Sweet Lies 11
"Di Abyagiri Restoran itu memang luar biasa, Mas. Kalau siang kita bisa menikmati hidangan sambil menikmati view Candi Prambanan dan sekitarnya dari sana, karena restorannya berada di atas, dan kalau malam juga nggak kalah indah! Karena ada lampu-lampu yang menambah suasana romantis," celoteh sopir itu lagi.
Kali ini Reygan hanya mengangguk, dan Indira masih memilih menatap pemandangan dari luar jendela. Ponselnya bergetar saat mobil mulai melambat.
"Kita sudah sampai, Mas, Mbak. Selamat datang di Abyagiri Restoran," ucap sopir taksi itu sembari menoleh ke belakang menatap mereka berdua.
"Makasih, Pak."
"Sama-sama, Mbak. Sudah tugas saya."
Indira menatap Reygan yang sibuk mengetik di handphonenya. Tak mau mengganggu, dia segera keluar dari mobil.
Perempuan itu menarik napas dalam-dalam lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Reygan dan sopir itu benar, pemandangan di sini sangat indah bahkan lebih indah dari yang dia bayangkan.
Indira melipat kedua tangannya ke dada, udara malam di ketinggian sudah mulai terasa menggigit. Meski begitu, rasa dingin bisa dialihkan karena menatap hamparan indah lukisan Sang Kuasa yang menakjubkan.
Saat dia termenung menekuri pemandangan indah malam itu, tangannya merasa digenggam oleh seseorang. Hampir saja jantung Indira melompat dari tempatnya saat menoleh dan melihat senyum manis dari sang suami.
"Jangan lama-lama di luar. Ayo masuk!" ajaknya masih dengan senyum.
Tak dipungkiri jika ada garis-garis wajah Reygan yang serupa dengan Adrian, dan hal itu terkadang membuat sudut hati Indira yang masih menyimpan rasa cinta yang besar kepada almarhum kekasihnya itu berontak. Rasa cintanya kadangkala memiliki sejuta alasan agar dia benar-benar menjatuhkan hati kepada pria yang tengah membawanya masuk ke dalam restoran ini.
Mengusung konsep tradisional modern, restoran ini benar-benar memanjakan pengunjung. Terdengar gamelan yang mengiringi pertunjukan sendratari Roro Jonggrang yang dibawakan oleh beberapa penari dengan kostum yang indah. Indira tek berkedip menatap gerakan indah mereka.
Sejak dulu dia memang lebih menyukai hal-hal yang berbau tradisional. Karena menurut perempuan yang juga mengajar menari di sekolahnya, segala sesuatu yang berkaitan dengan kebudayaan di Indonesia sudah seharusnya dilestarikan. Salah satunya adalah tarian.
"Kamu suka?" Suara Reygan terdengar dekat di telinganya.
Dia mengerjap tak sadar karena langkah sang suami juga akhirnya berhenti di saat mereka belum sampai di meja yang sudah disediakan.
"Oh, maaf, Mas. Aku ... iya, aku suka." Indira tergagap.
"Kita bisa melihat pertunjukan ini dari meja kita. Ayo!" Kembali senyum menawan Reygan dia tunjukkan kepada Indira.
Perempuan itu mengangguk sembari menarik napas dalam-dalam.
Keduanya sampai di meja yang sudah dipesan. Aneka hidangan baru saja selesai disajikan di hadapan mereka. Benar-benar pelayanan maksimal yang tidak mengecewakan bagi mereka yang memang bertujuan untuk berbulan madu. Aneka hidangan tradisional yang diberi sentuhan western terhidang membuat siapa saja tentu akan menyukainya.
"Semoga makanan ini kamu suka. Kita makan dulu ya?"
Lagi dan lagi, Reygan menunjukkan sisi lembutnya. Entahlah, Indira sendiri tak berani menyimpulkan apa pun. Bahkan meski ketika tak sengaja mata mereka bersirobok pun, dia hanya mencoba memahami jika Reygan dan dia hanya terjebak suasana romantis di tempat ini.
Indira menatap hidangan di meja. Ada chicken steak, oxtail soup, beef black pepper, pas roasted salmon, joglo green salad, rib eye steak dan tentu ada minuman hangat tersedia. Menurut Reygan dia sengaja memesan minuman yang dia suka.
"Aku rasa kamu juga pasti suka minuman itu, kan?"
Indira yang sejak tadi agak pelit bicara hanya mengangguk sambil tersenyum.
"Menurut menu yang aku baca tadi, ini namanya minuman sereh blukuthuk, yang ini jahe blukuthuk," jelas Reygan dengan bibir melebar hingga tampak deretan gigi putihnya yang rapi.
"Kalau yang itu, kamu pasti tahu, biasanya diminati kamu perempuan, kunyit asem, kamu suka pasti!"
Kembali Indira mengangguk.
"Oke, aku terlalu banyak bicara sepertinya." Reygan mengusap tengkuk kemudian menautkan alis. "Kita bisa makan sekarang!"
Indira mengangguk sembari mengambil hidangan yang dia inginkan untuk diletakkan di piring. Sementara matanya sesekali mengarah ke para penari yang masih memamerkan kepiawaiannya. Suasana sempurna untuk suatu hubungan yang hangat, semuanya begitu mendukung, tetapi tentu saja hal itu tidak berlaku untuk Indira dan juga Reygan.
"Indira," panggil Reygan di tengah-tengah suapannya.
"Iya, Mas?"
"Aku cuma mau bilang, kalau kamu nggak perlu mengambil hati apa yang diucapkan sopir tadi ya." Pria itu mengambil napas dalam-dalam kemudian kembali berkata, "Mereka, maksudku orang-orang itu termasuk Mama dan papaku tidak tahu bagai kita berdua harus menghadapi situasi yang tidak mudah ini. Aku paham bagaimana suasana hatimu saat ini, tapi sebaiknya kamu bikin santai aja. Nikmati apa yang saat ini berada di depanmu."
Reygan lalu kembali melanjutkan makannya.
"Maksudku, apa yang ada di depanmu adalah seperti saya ini, kamu bisa sejenak meletakkan kegalauan dan gelisah. Besok pagi, kita bisa jalan-jalan ke beberapa candi yang aku sebut saat kita sampai di resort tadi. Kamu mau?"
"Iya, Mas."
"Good! Kamu bisa bangun pagi, kan?" Mata Reygan memindai dengan tatapan jenaka.
"Bisa dong, Mas!" Kali ini Indira memamerkan dekikan di pipi membalas tatapan suaminya.
**
Setelah selesai menikmati hidangan, pemandangan, dan pertunjukan sendratari, mereka berdua kembali ke resort. Jika tadi saat berangkat hanya kebisuan yang tampak, kini terlihat mereka berdua lebih bisa rileks.
Mereka pun mulai terlibat pembicaraan ringan dan santai.
"Kamu suka makanannya tadi?"
"Suka. Enak-enak, kok!"
Reygan mengedikkan bahu.
"Hanya saja, aku rasa minuman jahenya masih enak buatanmu!"
Pujian itu membuat pipi Indira merona.
"Jangan terlalu memuji."
"Aku nggak memuji, aku bicara jujur! Minuman jahe buatanmu enak!"
"Makasih, Mas."
Reygan menautkan alisnya lalu bersandar.
"Jadi selain sebagai guru bahasa, kamu juga instruktur tari?" Reygan terlihat mulai tertarik dengan aktivitas sang istri.
"Iya," sahutnya seraya mengangguk.
"Keren dong!"
"Nggak juga, biasa aja." Indira menggeleng cepat.
"Aku selalu salut sama mereka yang masih setiap melestarikan seni tradisional. Kamu tahu? Di luar sana hal-hal yang berbau seni tradisional sangat diminati. Padahal aku lihat di sini justru semakin ditinggalkan."
"Ya mungkin karena support sistemnya yang belum bekerja dengan baik, Mas. Karena sebagian besar anak-anak muda sekarang lebih silau dengan kebudayaan negara lain dibanding negaranya," jelas Indira.
Reygan mengangguk.
"Kamu benar. Jadi aku rasa pilihanmu untuk mengajarkan tari kepada anak-anak adalah hal yang luar biasa!"
Indira menarik bibirnya singkat kemudian menatap ponsel yang bergetar di tangan suaminya.
"Mas telepon tuh!"
Reygan yang tahu identitas pemanggil tampak serba salah. Tadi saat mereka tiba di Abyagiri, dia sudah mengirim pesan jika nanti dialah yang akan menelepon, tetapi rupanya perempuan itu tidak sabar untuk bercakap-cakap dengannya.
"Eum ... nanti aja aku telepon balik." Reygan menolak panggilan itu.
Pria itu lalu tersenyum memasukkan ponsel ke kantong bajunya.
"Dari Mbak Sandra?" Indira memiringkan kepalanya menatap Reygan. Dia berani bertanya seperti itu karena membaca gesture dari suaminya yang mendadak berubah.
"Iya."
"Kenapa ditolak? Terima aja, Mas. Kasihan Mbak Sandra, dia pasti sedang resah memikirkan Mas Rey di sini," tuturnya.
Reygan tak menyahut. Sejujurnya dirinya masih tidak bisa mengabaikan kebaikan dan ketulusan Indira untuk dirinya. Perempuan di sampingnya itu masih terluka saat Adrian harus meninggalkan dia selamanya, lalu apakah yang terjadi pada hati Indira jika dirinya yang saat ini sudah sah menjadi suaminya menambah kepedihan di nurani perempuan yang memiliki dekikan itu?
Meski yang terjadi sebenarnya adalah Indira sama sekali tidak merasa keberatan untuk itu, tetapi dia bukan pria yang tidak berperasaan.
"Mas Rey? Kenapa malah bengong?" Indira menjentikkan jari tepat di depan mata pria itu.
"Ya?" Seolah baru tersadar, Reygan mengusap tengkuknya.
"Mas mending telepon balik Mbak Sandra sekarang, tenang, aku ada ini," ucapnya mengeluarkan air bud dari tasnya. "Aku nggak akan dengar apanpun obrolan Mas dengan Mbak Sandra, meski sebenarnya jika aku mendengar pun tentu nggak ada masalah."
"Nggak Indira. Aku telepon dia nanti saat tiba di resort."
Indira tersenyum.
"Mas siapkan jawaban yang paling masuk akal ya. Karena perempuan itu mata batinnya tajam!" Kali ini dia berkata sambil mengulum senyum. "Perempuan itu tahu kalau dia sedang dibohongi. Percaya deh!"
"Kamu sedang menakutiku?" Reygan tertawa kecil mendengar penuturan sang istri.
"Nggak dong. Aku bicara fakta!"
"Oke, sepertinya aku harus banyak menggali soal perasaan perempuan darimu, Indira."
Perempuan itu tertawa, tetapi kemudian mengatupkan bibirnya. "Perasaan perempuan itu misterius, Mas Rey. Dan kamu nggak bakal bisa menebaknya," tuturnya menggumam.
"Perempuan itu aneh!"
"Aneh?"
"Iya, aneh kayak kamu!"
"Aku? Emang aku kenapa?"
"Diajak jalan katanya nggak usah, eh tapi saat kita menghabiskan waktu di rumah aja, malah jutek! Aneh, kan?"
Bibir Indira tertarik mengingat penggalan kebersamaanya dengan Adrian.
"Kenapa sekarang kamu yang melamun?" Suara berat Reygan menyadarkannya.
"Eh nggak kok!"
"Kita sudah sampai. Aku mau duduk di luar dulu. Sepertinya memang Sandra sangat mengkhawatirkanku. Kamu ... selamat tidur ya."
Indira mengangguk melihat punggung Reygan yang tergesa-gesa keluar dari mobil. Dia lalu menarik napas kemudian meraih tas.
"Terima kasih, Pak."
"Sama-sama, Mbak. Selamat beristirahat," ucap sopir itu ramah.
Mengangguk dia lalu melangkah menjauh setelah sebelumnya sempat menoleh ke belakang melihat Reygan tengah menelepon Sandra.
**
Halo .... Ketemu lagi dengan Indira. Semoga suka dan terhibur. Salam hangat 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top