
"Maaf, maaf, aku nggak sengaja mengejutkanmu. Maaf, Indira."
Reygan terlihat menyesal dan sedikit panik. Sambil mengulang kalimat permintaan maafnya dia membungkuk mengambil pisau itu bersamaan dengan sang istri. Sejenak mereka saling tatap dengan jarak yang sangat dekat. Menatap bening mata sang istri sejenak membuat Reygan terpana, pun demikian dengan Indira. Di balik sikap pelit bicara yang dia ketahui, ternyata Reygan memiliki perhatian yang cukup tinggi.
"Ehem, maaf, Mas, aku mau lanjut masak ya. Sebentar lagi kelar. Mas tunggu aja di sofa," tuturnya bergegas kembali ke posisi semula sembari menggeleng samar mencoba mengabaikan hal yang baru saja terjadi.
Reygan memijit pelipisnya, menyadari jika yang terjadi barusan adalah hal yang tidak seharusnya karena dia sudah memiliki Sandra seperti yang kerap dikatakan oleh Indira jika Sandra adalah perempuan yang cocok untuknya.
"Jangan biarkan Mbak Sandra kesal karena Mas Rey mengabaikan telepon darinya, Mas!" ucap sang istri kala itu.
Reygan menjauh dari belakang sang istri. Dia berdiri tak jauh dari tempat Indira berdiri. Menatap sang istri sibuk menyiapkan makanan, membuat hatinya menghangat. Tak ingin berada pada situasi yang tentu bisa memengaruhi perasaannya, dia melangkah kembali ke sofa. Sementara Indira yang masih terbayang tatapan mata Reygan terus sesekali memejamkan mata sambil menggeleng.
"Tuhan, aku berharap tetap bisa membuat hubungan Mas Rey dan Mbak Sandra baik-baik saja. Aku nggak boleh egois dengan mengambil dan memanfaatkan statusku saat ini. Nggak boleh!" gumamnya.
**
"Taraaa ... makanan udah siap!" seru Indira sembari membawa nampan berisi dia mangkuk mie instan rebus lengkap dengan telur, sayuran dan pelengkapnya.
"Mas Rey?" panggilnya saat gak mendapati sang suami di sofa. "Mas Rey di mana?" Kembali dia memanggil nama suaminya.
Lamat dia mendengar suara seseorang sedang bercakap-cakap, perlahan Indira melangkah ke arah suara. Tampak sang suami berada di balkon dan sedang melakukan panggilan. Melihat ekspresinya, Indira langsung paham siapa yang sedang mengobrol dengan suaminya.
Menarik napas dalam-dalam, dia melangkah mundur kembali ke sofa. Ada sedikit rasa pilu di hatinya melihat betapa bahagianya memiliki pasangan yang begitu mencintai. Kebahagiaan yang dulu pernah dia rasa ketika bersama Adrian.
Jika sekarang dia merasakan kosong, mungkin itu sudah takdirnya untuk tetap menjadikan apa yang sudah terjadi adalah satu kenangan yang akan selalu terekam di memori.
Indira menatap kosong dua mangkuk mie instan yang kini gak lagi mengepul. Bahkan kuahnya pun kini tak terlihat karena telah diserap oleh mi. Mi yang sedianya akan dinikmati bersama dengan sang suami harus diurungkan karena di balkon Reygan masih menelepon. Sesekali terdengar tawa darinya.
Indira masih setia menunggu, hingga hampir satu jam berlalu. Merasa lelah, dia akhirnya memilih keluar dari kamar Reygan kembali ke kamarnya untuk istirahat setelah sebelumnya dia merapikan meja dengan mengembalikan dua mangkuk mi yang masih utuh itu untuk diletakkan di pantry.
**
"Sial!" Reygan menepuk dahi saat masuk kembali dan menyadari Indira sudah tak lagi di sana. Dia mengedarkan pandangan ke panty dan melangkah ke sana. Dia melihat dua mangkuk mie yang masih utuh sudah dingin dan mengembang. Kondisi seperti itu tentu tak lagi nikmat untuk dikonsumsi.
"Sial! Kenapa aku bisa seceroboh ini? Kenapa aku bisa lupa kalau Indira sedang memasak untukku?" keluhnya dengan nada menyesal.
"Indira! Aku harus ke kamarnya!"
Cepat Reygan keluar, dan mengetuk pintu kamar istrinya.
"Indira! Indira, kamu di dalam, kan? Indira tolong buka pintunya, aku mau bicara. Eum ... maafkan aku, aku tadi ...."
Pintu dibuka saat Reygan belum sempat menyelesaikan kalimatnya.
"Ya, Mas?" Sang istri menatapnya dengan bibir melebar.
Menatap Indira yang tersenyum justru semakin membuat Reygan merasa sangat bersalah. Bagaimana mungkin kebaikan istrinya itu dia anggap suatu hal yang biasa? Sementara jika dia berada di posisi Indira, sudah barang tentu amarahnya akan memuncak karena merasa diabaikan.
"Kamu ... mi yang tadi ... maafkan aku, Indira," ucapnya lirih.
Istrinya itu masih bergeming. Andai Reygan tahu bagaimana tangisnya tadi setelah kembali ke kamar. Bagaimana perasaan luka hatinya tadi kala tahu jika dirinya memang benar-benar hanya pelengkap yang dipaksa oleh keadaan.
"Kamu ... eum, itu nggak mungkin bisa dimakan lagi, kan? Karena tentu rasanya akan berubah. Sebab bentuknya pun sudah tak lagi menggugah selera, tapi ... kalau kamu mau makan mi itu bersamaku, tentu akan terasa enak!"
Indira mengangkat wajahnya membalas tatapan sang suami. Kalimat yang diucapkan pria itu barusan pasti hanya lelucon yang dia tahu itu diucapkan Reygan untuk menghiburnya.
"Mas masih mau makan mi instan? Nggak apa-apa, aku bisa buatkan lagi, tapi untuk Mas aja. Aku udah kenyang."
"Eh nggak, bukan begitu, aku mau makan mi yang kamu buat tadi, sayang kalau dibuang. Lagipula kamu juga sudah capek-capek masak, masa harus dibuang begitu aja?" Dia mencoba mengatakan hal yang tidak membuat istrinya itu tersinggung.
"Lalu? Mas maunya gimana?"
"Kita kembali ke kamarku, kita makan bareng. Gimana?"
**
Serba salah yakan jadi Reygan. Dan lebih serba salah lagi jadi Indira. Betul gak? He-he.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top